Amang Suramang's Blog, page 4
March 30, 2011
Sebotol Minuman Dalam Gelas Menanti Jawaban Atas Ribuan Pertanyaan
Kutenggak pertanyaan yang kau lontarkan tentang hubungan kita. Kali ini aku malas untuk mengulumnya lama-lama di mulut. Kubiarkan saja semua itu tertelan dan bermalam di perutku yang kosong karena lupa makan. Perih. Aku lupa kalau punya maag, tapi biarlah. Itu sepenuhnya salahku. Bukan karena menenggaknya. Tapi karena aku terlalu lama membiarkan sebotol minuman dalam gelas menanti jawaban atas ribuan pertanyaan. Kepalaku mulai berat. Mataku sayu memandangmu. Juga yang lain. Dalam samar kulihat langit terbelah. Setan tertawa melihatku yang terkapar. Malaikat melihat jijik seperti melihat lintah sawah. Tak kulihat tuhan. Mungkin ia sedang merumuskan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan manusia. Jawaban-jawaban besar yang ia lukiskan di alam, ia jabarkan lewat nabi, untuk kita terjemahkan. Aku selalu melihatnya, tapi tak pernah mampu menerjemahkan. Mungkin karena kebodohanku sendiri. Sama seperti membiarkan sebotol minuman dalam gelas menanti jawaban atas ribuan pertanyaan.
Ada sebotol minuman dalam gelas menanti jawaban atas ribuan pertanyaan. Tapi aku keburu menghilang dalam senyap malam.
Published on March 30, 2011 23:33
September 16, 2010
Batang Sungai di Matamu
Siapa yang menanam batang sungai di matamu?hingga tak surut air mata mengalir setiap hari
tak pernah lelah untuk mengering
mili sampai ke ujung-ujung kaki
mengalir deras hingga membentuk kubang di halaman rumah
entah siapa yang menanam batang sungai itu
kini telah ada kubang di sana
di hadapan semua yang menganggapnya cuma bencana
kau maju lalu menundukkan kepala
sepenggal kenang terjatuh masuk ke dalamnya
kotor bercampur lumpur dan berak ternak
tapi air mata tetap mengalir
meski kaki telah terbenam semakin dalam
Published on September 16, 2010 09:06
Kemarau
Seketika aku benci kemarau. Pada jejak-jejak retak yang ditinggalkan pada padang ilalang. Pada sungai yang kehilangan airnya. Rontokan daun jati melarak di sepanjang jalan. Terkulai. Pasrah dalam sakratul maut. Bumi yang kerontang.
Kesadaran yang meleleh. Meninggalkan rasa takut berkepanjangan akan sebuah musim. Paceklik panjang. Tanpa tanda-tanda kapan kelak akan berakhir. Terpaku pada ramalan yang tak pernah tepat memastikan. Hanya kematian yang selalu datang tepat, seperti waktu.
Kesadaran yang meleleh. Meninggalkan rasa takut berkepanjangan akan sebuah musim. Paceklik panjang. Tanpa tanda-tanda kapan kelak akan berakhir. Terpaku pada ramalan yang tak pernah tepat memastikan. Hanya kematian yang selalu datang tepat, seperti waktu.
Published on September 16, 2010 09:00
April 13, 2010
Sedih sekali, ini malam hujan tak datang
Sedih sekali, ini malam hujan tak datang
puisi pun enggan menghampiri
dan sepi seperti tak sudi bermain lagi
begitu kosong, mengundang tanya
Jadi kuantar lelahku untuk tidur
setelah ia sibuk mengotak-atik kata
dengan perkakas aksara yang ada
Kubentangkan selimut dari perca
lalu kunyanyi lullaby nina bobo
"Lelah bobo, o lelah bobo,
kalau tidak bobo, kau kan diterkam waktu"
Tidur pulas lelahku di sofa
mendengkur dalam sukacita
sementara aku masih berjaga-jaga
sembari mencoba memetik kata dari angkasa
Sedih sekali, ini malam hujan tak datang!
Begitu kosong
bahkan kata pun tak mau berbunyi
yang ada hanya sebuah koma
dari hamparan aksara.
Jakarta, 2010
puisi pun enggan menghampiri
dan sepi seperti tak sudi bermain lagi
begitu kosong, mengundang tanya
Jadi kuantar lelahku untuk tidur
setelah ia sibuk mengotak-atik kata
dengan perkakas aksara yang ada
Kubentangkan selimut dari perca
lalu kunyanyi lullaby nina bobo
"Lelah bobo, o lelah bobo,
kalau tidak bobo, kau kan diterkam waktu"
Tidur pulas lelahku di sofa
mendengkur dalam sukacita
sementara aku masih berjaga-jaga
sembari mencoba memetik kata dari angkasa
Sedih sekali, ini malam hujan tak datang!
Begitu kosong
bahkan kata pun tak mau berbunyi
yang ada hanya sebuah koma
dari hamparan aksara.
Jakarta, 2010
Published on April 13, 2010 08:44
April 10, 2010
Selepas Hujan Berhenti
Serupa awan, rindu berarak-arak penuh semarak di kejauhan. Tak perlu menunggu lama pastilah rintiknya membasahi ladang pematang. Susuri setiap petakan sawah hati yang terlampau lama dilanda kemarau sepi berkepanjangan.
Aku berdiri tak jauh dari sebatang pohon. Diam saja. Sudah lama aku begitu. Menyesap setiap serpihan senyap dalam udara yang gerah, menatap ke langit dengan penuh harap, seakan hendak menguji teori tentang kerinduan hujan pada bumi. Jika pada saatnya nanti hujan merintik ke bumi, terbukti sudah sebuah setia yang niscaya.
Bersama sorak yang kupekikan, tetes demi tetes berpacu lomba jatuh. Kutadahkan tangan. Menari dalam tetabuhan tambur hati. Sesuka hati. Merayakan sebuah setia yang niscaya hingga tetes terakhirnya.
Meski selepas hujan berhenti, aku kembali berteori
: akankah hujan kan kembali?
Aku berdiri tak jauh dari sebatang pohon. Diam saja. Sudah lama aku begitu. Menyesap setiap serpihan senyap dalam udara yang gerah, menatap ke langit dengan penuh harap, seakan hendak menguji teori tentang kerinduan hujan pada bumi. Jika pada saatnya nanti hujan merintik ke bumi, terbukti sudah sebuah setia yang niscaya.
Bersama sorak yang kupekikan, tetes demi tetes berpacu lomba jatuh. Kutadahkan tangan. Menari dalam tetabuhan tambur hati. Sesuka hati. Merayakan sebuah setia yang niscaya hingga tetes terakhirnya.
Meski selepas hujan berhenti, aku kembali berteori
: akankah hujan kan kembali?
Published on April 10, 2010 08:42
Amang Suramang's Blog
- Amang Suramang's profile
- 32 followers
Amang Suramang isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.

