Matinya Kata
: Wakil Rakyat
Aku menyebutnya kiamat. Bukan karena bungkam mulut atau pena penulis patah. Bukan pula karena sunyi mesin ketik atau laptop tak lagi terjamah. Atau gerak mesin cetak di tempat-tempat percetakan terhenti, lalu jadi tugu peringatan pencerahan manusia.
Kiamat itu adalah saat kata kata menjadi mati tak berarti untuk menggapai hatimu, menorehkan kesan atau menitipkan pesan kami padamu. Tak sepatah kata pun, bahkan bisikan hatimu sendiri.
Padamu ada balok besar mengganjal lubang telinga, tembok batu menutup mata, dan kotak kayu jati menyimpan gemerlap harta duniawi menutup hati.
Ruh-ruh seperti Rendra, Widji Tukul, bahkan Chairil hanya berpuas menjadi teks-teks mati. Kata-kata mati di mulut kritikus itu sendiri. Lalu Seno Gumira membungkam sastranya, melarangnya bicara karena telah percuma. Apalagi jurnalisme.
Yang tersisa hanya bau kata-kata yang bertumpuk mati. Setiap hari dihadirkan pada kita di pintu-pintu. Di jalan-jalan. Di televisi. Di radio. Bahkan facebook dan twitter. Kata-kata tak ubahnya pengemis meminta-minta, mengetuk-ngetuk kaca jendela, berubah menjadi mimpi-mimpi, untuk kemudian naik terbang sirna ditiup derasnya angin.
Demikian potret kata-kata yang telah mati ditinggalkan. Setiap hari hadir dan berganti, tanpa sekalipun pernah berarti. Ia mati, dan kuyakin di hari ketiga ia tak akan bangkit laiknya Isa.
April 2011
Aku menyebutnya kiamat. Bukan karena bungkam mulut atau pena penulis patah. Bukan pula karena sunyi mesin ketik atau laptop tak lagi terjamah. Atau gerak mesin cetak di tempat-tempat percetakan terhenti, lalu jadi tugu peringatan pencerahan manusia.
Kiamat itu adalah saat kata kata menjadi mati tak berarti untuk menggapai hatimu, menorehkan kesan atau menitipkan pesan kami padamu. Tak sepatah kata pun, bahkan bisikan hatimu sendiri.
Padamu ada balok besar mengganjal lubang telinga, tembok batu menutup mata, dan kotak kayu jati menyimpan gemerlap harta duniawi menutup hati.
Ruh-ruh seperti Rendra, Widji Tukul, bahkan Chairil hanya berpuas menjadi teks-teks mati. Kata-kata mati di mulut kritikus itu sendiri. Lalu Seno Gumira membungkam sastranya, melarangnya bicara karena telah percuma. Apalagi jurnalisme.
Yang tersisa hanya bau kata-kata yang bertumpuk mati. Setiap hari dihadirkan pada kita di pintu-pintu. Di jalan-jalan. Di televisi. Di radio. Bahkan facebook dan twitter. Kata-kata tak ubahnya pengemis meminta-minta, mengetuk-ngetuk kaca jendela, berubah menjadi mimpi-mimpi, untuk kemudian naik terbang sirna ditiup derasnya angin.
Demikian potret kata-kata yang telah mati ditinggalkan. Setiap hari hadir dan berganti, tanpa sekalipun pernah berarti. Ia mati, dan kuyakin di hari ketiga ia tak akan bangkit laiknya Isa.
April 2011
Published on April 18, 2011 06:52
No comments have been added yet.
Amang Suramang's Blog
- Amang Suramang's profile
- 32 followers
Amang Suramang isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.

