R.D. Villam's Blog, page 3

August 27, 2014

Writers’ Group

ATTESelama dua tahun terakhir saya banyak membaca buku-buku Brandon Sanderson, seperti The Way of Kings, Mistborn, Elantris atau Warbreaker. Dia adalah salah satu penulis yang selalu menekankan pentingnya Alpha/Beta-reader dan Grup Penulis di mana dia menjadi anggotanya. Pada setiap kata pengantar dia selalu mengucapkan terima kasih serta menyebutkan nama mereka satu per satu. Walau tampaknya biasa-biasa saja, kita bisa belajar sesuatu.


Alpha-reader adalah pembaca yang bertugas memberi koreksi, kritikan dan saran ketika naskah masih dalam tahap penulisan awal (second/third draft; dengan asumsi first draft adalah tulisan tahap pertama yang masih benar-benar mentah). Pada tahap ini bisa jadi naskahnya belum selesai 100%, atau baru saja selesai. Karenanya masih ada banyak kelemahan dalam hal penulisan, plot, logika, konsep, karakter, sudut pandang, tempo, deskripsi, narasi, dialog dan juga struktur cerita. Sementara Beta-reader adalah pembaca dengan tugas yang sama, namun untuk naskah yang sudah lebih matang. Biasanya pada tahap ini penulis sudah lebih percaya diri. Tetapi tidak menutup kemungkinan masih ada banyak celah di dalam naskahnya, dan karenanya dibutuhkan pembaca yang lebih tajam dan kritis dalam melihat hal-hal semacam itu.


Setelah Alpha dan Beta, kalau mau, bisa saja ditambahkan tahapannya mulai dari Gamma sampai Omega, tergantung sampai sejauh mana sisi perfeksionis si penulis. Ya, ini setengah bercanda; Gamma/Omega-reader bukan istilah yang populer, dan bisa digabung sebagai Beta-reader. Kalau mau dianggap serius, Omega mungkin adalah tahapan terakhir sebelum bukunya naik cetak, di mana yang diperiksa hanyalah typo atau semacamnya. Pada dasarnya semakin banyak kritikan dan masukan, jika valid, bisa membuat naskah jadi lebih baik. Tetapi segala yang berlebihan selalu punya sisi jahat, jadi sebaiknya penulis berhati-hati supaya tidak terjebak berputar-putar melakukan perbaikan pada hal yang sama namun sebenarnya tidak signifikan.


Sementara itu Grup Penulis, sesuai namanya, adalah kelompok kecil beranggotakan para penulis yang saling membagikan dan mendiskusikan naskah mereka. Hampir mirip dengan Alpha/Beta-reader, namun karena masing-masing adalah penulis mereka punya satu kelebihan: mereka tahu hambatan apa yang biasanya dihadapi rekan mereka (teknis maupun non-teknis). Dari sana mereka bisa menentukan target bersama dan saling memberi semangat. Tentunya, apapun kelompoknya, ada sisi negatif yang bisa timbul. Penulis seringkali punya yang ego besar, kadang ada yang kelewat batas memberi masukan yang sebenarnya lebih cocok ke gaya pribadi si pemberi saran. Sebaliknya si penerima saran terlalu defensif atau justru agresif sehingga terasa seperti balas-membalas. Ada resikonya, tetapi jika semua bisa dikendalikan dengan baik, dan setiap anggota paham dengan tujuan bersama mereka, ini bisa menjadi kelompok yang solid.


Menulis adalah kegiatan individu, dan menulis novel bukan kegiatan main-main. Mulai dari memikirkan konsep, membuat plot, melakukan riset, kemudian menuliskannya, sampai selesai, semua dilakukan sendiri. Belum lagi kalau bicara ke hal-hal non-teknis, yang seringkali lebih sulit, di mana selama berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun kita harus konsisten menyemangati diri sendiri, berusaha untuk tidak menyerah di tengah jalan. Waktu, pikiran dan energi tersita, dalam jangka waktu yang sangat lama, seringkali tanpa bisa dipahami orang-orang lain di sekitar kita. Setiap penulis paham, kemudian sedihnya, kebanyakan menerimanya begitu saja.


Padahal bukankah sebenarnya kita bisa membuat proses menulis kita jadi lebih mudah dengan cara yang sebenarnya sederhana, melalui semacam Grup Penulis?


Ini bukanlah konsep yang baru, sudah sering dipakai orang. Mereka tahu ini tidak bisa menyelesaikan semua masalah, sebagian malah membencinya, karena menulis tetap saja merupakan kegiatan individu. Tetapi ini BISA membantu. Dan yang jelas, sama sekali tidak sulit.


Saya mau melakukan ini, dan barangkali ada yang tertarik juga.


Jadi, jika ada Teman-teman yang tertarik untuk bergabung membentuk Grup Penulis Kastil Fantasi, silakan utarakan pendapatmu di kolom komentar. Jujur, tidak ada jaminan prosesnya akan berakhir sukses dan happy ending buat semua orang, termasuk saya sendiri. Tetapi ini patut dicoba.


Kalau ini jadi, saya perlu membuat ruang khusus di Kastil sebagai tempat diskusi, di sebelah Book Tavern. Namanya Writers’ Hall, Writers’ Guild atau Writers’ Cafe, mungkin? Atau malah Torture Chamber? :D


Sebagai referensi, berikut adalah tulisan yang dulu pernah saya baca tentang Writers’ Group, ditulis oleh Holly Lisle, salah seorang guru menulis terbaik di internet:


http://hollylisle.com/the-good-the-bad-and-the-ugly-or-how-to-choose-a-writers-group/


Isinya membahas Grup Penulis yang dilakukan secara offline, temu muka langsung, alias kopi darat. Tetapi sekarang jamannya internet, pembahasan bisa dilakukan di dunia maya, dan beberapa poin penting di sana pada dasarnya tetap berlaku.


Salam.


Villam



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 27, 2014 03:10

August 25, 2014

In Light (Akkadia – an Epilogue)

Segera setelah melewati puncak Pegunungan Kaukasia, tak lama setelah puncak musim dingin berlalu, biasanya seseorang akan melihat hamparan lembah luas yang seluruh permukaannya putih berselimut salju. Dari timur ke barat, sampai jauh ke kaki langit di utara, ke bagian dunia yang sekali belum terjamah manusia. Putih yang dingin, kaku menggetarkan, keras menakutkan, sekaligus bersih tak [...]
 •  20 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 25, 2014 03:38

August 24, 2014

In Light (Akkadia – an Epilogue) by R.D. Villam

Winter_wallpapers_-_River_iceSegera setelah melewati puncak Pegunungan Kaukasia, tak lama setelah puncak musim dingin berlalu, biasanya seseorang akan melihat hamparan lembah luas yang seluruh permukaannya putih berselimut salju. Dari timur ke barat, sampai jauh ke kaki langit di utara, ke bagian dunia yang sekali belum terjamah manusia. Putih yang dingin, kaku menggetarkan, keras menakutkan, sekaligus bersih tak bernoda. Yang perlahan, ketika matahari mulai naik hingga ke puncaknya seluruh warna itu berkilau bagai zirah perak yang menyilaukan hampir membutakan mata.


Bagi Teeza sang pencinta langit dan bumi, yang tampak dari kesemuanya tetaplah kecantikannya belaka. Inilah saat-saat sebelum seluruh lapisan salju yang tebal akhirnya mencair untuk menampilkan keindahan lain di baliknya. Berpuluh-puluh tahun yang lampau ia tak pernah melewatkan saat-saat seperti ini, dan kini ia punya kesempatan menikmatinya sekali lagi.


Hampir setahun berlalu semenjak ia pergi meninggalkan teman-temannya di tepi Sungai Tigris. Hari ketika ia dan Ramir saling berjanji untuk bisa bertemu kembali setelah lima tahun, atau lima tahun berikutnya, atau lima tahun berikutnya lagi, jika seandainya mereka berdua belum ditakdirkan untuk bertemu. Ia melewati sungai, lembah dan pegunungan. Hatinya diselimuti rindu, tentang apa yang ia ingat sebagai tanah kelahirannya di utara. Benaknya dipenuhi kenangan. Semakin dekat ke utara seluruh rasa itu semakin kuat.


Namun bersamaan dengan itu perasaan pahit dan hampa selalu datang. Semua yang ia kenal dan ia rindukan telah lenyap tertiup masa, hancur tertimbun tanah dan tertutup alang-alang. Mungkin ia takkan menemukan apa-apa lagi di utara selain angin dan salju.


Tetapi pedulikah ia? Ia terus berjalan. Mungkin karena ia tak punya lagi tempat lain yang bisa ia tuju.


Maka ketika sebagian salju telah mencair ia sampai di negerinya. Negeri Es, demikian orang-orang biasa menyebut. Sebutan yang pantas terutama saat tempat itu memasuki musim dingin, di mana danau luas yang membatasi negerinya di sebelah timur selalu tertutup es. Saat ini bersamaan dengan mencairnya salju, lapisan es tebal itu telah mencair. Kini yang tampak di timur, dari utara hingga jauh ke balik pegunungan di selatan, adalah danau seluas lautan yang seluruh permukaannya biru cemerlang. Hanya tinggal sebagian tepiannya saja yang masih memutih.


Teeza duduk termenung, terbayang masa ketika ia berlayar dan mencari ikan kala musim panas bersama ayahnya, berlatih memanah dan berburu di tepi danau bersama abangnya, atau berseluncur di atas es kala musim dingin bersama teman-temannya. Perlahan ia tersenyum.


Sebelum perhatiannya kemudian teralih.


Sosok asing tampak di utara, sendirian di atas bukit berbatu. Dia duduk di atas seekor kuda bertubuh besar. Bajunya tebal, mungkin terbuat dari kulit dan bulu beruang. Kepalanya bertudung, membuat wajahnya tak mungkin terlihat dari jauh. Walau demikian Teeza yakin orang itu tengah menatapnya saat ini, dan mungkin sudah cukup lama. Ia pun tahu siapa kira-kira orang itu. Prajurit perintis dari suku-suku pengelana di timur. Atau bahkan mungkin seorang prajurit tinggi atau putra kepala suku, jika dilihat dari sikapnya yang penuh wibawa dan tanpa takut.


Teeza berdiri. Busur tergenggam erat di tangan kirinya, dan tangan kanannya siap mencabut panah kapan pun dibutuhkan. Namun ia tak mau ceroboh atau terburu-buru. Sebelum melewati pegunungan ia sempat bertemu dengan seorang Gutia. Katanya suku-suku terakhir bangsa Kaspia telah meninggalkan tanah mereka sejak lebih dari setahun yang lalu, ke barat, menjauh dari suku-suku pengelana yang tahun demi tahun semakin dekat. Orang-orang timur itu datang dari padang rumput, menyusuri sisi utara Laut Kaspia. Bangsa Kaspia yang tinggal sedikit terpaksa pergi mencari tanah baru sampai jauh ke timur Laut Hitam, bersaing dengan suku-suku asli di sana.


Hal yang dulu sama sekali tak terbayangkan. Suku-suku pengelana sejak dulu selalu dianggap inferior dan tak pernah berani berkuda sampai ke tanah-tanah perburuan milik orang Kaspia. Sekarang keadaannya berbalik. Niordri mungkin benar kala berkata bahwa mereka sebaiknya menghancurkan orang-orang timur sebelum orang-orang itu balik menghancurkan mereka. Tetapi bagaimana mungkin kata-katanya bisa dipercaya jika yang terjadi kemudian adalah perang antar saudara yang dipicu sendiri oleh Niordri? Bangsa Kaspialah yang telah menghancurkan diri mereka sendiri. Hanya tinggal soal waktu sampai akhirnya orang-orang timur datang dan mengambil semuanya.


Dunia yang dulu Teeza kenal telah berubah. Negeri Es lenyap ditinggalkan orang-orang Kaspia terakhir. Seandainya pun ia masih punya keinginan untuk kembali membangun negeri, ia tak mungkin melakukannya sendiri. Lagipula buat apa jika tak ada lagi yang bisa dibela dan diperjuangkan? Takdir telah menentukan bahwa riwayat orang-orang Kaspia cukup sampai di sini, sehingga mungkin ia tak perlu lagi memiliki keinginan besar seperti dulu.


Maka ketika si orang timur kini datang Teeza memilih menahan diri. Baginya mudah saja jika ia mau membunuh orang itu, tetapi itu sudah tak ada gunanya dan juga bukan hal yang baik untuk dilakukan. Ia hanya membalas tatapan si pengelana. Bukan untuk mengancam, hanya untuk menegaskan bahwa ialah yang dulu pernah menjadi penghuni tanah ini. Ada baiknya si pendatang baru menghormatinya. Mereka boleh mengambil tanah ini, tetapi tidak sekarang.


Dan tampaknya si pengelana mengerti. Tudung kepala orang itu terangguk seolah memberi hormat, kemudian ia menarik tali kekang kudanya. Kuda bertubuh besar yang dibawanya berbelok lalu berlari menjauh dari puncak bukit. Pengelana itu menghilang di balik bebatuan bersama derap kudanya yang sayup-sayup lenyap terbawa angin. Dari suara derap itu ada kemungkinan ada dua atau tiga pengelana lain bersamanya. Mereka pergi, untuk sementara.


Untuk beberapa lama Teeza memandang ke utara, lalu menarik napas panjang. Ia menoleh, menatap perbukitan lainnya di sebelah barat. Perbukitan itu diselimuti pepohonan lebat yang sebagian batang dan rantingnya masih gundul tertutup salju. Di balik hutan itu ada lembah luas yang dulu dihuni orang-orang Kaspia, tempat tinggalnya dulu. Tentu saja lembah itu telah lama ditinggalkan, dan itu memang bukan tempat yang paling ia tuju saat ini.


Teeza melintasi jalan yang masih setengah bersalju di antara pepohonan. Mendaki lereng berbatu melalui jalanan berliku, hingga akhirnya tiba di tanah datar yang tersembunyi di balik hutan. Salju masih menyelimuti hampir di setiap sudut, dan tempat ini—karena suatu sebab—terasa lebih dingin dibanding tempat-tempat lain yang tadi disinggahi Teeza.


Di salah satu sudutnya, di balik selimut salju, ada sebuah tiang batu yang ujungnya tersembul ke atas. Di depan tiang itulah Teeza berhenti, dan berlutut dengan tubuh bergetar.


Ia menangis, tak kuasa menahan rindu. “Ayah,” katanya, “aku pulang.”


Ia meraup salju dingin yang menumpuk di depan tiang batu dan menciumnya. Air matanya turun membasahi salju, dan keduanya mungkin akan lebur lalu membeku dan mencair bersama nanti. Teeza memanjatkan doa, memohon ampun kepada Tuhan. Setelah itu ia melanjutkannya dengan satu kalimat, “Kuharap aku bisa bertemu lagi denganmu.”


Angin berhembus meniup tengkuk dan wajahnya. Siulan panjang terdengar, tipis seolah memberi jawaban. Teeza memejam, berharap angin yang datang menjadi pertanda bahwa doanya dikabulkan, betapapun anehnya itu. Ia menunggu sampai angin reda, dan membiarkan butir-butir salju menerpa. Tanpa diduga siulan itu berubah menjadi kata-kata lembut.


“Aku pun selalu berharap bisa bertemu denganmu.”


Teeza tersentak dan cepat-cepat membuka mata. Napasnya tertahan. Butiran salju di depannya yang tadinya tebal menyelimuti tanah seolah berputar dikendalikan angin dan kini membentuk sosok tubuh laki-laki yang tengah duduk bersila. Wajahnya tidak terbentuk jelas, namun rasa hangat yang datang ke hatinya membuat Teeza yakin, sosok itu mungkin perwujudan roh ayahnya.


“A—Ayah?” Terbata-bata ia menjawab. “Apakah ini dirimu?”


Mulut sosok bersalju itu bergerak menjawab, “Ini aku.”


Teeza terpana. Jika memang benar Tuhan mengabulkan keinginannya, tentunya ia gembira luar biasa. Namun rasa takutnya timbul. Jangan-jangan ini hanyalah tipuan yang dibuat entah oleh siapa.


Tetapi … kenapa ia harus tidak percaya? Pengalamannya membuktikan bahwa apa yang dikatakan oleh hatinya seringkali adalah sesuatu yang benar.


“Kau tidak percaya, anakku?” sosok itu balik bertanya.


Itu benar suara ayahnya. Teeza tak mungkin lupa bahkan setelah berpuluh-puluh tahun.


Ia pun tersenyum. Air matanya kembali mengalir. “Aku percaya ini adalah dirimu, Ayah. Dan seandainya bisa … aku sangat ingin memelukmu …”


Sang salju membalas senyumannya. Butiran-butiran salju yang membentuk kedua tangannya terangkat, kemudian terentang lebar. “Kalau begitu, kenapa tidak kau lakukan?”


Mendengarnya, Teeza tak mau menahan diri. Ia langsung memeluk sosok ayahnya, dan membenamkan wajahnya di dada bidang si laki-laki salju. Dia membalas pelukannya. Dada Teeza bergejolak saat ia melepaskan seluruh rasa rindunya. Air matanya mengalir deras.


Lama kemudian baru ia melepaskan pelukan itu sambil menyeka air mata dari pipinya. Ia memandangi lekuk mata di wajah si sosok salju, dan berkata, “Terima kasih, Ayah, telah bersedia menemuiku.”


“Aku memang sudah menunggumu.”


“Benarkah?” tanya Teeza, heran. Ia terdiam beberapa saat, sebelum bertanya, “Sejak kapan?”


“Sejak kau meninggalkanku di sini, kurasa …” Sosok salju itu kemudian menggeleng. “Ah, tidak, tentu saja bukan. Sejak aku meninggalkanmu, lebih tepat begitu.”


“Oh, Ayah, aku mohon ampun. Kejadian dulu itu, aku baru saja mengerti, dan aku—”


“Kau tak perlu memikirkannya lagi, anakku, percayalah. Apa yang sudah terjadi, baik atau buruk, biarlah berlalu. Tak perlu lagi dendam, tak perlu lagi sesal … atau rasa bersalah.”


“Ya, Ayah … kuharap begitu.”


“Sekarang …” ‘Mata’ di wajah salju itu seolah menatap lurus ke arah Teeza tanpa berkedip. “… lebih penting bagimu untuk tahu apa yang harus kaulakukan setelah ini.”


“Maksud Ayah?”


“Pertama, mari kita temui dulu pelindungmu.”


“Pelindungku?”


“Ya. Biarkan ia memunculkan dirinya.”


Teeza menggeleng ragu, “Siapa yang kaumaksud?”


Senyum lembut tersungging di wajah salju. “Kau tidak tahu? Sosok lain—selain Tuhan—yang selalu membantumu di saat kau sangat membutuhkan bantuan?”


Aku tahu. Tapi …


Kepala ayahnya menggeleng. Butir-butir salju melayang lembut di sekitar wajahnya. “Kau tahu, tetapi entah kenapa kau tidak bisa mengatakannya. Kenapa? Ada yang belum kaupercaya?”


Teeza menggeleng, tiba-tiba merasa malu. Potongan-potongan peristiwa itu muncul lagi di kepalanya, ketika ia bertempur melawan Nergal, yang sebenarnya sudah lama ia lupakan. Makhluk terkutuk itu menunjukkan rasa takut saat melihat sosok lain di belakang Teeza, atau di atasnya, atau entah di mana—Teeza tidak pernah yakin karena ia memang tidak bisa melihat makhluk lain itu. Ya, pasti dia, Teeza tahu, karena jawaban itulah yang dimunculkan oleh hatinya.


“Aku percaya dia ada,” ia menjawab. “Dia pernah membantuku. Tetapi … dia dulu muncul begitu saja, dan tidak pernah muncul lagi setelah itu. Membuatku ragu apakah dia … benar-benar ada. Sekarang bagaimana caranya aku memanggil? Aku bahkan tidak tahu namanya.”


Tawa ayahnya terdengar. “Kau hanya cukup minta bantuan pada Tuhan, maka sang pelindung akan datang. Bukankah seperti itu dia dulu datang padamu?”


“Ya.”


“Tetapi betul, kau perlu tahu namanya. Dan saat ini kurasa ia akan datang jika kaupanggil. Mehael. Mungkin bukan nama aslinya, tapi panggillah dia dengan nama itu, dia akan datang.”


“Akan kupanggil nanti. Tapi … kenapa bukan Ayah saja yang memanggilnya? Ayah lebih tahu soal ini, soal semuanya, benar? Ayah lebih mengenalnya.”


“Tidak, Teeza. Kau yang harus melakukannya.”


Jawaban ayahnya tegas, sama seperti kata-kata yang dulu biasa Teeza dengar ketika ayahnya masih hidup berpuluh-puluh tahun yang lampau. Dengan patuh Teeza mengangguk.


Seraya menguatkan hatinya ia menundu dan membuka kedua telapak tangannya ke atas, berdoa. Pada akhir doanya ia berkata, ”Mehael, pelindungku, pelindung keluargaku, kumohon datanglah, seperti saat dulu kau datang untukku.”


Ia menunggu. Menunggu angin yang mungkin akan datang bertiup, atau butir-butir salju yang mungkin akan beterbangan dan … entahlah, mungkin pertanda lainnya.


Namun setelah beberapa lama Teeza tidak melihat tanda-tanda itu. Ia memandangi sosok salju ayahnya dengan tatapan bertanya-tanya. “Kurasa dia tidak mau menjawab panggilanku.”


“Dia mendengarnya, dan dia sudah datang.” Ayahnya mendongak, menatap sesuatu di belakang kepala Teeza, lalu menunduk memberi hormat. “Salam, Mehael.”


Serta merta Teeza merinding. Cepat-cepat ia menoleh ke belakang, namun seketika cahaya terang menyilaukannya. Ia terpaksa langsung memejam dan membawa lagi wajahnya ke depan. Dalam gelap jantungnya berdebar-debar, dan kepalanya pusing beberapa saat. Tak lama, barulah ia memberanikan diri membuka mata dan memandang sosok putih ayahnya.


Ia berkata, “Suatu waktu nanti kau akan bisa melihatnya tanpa perlu merasa silau.”


Teeza menggeleng-geleng penasaran. “Tetapi dulu kenapa tidak ada cahaya sama sekali?”


“Mungkin ada, hanya saja kau tidak melihatnya.”


“Aku ingin melihatnya … seperti Ayah melihatnya.”


“Nanti, anakku. Nanti …”


Teeza belum puas dengan jawaban itu dan percaya bahwa ayahnya sebenarnya bisa menjelaskan dengan lebih baik, namun akhirnya ia mengangguk dan menerimanya tanpa lagi bertanya-tanya. “Sekarang apa yang harus kulakukan?”


Sosok salju itu termenung, selama beberapa saat seolah berpikir, atau mengkhawatirkan sesuatu. Teeza memandanginya dengan jantung berdebar, menunggu.


“Yang akan kaulakukan bukan sesuatu yang mudah,” jawab Ayahnya. “Berbahaya, dan belum pernah dicapai manusia lainnya. Tetapi kau harus melakukan ini. Mehael akan menunjukkan jalan, tapi hanya sejauh itu, setelah itu kau harus melakukan semuanya sendiri.”


“Jelaskanlah, Ayah.”


“Kau tahu, rakyat kita pernah membicarakan tentang kita? Tentang pengetahuan atau kekuatan tersembunyi yang mungkin ada padaku, dan suatu hari nanti akan diturunkan pada anakku?”


Teeza teringat pada ucapan Niordri saat keduanya berada di Akkad. Niordri berkata bahwa kekuatan itu ada dan diwariskan pada Teeza, di mana gadis itu baru setengah percaya.


Ia mengangguk perlahan, namun berkata ragu, “Kekuatan itu mewujud dalam sosok pelindungku, bukan? Dalam Mehael? Ayah mewariskan Mehael padaku, hingga akhirnya aku bisa mengalahkan musuhku melalui kekuatannya. Benar begitu?”


“Mehael melindungi keluarga kita hanya untuk sementara waktu, sampai kita mendapatkan berkah atau pengetahuan sesungguhnya, sebagai balasan atas pengabdian kita pada Sang Pencipta. Aku tak bisa bilang lebih jauh, karena aku juga tidak tahu, tetapi itu ada. Dan Mehael bilang,” ayahnya melirik cahaya terang di belakang Teeza, “waktunya di sini sudah cukup. Dia harus pergi.”


“Pergi?” Teeza menggeleng, ragu sekaligus tidak puas. Selama bertahun-tahun makhluk tak terlihat itu ada bersamanya, dan selama ini—seingatnya—baru sekali dia muncul untuk membantunya, yaitu saat ia menghadapi Nergal. Dan kini dia sudah hendak pergi lagi? ”Memangnya … sudah berapa lama dia bersama keluarga kita?”


“Lebih dari ratusan tahun yang lalu. Dia sudah ada sejak bangsa kita mulai menetap di tepi Laut Kaspia, selepas Banjir Besar.”


“Oh.” Teeza mengangguk paham. Banjir Besar yang dimaksud adalah bencana alam masif yang konon menjadi akhir dari dunia manusia sebelum ini, sekaligus awal dari dunia yang ada sekarang.


“Dan selama itu pula leluhur-leluhur kita mencoba mendapatkan pengetahuan itu, dan gagal,” lanjut ayahnya.


“Apa yang mereka lakukan?”


“Mereka menyelam ke dasar Laut Kaspia. Mencari. Sebagian lalu menyerah tanpa mendapatkan apapun, dan sebagian lainnya tenggelam. Tak satu pun berhasil.”


Napas Teeza tertahan. “Maksud Ayah, yang harus dicari itu … ada di dasar sana?” tanyanya sambil menoleh ke arah danau es di balik rimbun pepohonan.


“Dan sekarang kau yang harus mencarinya.”


“Kenapa bukan Ayah yang dulu mencarinya? Ayah pasti bisa. Ayah perenang yang hebat! Lebih baik segalanya dibanding aku! Kenapa harus aku?”


Wajah salju di hadapannya seolah berubah murung. “Aku sudah pernah mencoba, sampai jauh, dan dalam sekali. Aku termasuk yang tak bisa melihat apapun, tetapi bisa kembali dengan selamat. Adikku—atau pamanmu—juga pernah mencoba, dan ia termasuk yang hilang. Tentu saja, saat ia hilang aku hanya bilang pada rakyat kita bahwa ia hilang saat mencari ikan. Tak mungkin aku membocorkan tentang hal ini pada semua orang. Jadi rahasia ini tetap terjaga.”


“Bagaimana dengan Abang? Apakah ia pernah mencoba?”


“Kakakmu lebih dulu meninggal dalam perang tak lama setelah aku mati. Apa kau tidak ingat?”


Teeza memandangi wajah ayahnya yang tampak sedih. Ia merinding, karena tiba-tiba tersadar bahwa sosok yang ada di hadapannya itu sebenarnya sudah lama mati, tidak lagi berjasad dan hanya tinggal rohnya—roh yang benar-benar tahu lebih banyak daripada Teeza. Kekhawatirannya pun kembali tertutup rasa sedih, dan air matanya mengalir sekali lagi. Ia mengangguk, dan berusaha tersenyum. “Aku ingat. Aku akan melakukannya, Ayah.”


“Maafkan aku, anakku, memintamu melakukan ini sekarang. Mehael tidak menjelaskan kenapa ia harus pergi, tetapi kita memang tidak pada tempatnya bertanya-tanya, dan kurasa kurang lebih aku sudah tahu kenapa. Keluarga kita diberi kesempatan selama beratus-ratus tahun untuk mengambil pengetahuan itu, tetapi tidak pernah berhasil. Mungkin karena memang sebenarnya tidak sembarang orang bisa menemukannya. Bahkan aku pun tidak termasuk. Sekarang hanya tinggal kau satu-satunya harapan yang tersisa. Lebih dari itu aku pun tahu, bangsa kita sudah pergi jauh dari tepi Danau Es, dan kita tidak bisa lagi menjaga ini. Begitu bangsa lain datang menduduki tanah ini, kau tak punya lagi kesempatan. Waktumu, mungkin, hanya tinggal saat ini.”


“Aku mengerti …” Teeza menjawab lirih.


“Di sisi lain,” senyum terukir di mulut salju ayahnya, “sebagai ayah, aku juga tak ingin nasib buruk menimpa putriku. Satu-satunya anakku yang tersisa. Kesayanganku. Karenanya aku tak ingin memaksa. Kau harus mencoba, tapi pada saatnya nanti, jika kau merasa itu sudah menjadi sangat berbahaya, jangan memaksa diri. Kembalilah ke permukaan, selamatkan dirimu. Kemudian berdoa, semoga di lain waktu kau bisa mendapat kesempatan lagi. Bagiku, dirimu tetaplah lebih penting daripada semua pengetahuan dan hal lain yang berharga di muka bumi.”


“Iya, Ayah.” Teeza mengangguk lagi sambil menyeka air mata.


“Sekarang, pergilah.”


“Tapi di mana nanti aku harus mencari?”


“Kau akan tahu setibanya di tepi danau.”


Teeza menggeleng. “Aku belum ingin meninggalkanmu …”


“Pergilah.”


Sekali lagi Teeza menatap wajah ayahnya. Kata-kata itu tegas, dan awalnya ia merasa sesak mendengarnya dan ingin memprotes. Tetapi kemudian ia tahu, seperti halnya dulu, selalu ada rasa sayang yang tersembunyi di balik suara dan wajah keras ayahnya, yang kini bahkan terlihat sangat dingin dalam butiran salju. Teeza percaya, apalagi saat senyuman tipis ayahnya terbentuk.


“Aku tidak benar-benar meninggalkanmu. Kau tahu.”


Teeza mengangguk. Ia mencoba kembali tersenyum. “Aku juga tidak.”


Angin bertiup, kali ini menjadi penutup perjumpaan Teeza dengan ayahnya. Salju tebal yang membentuk tubuh ayahnya terurai menjadi butiran-butiran kecil bagai debu dingin yang sebagian lalu terbang tertiup angin. Sisanya kembali jatuh bertumpuk-tumpuk di depan tonggak batu. Teeza menangis sekali lagi, namun kali ini lebih karena bahagia, karena ia tahu walaupun singkat ia telah diberi kesempatan untuk bertemu lagi dengan ayahnya.


Ia berdiri, tercenung beberapa saat, kemudian memantapkan niat dan melangkah meninggalkan tempat itu. Awalnya lambat, namun begitu hatinya mulai tenang ia berjalan makin cepat. Ia bergegas menuruni bukit bersalju, melewati rimbun pepohonan, tanah basah dan berbatu. Hingga akhirnya sampai di tepi danau tempat tadi ia duduk termenung.


Di sana ia berdiri memandang jauh ke danau biru. Angin tak lagi bertiup, dan permukaan danau kini tenang tanpa riak sedikit pun. Dalam hening Teeza mengedarkan pandangan dari bagian utara danau yang masih putih tertutup es sampai ke selatan yang sudah lebih gelap tertutup bayang pegunungan. Matahari telah condong ke barat. Ia paham, jika memang harus mencari hari ini, ia harus melakukannya segera sebelum terperangkap malam. Ayahnya tadi berkata, begitu sampai di tempat ini ia akan tahu harus pergi ke mana. Tapi … ke mana?


“Mehael,” ia berbisik. “Tadi ayahku berkata, kau akan memberi petunjukmu?”


Entah sejak kapan—Teeza tidak begitu memperhatikan—ia merasa tak ada lagi cahaya terang milik Sang Pelindung di belakangnya. Tetapi ia meyakinkan diri, sosok makhluk itu ada bersamanya.


Setitik cahaya bersinar di salah satu ujung danau. Di utara, tak jauh dari kepingan es tebal yang belum mencair. Teeza menyipitkan mata, berusaha meyakinkan diri bahwa itu bukanlah pantulan dari cahaya matahari. Ataukah ia keliru, dan itu hanya pantulan biasa?


“Mehael … apakah itu …?”


Angin lembut membelai kulitnya.


Hatinya yang menjawab, “Ya. Di sana.”


Tanpa ragu Teeza berlari, menyusuri tepian danau yang becek dan berbatu ke utara. Ia melompati bebatuan, mendaki dan menuruni bukit. Matanya terus menatap ke arah danau yang putih membiru. Ia makin yakin, karena walau sudut pandangnya terus berubah-ubah, titik cahaya itu tetap tak bergerak di tempatnya. Semakin dekat ia ke sana, cahaya itu semakin terang.


Ia sampai di tepian danau yang jaraknya paling dekat dengan titik cahaya itu. Lapisan es tebal masih menyelimuti permukaan danau, putih cemerlang berkilat tertimpa sinar matahari. Jauh di sana, cahaya itu bersinar lebih terang. Teeza menarik napas perlahan, tiba-tiba ragu.


“Mehael, tempat yang kautunjukkan itu ada jauh di tengah danau,” ujarnya. “Bagaimana mungkin aku bisa sampai di sana?”


“Berjalanlah,” satu sudut hatinya kembali menjawab.


Berjalan. Di atas es. Teeza memperhatikan lapisan es tebal di depan kakinya, lalu pelan-pelan memajukan tubuh bagian atasnya. Permukaan es yang bagai cermin samar-samar memantulkan wajahnya. Ia seperti bisa melihat kegugupannya sendiri di sana.


Bisa, ia pasti bisa melakukan ini. Saat kecil dulu ia selalu bermain-main bahkan meluncur di atas es sampai jauh ke tengah danau. Sekarang tak ada bedanya. Ia tinggal mengingat kembali masa lalu, menjadikan dirinya lagi seperti dulu. Ia, si gadis es.


Teeza menyapu rasa gugupnya. Ia meraih kenangannya yang tersisa, tersenyum, dan mulai melangkah. Satu, dua, tiga, pelan, lebih cepat, dan semakin cepat.


Ia berlari.


Tawanya memecah keheningan. Angin menari bersamanya. Baginya suara tawa yang terdengar tak hanya suara tawanya sendiri, tetapi juga suara tawa kakak-kakaknya, teman-temannya, termasuk Elanna, Niordri, semuanya, ketika mereka masih menikmati saat-saat remaja yang paling indah. Seolah mereka semua tidak pernah pergi.


Cahaya putih itu semakin dekat. Tanpa terasa akhirnya Teeza sampai di lapisan es paling ujung. Sesaat tubuhnya hilang keseimbangan ketika ia menghentikan larinya. Kepingan es yang diinjaknya bergoyang, tidak lagi stabil, dan mungkin, tak lama lagi akan hancur.


Perhatiannya tertuju penuh pada cahaya putih di depannya. Seolah ada purnama jatuh ke dasar danau yang menanti untuk ia raih. Dalam hatinya Teeza hanya sedikit merasa takut pada apa yang mungkin bakal ia temui. Rasa dingin yang akan menggigitnya juga bukan hal penting lagi. Jika memang cahaya putih itu harus ia datangi, ia akan mendatanginya. Betapapun jauh dan menyakitkannya. Dengan satu cara ia pasti bisa sampai di sana.


Namun di satu titik, keraguan itu masih ada.


“Mehael,” ia berbisik lagi, “apakah aku memang harus ke sana?”


Angin bertiup lembut membelai kulitnya.


Berbisik. Sesuatu.


Bukan Mehael.


“Ayah?” ia memanggil, lalu memejamkan mata.


Air biru yang dalam menunggunya.


Teman-temannya bernyanyi.


Abangnya tertawa riang.


Seseorang memanggil.


“Teeza.”


Jauh di dalam sana.


“Di sini.”


Begitu dekat.


“Datanglah.”


“Iya, Ayah,” jawabnya lirih. “Aku datang,”


Teeza membuka matanya lebar-lebar, kemudian melompat. Tak ada lagi takut. Tak ada lagi ragu. Tak ada lagi sakit. Ia meluncur. Hatinya berbunga. Gairahnya meluap. Kerinduan memenuhi seluruh relung hatinya.


Danau tak lagi dingin. Tak lagi gelap. Tak lagi menakutkan. Tak lagi seperti yang ia kenal sebelum ini. Teeza bahkan seperti merasakan napasnya tetap teratur di dalam air hingga … entah sudah berapa lama.


Anehnya, tempat yang dilaluinya ini sama sekali tidak terasa asing. Ia meluncur, berenang bersama tawa riang seluruh teman dan keluarganya, dalam air jernih mengikuti cahaya benderang yang menariknya untuk terus mendekat. Ia berenang menikmati kedamaiannya.


Lalu di dasar danau—pasti di sana—ia menemukan apa yang disediakan untuknya. Cahaya dalam wujud yang belum diketahuinya menyeruak dari dalam celah batu karang.


Bulan purnama seolah menunggunya di sana.


Teeza mendekat, melayang di samping karang. Kakinya mengayuh, kedua tangannya mengayun, seluruhnya dikendalikan hatinya. Ia membelai permukaan batu yang hangat dan lembut, lalu memeluknya. Dan mereka membalas. Ayahnya, ibunya, abangnya, teman-temannya, semuanya. Ia menangis bahagia, merelakan seluruh rasa masuk ke hatinya.


Kemudian semuanya terlepas.


Ayahnya menggandeng tangannya. Suara lembutnya terdengar, “Kemarilah. Ini untukmu.”


Teeza mengulurkan tangannya, menyambut panggilan itu, masuk ke dalam lubang cahaya.



Saat semua tiada.


Tiada menjadi ada.


Setiap yang lahir.


Yang lahir dan yang mati.


Ketika bumi bernyanyi.


Air berseru memecah pantai.


Angin bersiul melewati pegunungan.


Dedaunan di setiap pucuk melambai, perlahan.


Bacalah.”



Langit biru berhias awan memberi salam. Hembusan angin menyapu lembah. Di tepi danau Teeza duduk memandang permukaan air yang berpendar memantulkan cahaya matahari pagi.


Suara indah mengalun. Kalimat-kalimat lama.


Datang dari orang itu, yang duduk bersila di atas sebuah batu besar di tepi danau. Dia laki-laki, jika dilihat dari lebar bahu dan punggungnya yang bidang. Rambutnya kelabu, panjang sampai di bawah tengkuknya. Pakaiannya terbuat dari kain cokelat yang dipotong sederhana.


Teeza berdiri, tubuhnya merinding dan bibirnya bergetar. Batu itu adalah tempat ayahnya biasa duduk dan mengajarkan doa-doa pada ia dan kakak-kakaknya. Sesaat tadi Teeza pun sempat mengira bahwa laki-laki ini pasti ayahnya, sebelum kemudian membantahnya sendiri.


Ragu-ragu Teeza mendekat. Jantungnya berdebar. Lantunan itu semakin jelas. Napasnya tertahan begitu melihat bahwa di balik batu besar yang diduduki laki-laki itu ternyata ada beberapa orang lainnya. Seluruhnya masih anak-anak atau remaja, laki-laki dan perempuan. Teeza menghitung, ada sembilan orang yang tengah mendengarkan lantunan si laki-laki berambut kelabu.


Ah, tidak, tak hanya mendengarkan. Mereka mengikutinya. Membaca bersama-sama.


Teeza berdiri di samping seorang anak. Si laki-laki berambut kelabu menoleh, menatap ke arahnya. Laki-laki itu berusia separuh baya, tatapannya teduh, kumis dan janggutnya pun kelabu, namun sedikit lebih gelap. Laki-laki itu tersenyum padanya dan berkata, “Bacalah.”


Ada sesuatu dalam kalimat itu yang membuat Teeza yakin bahwa laki-laki itu sangat mengenali dirinya, dan karenanya mengajak Teeza melakukan sesuatu yang sepertinya sering mereka lakukan bersama sejak dulu, entah kapan. Seperti ayahnya, walaupun ini bukan dia.


Teeza menatap mata laki-laki itu dalam-dalam. Kamudian ia duduk, dan ikut membaca.



Yang lahir dan yang mati.


Yang lalu dan yang nanti.


Yang ada dan yang tiada.


Seluruh pengetahuan yang perlu ia tahu tentang dirinya, keluarganya, dunianya, dan Tuhan.


Matanya terpejam.


Ia melihatnya. Cahaya, dalam dirinya.


Kemudian benaknya terbuka. Dalam gelap.


Ia tersadar.


Teeza tersentak. Ia memberontak panik. Sekejap ia merasakan dingin yang menggigit seluruh tubuhnya. Rasa takut mencengkeramnya. Seluruh tubuhnya kaku, tak mampu digerakkan sama sekali. Seolah sudah mati.


Seolah tidak ada lagi.


Tuhan! Tolong aku!


Tuhan!


TUHAAAN!


Tuhan …


Lalu ia mengerti. Mungkin … ia memang sudah mati.



Air berseru memecah pantai.


Angin bersiul melewati pegunungan.


Dedaunan di setiap pucuk melambai, perlahan.


Lihatlah.”


Gemetar, Teeza mengangkat wajahnya. Secercah cahaya datang dari atas sana. Benderang menembus bergelombang-gelombang air.


Cahaya … masih adakah?


Ya. Ada. Itu masih ada!


Sekuat tenaga ia berusaha menggerakkan jemari di kedua tangannya. Otot di seluruh tubuhnya. Jantungnya berdetak cepat. Darahnya bergejolak. Tangan dan kakinya menyambut panggilannya.


Dadanya penuh. Sesak. Tetapi ia masih memiliki napasnya.


Tanpa menunggu pertanda lainnya ia bergerak. Kedua kakinya melenting di dasar danau. Tubuhnya meluncur ke atas. Dalam hidup, rasa takutnya kembali, dan ia berusaha menahan tangisnya.


Tuhan, jika belum saatnya aku mati, kumohon, bawa aku keluar secepatnya!


Ia berenang sekuat tenaga, secepat yang ia bisa. Yang mungkin, lebih cepat daripada siapapun yang pernah melakukan ini. Dingin air danau menggigit tulang-tulangnya. Tubuhnya yang letih ia pacu hingga batas yang sebelumnya hanya bisa ia bayangkan. Seolah tanpa akhir.


Cahaya itu semakin terang, tetapi permukaan air danau yang ia tuju tak kunjung ia raih.


Pada akhirnya, ia sampai di batas kemampuannya. Tenaganya habis. Tangan dan kakinya tak mampu lagi mengikuti keinginannya. Jantung dan paru-parunya menjerit kesakitan ingin meledak, dan kepalanya pening bukan buatan.


Seluruh kenangannya kembali datang. Masa kecilnya. Orang-orang terkasihnya.


Lahir, dan mati.


Mati. Apakah aku memang sudah sampai di sana?


Tidak … mungkin tidak. Cahaya itu masih ada. Masih ada!


Ia menjerit kencang, atau mungkin hanya dalam hatinya—ia tidak tahu, “Tolong! TOLOOONG!”


Tangannya meraih-raih ke arah cahaya.


“Arante rei kui tanara. Arante rei eis tadira. Uis kisa ren entara, kuiva. Uis tera din eidara, eista. Arante, rei,” ia memohon dengan sepenuh hati, kemudian menyerahkan seluruh dirinya.


Hidup dan mati tidak lagi di tanganku.


Pandangannya mengabur.


Dalam cahaya …


… Tuhan, ambillah aku.



Tangan itu datang meraihnya.


Teeza merasakannya menggenggam kedua lengannya kuat-kuat, menariknya keluar dari dalam air. Seseorang … menolongnya, kemudian membaringkannya di tepi danau, dan memeluknya.


Samar-samar Teeza melihat wajah orang yang menolongnya itu. Menatap matanya dalam-dalam. Wajah itu … tampak sedikit lebih tua daripada yang terakhir kali dilihat Teeza. Kulit orang itu gelap kecokelatan seolah terbakar oleh matahari terik setiap hari, matanya yang jernih sehitam malam, sementara rambutnya … aneh, kini tampak sedikit berbeda, warnanya kelabu.


Ramir … bagaimana mungkin ia ada di sini?


Kejadian ini …hampir persis seperti mimpinya dulu. Tetapi bedanya Ramir di sini sudah tampak jauh lebih dewasa. Bagaimana bisa?


Apakah berarti kali ini aku bermimpi juga?


Rasa hangat yang nikmat menjalar di sekujur tubuhnya.


Tidak. Ini terlalu nyata …


Musim dingin sepertinya telah lama berlalu. Masa demi masa mungkin telah lama berlalu. Satu tahun, lima tahun, sepuluh tahun, ratusan tahun, ribuan tahun—Teeza tak tahu. Mungkinkah ia telah melompat ke masa di mana ia dan Ramir akhirnya bisa kembali bertemu? Mungkinkah ia baru saja kembali ke permukaan setelah bertahun-tahun tinggal di dasar sana, untuk belajar?


Mungkin sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Ia hanya belum ingin memikirkannya.


Angin bertiup lambat-lambat. Air memecah penuh irama di tepian danau. Burung-burung bernyanyi merdu, sepertinya dari beberapa ekor yang kini hinggap di atas pohon berdaun rindang tak jauh dari tempat Teeza berbaring. Mereka semua seolah menyambutnya.


Teeza melepaskan senyumannya, dan orang itu membalas. Kebahagiaannya meluap tak terkira, sebelum akhirnya pandangannya kembali mengabur.


Sesaat mengambilnya kembali … ke dalam cahaya.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 24, 2014 19:00

August 20, 2014

Somniterra – Eigavald

Simbol-simbol Eigavald dari dunia Somniterra.


[image error]

Gambar 1. Eigavald (colored)


Eigavald (black & white design)

Gambar 2. Eigavald (black & white design)


[image error]


Atra


Bagnarus Erdo


Fjor


Glacia Infero


Lei Nadhur Niveus Solum


Vind


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 20, 2014 21:02

August 19, 2014

Akkadia – Characters

Akkadia Characters

Akkadia Characters


Ada cukup banyak tokoh atau karakter di dalam buku Akkadia: Gerbang Sungai Tigris. Berikut adalah beberapa tokoh penting yang muncul di dalam cerita.


NaiaNaia Kashavi.Putri Talbrim, raja Kazalla. Setelah negerinya hancur ia membawa rakyatnya yang selamat menyeberangi Sungai Tigris dan berlindung di negeri Elam. Umurnya 19 tahun, bertubuh kecil namun piawai menggunakan pedang.


TeezaTeeza Alnurin. Kapten pasukan Naia. Ia berasal dari Kaspia dan usianya empat kali lebih panjang dibanding manusia biasa. Tubuhnya jangkung dan ia terampil menggunakan berbagai macam senjata—terutama busur dan panah.


FaresFares Faradan. Pengawal Naia, sesuai dengan tradisi keluarganya yang selalu menjadi pengawal raja-raja Kazalla. Umurnya 20 tahun, besar dan kuat. Ia bersenjatakan gada pusaka yang menyinarkan cahaya terang berwarna merah setiap kali diayun.


RamirRamir. Pemuda 15 tahun yang memiliki kemampuan aneh menjelajah mimpi dan berbicara dengan kucing peliharaannya. Dari kakeknya ia belajar menjadi penyembuh handal, namun dengan cara yang unik berkat kemampuan lain di dalam dirinya.


RahzadRahzad. Panglima Akkadia yang ditakuti lawan-lawannya, dan konon berasal dari negeri yang jauh di utara. Ialah yang selama bertahun-tahun memimpin pasukan Akkadia menaklukkan negeri-negeri di sekitarnya, termasuk negeri Kazalla jauh di barat.


DavagniDavagni. Makhluk raksasa terbuat dari batu yang berumur ratusan tahun. Ia berasal dari dunia kegelapan dan telah melakukan banyak kejahatan di masa lampau, namun atas alasan tertentu ia bersedia membantu Naia menghadapi pasukan Akkadia.


NergalNergal. Dewa perang dan bencana dalam mitologi bangsa Akkadia.Sering dianggap sebagai dewa kematian dan pemimpin dunia kegelapan.


ElannaElanna. Wanita Kaspia yang dijumpai Abdar Rahtari lima puluh tahun silam. Namanya lalu dipakai untuk memanggil gadis berambut perak yang ditemukan Ramir di tepi Sungai Tigris.


JavadJavad. Raja Avan, yang seperti halnya Naia juga mewarisi kemampuan dari ayah mereka untuk membuka Gerbang Sungai Tigris.


RifaRifa. Adik Javad yang selalu ingin menjadi prajurit wanita yang tangguh dan berani bertualang seorang diri ke negeri musuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 19, 2014 15:27

August 18, 2014

Akkadia – Map & Places

Mesopotamia, abad ke-24 Sebelum Masehi

Mesopotamia, abad ke-24 Sebelum Masehi


Peta sederhana yang saya buat untuk menggambarkan daerah Mesopotamia di abad ke-24 SM, tempat berlangsungnya kejadian-kejadian di buku Akkadia: Gerbang Sungai Tigris. Serta penjelasan singkat mengenai beberapa tempat dalam cerita (sesuai abjad). Sebagian besar fiktif, tetapi sebagian lainnya benar-benar ada.


Akkad. Ibukota Akkadia yang didirikan Sargon di tepi barat Sungai Eufrat, dan empat abad kemudian menjadi Babylon, pusat kerajaan Babylonia. Nama Akkad berasal dari bahasa Sumer Agade yang berarti “mahkota api”, mengacu pada mahkota yang dipakai Ishtar, dewi perang dalam mitologi bangsa Akkadia.


Akkadia. Kekaisaran yang didirikan Sargon tahun 2334 SM dan merupakan kekaisaran multietnis pertama di dunia. Akkadia hancur sekitar tahun 2250 SM oleh serbuan bangsa Gutia. BangsaAkkadia, yang mendiami bagian utara Mesopotamia sejak milenium ke-4 SM,adalah bangsa berbahasa Semitik pertama yang tercatat dalam sejarah.


Akshak. Kota yang letaknya tak jauh dari Gerbang Sungai Tigris.


Anatolia. Daerah semenanjung di barat Asia yang saat ini merupakan bagian Asia dari Turki, disebut juga Asia Minor oleh bangsa Yunani. Karena letaknya yang strategis di antara benua Asia dan Eropa, Anatolia menjadi tempat persinggungan berbagai macam peradaban dunia sejak sebelum Jaman Perunggu.


Anshan. Salah satu negeri Elam yang terletak di selatan.


Avan (Awan). Kerajaan terbesar di negeri Elam.


Elam. Bangsa di timur Sungai Tigris (Iran saat ini) yang mendiami daerah itu sejak milenium ke-5 SM. Bangsa Elam mulai terdesak setelah kedatangan bangsa Indo-Eropa/Arya pada milenium ke-2 SM, dan akhirnya ditaklukkan bangsa Assyria pada milenium ke-1 SM.


Eufrat. Sungai besar di bagian barat Mesopotamia. Dalam bahasa Akkadia sungai ini dinamakan Puratu.


Gutia. Bangsa nomadik yang tinggal di utara Pegunungan Zagros, diperkirakan berasal dari bangsa Indo-Eropa. Bangsa Gutia menghancurkan kota Akkad dan berkuasa di Mesopotamia sejak tahun 2250 SM, kemudian terusir pada tahun 2120 SM oleh bangsa Sumer dari selatan.


Kaukasia. Negeri-negeri pegunungan di utara yang dibatasi Laut Hitam di barat, Laut Kaspia di timur, dan Turki serta Iran di selatan. Di utara Kaukasia terdapat padang rumput luas Pontic Caspian, tempat asal-muasal bangsa-bangsa Indo-Eropa yang lalu menyebar ke seluruh Eropa, Timur Tengah, Asia Tengah, dan India sejak milenium ke-4 SM.


Kazalla. Sebuah kota legenda yang diperkirakan terletak di hulu sungai Eufrat, di negeri bangsa nomadik Amorites (dahulu berdiam di wilayah Syria-Lebanon), yang dalam catatan sejarah Babylonia disebutkan “telah dimusnahkan oleh Sargon sedemikian rupa hingga burung-burung pun takkan mampu menemukan tempat untuk bertengger di sana”.


Kish. Kota Sumer tempat Sargon memulai karirnya sebagai pemimpin.


Laut Kaspia. Danau terbesar di dunia yang terletak di sebelah timur Kaukasia dan saat ini dikelilingi lima negara: Kazakhstan, Turkmenistan, Iran, Azerbaijan, dan Rusia. Dinamakan ‘laut’ karena saat pertama kali orang Yunanisampai ke sana, mereka mencicipi airnya yang ternyata asin seperti air laut. Dalam naskah kuno Yunani dan Persia, Laut Kaspia disebut dengan nama Lautan Hyrcania. Bagian utara danau ini membeku saat musim dingin.


Negeri Es. Istilah untuk menyebut negeri tempat tinggal bangsa Kaspia.


Sippar. Salah satu kota Sumer yang ditaklukkan Akkadia.


Sumeria. Nama yang digunakan bangsa Akkadia untuk menyebut daerah di bagian selatan Mesopotamia yang didiami bangsa Sumer, bangsa berbahasa non-Semitik yang diperkirakan mendiami daerah itu sejak milenium ke-6 SM.


Susa. Negeri terbesar kedua di tanah Elam.


Thalos. Salah satu kota di negeri Gutia, di utara Pegunungan Zagros.


Tigris. Sungai besar di timur Mesopotamia yang mengalir dari Pegunungan Taurus di Turki hingga ke Teluk Persia. Tigris adalah nama dalam bahasa Yunani yang berarti “macan”. Dalam bahasa Akkadia disebut Idiqlat yang berarti “sungai deras” (untuk membedakan dengan Eufrat yang berarus lambat).


Turkar. Salah satu kota di Pegunungan Zagros.


Uruk. Salah satu kota Sumer yang ditaklukkan Akkadia.


Zagros. Pegunungan panjang yang terletak di utara Mesopotamia, dan menjadi pembatas antara dataran rendah Mesopotamia dan dataran tinggi Persia.



 

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 18, 2014 20:28

Akkadia – Cover Sketch

Gambar-gambar ini dibuat oleh Hendryzero dan Eko Puteh untuk pembuatan cover novel saya, Akkadia: Gerbang Sungai Tigris, yang diterbitkan oleh Adhika Pustaka tahun 2009 (versi asli, bukan Black Edition yang terbit tahun 2013 melalui Kastil Fantasi).


Naia dan Davagni

Gambar 1. Naia dan Davagni


Gambar 1 menunjukkan Naia, putri dari negeri Kazalla, kala memanggil Davagani, si makhluk batu dari dunia kegelapan. Gambarnya cukup sesuai dengan deskripsi, terutama sosok Davagni dengan sayap dan tanduk tunggal di depan kepalanya. Sedangkan Naia agak berbeda. Dalam bayangan saya pakaian yang dia kenakan mestinya lebih sederhana. Putih-putih, berlengan dan bercelana panjang yang memudahkan pergerakan, dengan penutup kepala tertutup yang melingkar ke leher, mirip pakaian suku Badui atau para pengelana di padang pasir. Tetapi tidak masalah, karena jika kemudian dijadikan gambar cover, dari sisi artistik sosok Naia di sini terlihat lebih menarik.


Teeza dan Barion

Gambar 2. Teeza dan Barion


Gambar 2 menunjukkan Teeza Alnurin kala bertarung melawan gerombolan Barion di samping tebing pegunungan berbatu. Sosok Teeza cukup sesuai. Sedangkan barionnya, hewan ganas yang dalam bayangan saya bertampang seperti serigala, bertubuh kokoh dan bercakar seperti harimau, dan berkulit tebal seperti badak, tidak. Penutup wajah dengan culanya, serta surai panjangnya, membuatnya jadi berbeda. Sementara penunggangnya pas. Mungkin memang saya yang salah saat memberikan deskripsi. Bagusnya suasana serunya terasa, jadi seandainya sosok barion itu bisa digambar ulang (mestinya sih bisa), saya rasa ini bisa jadi gambar cover yang keren juga.


Ramir dan Toulip

Gambar 3. Ramir dan Toulip


Gambar 3 menunjukan Ramir, si Penjelajah Mimpi, yang berdiri di samping Sungai Tigris. Di bahunya ada Toulip, kucing kecil bertelinga panjang. Tongkatnya, pakaiannya, latar pegunungan berbatunya, semuanya cocok dan pastinya sangat bagus jika pada akhirnya diwarnai. Sementara Faruk, elang milik Javad sang raja dari negeri Avan, sebenarnya saya minta untuk digambarkan sedang terbang di langit, karena hal itu lebih cocok dengan ceritanya. Secara keseluruhan ini gambar yang bagus dan saya suka, tetapi pada akhirnya tidak dipilih menjadi cover, karena memang kurang memiliki efek sosok unik seperti yang ada di Gambar 1 (Davagni) atau Gambar 2 (Barion).


Nah, ilustrasi manakah yang kemudian dipilih menjadi gambar cover?


Hasil akhirnya bisa dilihat di bawah ini.


Gambar 4. Akkadia: Gerbang Sungai Tigris

Gambar 4. Akkadia: Gerbang Sungai Tigris


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 18, 2014 03:40

August 17, 2014

Buku-Buku Terbaru Kastil Fantasi

Buku Baru Kastil Fantasi - 2014


Buku-buku terbitan Kastil Fantasi kini dijual dengan discount 25%. Untuk mendapatkannya kunjungi saja Kedai Buku Kastil Fantasi.

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 17, 2014 04:10

April 14, 2013

My Newest Books

Akhirnya, setelah beberapa bulan mengerjakan macam-macam (eh, tapi semuanya masih menyangkut kegiatan menulis lho ), saya bisa menerbitkan buku-buku baru lagi.  Ada tiga buku yang saya terbitkan di bulan April ini, semuanya melalui Kastil Fantasi. Yang pertama adalah Somniterra, hasil kolaborasi saya dengan Klaudiani. Buku tentang mimpi, romance dan fantasy. Tentang Zahra, Arya, Nadia dan [...]
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 14, 2013 18:00

December 7, 2012

Winner Goodies

Bulan November kemarin saya berhasil menulis 51.200 kata untuk NaNoWriMo, dan sebagai hadiahnya saya bisa mengambil Winner Goodies berupa badge di samping ini. Hehe. Ya lumayanlah, walaupun draft novel saya masih jauh dari selesai, saya tetap harus mengapresiasi hasil yang sudah saya peroleh. Selanjutnya, setelah Gathering Kastil Fantasi tanggal 9 Desember 2012 saya akan kembali menulis. Masih [...]
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 07, 2012 02:27