Amang Suramang's Blog, page 3

May 31, 2011

Arsitektur Kematian: Facade

Pada malam itu, kematian datang menemuiku.

"Akulah kematian," sapamu.
Aku mengangguk, kubilang kukenal ia.

Ia tampak heran.
"Darimana kau kenal aku?"

Maka kukatakan, ia kukenal saat kujabat tangan papaku sebelas tahun lalu.
Saat itu tak ada bedanya jabatan papa. Sama eratnya. Sama kuatnya. Hanya bedanya, papa tak lagi berkata-kata, ia tak lagi bernyawa.

Ia menggangguk.
"Itu memang aku."

Lalu kukatakan lagi, masihkah ia ingat saat hadir dua tahun lalu. Saat itu tak ada jabat tangan. Aku tersudut di ruangan. Membacakan dengan lantang, rima-rima sajak Daud. Menekur sendirian huruf demi huruf, mencoba menahan isak tangis dan serak suara. Menatap sesekali ke tubuh kakakku yang lemah dan lelah.

Lalu kematian datang seolah menepati undangan. Tepat ketika huruf terakhir kulafalkan, ia menepuk bahu kakakku, mengajaknya pergi. Ke keabadian, ia berucap seraya pergi bersamanya. Begitu saja. Tak menanti jawabanku.

Ia mengangguk lagi.
"Itu memang aku."

Aku beranikan diri menatapnya.
Karena ibuku kah ia datang, tanyaku.

Kematian mengangguk.
"Tapi bukan sekarang, kelak. Tunggulah, jangan kemana-mana."

Aku gantian mengangguk.
Tak beranjak.
Karena kehabisan kata-kata.


1 Juni 2011
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 31, 2011 19:33

Arsitektur Kematian: Berawal dari debu

Sejatinya aku ini debu. Berawal dari debu.

Ketika membeku, menjadi logam tuangan, dan gumpalan tanah berlekat-lekatan.
: Terang Ayub padaku. Aku mendengarkan dengan sayu.

Demikian juga selalu kuingat nas itu:
Sebab Dia sendiri tahu apa kita. Dia ingat, bahwa kita ini debu.

Kucoba genggam debu di tanganku.
Selalu luruh, tak tersentuh.
Lalu terbang ditiup angin senja.

Demikianlah debu. Itu aku yang kini terhampar di hadapan. Mikro. Tak kasat mata. Cuma menyesak ke dada. Entah untuk apa.

Debu, betapa rentan awal hidup ini.



Akhir Mei 2011
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 31, 2011 09:00

Arsitektur Kematian: Sebuah Pertanyaan Panjang

Hidup sampai hari ini adalah sebuah pertanyaan panjang, tanpa henti, tanpa titik, dan melulu koma.

Betapa sering lelah bergayut-gayut di pundakku, tetapi jawaban harus selalu dicari. Dalam siang. Malam. Temaram hingga gulana. Meski tangan terus mengapai, merapal doa mencari pegangan, tak jua jawaban atas pertanyaan ditemukan. Hidup, demikian ia, selalu menuntut jawaban.

Kupandang kematian dengan indah. Mulia. Pada akhirnya kita ke sana. Ke seberang, tempat dimana ada atau tiada tidaklah begitu penting. Tempat kepastian jawaban atas semua pertanyaan. Tempat jiwa berpulang pada ke haribaan. Jarakku dengan kematian begitu dekat, tetapi jauh.

Sekali lagi aku hidup. Melawan rencanaku. Selagi lagi aku hidup untuk mencari jawaban atas pertanyaan panjang.

Mengapa dia? Mengapa mereka?

Puisi-puisi yang menitik dari hujan deras.
Tempat kata-kata terburai dari langit.
Menyemai sedih di pelupuk mata.
Tanpa henti.

Mengapa?
Hidup sampai hari ini adalah sebuah pertanyaan panjang, tanpa henti, tanpa titik, dan melulu koma.



Akhir Mei 2011
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 31, 2011 08:56

Arsitektur Kematian: Sebuah Rencana

Rencana telah disusun. Kematian yang kukehendaki. Pada umur dewasa, saat mentari meliuk di tenggara, angin tak berhembus kemana-mana, telah ditetapkan kepergianku melawat ke kegelapan semata. Sendiri. Tak bersamamu. Kutulis namaku sendiri di epitaf. Amin.

Kuhembuskan keinginan kematianku yang pertama dari yang lain. Dalam kedipan, semoga putus riwayat dengan kefanaan ini. Tetapi masalah mendera. Bukan aku yang mati. Bukan aku yang sekarat di tempat tidur berseprai putih itu. Bukan aku yang berpacu dengan waktu.

Tapi justru aku berdiri memegang tanganmu. Aku tak terpejam menatap sinar hidupmu yang menghilang. Aku terus mendaraskan wahyu di telingamu. Aku justru hidup sampai hari ini.

Ini rumusan pertama: percuma menyusun rencana.



Akhir Mei 2011
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 31, 2011 08:13

May 19, 2011

Memandang Matahari Saat Senja

Kupanggil kau matahari, ibu, karena sinarmu selalu menerangi petak jalanku. Saat muncul akar pada benih dan dahan-dahan kecilku mulai menggapai langit, ke arahmu sebenarnya aku tumbuh. Cabang-cabangku mungkin merambah ke mana-mana, tetapi kiblatku tetap pada terang cahayamu.

Itulah sebab redupmu di saat senja, ibu, membuatku kuyup layu. Senja, yang biasanya demikian indah dengan semburat srengenge, kini tak ubahnya pintu ke kegelapan kehidupan. Sesaat aku takut ibu, jerih hati pada kesendirian.

Hendak kugebah kabut gelisahmu yang pekatnya menyaingi rambut putihmu, ibu. Hendak kunyanyikan lagu girang pada senja-senja masa datang, ibu. Agar setiap detik dalam petakan jalan menjadi penuh arti dan setiap memandang matahari saat senja, ibu selalu tahu aku sayang padamu.

Mei 2011
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 19, 2011 04:02

May 16, 2011

April 18, 2011

Kopi Kita

Sebetulnya di hadap kita menunggu secangkir kopi hangat. Namun kita sama-sama enggan memulai, pun sama-sama enggan menyudahi. Kita memang sama-sama keras kepala. Rela membiarkan waktu melantur sendirian. Cukup bertukar keteduhan lewat pandangan mata, seolah mengkritik kata yang lebih kerap jadi senjata. Kita memang sepakat untuk tetap duduk berdua, menanti jeda yang nantinya akan memisahkan kita. Mungkin bila tanpa jeda itu, kita bisa duduk berdua sampai selamanya, begitu setia. Meski untuk itu, secangkir kopi itu akan menjadi dingin dan basi. Tapi tak mengapa.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 18, 2011 06:54

Mengopi Sendiri

kita memang pernah berjanji untuk mengopi
entah untuk menyaksikan aroma yang menguar darinya
entah untuk mendekap kehangatannya
entah untuk menyesap nikmat rasanya
atau hanya untuk bertukar sapa semata
sebelum aku terlalu sepi karena mengopi sendiri.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 18, 2011 06:54

Matinya Kata

: Wakil Rakyat

Aku menyebutnya kiamat. Bukan karena bungkam mulut atau pena penulis patah. Bukan pula karena sunyi mesin ketik atau laptop tak lagi terjamah. Atau gerak mesin cetak di tempat-tempat percetakan terhenti, lalu jadi tugu peringatan pencerahan manusia.

Kiamat itu adalah saat kata kata menjadi mati tak berarti untuk menggapai hatimu, menorehkan kesan atau menitipkan pesan kami padamu. Tak sepatah kata pun, bahkan bisikan hatimu sendiri.

Padamu ada balok besar mengganjal lubang telinga, tembok batu menutup mata, dan kotak kayu jati menyimpan gemerlap harta duniawi menutup hati.

Ruh-ruh seperti Rendra, Widji Tukul, bahkan Chairil hanya berpuas menjadi teks-teks mati. Kata-kata mati di mulut kritikus itu sendiri. Lalu Seno Gumira membungkam sastranya, melarangnya bicara karena telah percuma. Apalagi jurnalisme.

Yang tersisa hanya bau kata-kata yang bertumpuk mati. Setiap hari dihadirkan pada kita di pintu-pintu. Di jalan-jalan. Di televisi. Di radio. Bahkan facebook dan twitter. Kata-kata tak ubahnya pengemis meminta-minta, mengetuk-ngetuk kaca jendela, berubah menjadi mimpi-mimpi, untuk kemudian naik terbang sirna ditiup derasnya angin.

Demikian potret kata-kata yang telah mati ditinggalkan. Setiap hari hadir dan berganti, tanpa sekalipun pernah berarti. Ia mati, dan kuyakin di hari ketiga ia tak akan bangkit laiknya Isa.


April 2011
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 18, 2011 06:52

March 30, 2011

Sebuah Surat Perpisahan

Genangan kenangan itu milik siapa bila bukan punya kita, bila bukan punyamu, bila bukan punyaku. Kerenyahan tawa, keriuhan canda, keseriusan tanya, kutipan jawaban, rangkaian kata sepakat dari semangat tanpa padam itu, siapa lagi pemiliknya selain kita, dirimu, dan aku.
Tubuh ini bukan lagi aku, kamu, melainkan kita. Darah dan dagingnya adalah kita. Deru nafasnya dan setiap jengkal langkahnya adalah kita. Kita dan hanya kita, kamu dan aku.

Bagaimana hendak kuberpisah dan menghentak diri untuk pergi, mencabut jantung dan memeras darah, untuk menjauh. Bagaimana mencerai anak dari ibunya. Gibran pun tak akan melakukannya pada Yusif El-Fakri. Ataupun Pramoedya pada Nyai Ontosoroh. Alpha tak ada artinya tanpa Omega. Yang pertama selalu memerlukan yang terakhir. Tidak, sekali kali tidak akan pernah dan jangan pernah berpisah.

Namun perpisahan sudah di depan mata. Niscaya dicegah. Ia hadir tak peduli, menengarai semua. Menjauhkan pantai dari ombak lautan. Menahan bulan dari gelap malam. Meredupkan api dari lentera.

Padam.
Perpisahan itu memang kejam.
Itu sebabnya surat ini tertulis dengan tangis dan darah.
Lalu tubuh malang ini melenggang hilang di kelengangan.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 30, 2011 23:42

Amang Suramang's Blog

Amang Suramang
Amang Suramang isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Amang Suramang's blog with rss.