Penerbitan Indie: Kesempatan untuk Berkreasi dan Memilih

bitesSuatu hari dulu saya pernah menulis ini di Forum:


Kalo gue liat sih mood penerbit buat nerbitin fantasi lokal itu biasanya ngikutin semacam kurva normal. Taun pertama antusias, taun kedua mulai ragu, taun ketiga terhenyak, taun keempat kapok (sampai entah kapan).


Tapi ya itu, someday kekapokan mereka itu hilang dan karena suatu faktor tiba2 semangatnya bangun lagi. ada masa bulan madu berikutnya. Untuk kemudian mengikuti lagi siklus kurva naik turun selanjutnya. antusias, ragu, terhenyak, trus kapok lagi …”


“Butuh paling gak 50 jt buat nyetak 3000 eksemplar buku. Saat antusias penerbit mungkin berani abisin 250 jt buat nerbitin 5 judul buku dalam kurun satu atau dua tahun. Tapi waktu berlalu dan setelah melihat bahwa yg laku ternyata gak nyampe separonya (itu batas BEP, dan jujur aja novel fantasi lokal itu sangat sulit nembus 1500 eksemplar. hampir gak ada hubungannya sama kualitas, melainkan karena marketnya emang sangat berat), mereka jelas gila kalo mau tetap berbisnis di ladang yg sama.


Kebanyakan penerbit tumbang hanya dalam dua tiga tahun. Penerbit gede lebih beruntung karena istilahnya bisa subsidi silang dari nerbitin buku genre lain yg lebih menguntungkan. Tapi tetap, divisi fantasinya mesti masuk ICU lebih dulu, sampe kapoknya hilang dan mendapat dana segar dari penyandang dana yang baru (yg mungkin membawa ambisi baru).


Berhasil diterbitkan atau gak itu bukan cuman soal kualitas naskah. Lebih ke soal timing yg tepat, jodoh, dan keberadaan orang ‘gila’ baru.


Buat penulis yg beruntung berhasil dapet waktu yg tepat, ya nikmati dan bersyukur saja. Buat yg belum beruntung, jika memang tetap mau mencoba nerbitin di jalur mainstream (via major publishing) ya apa boleh buat harus mengikuti siklus hidup mereka. Menunggu kembali sampe beberapa tahun, dan mudah2an nanti bisa ikutan di bulan madu yg berikutnya.


https://www.goodreads.com/topic/show/1058322-penerbit-yang-menolak-genre-fantasi


Kemudian beberapa waktu yang lalu saya juga menulis ini:


“Buat yg sedang mikirin penerbit, saran saya, jangan dipikirin, jika tulisannya belum jadi.


Fokus aja pada proses menulisnya, sebaik mungkin, terserah apakah mau tipis atau tebal, lokal atau tidak lokal dan lainnya. Tulislah yang lokal karena memang kita suka dan mau, bukan karena penerbit.


Toh preferensi dan antusiasme penerbit buat menerbitkan novel fantasi lokal berubah-ubah. Di suatu tempat di goodreads saya pernah nulis siklus hidup penerbit dalam menerbitkan naskah fantasi. Tahun pertama tertarik, tahun kedua kenceng, tahun ketiga trenyuh, tahun keempat menjauh, tahun kelima menolak. Saat kita selesai menulis semuanya sudah berubah. Jika kita menulisnya karena kita senang, ya gak masalah. Tapi jika hanya buat menuruti keinginan penerbit atau orang lain saat ini, ya silakan gigit jari.”


https://www.goodreads.com/topic/show/791528-da-official-oot-corner?order=a&page=118#comment_106248321


Dari sana saya lalu ngobrol dengan seorang teman, yang bilang kok kayaknya saya keras jika bicara mengenai jalur penerbitan umum yang ada di Indonesia.


Saya jawab, enggak juga. Komentar saya lebih ke arah kritik, dan renungan. Toh saya juga pernah menerbitkan buku melalui penerbit, dan melihat buku saya dijual di toko buku. Dalam beberapa hal itu adalah pengalaman yang menyenangkan. Keuntungannya lumayan, dan suatu hari nanti mungkin saya akan coba menerbitkan buku lagi melalui penerbit. Walau jujur, sekadar diterbitkan bukanlah sesuatu yang keren-keren amat, dan juga bukan hal yang paling penting lagi.


Saya hanya ingin kita semua melihat lebih jauh. Dari perbincangan dengan beberapa editor saya tahu bahwa banyak penerbit sebenarnya punya keinginan untuk menerbitkan naskah fantasi lokal. Keinginan itu ada. Namun saya paham bahwa umumnya mereka akan sangat hati-hati jika harus menerbitkan naskah lokal. Itulah kenapa dari ratusan naskah fantasi yang dibuat di Indonesia, yang berhasil mendapat kesempatan terbit rata-rata tak lebih dari 20 buku per tahun.


Nah, yang perlu digarisbawahi adalah biasanya kualitas bukanlah isyu utama kenapa sebuah naskah bisa diterbitkan atau tidak. Masalahnya lebih pada keraguan penerbit apakah naskah itu bakal laku. Jika melihat data historis penjualan buku fantasi lokal dalam sepuluh tahun terakhir, wajar jika setiap penerbit ragu, dan gawatnya inilah yang terus menjadi patokan.


Alhasil ada semacam lingkaran setan yang tidak akan putus sampai kapan pun. Kesempatan bagi penulis semakin sempit (dengan asumsi penulis yang tumbuh semakin banyak, tetapi yang bisa diterbitkan tetap hanya segelintir, sehingga pada akhirnya yang banyak itu menjadi malas menulis fantasi lagi), dan ruang bagi pembaca untuk memilih juga tetap terbatas.


Ini adalah situasi yang kontra-produktif, dan buat saya rasanya tidak benar.


Dalam pandangan saya pasar buku seharusnya dibentuk oleh dua pilar yang paling utama: penulis dan pembaca. Penerbit, distributor dan toko buku bukannya tidak penting (jangan marah ya), tetapi seharusnya bukan mereka yang menentukan dan memberi batasan. Bukan mereka yang menentukan buku seperti apa yang kira-kira bakal laku, naskah seperti apa yang seharusnya ditulis, atau buku seperti apa yang tersedia dan bisa dibaca oleh pembaca.


Penulis dan pembacalah yang seharusnya menentukan. Alih-alih mengungkung diri hanya dalam lingkaran kecil dengan batasan yang dibuat penerbit atau toko buku, kenapa tidak berkelana ke lingkaran yang jauh lebih besar, yang batasannya tak terhingga? Biarkan ratusan atau bahkan ribuan penulis itu menulis apapun yang mereka mau, kemudian menjual sendiri semuanya ke pasar. Biarkan pembaca bebas memilih, membeli dan membaca apapun yang mereka suka.


Ya, dengan semakin banyak buku yang ditawarkan pasti semakin lebar pula kualitasnya. Ada yang bagus, ada yang rata-rata, ada yang jelek, ada yang jelek banget, semuanya tergantung selera atau penilaian masing-masing. Tapi ya biarkanlah pembaca sendiri yang menyaring dan memilih, tidak harus lewat penerbit atau toko buku. Ini kan ibarat RUU Pilkada yang sekarang lagi ramai. Mau serahkan ke DPR, atau mau biarkan rakyat saja yang memilih?


Inilah yang mendorong saya untuk mendukung penerbitan buku secara indie, memberi sedikit pemahaman dan semangat—terutama kepada rekan-rekan penulis—bahwa penerbitan dengan cara ini bukanlah sebuah ketidakpuasan atau tindakan putus asa karena naskahnya terus-menerus ditolak penerbit. Sebelum ini saya menulis bahwa penerbitan indie adalah salah satu proses untuk membuat naskahnya hidup lebih awal, mendapat tanggapan, untuk kemudian membuatnya jadi lebih baik. Kali ini saya ingin berkata bahwa tujuannya jauh lebih besar.


Ini memberi kita kebebasan, dan kesempatan yang lebih besar untuk berkreasi, dan memilih.


Inilah esensi dari penerbitan indie. Ada sesuatu yang tidak bisa dipenuhi oleh dunia penerbitan yang biasa, dan karenanya penulis didorong untuk berani berkreasi dan mengambil inisiatif. Dengan cara ini pembaca kemudian diberi lebih banyak pilihan, dibuat menjadi lebih tertarik, dan selanjutnya diberi kemudahan untuk mencari dan membeli buku indie tersebut.


Jaman sekarang toh segala sesuatunya sudah dipermudah. Percaya atau tidak, model penerbitan seperti inilah yang akan berkembang di tahun-tahun mendatang. Penulis bisa berhubungan langsung dengan pembaca. Atau paling tidak penulis memiliki tim kecil yang terdiri dari editor, ilustrator, layouter/setter dan marketer. Penjualan tidak lagi menggunakan toko buku, cukup dengan memesan secara online. Tidak perlu lagi mencetak buku sampai ribuan eksemplar, yang jika tidak laku berarti hanya membuang-buang kertas sampai jutaan lembar (sedih gak sih?). Mencetak buku ya secukupnya saja sesuai kebutuhan atau permintaan, tidak sampai berlebihan.


Itulah indie.


Pihak toko buku yang gede-gede mungkin tidak akan suka pada ide ini. Sekarang ini saat mereka masih mengendalikan pasar (bisa menentukan buku-buku mana yang katanya best-seller, mana yang pantas dipajang di display, dan mana yang patut disingkirkan ke gudang setelah dua bulan) mereka tidak akan peduli. Apalagi ini hanya pasar fantasi karya penulis lokal yang katanya kecil dan tidak signifikan. Tetapi nanti, ketika model penerbitan ini meluas sampai ke mana-mana …


Tapi, hei, biarkan semua orang bebas bergerak dan memilih, okay? Tidak perlu monopoli atau semacamnya. Kita semua hanya sedang saling membantu dan memberi manfaat.


Jadi, seperti yang sebelumnya saya sampaikan di Indie Corner, bagi rekan-rekan yang tertarik bergabung membangun/meramaikan dunia penerbitan indie, jangan sungkan-sungkan untuk ikut mempromosikan buku fantasi indienya melalui Kastil Fantasi. Kirimkan saja gambar cover, sinopsis, harga dan cara mendapatkan bukunya, ke e-mail saya di alamat: rdvillam-at-yahoo-dot-com.


Pada tulisan berikutnya saya akan sampaikan sedikit tip dalam menerbitkan buku secara indie. Untuk menunjukkan bahwa sebenarnya prosesnya tidaklah sulit, dan biayanya juga tidak sebesar yang mungkin ditakutkan selama ini, tergantung pada pilihan apa yang kita ambil.


Salam.



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 26, 2014 03:14
No comments have been added yet.