R.D. Villam's Blog, page 2

June 30, 2019

Lomba Review The Emperor

Friends,
Saya mau bagi-bagi voucher beli buku terbitan Elex Media Komputindo di toko buku online Gramedia.com. Jumlahnya 5 lembar senilai masing-masing Rp 50.000.

Jika tertarik, ikuti Lomba Review novel terbaru saya, The Emperor, yang berlangsung di Goodreads s/d tanggal 31 Juli 2019.
The Emperor

Masing-masing pemenang akan mendapatkan satu lembar voucher. Lumayan lho buat diskon beli buku di Gramedia.com. :D

Bagaimana cara ikutan lombanya? Sila ikuti salah satu akun saya di
Twitter: @rdvillam
Instagram: @rdvillam2
Facebook: @rdvillam
untuk mendapatkan informasi lebih jauh.

Terima kasih dan salam hangat.

Villam
2 likes ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 30, 2019 19:19

May 28, 2017

Indonesia 2045 - Chapter 1.1

Ryo

“Satryo Mahardika. Gerbong 9 kursi 14A, Java Express.”

Gue melangkah keluar dari area pemindaian, lalu menunggu adik sepupu gue yang mengantre di belakang. Dia merapikan rambut gondrongnya yang berantakan, lalu nyengir ke arah kamera di atap ruangan. Sekelebat sinar biru melintasi tubuhnya. Suara cewek yang sama terdengar samar-samar, berhubung gue masih berdiri di dekat pintu.

“River Harjuno Bagaskara. Gerbong 9 kursi 14B, Java Express.”

Mirip dengan suara cewek yang selalu bawain berita di tivi internet. Enak didengar, jernih, manusiawi, tetapi tentu saja cuma imitasi. Gak ada wanita betulan yang punya suara seperti itu. Tetapi kalo memang ada, gue harap dia benar-benar cantik.

Lepas dari gaya noraknya, River bergegas mendekati gue. Dia tampak gelisah dan berkali-kali menepuk tas di pinggangnya.

“Ada yang ketinggalan?” tanya gue setengah nuduh.

Dia menggeleng, belum mau bilang. Gue mengangguk, pura-pura gak peduli, dan bergegas menuju kereta yang baru saja berhenti di samping peron.

Java Express, si Peluru Perak itu tampil megah dan cantik seperti biasa. Dengan lebar empat meter dan tinggi enam meter, setiap gerbongnya terdiri dari dua lantai dan mampu menampung dua ratus orang dalam kondisi semua duduk nyaman. Kali ini jumlah gerbong ada sekitar dua puluh, jadi total penumpangnya berarti … banyak deh.

Pokoknya, ini kereta yang gede, dan juga rapi. Betul, kadang jumlah penumpang bisa lebih dan sebagian terpaksa berdiri. Jadi kelihatan gak mutu untuk ukuran jaman sekarang. Tapi itu gak masalah. Toh waktu tempuh dari Surabaya di timur sana sampai ke Halimun cuma satu jam, sementara dari kota gue, Tidar, ke Halimun cuma setengah jam. Sekali-sekali berdiri selama satu jam gak ada apa-apanya dibanding kebiasaan para pendahulu kita puluhan tahun yang lampau, yang rela berdiri dua jam atau lebih di dalam bis demi ngantor ke Jakarta. Atau yang lebih sadis, dua belas jam berdesak-desakan di dalam kereta hanya demi bisa pulang Lebaran. Orang-orang tua kita emang luar biasa, ya?

Kami masuk melalui pintu geser otomatis di belakang gerbong, melewati portal putar yang hanya memberi akses masuk untuk penumpang yang sudah terdaftar. Sewaktu gue kecil teknologi pemindaian di stasiun belum secanggih ini. Almarhum Ayah sering ngajak gue jalan-jalan naik kereta, ke berbagai kota di Jawa, dan ia selalu membawa kartu berisi chip yang menyimpan berbagai data si pemilik kartu, termasuk saldo kereta. Sekarang, cukup memindai DNA, cek wajah dan retina mata, kita gak perlu membawa apa-apa lagi. Tinggal menyebutkan tujuan, maka komputer akan mendata lalu menempatkan kita di kursi masing-masing tanpa perlu berebut. Perbedaan lainnya, dulu kereta juga sudah menggunakan listrik, namun jalurnya masih terbatas dan harus berbagi popularitas dengan bis atau mobil pribadi. Sekarang? Dengan kereta semuanya serba mudah, murah, dan sangat cepat.

River menemukan kursi-kursi kami, dan gue duduk di sebelahnya. Tadi sempat gue perhatiin yang naik dari Stasiun Tidar mungkin hanya belasan orang. Lebih banyak yang dari Solo, Malang atau Surabaya. Komputer di dalam kereta langsung menyapa kami melalui layar yang terpasang di punggung kursi penumpang di depan kami.

"Selamat pagi, Satryo. Selamat pagi, River. Silakan menikmati perjalanan bersama Java Express. Perjalanan ke Halimun akan menempuh waktu tiga puluh menit. Kereta akan tiba di Stasiun Utama pada pukul 06.50 Waktu Indonesia Bagian Barat." Dan selanjutnya, dan selanjutnya. Suara cewek yang sama kayak tadi. Sopan dan informatif. Yang selalu gue dengar tiap pagi. Bosan? Gak sih, cuma rutinitas biasa.

Tak lama kereta berjalan. Awalnya perlahan, tetapi begitu keluar meninggalkan kubah kota kereta melaju kencang bagai peluru. Ya, gak secepat itu sih, tetapi lumayan untuk membuat gue gak bisa lagi menikmati pemandangan di luar jendela. Yang ada malah jadi pusing kepala. Gak heran sebagian besar penumpang sudah memilih menutup layar jendela sejak tadi. Gue memejam sejenak, kemudian menoleh, begitu mendengar River mendesah. Sesuatu di layar hologram smartwatch-nya membuat dia kembali gelisah.

---

lihat kelanjutannya di
Indonesia 2045 - Chapter 1.1
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 28, 2017 20:55

October 13, 2014

[Excerpt] Anak-Anak Dunia Mangkuk – Chapter 1

Petikan dari buku Anak-Anak Dunia Mangkuk. — Bab 1 Dunia Mangkuk oleh R.D. Villam “Dunia ini seperti mangkuk kayu yang biasa kalian pakai untuk makan dan minum. Kalian yang tinggal di lembah seperti hidup di dasarnya, dan pegunungan batu yang mengelilingi lembah adalah dindingnya.” Itulah
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 13, 2014 22:00

October 5, 2014

[Excerpt] Estarath: Quazar dan Ksatria – Chapter 1

Petikan dari buku Estarath: Quazar dan Ksatria. — Bab 1 Di Tepi Padang Rumput oleh R.D. Villam   Elniri Selatan, 10 P.E.[1] Lolongan panjang terdengar di kejauhan. Yang langsung diikuti lolongan-lolongan berikutnya, sahut-menyahut dari balik kegelapan malam. Itu adalah suara-suara yang biasanya cukup untuk mendirikan
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 05, 2014 19:00

October 1, 2014

Estarath: Quazar dan Ksatria – a Prologue by R.D. Villam

SunsetKarang dan lautan.


Ujung dunia, gerbang menuju tanah Dewa Kematian. Indah menggetarkan, sekaligus menakutkan bagi hampir semua orang di daratan ini. Tetapi bagi Anthravai, lebih dari rasa takut, itu adalah tempat yang paling ia benci di seluruh dunia.


Ia sudah pernah pergi ke tempat-tempat yang paling jauh dan berbahaya di padang rumput, menghadapi prajurit-prajurit musuh dari berbagai suku dan juga serigala-serigala buas terkejam. Ia sudah pernah kehilangan banyak teman, dan beberapa kali hampir kehilangan nyawanya sendiri. Tetapi dari semua itu tak ada tempat yang paling diingatnya, dan terus menghantuinya dalam mimpi atau bayang-bayang, selain karang dan lautan.


Ketika pertama kali datang ke tempat ini lima tahun yang lalu Anthravai masih berumur tiga belas tahun, sedangkan kakaknya, Altarri, dua puluh dua tahun. Altarri adalah seorang prajurit muda luar biasa, yang seharusnya suatu hari nanti bakal menjadi kepala suku terhebat di Elniri. Seseorang yang kelihatannya tidak pernah takut pada apapun, dan karenanya—semua orang percaya—akan menaklukkan apapun musuh yang datang kepadanya. Maka ketika Altarri mengajak Anthravai untuk pergi ke pegunungan karang di utara untuk mencari oggdril, hewan terbuas di daratan, ia mengikutinya, walau dengan sedikit ragu.


Ya, rasa takut dan ragu itu tentu ada. Pada umur tiga belas tahun belum pernah sekalipun Anthravai membunuh rusa atau kerbau. Ia memang pernah mengikuti perburuan beberapa kali, tetapi ia bukan termasuk deretan pemburu muda terbaik di sukunya. Jadi bagaimana bisa sekarang ia ikut berburu oggdril? Namun Altarri meyakinkannya, mempercayainya.


“Kau akan jadi seseorang yang berbeda hari ini,” Altarri berkata. “Sepulang dari tebing kau bisa bilang pada semua orang, pada Ayah, pada semua gadis, bahwa kau telah membunuh oggdril.”


“Ini tidak akan mudah,” balas Anthravai.


“Tidak, sama sekali tidak. Tetapi ikuti saja kata-kataku, dan jika aku tidak ada, nalurimu sendiri. Kau bisa, percayalah.”


Tentu saja mudah baginya berkata seperti itu. Di usia yang sama dulu Altarri berhasil membunuh oggdrilnya yang pertama. Tetapi apa itu berarti Anthravai bisa melakukannya juga?


Seolah tahu apa yang ia pikirkan, Altarri menertawainya. “Kalau kau tetap bingung, berusahalah untuk tidak mati, itu saja. Jika kau mati, semua ucapanku tadi tidak ada artinya.”


Bukan nasihat yang benar-benar bagus, apalagi ketika Altarri melanjutkan, “Toh kalau kau mati dan nanti bertemu Kuirohai, aku tidak punya nasihat untukmu.”


Tetapi entah bagaimana akhirnya Anthravai mempercayainya, seperti kakaknya mempercayainya.


Altarri telah menjelajahi pegunungan karang sebanyak sepuluh kali, lebih banyak daripada kebanyakan orang. Ia memiliki kebencian khusus pada oggdrill, yang tumbuh bukan karena amarah, melainkan karena keyakinan yang pekat pada salah satu ajaran Lurukui, si dukun tua yang konon sudah hidup melewati sepuluh generasi sebelum akhirnya wafat beberapa waktu lalu. Sebelum meninggal Lurukui meninggalkan pesan pada Altarri, bahwa kematian dan kehancuran akan datang dari utara, lebih cepat daripada yang pernah dibayangkan semua orang.


Oggdrillah pembawa kematian itu, Altarri menjelaskan pada Anthravai. Menurutnya Lurukui telah memberi petunjuk sejak dulu bahwa suatu hari nanti kawanan oggdrill akan berkembang semakin besar dan akhirnya akan turun dari wilayah pegunungan untuk membinasakan semua orang yang tinggal di kaki gunung hingga ke padang rumput. Oggdrill adalah makhluk buas ciptaan Kurohai yang seharusnya tetap tinggal di seberang lautan dan tak sepantasnya tinggal di tanah Elniri.


Namun sang ayah yang juga kepala suku, Khargarri, sayangnya tidak percaya. Menurutnya oggdrill telah tinggal di pegunungan sejak awal masa, seperti halnya serigala kelabu atau hewan-hewan lain di padang rumput, dan walaupun semua hewan itu kadang keluar dari sarangnya dan menyerang manusia, mereka bukanlah ancaman yang sangat berbahaya. Lebih banyak kematian justru dibuat manusia sendiri, yang seringkali saling berperang hanya untuk memperebutkan tanah perburuan.


Altarri tetap pada pendiriannya. Bersama beberapa temannya ia pergi ke pegunungan karang. Mereka membunuh cukup banyak oggdrill, pulang dan kemudian pergi lagi. Setiap kali pergi pasukan pemburunya semakin besar dan mereka membunuh semakin banyak. Sampai akhirnya tiba saat penentuan. Kawanan oggdrill terdesak hingga ke ujung pegunungan karang, terpojok di depan lautan. Satu pukulan terakhir akan membinasakan hewan-hewan itu selamanya. Ini saat yang paling penting, dan Altarri ingin Anthravai pergi bersamanya. Walau demikian Altarri ingin memberi serangan kejutan, dan karenanya hanya membawa segelitir prajurit.


Mereka menaiki pegunungan hingga akhirnya tiba di wilayah terjauh. Di tempat ini batu-batu karangnya yang tajam hampir seluruhnya berwarna hitam seolah terbakar sinar matahari selama beratus-ratus tahun. Tidak ada rumput atau tumbuhan sedikit pun, jauh berbeda dibanding desa-desa di kaki pegunungan.


Mereka bersembunyi di balik bayang-bayang batu besar. Di barat matahari hampir terbenam. Dari utara, di balik ujung-ujung tebing, terdengar suara gemuruh bertalu-talu yang lebih menggetarkan daripada suara angin yang paling kencang sekalipun. Anthravai belum pernah mendengar suara-suara itu, tetapi ia tahu dari banyak cerita, itulah suara ombak lautan memecah karang. Konon di sanalah, sedikit lagi, jalan menuju ujung dunia, tempat orang-orang mati. Ngeri, Anthravai belum ingin membayangkan seperti apa lautan yang akan ia lihat nanti.


Altarri, setengah berlutut, memperhatikan mulut gua di kaki tebing tak jauh di depan mereka. Rambut panjangnya tergerai sampai ke belakang punggungnya yang berotot, menutupi gambar tato berbentuk lingkar-lingkar akar pohon berwarna hitam. Setahu Anthravai, setiap kali kakaknya pulang dari pertempuran lingkaran akar-akar itu selalu bertambah satu. Kini gambar tato itu sudah tersebar di sekujur punggung sampai ke pundaknya.


Anthravai dan para prajurit menunggu dengan jantung berdebar sambil menggenggam tombak atau pedang erat-erat. Tak ada yang berani bersuara, dan mungkin, untuk sesaat tak ada yang berani mengambil napas. Altarri membuka telapak tangan kanannya dan menempelkannya di permukaan batu di depan kakinya. Tubuhnya menegang, punggungnya membungkuk. Dari mulutnya terdengar siulan pelan, hampir seperti tiupan angin.


Ketika kakaknya menoleh, Anthravai tertegun. Jantungnya berhenti berdetak. Altarri menatapnya dengan sepasang mata yang sangat asing, yang tak lagi hitam, melainkan kuning, lebih cerah daripada warna rumput. Kaget, Anthravai gemetar, namun untunglah kakaknya lalu tersenyum.


“Belasan kadal dan ular, tak berbahaya, di sana, bersembunyi,” ujar Altarri setengah berbisik seraya menunjuk ke berbagai arah. “Tak ada lagi kelinci atau rusa gunung di tempat ini, jadi kadal-kadal itulah yang terpaksa jadi makanan oggdrill.”


“Dan oggdrillnya?” suara gugup seorang prajurit terdengar.


“Empat. Dua jauh di dalam gua, dua lagi tak jauh di depan.”


“Ba—bagaimana kau tahu?” tanya Anthravai bingung, dan heran karena para prajurit sepertinya tak begitu terganggu dengan hal itu. Sesaat rasa takutnya menghampiri lagi ketika ia menerima tatapan kakaknya. Sepasang mata kuning itu, di mana rasanya ia pernah melihatnya sebelum ini?


Apakah itu … mata serigala?


 “Torahai memberitahuku,” Altarri menjawab.


Dan Torahai bisa memberitahu kita? Langsung lewat tanah atau batu? Anthravai bertanya-tanya lagi dalam hati dengan perasaan campur aduk. Ia percaya bahwa konon para dewa memang bisa memberi petunjuknya pada orang-orang tertentu, seperti pada Lurukui—itulah yang dipercayai oleh semua orang. Tetapi baru kali ini ia tahu kakaknya memiliki kemampuan serupa. Bagaimana Altarri bisa mendapatkannya? Dan kenapa dia tidak pernah bilang pada orang-orang lainnya, kecuali pada beberapa temannya di sini yang kelihatannya sudah tahu lebih dulu?


Yang jelas, jika memang semua itu benar, bahwa Altarri telah mendapat semacam berkah dari dewa selama ini, tidak heran jika ia selalu bisa tahu posisi musuh-musuhnya berada, dan selalu menang bertempur! Ia seorang prajurit dengan keterampilan berpedang tak tertandingi. Ditambah kemampuan uniknya ini, sudah pasti membuatnya tak terkalahkan! Namun saat raut wajah Altarri mengeras Anthravai tersadar, mungkin tidak semuanya semudah atau sesederhana yang ia bayangkan.


“Musuh terakhir kita, kawan-kawan.” Altarri menatap tajam ke arah gua. “Perburuan terakhir. Enam orang,” tunjuknya, “ikut aku. Empat lainnya berjaga di sini. Anth, kau di sini juga.”


“Tapi bukannya kau ingin aku ikut denganmu, untuk membunuh hewan itu?” tanya Anthravai. Gairahnya tiba-tiba muncul tanpa ia duga, membayangkan bagaimana ia bisa bertempur di samping kakaknya untuk membunuh oggdrill terakhir.


“Kau akan mendapat kesempatanmu, di sini. Akan ada yang keluar, dan kau bisa membunuhnya. Mengerti?”


“Y—ya,” antara gugup, kecewa sekaligus lega Anthravai menjawab. Mungkin memang lebih baik begitu.


Altarri termangu, lalu mengangguk. “Hati-hati.”


Sesudah mengucap kata-kata terakhir itu, yang mestinya lebih cocok diucapkan oleh Anthravai, Altarri mengendap-endap masuk ke dalam gua, diikuti enam orang prajurit.


Anthravai menunggu di luar bersama empat prajurit lainnya. Matahari sudah menghilang di balik dinding-dinding batu di sebelah barat, dan malam semakin gelap karena bulan—yang malam ini seharusnya purnama—tertutup awan tebal. Untungnya setelah beberapa lama Anthravai bisa membiasakan penglihatannya dan melihat lebih jelas dalam gelap. Dari balik tebing di utara gemuruh ombak yang menghantam dinding karang tanpa henti terdengar semakin keras. Anthravai dan para prajuritnya berusaha tak terpengaruh dan terus memasang telinga.


Ia lalu mendengarnya; jeritan panjang dari dalam gua.


Beberapa kali, sahut menyahut.


Lalu, setelah beberapa lama, berubah hening.


Anthravai dan para prajurit saling memandang. Tak satu pun berani bicara. Tak ada yang berani membayangkan apa yang tengah terjadi di dalam sana. Mudah-mudahan hewan-hewan buas itulah yang mati, dan Altarri bisa keluar dengan selamat.


Jeritan panjang terdengar lagi.


Kali ini suaranya terdengar makin keras. Makin dekat.


Demi Torahai, mereka keluar! Mereka keluar!


Anthravai bergegas bangkit. Kedua tangannya menggenggam tombak panjangnya erat-erat. Ia bersiap dengan jantung berdebar makin kencang. Teriakan-teriakan seseorang dan suara derap lari terdengar menggema dari dalam gua, akhirnya semakin jelas. Sosok gelap seorang prajurit muncul. Tiga orang berikutnya mengikuti. Anthravai dan para prajurit lainnya memberi jalan pada orang-orang itu untuk bersembunyi ke belakang mereka.


Kenapa cuma empat? Mana Altarri? Kenapa dia tidak muncul?


Belum sempat kebingungannya terjawab, sesosok raksasa bertubuh gelap mendadak muncul dari dalam gua, meraung kencang mengalahkan deburan ombak. Anthravai terpana. Sosok itu tingginya dua kali tubuhnya. Wajah makhluk itu belum sempat ia lihat, karena dalam sekejap satu kaki depannya sudah terayun kencang, menampar tubuh seorang prajurit di samping Anthravai. Prajurit itu mati sebelum sempat menjerit.


Prajurit lainnya langsung berteriak dan menusukkan tombak panjang mereka bersama-sama. Beberapa ujung tombak tampaknya berhasil menghunjam ke tubuh makhluk itu, namun dia tak peduli dan kembali sepasang kaki depannya menyambar. Tombak-tombak itu rontok dan beberapa prajurit menjerit meregang nyawa, entah dua atau tiga orang, tidak jelas. Ketakutan, Anthravai cepat-cepat mendorong tombaknya ke depan, tepat ke dada makhluk itu, dan terus mendorong semakin kuat.


Makhluk itu meraung. Anthravai yakin tusukannya mestinya sudah cukup dalam, tetapi itu sepertinya belum berpengaruh. Sepasang mata gelap hewan itu menatap lurus ke arahnya penuh amarah. Rahangnya terbuka lebar, menunjukkan taring-taring tajam di bagian atas dan bawahnya. Cakarnya kembali terayun. Panik, Anthravai buru-buru melempar tubuhnya ke celah tebing di belakangnya dan berusaha bersembunyi di sana. Oggdril melompat mengejar. Anthravai meringkuk ketakutan. Untungnya celah tersebut cukup sempit untuk bisa dilalui tubuh raksasa hewan itu. Hanya sebelah cakarnya yang bisa terayun ke dalam.


Makhluk itu meraung, lebih kencang daripada sebelumnya. Namun tiba-tiba ia terhenti. Cakar dan kepalanya terkulai, dan tubuhnya ambruk di celah tebing, tak bernyawa.


“Anth!” seruan Altarri terdengar.


Anthravai tersenyum lebar, perasaan leganya lepas tak terkira. Kakaknya menyelamatkannya!


“Aku di sini!” serunya. Napasnya naik turun. Rasa takut yang tadi menyelimutinya lenyap seketika seperti api unggun terhempas air sungai.


“Kau tidak apa-apa?”


“Ya!” Anthravai cepat-cepat berdiri, ragu sesaat, lalu menginjak kepala si hewan raksasa dan menyelinap melewati celah sempit di atasnya. Awan gelap yang sedari tadi menutupi purnama tersingkap dalam waktu hampir bersamaan. Kini ia bisa melihat sosok kakaknya yang berdiri khawatir tak jauh di depannya.


“Demi Torahai, kau selamat!” seru Altarri. Lalu ia menggeleng pelan dengan ekspresi wajah yang sulit diterka seraya mengamati para prajurit yang terbaring tewas atau terluka di sekelilingnya. Mungkin sedih, atau marah pada dirinya sendiri.


Anthravai turun dari atas tubuh oggdril, ikut memperhatikan. Dari sepuluh prajurit yang menyertai mereka, tinggal tiga orang yang masih berdiri tegak tak jauh di samping Altarri.


“Ada apa?” tanya Anthravai ragu.


“Aku tak tahu … rasanya ada yang aneh,” bisik Altarri ragu. “Di dalam tadi aku merasa kehilangan inderaku beberapa kali.”


Yang ia maksud dengan indera pastinya adalah kemampuannya melihat atau merasakannya itu.


“Inderaku seperti menipuku. Kadang aku hanya merasa ada tiga ekor di sana, atau bahkan dua, padahal sebenarnya, mestinya … ada empat.” ia terduduk setengah berlutut. “Rencanaku berantakan. Untung tiga berhasil kubunuh lebih dulu.”


Torahai tidak mungkin memberi pesan yang salah, karenanya Altarri menyalahkan dirinya sendiri, atau inderanya.


“Bukankah memang itu rencanamu?” kata Anthravai hati-hati. “Melepas satu ke luar? Untuk memberiku kesempatan?”


“Mestinya bukan yang ini. Ini pemimpinnya, dengan tubuh yang paling besar. Dia terlalu berbahaya. Seharusnya yang kecil saja yang keluar, supaya tidak ada banyak korban …”


“Ini sudah terjadi, Tuan,” kata seorang prajurit. “Yang penting kita sudah membunuh mereka. Kita menang. Kau menang!”


“Benar!” seru dua prajurit yang lain.


Altarri tak mempedulikannya. Ia masih terus bergumam sendiri. “… seperti ada sesuatu, yang menghalangiku berhubungan dengan Torahai. Sesuatu yang hidup di sini, lebih lama daripada siapapun. Lebih lama daripada … Torahai. Bayangkan itu! Dia …”


 “Kakak,” Anthravai buru-buru menyela karena tak suka melihat kakaknya tiba-tiba meracau seperti itu, “sebaiknya kita segera pergi.” Ini bukan waktunya untuk tiba-tiba menjadi gila, pikirnya. “Kita kubur yang mati di kaki gunung, dan—“


“Lima? Benar, lima.” Altarri membuka telapak tangannya dan menempelkannya di atas permukaan batu di depannya. “Aku ingat, aku tadi sempat merasa ada lima—”


Sekejap sesosok raksasa muncul dari balik kegelapan, datang menyambar, menabrak seorang prajurit lalu menampar tubuh Altarri yang masih berlutut dengan kekuatan tak terbayangkan. Anthravai tercengang melihat tubuh kakaknya terlontar jauh, melayang sampai ke ujung tebing, kemudian lenyap.


“Kakaaak!” ia berteriak histeris.


Dua prajurit yang tersisa menjerit marah, lalu menombak tubuh si hewan buas dari belakang. Hewan itu meraung kesakitan; dia seekor oggdrill dengan tubuh yang hampir sama besar dengan yang tadi mengamuk di depan mulut gua. Dia berputar marah. Cakar depannya berusaha meraih sepasang tombak yang tertancap dalam di punggungnya. Ia tampak menakutkan. Di bawah sinar purnama sepasang matanya menyorot tajam penuh benci.


Tetapi kali ini kebencian Anthravai telah menggelegak lebih dahsyat. Tanpa pikir panjang ia mencabut pedang dari samping pinggangnya lalu berlari, melompat tepat ke hadapan si makhluk raksasa. Ia berhasil lolos dari tamparan cakar oggdrill—hanya sejengkal jaraknya di atas kepalanya—kemudian menghunjamkan ujung pedangnya ke atas, tepat ke leher hewan tersebut. Darah segar menyembur. Jeritan memilukan terdengar.


Hewan itu terhuyung-huyung, menarik tubuh Anthravai ke samping, lalu tersungkur menindih pemuda itu. Oggdrill mengejang beberapa kali, sebelum akhirnya diam tak bergerak.


Dengan susah payah Anthravai berusaha menarik tubuhnya keluar dari himpitan hewan itu, lalu tanpa mempedulikan kedua prajurit yang kebingungan ia berlari ke ujung tebing.


“Kakaaak!” serunya panik sambil melihat ke bawah tebing.


Di sanalah ia melihat pemandangan mengerikan yang takkan pernah ia lupakan itu. Sejauh mata memandang hanya kegelapan yang tampak, walau jika dilihat dengan lebih baik di bawah sinar rembulan tampaklah larik-larik gelombang air yang datang bergulung-gulung dan pecah di dinding karang jauh di bawahnya. Suara gemuruh membuat hatinya merinding, yang lalu hancur begitu ia melihat tubuh kakaknya terbaring di atas batu karang dengan tubuh tercabik dan kepala hancur.


Ombak besar menggulung datang menelan tubuh tak bernyawa itu, membawanya lenyap ke lautan.


Kini, lima tahun kemudian, ia masih bisa mengingat semuanya dengan jelas, tak pernah hilang dari benaknya walau bagaimanapun ia berusaha melupakannya. Mungkin karena ia tak pernah benar-benar mau melupakan semua itu. Karena ia sadar, sampai kapan pun ia tak ingin melupakan sosok kakaknya, atau melupakan secuil kepuasan kala berhasil membunuh si oggdrill terkutuk. Dan juga, melupakan kata-kata kakaknya, tentang sesuatu yang mengganggunya di saat-saat terakhir. Sesuatu yang telah tinggal di pegunungan karang ini jauh lebih lama daripada Dewa Bumi.


Apakah itu mungkin? Apakah itu benar-benar ada?


Atau semua itu hanya kebingungan Altarri belaka?


Selama lima tahun Anthravai telah belajar banyak tentang para dewa. Tentang Fairahai, Torahai, Estrahai atau Kurohai. Ia percaya pada mereka, tentu saja, tetapi ia tetap belum menemukan jawaban yang paling ia cari. Tak pernah ada cerita atau tuturan lisan dari para tetua yang menyebutkan tentang sesuatu yang lebih tua daripada dewa-dewa. Kebencian Anthravai pada karang dan lautan tak pernah hilang, namun bersamaan dengan itu perasaan lain tumbuh: penasaran dan ingin tahu, yang semakin lama semakin besar hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk mencarinya sendiri. Setelah lima tahun ia kembali datang ke tempat ini.


Anthravai memperhatikan Qirir dan Burai, sepasang serigala kelabu yang bergerak mendahuluinya sepanjang jalan berbatu di antara dinding-dinding karang. Serigala-serigala ini berasal dari padang rumput, dari jenis yang paling ditakuti semua orang di sana. Tubuh mereka besar dengan tinggi sedada orang dewasa, dan memiliki nafsu membunuh tak tertandingi. Tetapi Anthravai bersahabat dengan mereka. Ia pernah bertarung, menaklukkan keduanya, dan mengampuni nyawa mereka. Sebagai balasannya hewan-hewan buas itu mengakui dirinya sebagai Tuan.


Dalam bahasa Elniri qirir dan burai berarti petir dan badai, dan nama-nama itu memang cocok. Qirir adalah serigala tercepat di padang rumput, sedangkan Burai sedemikian ganasnya sehingga takkan berhenti menyerang jika nafsu membunuhnya sudah berada di puncak. Anthravai memilih pergi ke pegunungan ditemani serigala-serigala ini dibanding bersama para prajurit. Mereka bisa mencium keberadaan oggdrill—jika hewan-hewan itu masih ada yang tinggal di sini—atau merasakan sesuatu yang aneh lainnya. Anthravai tidak memiliki kemampuan unik seperti Altarri, tetapi paling tidak sekarang ia pergi dengan hewan-hewan yang memiliki kemampuan hampir serupa.


Namun sepanjang perjalanan Anthravai tidak bertemu oggdrill seekor pun. Tampaknya Altarri memang telah membasmi hewan-hewan buas ini lima tahun yang lalu, paling tidak di pegunungan karang. Walaupun konon menurut beberapa orang sebagian hewan ini masih ada yang tinggal di pegunungan timur, cukup jauh di selatan. Tetapi Anthravai tak mempedulikan hewan-hewan yang jauh itu saat ini, sejauh mereka belum menjadi ancaman.


Matahari sudah hampir terbenam ketika akhirnya ia tiba di mulut gua tempat ia dulu membunuh oggdrill. Kedua serigalanya hanya mendengus, tak menunjukkan tanda-tanda mencium sesuatu. Namun ketika keduanya berjalan lebih jauh ke ujung tebing, tubuh mereka menegang. Hewan-hewan itu menggeram kemudian mendengking sambil berputar-putar seolah kebingungan. Mereka merasakan sesuatu. Bukan oggdrill, tetapi sesuatu yang lain dan belum mereka kenal.


Anthravai memandang berkeliling sambil menggenggam gagang pedangnya erat-erat, walau ia sama sekali tak yakin pedang bakal berguna jika sesuatu yang asing ini datang menyerang. Lautan luas terbentang di depannya, biru gelap di sebelah timur dan kemerah-merahan di sebelah barat. Bulatan matahari tak lagi tampak, namun cahayanya belum benar-benar hilang. Sekali lagi, indah, namun tak urung membuat hatinya bergetar gentar.


Ia teringat, selama lima tahun sudah beberapa kali ia pergi ke utara, ke sejumlah pantai untuk merasakan pasir dan air laut menyentuh kakinya. Selama itu rasa takutnya tak pernah lagi ada, malah seringkali justru rasa ingin tahunya yang timbul, tentang apa yang sebenarnya ada jauh di balik lautan, atau di seberang sana. Mungkin dunia kematian tidaklah semengerikan yang dikira banyak orang. Namun saat ini rasa takut itu kembali muncul. Keraguannya menyeruak. Apakah yang sebenarnya ia cari? Apakah sepadan ia pergi jauh-jauh kemari dan mungkin mengorbankan nyawa hanya untuk sekadar mencari jawaban?


Kemarilah.


Ia tertegun. Seseorang berbicara?


Tolong aku.


Seseorang, sesuatu, ada di sini. Di mana?


Di tempat ini? Atau hanya di dalam kepalaku?


Mungkin melawan kehendaknya sendiri ia memejamkan mata, dan membiarkannya terus terpejam beberapa lama.


Ia pun heran, ketika tersadar betapa rasa takutnya seolah lenyap tak bersisa. Ia merasakan dirinya melayang dalam gelap, seorang diri seakan terbuai dalam mimpi, dalam sebuah tempat sunyi di mana ia biasanya bertemu dengan para dewa; setidaknya itulah yang ia percayai selama ini setiap kali bermimpi.


Tetapi ini bukan mimpi biasa. Ini benar-benar terjadi.


Dalam gelap cahaya putih merebak dari salah satu sudut.


Ia bertanya-tanya apakah kini dewa-dewa berusaha mewujud di hadapannya? Atau justru sama sekali bukan mereka?


Cahaya itu semakin lama semakin terang menyilaukan, hingga pada satu titik akhirnya ia tak tahan lagi dan terpaksa membuka kembali matanya berusaha menghindar.


Karang dan hamparan lautan kembali padanya. Tanpa matahari semuanya gelap gulita. Namun kini ada satu yang berbeda. Di satu titik, cahaya dari dalam mimpi itu tetap menemaninya. Jauh di bawah sana, di bawah tebing. Tempat yang sama di mana kakaknya dulu terbaring tanpa nyawa sebelum lenyap tersapu ombak.


Anthravai melongok. Cahaya putih keluar dari salah satu celah karang, seperti lentera yang mengintip dari balik tenda di padang rumput. Kini dengan kesadaran yang jauh berbeda, ketika kedamaian dan kerinduan seakan menutupi seluruh rasa takutnya, ia kembali mendengar suara itu memanggil.


Turunlah.


Kali ini ia turun tanpa ragu.


Hati-hati ia merayap di dinding tebing. Dalam gelap tangan dan kakinya berusaha mencari celah di antara batu karang yang bisa ia gunakan sebagai pegangan atau pijakan. Deburan ombak menggelegar bertubi-tubi tak jauh di bawahnya, menyiramnya seolah ingin mengusirnya. Namun bulan sabit yang bertengger di ujung langit memberinya sedikit cahaya yang ia butuhkan. Ia berhasil turun di sebuah batu karang, dan di depannya tampaklah cahaya putih yang mengintip dari sela-sela tebing.


Dengan ujung bawah gagang pedangnya ia menghantam batu-batu karang di sekitar cahaya putih. Sebagian batu hancur seketika, bongkah-bongkahnya jatuh berguguran. Anthravai tidak paham, apakah batu-batu itu memang semudah ini dihancurkan, ataukah ia tengah diberkahi semacam kekuatan dewa. Namun ia tak berhenti dan terus menghantam. Ketika sebagian karang telah hancur ia akhirnya melihat, cahaya terang itu berasal dari balik dinding batu berwarna putih yang benderangnya kini membuat malam menjadi seperti siang. Darah berdesir kencang di bawah kulitnya. Apa yang kulakukan? Apa yang sedang kuhadapi sekarang?


Aku di sini.


Suara itu terdengar lagi, dari balik dinding batu.


Perlahan Anthravai mengangkat tangan kirinya menyentuh permukaan dinding batu. Rasanya dingin, jauh lebih dingin daripada air keramat Sungai Yaranon. Ia melepas sentuhannya.


Jangan takut.


Suara itu menjawab sebagai balasan.


Maka ia menyentuh dinding batu itu sekali lagi. Tak hanya lagi dengan satu atau dua jari, melainkan dengan seluruh telapak tangan. Sesuatu bergerak di balik dinding, seperti tiupan angin berwujud warna putih yang berputar perlahan, lalu perlahan-lahan menipis. Seperti kabut pekat yang perlahan menghilang. Kabut putih itulah yang memendarkan cahaya putih benderang tadi, dan kini di balik butir-butir cahaya yang makin tipis itu, dalam temaram, tampak sesosok wanita, tersenyum.


Mungkin itulah wanita tercantik yang pernah ia lihat. Rambutnya panjang berwarna hitam, menutupi dada dan sebagian perutnya yang telanjang. Sepasang matanya yang bundar dan sayu menatap Anthravai tanpa berkedip. Di dahinya tampak tiga buah lingkaran berwarna hitam. Wanita itu membuka mulut, seolah berbicara, dan suara itu terdengar lagi.


Bebaskan aku.


“Bagaimana?” tanya Anthravai lirih, ragu, seraya berpikir siapa sebenarnya wanita ini. Tidak mungkin dia seorang wanita biasa. Bahkan bisa jadi dia sama sekali bukan manusia. Namun di saat yang sama, Anthravai merasa tidak takut sama sekali.


Dari balik dinding wanita itu berjalan mendekatinya.


Kau tahu.


Tertegun dengan pikiran buntu mendengar jawaban tersebut, Anthravai lalu membebaskan wanita itu dengan satu-satunya cara yang ia tahu: dengan pedangnya. Ia menghantam dinding bening di depannya beberapa kali, menghancurkannya dengan kekuatan yang mungkin hanya bisa diberikan oleh para dewa. Dinding bercahaya itu pecah berkeping-keping, hancur menjadi butiran-butiran debu sebelum akhirnya lenyap tersapu gelombang.


Wanita itu menyentuhnya, memeluknya. Sentuhannya lembut dan pelukannya hangat, seperti manusia biasa, walaupun mungkin dia sama sekali bukan manusia.


Anthravai masih belum tahu siapa wanita berambut panjang ini. Tetapi pada titik itu ia tahu dewa-dewa telah menentukan takdir untuknya. Kini tak hanya jawaban, ia telah mendapatkan pula berkah yang lain, yang lebih bernilai daripada berkah yang telah diberikan dewa pada kakaknya.


Ini sebuah awal. Apapun yang terjadi nanti ia percaya ia tak perlu lagi membenci karang dan lautan. Mungkin di sana tak lagi hanya ada tanah kematian, melainkan juga dunia yang lain.


Dan mungkin, dunia itu ditakdirkan untuknya.



Sejenis hewan mirip beruang yang hidup di daerah pegunungan di Elniri. Tubuhnya besar dengan bulu berwarna hitam dan sepasang kaki depan yang lebih panjang daripada kaki belakangnya.


Dewa Kematian, pemilik arwah orang-orang mati dalam mitologi Elniri


Dewa Bumi dalam mitologi Elniri


Dewa Langit dalam mitologi Elniri


Dewa Kehidupan dalam mitologi Elniri


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 01, 2014 22:15

September 26, 2014

Penerbitan Indie: Kesempatan untuk Berkreasi dan Memilih

Suatu hari dulu saya pernah menulis ini di Forum: “Kalo gue liat sih mood penerbit buat nerbitin fantasi lokal itu biasanya ngikutin semacam kurva normal. Taun pertama antusias, taun kedua mulai ragu, taun ketiga terhenyak, taun keempat kapok (sampai entah kapan). Tapi ya itu, someday kekapokan mereka itu hilang dan karena suatu faktor tiba2 semangatnya [...]
 •  8 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 26, 2014 03:32

Penerbitan Indie: Kesempatan untuk Berkreasi dan Memilih

bitesSuatu hari dulu saya pernah menulis ini di Forum:


Kalo gue liat sih mood penerbit buat nerbitin fantasi lokal itu biasanya ngikutin semacam kurva normal. Taun pertama antusias, taun kedua mulai ragu, taun ketiga terhenyak, taun keempat kapok (sampai entah kapan).


Tapi ya itu, someday kekapokan mereka itu hilang dan karena suatu faktor tiba2 semangatnya bangun lagi. ada masa bulan madu berikutnya. Untuk kemudian mengikuti lagi siklus kurva naik turun selanjutnya. antusias, ragu, terhenyak, trus kapok lagi …”


“Butuh paling gak 50 jt buat nyetak 3000 eksemplar buku. Saat antusias penerbit mungkin berani abisin 250 jt buat nerbitin 5 judul buku dalam kurun satu atau dua tahun. Tapi waktu berlalu dan setelah melihat bahwa yg laku ternyata gak nyampe separonya (itu batas BEP, dan jujur aja novel fantasi lokal itu sangat sulit nembus 1500 eksemplar. hampir gak ada hubungannya sama kualitas, melainkan karena marketnya emang sangat berat), mereka jelas gila kalo mau tetap berbisnis di ladang yg sama.


Kebanyakan penerbit tumbang hanya dalam dua tiga tahun. Penerbit gede lebih beruntung karena istilahnya bisa subsidi silang dari nerbitin buku genre lain yg lebih menguntungkan. Tapi tetap, divisi fantasinya mesti masuk ICU lebih dulu, sampe kapoknya hilang dan mendapat dana segar dari penyandang dana yang baru (yg mungkin membawa ambisi baru).


Berhasil diterbitkan atau gak itu bukan cuman soal kualitas naskah. Lebih ke soal timing yg tepat, jodoh, dan keberadaan orang ‘gila’ baru.


Buat penulis yg beruntung berhasil dapet waktu yg tepat, ya nikmati dan bersyukur saja. Buat yg belum beruntung, jika memang tetap mau mencoba nerbitin di jalur mainstream (via major publishing) ya apa boleh buat harus mengikuti siklus hidup mereka. Menunggu kembali sampe beberapa tahun, dan mudah2an nanti bisa ikutan di bulan madu yg berikutnya.


https://www.goodreads.com/topic/show/1058322-penerbit-yang-menolak-genre-fantasi


Kemudian beberapa waktu yang lalu saya juga menulis ini:


“Buat yg sedang mikirin penerbit, saran saya, jangan dipikirin, jika tulisannya belum jadi.


Fokus aja pada proses menulisnya, sebaik mungkin, terserah apakah mau tipis atau tebal, lokal atau tidak lokal dan lainnya. Tulislah yang lokal karena memang kita suka dan mau, bukan karena penerbit.


Toh preferensi dan antusiasme penerbit buat menerbitkan novel fantasi lokal berubah-ubah. Di suatu tempat di goodreads saya pernah nulis siklus hidup penerbit dalam menerbitkan naskah fantasi. Tahun pertama tertarik, tahun kedua kenceng, tahun ketiga trenyuh, tahun keempat menjauh, tahun kelima menolak. Saat kita selesai menulis semuanya sudah berubah. Jika kita menulisnya karena kita senang, ya gak masalah. Tapi jika hanya buat menuruti keinginan penerbit atau orang lain saat ini, ya silakan gigit jari.”


https://www.goodreads.com/topic/show/791528-da-official-oot-corner?order=a&page=118#comment_106248321


Dari sana saya lalu ngobrol dengan seorang teman, yang bilang kok kayaknya saya keras jika bicara mengenai jalur penerbitan umum yang ada di Indonesia.


Saya jawab, enggak juga. Komentar saya lebih ke arah kritik, dan renungan. Toh saya juga pernah menerbitkan buku melalui penerbit, dan melihat buku saya dijual di toko buku. Dalam beberapa hal itu adalah pengalaman yang menyenangkan. Keuntungannya lumayan, dan suatu hari nanti mungkin saya akan coba menerbitkan buku lagi melalui penerbit. Walau jujur, sekadar diterbitkan bukanlah sesuatu yang keren-keren amat, dan juga bukan hal yang paling penting lagi.


Saya hanya ingin kita semua melihat lebih jauh. Dari perbincangan dengan beberapa editor saya tahu bahwa banyak penerbit sebenarnya punya keinginan untuk menerbitkan naskah fantasi lokal. Keinginan itu ada. Namun saya paham bahwa umumnya mereka akan sangat hati-hati jika harus menerbitkan naskah lokal. Itulah kenapa dari ratusan naskah fantasi yang dibuat di Indonesia, yang berhasil mendapat kesempatan terbit rata-rata tak lebih dari 20 buku per tahun.


Nah, yang perlu digarisbawahi adalah biasanya kualitas bukanlah isyu utama kenapa sebuah naskah bisa diterbitkan atau tidak. Masalahnya lebih pada keraguan penerbit apakah naskah itu bakal laku. Jika melihat data historis penjualan buku fantasi lokal dalam sepuluh tahun terakhir, wajar jika setiap penerbit ragu, dan gawatnya inilah yang terus menjadi patokan.


Alhasil ada semacam lingkaran setan yang tidak akan putus sampai kapan pun. Kesempatan bagi penulis semakin sempit (dengan asumsi penulis yang tumbuh semakin banyak, tetapi yang bisa diterbitkan tetap hanya segelintir, sehingga pada akhirnya yang banyak itu menjadi malas menulis fantasi lagi), dan ruang bagi pembaca untuk memilih juga tetap terbatas.


Ini adalah situasi yang kontra-produktif, dan buat saya rasanya tidak benar.


Dalam pandangan saya pasar buku seharusnya dibentuk oleh dua pilar yang paling utama: penulis dan pembaca. Penerbit, distributor dan toko buku bukannya tidak penting (jangan marah ya), tetapi seharusnya bukan mereka yang menentukan dan memberi batasan. Bukan mereka yang menentukan buku seperti apa yang kira-kira bakal laku, naskah seperti apa yang seharusnya ditulis, atau buku seperti apa yang tersedia dan bisa dibaca oleh pembaca.


Penulis dan pembacalah yang seharusnya menentukan. Alih-alih mengungkung diri hanya dalam lingkaran kecil dengan batasan yang dibuat penerbit atau toko buku, kenapa tidak berkelana ke lingkaran yang jauh lebih besar, yang batasannya tak terhingga? Biarkan ratusan atau bahkan ribuan penulis itu menulis apapun yang mereka mau, kemudian menjual sendiri semuanya ke pasar. Biarkan pembaca bebas memilih, membeli dan membaca apapun yang mereka suka.


Ya, dengan semakin banyak buku yang ditawarkan pasti semakin lebar pula kualitasnya. Ada yang bagus, ada yang rata-rata, ada yang jelek, ada yang jelek banget, semuanya tergantung selera atau penilaian masing-masing. Tapi ya biarkanlah pembaca sendiri yang menyaring dan memilih, tidak harus lewat penerbit atau toko buku. Ini kan ibarat RUU Pilkada yang sekarang lagi ramai. Mau serahkan ke DPR, atau mau biarkan rakyat saja yang memilih?


Inilah yang mendorong saya untuk mendukung penerbitan buku secara indie, memberi sedikit pemahaman dan semangat—terutama kepada rekan-rekan penulis—bahwa penerbitan dengan cara ini bukanlah sebuah ketidakpuasan atau tindakan putus asa karena naskahnya terus-menerus ditolak penerbit. Sebelum ini saya menulis bahwa penerbitan indie adalah salah satu proses untuk membuat naskahnya hidup lebih awal, mendapat tanggapan, untuk kemudian membuatnya jadi lebih baik. Kali ini saya ingin berkata bahwa tujuannya jauh lebih besar.


Ini memberi kita kebebasan, dan kesempatan yang lebih besar untuk berkreasi, dan memilih.


Inilah esensi dari penerbitan indie. Ada sesuatu yang tidak bisa dipenuhi oleh dunia penerbitan yang biasa, dan karenanya penulis didorong untuk berani berkreasi dan mengambil inisiatif. Dengan cara ini pembaca kemudian diberi lebih banyak pilihan, dibuat menjadi lebih tertarik, dan selanjutnya diberi kemudahan untuk mencari dan membeli buku indie tersebut.


Jaman sekarang toh segala sesuatunya sudah dipermudah. Percaya atau tidak, model penerbitan seperti inilah yang akan berkembang di tahun-tahun mendatang. Penulis bisa berhubungan langsung dengan pembaca. Atau paling tidak penulis memiliki tim kecil yang terdiri dari editor, ilustrator, layouter/setter dan marketer. Penjualan tidak lagi menggunakan toko buku, cukup dengan memesan secara online. Tidak perlu lagi mencetak buku sampai ribuan eksemplar, yang jika tidak laku berarti hanya membuang-buang kertas sampai jutaan lembar (sedih gak sih?). Mencetak buku ya secukupnya saja sesuai kebutuhan atau permintaan, tidak sampai berlebihan.


Itulah indie.


Pihak toko buku yang gede-gede mungkin tidak akan suka pada ide ini. Sekarang ini saat mereka masih mengendalikan pasar (bisa menentukan buku-buku mana yang katanya best-seller, mana yang pantas dipajang di display, dan mana yang patut disingkirkan ke gudang setelah dua bulan) mereka tidak akan peduli. Apalagi ini hanya pasar fantasi karya penulis lokal yang katanya kecil dan tidak signifikan. Tetapi nanti, ketika model penerbitan ini meluas sampai ke mana-mana …


Tapi, hei, biarkan semua orang bebas bergerak dan memilih, okay? Tidak perlu monopoli atau semacamnya. Kita semua hanya sedang saling membantu dan memberi manfaat.


Jadi, seperti yang sebelumnya saya sampaikan di Indie Corner, bagi rekan-rekan yang tertarik bergabung membangun/meramaikan dunia penerbitan indie, jangan sungkan-sungkan untuk ikut mempromosikan buku fantasi indienya melalui Kastil Fantasi. Kirimkan saja gambar cover, sinopsis, harga dan cara mendapatkan bukunya, ke e-mail saya di alamat: rdvillam-at-yahoo-dot-com.


Pada tulisan berikutnya saya akan sampaikan sedikit tip dalam menerbitkan buku secara indie. Untuk menunjukkan bahwa sebenarnya prosesnya tidaklah sulit, dan biayanya juga tidak sebesar yang mungkin ditakutkan selama ini, tergantung pada pilihan apa yang kita ambil.


Salam.



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 26, 2014 03:14

September 23, 2014

Indie Corner

Saya selalu menaruh respek pada penulis yang mau menerbitkan bukunya secara indie. Di balik kekurangan-kekurangan yang ada (biasanya dalam hal editing, atau bentuk fisik yang kalah menarik dibanding buku-buku biasa), di sana ada keberanian dan keinginan besar dari penulisnya untuk menunjukkan karya mereka kepada masyarakat luas. Bagi saya ini adalah salah satu bagian dari perjalanan [...]
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 23, 2014 03:54

Indie Corner

Read a BookSaya selalu menaruh respek pada penulis yang mau menerbitkan bukunya secara indie. Di balik kekurangan-kekurangan yang ada (biasanya dalam hal editing, atau bentuk fisik yang kalah menarik dibanding buku-buku biasa), di sana ada keberanian dan keinginan besar dari penulisnya untuk menunjukkan karya mereka kepada masyarakat luas.


Bagi saya ini adalah salah satu bagian dari perjalanan karir seorang penulis, yang tidak ada salahnya dicoba. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada naskah-naskah yang kita tulis, apakah nanti bakal meledak di pasaran, atau sekadar terbit dan nampang sebentar di toko buku, atau hanya berkutat di dalam harddisk kemudian terlupakan.


Tidak semua naskah punya keberuntungan untuk terbit. Berhasil terbit juga bukan jaminan bakal laku. Ada banyak faktor yang berpengaruh, apalagi jika bicara soal naskah fantasi. Namun tergantung dari cita-cita yang ada dalam benak kita sebagai penulis, sebenarnya kita selalu punya banyak pilihan, dan penerbitan indie adalah salah satu pilihan itu.


Kita bisa membuat naskah kita mewujud jadi buku lebih awal, coba memasarkannya dan mendapat tanggapan. Sebagai bagian dari perjalanan, bukan akhir. Siapa tahu dari sana kita bisa melakukan perbaikan-perbaikan. Setelah dua atau tiga tahun, setelah peruntungan kita membaik dan nama kita sudah lebih dikenal, kita bisa menawarkannya lagi ke penerbit.


Dengan semangat itu, saya dulu menerbitkan buku-buku saya melalui Kastil Fantasi. Saya lakukan sendiri proses  editing dan layouting-nya, kemudian mencari percetakan sendiri, dan lalu memasarkannya secara online. Tentu saja hasilnya masih jauh dari sempurna, tetapi itu tidak masalah, karena yang penting saya sudah melakukan sesuatu.


Dan saya berharap ini tidak berhenti di sini. Semoga semakin banyak juga penulis lainnya yang tertarik. Akan semakin bagus jika semua penulis indie itu bisa bergabung, saling mendukung, dan bisa memasarkannya di satu tempat. Itu hal yang sebenarnya sederhana buat dilakukan, namun sangat penting, dan saya pikir Kastil Fantasi bisa membantu.


Bayangkan saja jika nanti bisa tampil 20 penulis indie di sini, atau bahkan lebih, dan semuanya saling membantu. Itu bisa jadi jaringan yang luar biasa. Saya percaya, dengan semakin banyaknya penulis dan tidak diimbangi dengan jumlah penerbit yang mau menyerap naskah mereka, pasar indie akan semakin besar. Tentunya kita berharap kualitasnya juga semakin baik.


Jadi di sini saya mengundang seluruh penulis fantasi yang telah menerbitkan bukunya secara indie untuk berkumpul dan memasarkannya juga melalui Kastil Fantasi. Saya rasa itu akan memudahkan pula bagi calon pembaca untuk mencari bukunya, dan membelinya.


Silakan kirimkan gambar cover, sinopsis, harga dan cara mendapatkan bukunya, ke e-mail saya di alamat: rdvillam-at-yahoo-dot-com. Saya akan bantu tampilkan di sini. Kalau ada yang ingin bukunya direview juga bisa. Saya akan sekalian tampilkan reviewnya.


Salam.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 23, 2014 03:34

August 27, 2014

Writers’ Group

Selama dua tahun terakhir saya banyak membaca buku-buku Brandon Sanderson, seperti The Way of Kings, Mistborn, Elantris atau Warbreaker. Dia adalah salah satu penulis yang selalu menekankan pentingnya Alpha/Beta-reader dan Grup Penulis di mana dia menjadi anggotanya. Pada setiap kata pengantar dia selalu mengucapkan terima kasih serta menyebutkan nama mereka satu per satu. Walau tampaknya [...]
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 27, 2014 03:20