Linda Boentaram's Blog, page 3

February 26, 2014

Tentang Tarif Penerjemahan

Tulisan ini saya salin rekat dari komentar mas Indra Listyo di salah satu utas diskusi tentang acuan tarif penerjemahan terbaru dari Kemenkeu.


Dalam industri jasa penerjemahan, berbicara masalah harga sangatlah menarik. Persaingan usaha di dunia penyediaan jasa terjemahan tidak terlepas dari hukum persaingan usaha. Mengingat jasa terjemahan kini bukan lagi jasa yang terasa langka dalam hal kualitas, kuantitas, tempat dan waktu (dibaca: pihak yang dapat menyediakan jasa terjemahan dengan mutu yang baik, sesuai tenggat waktu, dengan harga yang terjangkau kini semakin mudah didapat dari waktu ke waktu), persaingan di industri ini cenderung memiliki struktur pasar sempurna, yang berlawanan dengan pasar monopoli.


Fakta bahwa semakin banyak pemain baru masuk ke dalam persaingan usaha di bidang usaha penerjemahan dan tidak adanya hambatan masuk yang diterapkan oleh komunitas pelaku usaha tersebut (organisasi profesi) dan pemerintah bagi para pemain di bidang usaha terjemahan (entry barrier) jelas membuat persaingan usaha di bidang ini menjadi ketat dari hari ke hari, dan bahkan ada yang menjurus ke level yang kurang sehat.


Banyaknya pemain yang menyediakan jasa terjemahan berkontribusi terhadap bervariasinya harga jasa penerjemahan, mulai dari yang super tinggi hingga super rendah atau bahkan ada yang menerapkan harga pemangsa/harga rugi (predatory pricing). Kondisi ini bisa ditafsiri ke berbagai arah.


Dalam dunia usaha terjemahan, klien cenderung melihat terjemahan sebagai sebagai produk dank lien akan melihat apakah harga tersebut pantas untuk dibayar [tentunya hal ini sangat bergantung pada bagaimana klien tersebut mempersepsikan pekerjaan penerjemahan. Di pihak lain, penerjemah cenderung melihat terjemahan sebagai proses/aktivitas yang tidak mudah dan memerlukan kecerdasan, pengetahuan dan pengalaman yang luas.


Tidak saja penerjemah yang mutu, pengalaman, wawasan dan harga bisa berbeda dari satu penerjemah ke penerjemah lain, demikian juga klien. Klien pun memiliki daya beli yang berbeda.


Secara umum dalam dunia persaingan usaha, penjual barang/jasa cenderung ingin memonopoli penjualan produk/jasa yang dijualnya kepada sebanyak klien mungkin dan sebaliknya konsumen cenderung untuk memperoleh harga serendah mungkin dengan mutu sebaik-baiknya dan jumlah sebanyak-banyaknya.


Namun, dengan banyaknya penyedia jasa terjemahan saat ini, kebebasan yang luas masuk para pemain baru dalam pasar persaingan usaha terjemahan (no entry barrier), akses informasi yang semakin mudah, yang semuanya menjurus pada persaingan sempurna telah membuat penetapan harga terbentuk lebih pada prinsip supply and demand, sehingga harga acuan/patokanpun sebenarnya tidak lagi relevan dalam struktur pasar seperti ini.


Menurut saya, pada akhirnya keseimbangan pasar alami akan terbentuk sendiri. Hanya masalah waktu saja, segmen-segmen pasar di industri penerjemahan ini akan terbentuk secara sendirinya. Pada akhirnya, akan tiba waktunya dimana kita harus memilih dan memutuskan segmen mana yang ingin kita masuki, bidang mana yang ingin kita fokuskan, klien mana yang ingin kita utamakan serta berapa tarif kita yang ingin dikenakan.


Terus terang, saya suka sedih jika semua penerjemah yang menetapkan harga di bawah acuan dicaci sebagai perusak pasar. Ini bukan berarti saya mendukung tarif murah yang dipasang secara tidak adil demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dan menjatuhkan sesama penerjemah. Namun kenyataannya pasar sangat sukar diperkirakan dan hampir semua klien berusaha mendapatkan jasa dengan harga semurah-murahnya, bahkan terkadang rela mengorbankan kualitas. Jangankan yang 50% lebih murah dari acuan tarif sekarang, yang lebih murah 30-40% saja mungkin sudah sukar sekali dapat klien. Mungkin saya pesimis karena banyak penerjemah yang mempunyai banyak langganan meskipun memasang harga tinggi, namun mereka yang belum banyak jam terbangnya atau belum mapan tentunya tidak mempunyai kuasa mengendalikan harga.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 26, 2014 22:53

Ingin Jadi Penerjemah (Buku)?

Menjadi penerjemah buku tidak mudah, tetapi juga tidak perlu gelar di bidang Sastra. Simak tips-tips mbak Nur Aini di tautan berikut ini :)


Ingin Jadi Penerjemah (Buku)?.


via Zona Aini


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 26, 2014 22:51

Romance oh romance…

notebookSaya tidak anti genre romance. Malah, sebagian besar bacaan favorit saya bisa dibilang novel percintaan. Sebutlah The Notebook (dan beberapa novel Nicholas Sparks lain), Love the One You’re With, Twilight, Where Rainbows End, Juliet dan banyak lagi.


Tetapi jika menyangkut order terjemahan, saya agak pilah-pilih jika menyangkut genre ini. Ini karena banyak novel romance lebih menekankan adegan panas ketimbang plot seru atau menampilkan cerita yang klise (damsel in distress, cowok kaya cewek miskin, dll). Bukan berarti saya tidak suka kisah percintaan konvensional dengan akhir bahagia selamanya (lihat daftar buku favorit saya di atas), tetapi saya lebih menikmati proses penerjemahan jika kisah percintaan tersebut diramu dengan unsur aksi, supranatural, drama dan sebagainya yang membuat cerita lebih realistis atau berwarna. Bukan cuma interaksi (dan hubungan seksual) dua orang yang downloadsaling jatuh cinta.


Contohnya baru-baru ini ketika saya ditawari ikut tes menerjemahkan romance panas. Seperti saya siratkan di atas, saya kurang suka menerjemahkan romance dengan plot lemah yang cuma mengandalkan adegan panas sebagai daya tarik utama. Tetapi novel ini berbeda, karena diceritakan dari sudut pandang tokoh pria (yang kebetulan playboy berat) dan menampilkan plot seru penuh humor khas cowok yang bikin cekakan. Karena itu meskipun bertaburan adegan intim seperti di 50 Shades of Grey, saya berminat mengikuti tesnya.


Renee-Zellweger-in-Bridge-006


Sayangnya, keinginan dan kemampuan tidak selalu sejalan. Gaya saya dianggap kurang ‘nakal’ untuk menerjemahkan cara bertutur si cowok playboy ini, jadi novel itu pun terlepas dari genggaman. Memang selama ini saya lebih sering menerjemahkan fiksi dengan gaya tutur konvensional, ditambah lagi baru selesai menerjemahkan novel klasik yang tata bahasanya jauh berbeda! Tidak heran sekarang saya juga tersendat-sendat memulai penerjemahan chick-lit yang baru saya terima. Untungnya tenggatnya cukup panjang sehingga ada waktu untuk “tuning” :) Dari sini saya juga belajar perlunya jeda sesaat sebelum memulai proyek baru untuk membersihkan otak dari gaya novel sebelumnya dan membiasakan diri dengan genre novel selanjutnya.


Singkat cerita, selama ceritanya segar dan berkualitas, saya tidak anti novel romance. After all, we love to be swept off our feet time and again. ;)


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 26, 2014 22:50

Fangirl-ing

I haven’t finished this book but what the heck…I’m giving it 5 stars.


The last time I remember raving about a book like this was when I read Juliet. And now I’m not even sure whether I should’ve given that book 5 stars, cos if I should, then this one by Rainbow Rowell should get 5 1/2, or even 6 stars.


That’s because I have never, ever encountered a book which feels so real to me, and the main character of which I can identify with totally. 100%. Make that 101%.


Fangirl calls out to all nerds and geeks out there who prefer to spend their free time holing up in their rooms writing fanfics about things they’re obsessed with and making friends online. Not silly nerds and geeks who get bullied by football players in high school and plot revenges, but down-to-earth nerds and geeks who interact normally with their families, have real life needs and face real life fears.


I should know. I had been a Cath myself. For I don’t know how many years. And still had a bit of the old Cath in me.


I’m not as lucky as she is to get a manic father, a twin sister and a mother who left me at eight. But in practically everything else, Cath was me. I had written fanfics (not anything Potter-ish or slash though), got thousands of hits (though the hits come from the same group of people), and found myself living more normally in it than in real life.


As I plowed through the book (I’m up to page 250 now), I kept nodding at paragraphs, laughing, crying, and feeling like being punched in the stomach. There are tons of quotes I like I can make a whole book from it.


“Why do we write fiction?” Professor Piper asked.

Cath looked down at her notebook.

To disappear. (p. 23)


It wasn’t that Cath couldn’t think of an argument. It was that there were so many. The arguments in her brain were like a swarm of people running from a burning building and getting stuck in the door. (p. 103)


“Other people,” Cath repeated, shaking her head and taking a sip. “There are other people on the Internet. It’s awesome. You get all the benefits of ‘other people’ without the body odor and the eye contact.” (p. 147)


Those guides try to convince you that it’s okay to be any shape, but when your body type is a synonym for FUBAR, it’s hard to believe it. (p. 188)


Switching from her Fiction-Writing homework to Simon and Baz was like realizing she’d been driving in the wrong gear. She could actually feel the muscles in her forearms loosen. Her typing got faster; her breathing got easier. (p. 195-6)


The girl laughed quietly and looked around the room again. “That was almost embarrassing. I mean, it’s like having a secret life sometimes. People think it’s so weird.… Fanfiction. Slash. You know.” (p.201).


I just … it’s like every day there is still the first day. (p. 243)


“It’s just … everything. There are too many people. And I don’t fit in. I don’t know how to be. Nothing that I’m good at is the sort of thing that matters there. Being smart doesn’t matter—and being good with words. And when those things do matter, it’s only because people want something from me. Not because they want me.” (p.245)


“Just … isn’t giving up allowed sometimes? Isn’t it okay to say, ‘This really hurts, so I’m going to stop trying’?”

“It sets a dangerous precedent.”

“For avoiding pain?”

“For avoiding life.” (p.245)


“I know Simon and Baz. I know how they think, what they feel. When I’m writing them, I get lost in them completely, and I’m happy. When I’m writing my own stuff, it’s like swimming upstream. Or … falling down a cliff and grabbing at branches, trying to invent the branches as I fall.” (p.262)


And…my absolute favorite:


Cath liked to worry. It made her feel proactive, even when she was totally helpless. (P. 265)


I can go on and on. OK, maybe I have more than a bit of the old Cath in me.


These are not stuff you see in all degrading movies about nerds. Nerds are not alien species. They have normal emotions and normal relationship with people they know well. They just have no clue about what to say and how to say things in social situations. They don’t feel confident enough to express their likes and dislikes. As a result, they turn into the internet. They bond with faceless people because faceless people don’t know them well enough to judge. Or to bully. And they find common interests and let their real selves free.


There are many Caths out there, including me, and lots of us still struggle to find their place in this world. Struggle to fit in, to not shy away from life. And like Cath, we often feel like giving up. Cath had people to support her, but while most of us are not that lucky, this book had helped us to realize that we’re not alone. That we’re not weird. And life may have special surprises for us along the way.


Thank you, Rainbow Rowell, for speaking on our behalf. And giving us hope.


8504852


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 26, 2014 22:41

Kala penerjemah “libur”…

8396911Kalau “libur” menerjemahkan buku alias belum dapat orderan lagi (atau menunggu yang cocok), saya justru gelisah

karena menerjemahkan buku lebih termasuk hobi daripada pekerjaan. Tetapi bukan berarti saya tidak perlu kegiatan lain selama/setelah menerjemahkan buku, terutama buku “berat” (seperti novel klasik) atau novel yang plotnya agak membosankan. Bagaimanapun, kita manusia yang membutuhkan istirahat dan sosialisasi. Berikut selingan favorit saya kalau sedang jenuh atau “libur”:


1. Jalan-jalan/nonton


Cuci mata di mal/tempat wisata atau nonton film ringan seperti komedi romantis, fantasi remaja atau action bisa jadi selingan asyik, terutama saat menerjemahkan buku klasik. Cuaca buruk atau belum gajian? Tidak masalah, ada DVD.


160689052. Baca novel


Lho, masa selingannya buku lagi, buku lagi? Sebenarnya tidak aneh, karena hampir semua penerjemah buku suka membaca, dan menerjemahkan novel berbeda dengan membaca buku untuk senang-senang saja. Saat menerjemahkan, kita ibarat pendayung gondola yang harus berkonsentrasi memandu sampan dan tidak bisa menikmati pemandangan sekitar, sedangkan saat membaca, kita seperti penumpang kapal yang asyik lihat kanan-kiri. Biasanya untuk selingan saya memilih novel yang lebih ringan atau berbeda genre dari buku yang diterjemahkan.


3. Main game


Saya cenderung suka game yang tidak ada level-nya, supaya tidak ada “tuntutan”. Karena itu ketimbang main tabrak permen, saya lebih memilih main Words with Friends (scrabble bikinan Zynga) atau Scramble with Friends (seperti scrabble, bedanya kita harus bersaing dengan teman dalam menemukan sebanyak mungkin kata dalam 2 menit). Kalau ingin yang sedikit beda, saya main SongPop atau MoviePop (masing-masing permainan tebak lagu & film) atau Pet City (khusus PC) untuk menyalurkan hobi mendesain ruangan (meskipun tidak bakat-bakat amat).


1782328_10152224368547140_1992717941_o


4. Menulis


Menulis fanfic atau blog juga bisa menjadi selingan menyegarkan. Otak kita yang biasa diprogram mengikuti teks dan aturan penerjemahan bisa bebas berimajinasi sendiri saat menulis.


5. Family Time


Makan, jalan-jalan atau sekadar ngobrol di rumah bersama keluarga juga alternatif yang bagus agar tidak terus berkubang dalam tulisan. :)


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 26, 2014 22:39

Ketika bertemu klien “reseh”

Menjadi penerjemah mungkin tingkat stresnya tidak setinggi, katakanlah, agen penjualan atau pemasaran yang setiap hari harus menghadapi kelakuan antik berbagai jenis orang. Tetapi namanya memasarkan jasa, pasti pernah bertemu klien yang kurang menyenangkan. Seperti yang saya alami baru-baru ini, dan ironisnya dengan sesama penerjemah.


Beberapa bulan lalu saya melihat iklan sebuah kantor penerjemah yang mencari outsourcer untuk bekerja sama. Saya tertarik karena kantor cabangnya cuma satu blok dari rumah saya, sehingga bisa memudahkan pembicaraan tentang pekerjaan. Jadilah saya mengirimkan CV, dan kantor pusatnya di Jaksel menelepon saya untuk menanyakan tarif. Saya beritahu tarif dan perincian halaman jadi, dan mereka pun memberi order terjemahan bahasa Indonesia ke Inggris. Setelah terjemahan diserahkan, mereka mendadak memberitahu kalau saya harus menggunakan font standar dari mereka (Arial), yang lebih kecil dari yang saya gunakan (Arial Unicode MS). Tentu saja saya mendebat habis-habisan, karena sejak awal mereka tidak pernah menyatakan keberatan dengan standar font saya. Mereka sempat mengatakan mereka tidak punya font tersebut, padahal setahu saya font itu ada di semua versi Windows. Saya juga meneruskan email percakapan kami dimana saya menyebut lagi spesifikasi halaman target dan tidak ada keberatan dari mereka. Singkat cerita mereka akhirnya menerima tarif awal saya dan membayar sesuai tagihan.


Jumat sore kemarin saya menerima order lagi dari mereka, 7 halaman dengan deadline Sabtu malam. Teringat pengalaman tempo hari, saya tanya lewat email dan SMS ukuran font dan halaman jadi apa yang mereka mau, dan mereka bilang pakai ukuran kemarin saja. Maka saya kerjakan tugas tersebut, yang sebenarnya cuma butuh setengah hari tetapi sempat bikin panik karena error di CAT tool yang saya pakai. Singkat cerita saya menyerahkannya tepat waktu, tetapi mereka bikin kejutan lagi dengan mengatakan halaman jadi yang diterima cuma 7 halaman sedangkan di invoice 11 halaman. Memang kemarin itu dokumen dikirim lewat Note II karena internet laptop sedang ngadat. Saya cek ulang, siapa tahu salah kirim dokumen sumber, tetapi ternyata tidak. Saya buka dokumen di laptop dan di hape, kedua-duanya 11 halaman. Saya telepon mereka, dan mereka bilang sudah pakai font yang saya pakai tetapi dokumennya memang cuma 7 halaman. Saya minta orang kantor cabang di dekat rumah saya datang mengecek sendiri, namun mereka bilang sedang pergi (sebenarnya “kantor cabang” itu rumah anak sang penerjemah pendiri kantor ini). Akhirnya saya konversi dokumen word itu ke pdf, sehingga jumlah halaman dan ukuran font menjadi permanen, dan saya email kembali ke mereka. Tidak ada respon. Pagi ini setelah internet laptop jalan, saya kirim ulang pula dokumen word-nya, dengan pesan agar mereka memastikan pengunduhan dokumen benar-benar komplet. Tidak ada respon juga.


Berdasarkan pengalaman sebelumnya, saya setengah menduga mereka masih akan ngeyel atau mendiamkan saja email (dan invoice) saya. Terus terang kemarin saya sudah jengkel sekali, karena menghabiskan waktu setengah hari Sabtu plus sempat stres berat karena CAT tool ngadat. Saking emosi, kepingin rasanya membagikan pengalaman ini di grup FB HPI (tanpa sebut nama tentunya). Tetapi ibu saya bilang tidak perlu cari ribut gara-gara jumlah uang tidak seberapa, dan kalau memang klien sengaja macam-macam, mereka toh akan kualat nantinya. Saya rasa benar juga. Kalau saya memperpanjang urusan, kerugian psikisnya bisa-bisa lebih besar dari kerugian materinya. Untung juga tagihannya tidak seberapa sehingga saya lebih mudah mengikhlaskan. Mungkin ini juga semacam peringatan untuk tidak lagi bekerja sama dengan klien ini.


Saya memutuskan tetap menumpahkan uneg-uneg di postingan ini, supaya tidak jadi penyakit. Tetapi ini (semoga) terakhir kalinya saya memikirkan masalah ini. Dan sekarang saya akan beralih ke pekerjaan lebih menyenangkan: menerjemahkan novel. :)


Update: Klien mengabarkan jumlah halaman jadi menjadi 10 setelah “dirapikan”. Karena halaman ke-11 memang isinya cuma 1/2 halaman kurang, saya terima. Invoice pun langsung dibayar, dengan angka genap sempurna. Syukurlah. Meskipun begitu, sepertinya cukup sekian dulu dengan klien ini…dua perbedaan pendapat di awal kerja sama sepertinya tanda kami kurang cocok :)


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 26, 2014 22:22

Sampel – Fangirl (Rainbow Rowell) hal 4-7

16068905Saya sudah tertarik pada buku ini sejak melihat sinopsisnya di Goodreads. Ceritanya tentang Cath, cewek rada kuper yang suka tenggelam di dunia khayalnya sendiri–mirip saya dulu. Cath penggemar tokoh novel fantasi Simon Snow (mirip Harry Potter gitu deh) dan getol menulis fan fiction tentang Simon–lagi-lagi seperti saya dulu (bedanya fan fiction saya bukan tentang Harpot). Sempat ragu beli novelnya karena mahal (versi bahasa Indonesianya belum ada), akhirnya saya sambar juga waktu ke Kinokuniya tempo hari. Hari ini sempat baca beberapa halaman, dan rasanya seperti bercermin pada diri Cath. Dan dasar penerjemah, waktu membaca santai pun otak ikut gatal mengalihbahasakan. Mumpung belum ada terjemahannya, saya bagikan sedikit “keisengan” saya di sini :) Selamat menikmati, saran dan kritik ditampung (nukilan teks sumber di sini).


SATU


Ada cowok di kamarnya.


Cath membaca nomor yang tertulis di pintu, lalu melihat lembar pembagian kamar di tangannya.


Pound Hall, 913.


Ini jelas-jelas kamar 913, tetapi mungkin bukan Pound Hall—semua asrama ini kelihatan sama, seperti rumah-rumah susun untuk warga lansia. Mungkin Cath sebaiknya mencoba mencegat ayahnya sebelum naik membawa kotak-kotaknya yang lain.


“Kau pasti Cather,” sapa cowok itu, sambil menyeringai dan mengajak bersalaman.


“Cath,” jawab Cath, merasakan lonjakan panik di perutnya. Ia tidak menjabat tangan cowok itu. (Toh ia sedang membawa kotak, mau bagaimana lagi?)


Ini kekeliruan—pasti kekeliruan. Ia tahu Pound asrama campuran…tetapi memangnya ada kamar campuran?


Cowok itu mengambil kotak dari tangannya dan menaruhnya di sebuah tempat tidur kosong. Tempat tidur di sisi lain kamar sudah tertutup pakaian dan kotak.


“Kau masih punya barang di lantai bawah?” tanya si cowok. “Kami baru selesai beres-beres. Kayaknya kami akan cari burger sekarang, mau ikut tidak? Sudah pernah ke Pear’s? Burgernya seukuran kepalan tanganmu.” Cowok itu meraih lengannya. Cath menelan ludah. “Kepalkan tanganmu,” katanya.


Cath menurut.


Lebih besar dari kepalan tanganmu,” ujar si cowok, sambil melepaskan tangannya dan mengambil ransel yang ditinggalkan Cath di luar pintu. “Kau masih membawa kotak lain? Pasti iya. Lapar tidak?”


Cowok itu jangkung, kurus dan berkulit kecokelatan, dan kelihatan seperti baru mencopot topi rajutan dari kepala, karena rambut pirang gelapnya mencuat ke segala arah. Cath melihat lembar pembagian kamarnya lagi. Apa ini Reagan?


“Reagan!” seru cowok itu gembira. “Lihat, teman sekamarmu sudah datang.”


Seorang gadis melangkah dari belakang Cath di ambang pintu dan menoleh dengan acuh tak acuh. Rambutnya lurus kemerahan dan di mulutnya terselip rokok yang belum dinyalakan. Si cowok mengambil rokok itu dan memasukkannya ke mulutnya sendiri. “Reagan, Cather. Cather, Reagan,” katanya.


“Cath,” koreksi Cath.


Reagan mengangguk dan merogoh tasnya untuk mengambil rokok lain. “Aku ambil sisi ini,” katanya, sambil mengangguk ke tumpukan kotak di sisi kanan kamar. “Tetapi tak masalah. Kalau kau percaya feng shui, pindahkan saja barang-barangku.” Ia lalu menatap si cowok. “Siap?”


Si cowok menatap Cath. “Ikut?”


Cath menggeleng.


Saat pintu tertutup di belakang mereka, ia duduk di ranjang tak berseprai miliknya—feng shui bukan masalah terbesarnya—dan menyandarkan kepala di dinding batu.


Ia cuma perlu menenangkan kegugupannya.


Mengusir kecemasan yang ia rasakan seperti kegelapan statis di balik mata dan jantung tambahan di tenggorokan, dan mendorong semuanya ke perut tempat semua itu seharusnya berada—tempat ia setidaknya bisa mengikatnya menjadi simpul kecil dan mengatasinya.


Ayahnya dan Wren akan naik kapan saja, dan Cath tidak mau mereka tahu ia hampir menangis. Kalau Cath menangis, ayahnya bakal ikut menangis. Dan kalau salah satu dari mereka menangis, Wren akan bersikap seolah mereka sengaja berbuat begitu, cuma untuk merusak hari pertamanya di kampus. Petualangan barunya yang indah.


Kau bakal berterima kasih kepadaku untuk ini, begitu kata Wren berulang-ulang.


Pertama kali ia mengatakannya adalah di bulan Juni.


Cath sudah mengirim formulir akomodasi universitasnya, dan tentu saja ia menulis nama Wren sebagai teman sekamar—tanpa berpikir dua kali. Mereka berdua sudah sekamar selama delapan belas tahun, kenapa harus berhenti sekarang?


“Kita ’kan sudah sekamar selama delapan belas tahun,” debat Wren. Ia sedang duduk di kepala ranjang Cath, sambil menunjukkan ekspresi Aku Lebih Dewasa-nya yang menyebalkan.


“Dan selama ini baik-baik saja,” balas Cath, sambil melambaikan lengan ke sekeliling kamar tidur mereka—ke tumpukan buku-buku dan poster Simon Snow, ke lemari baju tempat mereka menjejalkan semua pakaian, tanpa peduli sepanjang waktu siapa pemiliknya.


Ia sedang duduk di kaki ranjang, berusaha tidak kelihatan seperti Adik yang Selalu Menangis.


“Ini universitas,” Wren bersikeras. “Gunanya kuliah adalah bertemu orang baru.”


“Gunanya punya saudari kembar,” ujar Cath, “adalah tidak usah mencemaskan hal-hal seperti itu. Orang-orang asing aneh yang mencuri pembalut kita dan berbau badan seperti bumbu salad dan mengambil foto kita dengan ponsel saat kita tidur…”


Wren mendesah. “Kau bicara apa sih? Mana ada orang berbau seperti bumbu salad?”


“Seperti cuka,” jelas Cath. “Ingat tidak waktu kita ikut tur calon mahasiswa, dan kamar cewek satu itu baunya seperti bumbu salad?”


“Tidak.”


“Yah, pokoknya menjijikkan.”


“Ini universitas,” ulang Wren, putus asa, sambil menutup muka dengan tangan. “Seharusnya ini jadi petualangan.


“Memang sudah jadi petualangan.” Cath merangkak ke sebelah kakaknya dan menarik tangan Wren dari muka. “Memikirkannya saja sudah menakutkan.”


“Kita seharusnya berkenalan dengan orang baru,” ujar Wren lagi.


“Aku tidak butuh orang baru.”


“Itu cuma membuktikan betapa kau butuh orang baru…” Wren meremas tangan Cath. “Cath, coba pikir. Kalau kita bersama-sama terus, orang bakal memperlakukan kita seperti satu orang. Butuh empat tahun sebelum orang bisa membedakan kita.”


“Mereka cuma perlu memerhatikan lebih teliti.” Cath menyentuh parut di dagu Wren, tepat di bawah bibir. (Bekas kecelakaan kereta luncur. Mereka saat itu berusia sembilan tahun, dan Wren duduk di depan saat kereta menabrak pohon. Cath jatuh dari belakang ke salju).


“Kau tahu aku benar,” ujar Wren.


Cath menggeleng. “Tidak.”


“Cath…”


“Tolong jangan suruh aku melalui ini sendirian.”


“Kau memang tidak sendirian,” ujar Wren, sambil mendesah lagi. “Itulah gunanya punya saudari kembar.”


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 26, 2014 22:17

Ulasan Terjemahan A Love at First Sight & Juliet

Membaca postingan Selviya Hanna tentang apresiasi pembaca membuat saya kembali penasaran tentang respon terhadap terjemahan sendiri. Dulu saya pernah menemukan beberapa tanggapan positif untuk terjemahan Juliet, yang membuat saya sangat bersyukur. Setelah iseng mencari hari ini, saya menemukan banyak ulasan bagus untuk Juliet dan A Love at First Sight:


A Love at First Sight


“Novel te16003995rjemahan karya Jennifer E. Smith ini menggunakan sisi klasik dengan gaya bahasa yang detail dan unik. Penceritaan kisah cinta di kemas sedemikian mungkin walau dalam waktu yang singkat dan padat. Sisi klasik cinta pada pandangan pertama di bumbui dengan sisi budaya dan hidup urak-urakan ala pemuda zaman sekarang. Untung versi terjemahan bahasa Indonesia ini nyaman dibaca dan tidak menghilangkan rasa novel ini” (Kayla on Books)


“Juga, saya suka gaya bahasanya. Gak terlalu formal, tapi gak nge-ABG banget juga. Pas lah gitu kalau kata masakan :)” (Avife.com)


“Terjemahan Qanita ternyata bagus dan enak dibaca. Kualitas kertasnya baik. Ukuran buku yang mungil juga membuat buku ini pas di genggaman. Saya cukup puas.” (Reading in the Morning)


“Penerjemahannya bagus, namun saya sedikit tidak menikmati dialog – dialog pendeknya. Satu kata pendek dalam bahasa Inggris mempunyai lebih banyak makna daripada jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, jadi sepertinya di beberapa bagian lebih asyik untuk membaca bahasa Inggrisnya langsung.” (The Read Things)


Juliet


13482913“Untuk menamatkan novel setebal 700-an halaman ini memang menyita banyak waktu. Namun, ‘pengorbanan’ ini dibalas dengan sajian berkualitas yang setimpal. Semakin ke belakang kisah yang diangsurkan Anne Fortier semakin memikat. Semakin terungkapnya misteri, semakin sayang untuk dihentikan. Tidak ada rasa kecewa apalagi menyesal begitu saya berhasil menamatkan novel ini. Kenyamanan membaca novel ini, tentu saja, tidak lepas dari usaha yang dilakukan Linda Boentaram untuk menghasilkan karya terjemahan yang bagus.” (Dunia Buku)


“Meskipun buku ini sangat tebal, tapi sama sekali tidak membosankan. Selain bahasa terjemahannya yang mudah dipahami (untuk hal ini, saya pikir, Qanita adalah salah satu penerbit yang sering menerjemahkan karya-karya asing dengan baik), setiap bab nya memberi satu kenyataan baru, yang kadang menyesakkan dada.” (Morning Dew)


Saya mencoba mencari ulasan terjemahan saya yang lain, tetapi jumlahnya cuma sedikit dan tidak mengomentari gaya bahasa. Meskipun begitu saya sangat terhibur dan berterima kasih atas komentar-komentar positif untuk kedua “bayi” favorit saya ini. Tentu saja pujian juga harus dilayangkan kepada Prisca Primasari yang mengedit kedua novel tersebut. Mudah-mudahan waktu mengedit dulu nggak ngoyo ya, Pris, hehe…


Forever_Friends_Heart


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 26, 2014 22:08

Tentang Tarif Penerjemahan

Tulisan ini saya salin rekat dari komentar mas Indra Listyo di salah satu utas diskusi tentang acuan tarif penerjemahan terbaru dari Kemenkeu.



Dalam industri jasa penerjemahan, berbicara masalah harga sangatlah menarik. Persaingan usaha di dunia penyediaan jasa terjemahan tidak terlepas dari hukum persaingan usaha. Mengingat jasa terjemahan kini bukan lagi jasa yang terasa langka dalam hal kualitas, kuantitas, tempat dan waktu (dibaca: pihak yang dapat menyediakan jasa terjemahan dengan mutu yang baik, sesuai tenggat waktu, dengan harga yang terjangkau kini semakin mudah didapat dari waktu ke waktu), persaingan di industri ini cenderung memiliki struktur pasar sempurna, yang berlawanan dengan pasar monopoli.


Fakta bahwa semakin banyak pemain baru masuk ke dalam persaingan usaha di bidang usaha penerjemahan dan tidak adanya hambatan masuk yang diterapkan oleh komunitas pelaku usaha tersebut (organisasi profesi) dan pemerintah bagi para pemain di bidang usaha terjemahan (entry barrier) jelas membuat persaingan usaha di bidang ini menjadi ketat dari hari ke hari, dan bahkan ada yang menjurus ke level yang kurang sehat.


Banyaknya pemain yang menyediakan jasa terjemahan berkontribusi terhadap bervariasinya harga jasa penerjemahan, mulai dari yang super tinggi hingga super rendah atau bahkan ada yang menerapkan harga pemangsa/harga rugi (predatory pricing). Kondisi ini bisa ditafsiri ke berbagai arah.


Dalam dunia usaha terjemahan, klien cenderung melihat terjemahan sebagai sebagai produk dank lien akan melihat apakah harga tersebut pantas untuk dibayar [tentunya hal ini sangat bergantung pada bagaimana klien tersebut mempersepsikan pekerjaan penerjemahan. Di pihak lain, penerjemah cenderung melihat terjemahan sebagai proses/aktivitas yang tidak mudah dan memerlukan kecerdasan, pengetahuan dan pengalaman yang luas.


Tidak saja penerjemah yang mutu, pengalaman, wawasan dan harga bisa berbeda dari satu penerjemah ke penerjemah lain, demikian juga klien. Klien pun memiliki daya beli yang berbeda.


Secara umum dalam dunia persaingan usaha, penjual barang/jasa cenderung ingin memonopoli penjualan produk/jasa yang dijualnya kepada sebanyak klien mungkin dan sebaliknya konsumen cenderung untuk memperoleh harga serendah mungkin dengan mutu sebaik-baiknya dan jumlah sebanyak-banyaknya.


Namun, dengan banyaknya penyedia jasa terjemahan saat ini, kebebasan yang luas masuk para pemain baru dalam pasar persaingan usaha terjemahan (no entry barrier), akses informasi yang semakin mudah, yang semuanya menjurus pada persaingan sempurna telah membuat penetapan harga terbentuk lebih pada prinsip supply and demand, sehingga harga acuan/patokanpun sebenarnya tidak lagi relevan dalam struktur pasar seperti ini.


Menurut saya, pada akhirnya keseimbangan pasar alami akan terbentuk sendiri. Hanya masalah waktu saja, segmen-segmen pasar di industri penerjemahan ini akan terbentuk secara sendirinya. Pada akhirnya, akan tiba waktunya dimana kita harus memilih dan memutuskan segmen mana yang ingin kita masuki, bidang mana yang ingin kita fokuskan, klien mana yang ingin kita utamakan serta berapa tarif kita yang ingin dikenakan.



Terus terang, saya suka sedih jika semua penerjemah yang menetapkan harga di bawah acuan dicaci sebagai perusak pasar. Ini bukan berarti saya mendukung tarif murah yang dipasang secara tidak adil demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dan menjatuhkan sesama penerjemah. Namun kenyataannya pasar sangat sukar diperkirakan dan hampir semua klien berusaha mendapatkan jasa dengan harga semurah-murahnya, bahkan terkadang rela mengorbankan kualitas. Jangankan yang 50% lebih murah dari acuan tarif sekarang, yang lebih murah 30-40% saja mungkin sudah sukar sekali dapat klien. Mungkin saya pesimis karena banyak penerjemah yang mempunyai banyak langganan meskipun memasang harga tinggi, namun mereka yang belum banyak jam terbangnya atau belum mapan tentunya tidak mempunyai kuasa mengendalikan harga.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 26, 2014 00:25

February 15, 2014

Ingin Jadi Penerjemah (Buku)?

Linda B:

Menjadi penerjemah buku tidak mudah, tetapi juga tidak perlu gelar di bidang Sastra. Simak tips-tips mbak Nur Aini berikut ini :)


Originally posted on Zona Aini:





Aku ingin jadi penerjemah

, tapi aku bukan dari jurusan Bahasa. Bisa tidak?


Aku lulusan Biologi, lho. Master pula

:P

Kalau mau jadi penerjemah, harus pernah tinggal di luar negeri, ya?

Sampai saat ini aku belum pernah ke luar negeri, apalagi tinggal di sana.


View original


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 15, 2014 02:34