Alfin Rizal's Blog: Alfin Rizal
May 3, 2017
Dewi Kharisma Michellia ; MENGENAI LELAKU karya Alfin Rizal
Dalam salah satu cerpennya yang berjudul Bumi, Alfin Rizal mengisahkan tentang seorang anak yang merindukan dongeng-dongeng yang diceritakan ibunya untuknya. Persis seperti itulah kesan saya membaca cerpen-cerpen Rizal dalam kumpulan cerita pendek ini. Saya seakan membaca kumpulan cerita dongeng: tidak banyak bersolek dengan kata-kata dan merumit-rumitkan dalam bercerita. Narasinya mulus, dialog-dialognya tangkas. Seluruh cerita menyelipkan pesan moral, bukan yang menggurui, melainkan jenaka. Karenanya, bisa pula kita memposisikan diri sedang membaca dongeng dengan gaya cerita ala seri “Mati Ketawa”.Lelaku
Apa yang khas dari “Mati Ketawa” ala Rizal? Pertama, karena ia bercerita tentang dunia yang dekat dengannya, dunia seni dan seniman, maka dengan entengnya narator-narator dalam ceritanya menjabarkan stereotipe-stereotipe seniman yang membikin pembaca—yang meski tak berlatar belakang seni—tersenyum-senyum. Berikutnya, karena ia bercerita tentang keseharian orang biasa dengan tuturan yang jujur ala orang biasa, maka dapat kita harapkan ia merepresentasikan sedekat-dekatnya diri sang narator dan diri kita sebagai pembaca.
Rupa keseharian seorang seniman dapat kita lihat dalam sekian cerpennya. Percakapan macam apa yang bakal terjadi di antara seorang mahasiswa seni dengan tukang tambal ban motornya soal fashion “tanpa jiwa” para seniman kiwari? Atau bagaimana tanggapan seorang mahasiswa seni yang kritis terhadap basa-basi dalam sambutan-sambutan acara sekelas dies natalis di kampusnya dan terhadap isi dari pameran dalam acara itu?
Berbeda dengan orang lain, dan menjelaskan pandangan seniman yang nyentrik, narator dalam kisah Rizal misalnya tidak memaksakan pandangannya terhadap sesuatu. Dalam cerpen Kapasitas, kepada seorang bergaya ala seniman yang tampaknya tak dihargai oleh orang lain, naratornya hanya memberi sebutan “tukang ngimpi”. Ia bahkan bermain-main dengan istilah ‘abnorma’, untuk menyitir ‘abnormal’.
Dengan ringan, dalam cerpen berjudul Metafora, narator Rizal dalam suatu kelas perkuliahan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ontologis yang menyoalkan “apa itu seni”. Alih-alih menggantungkan jawaban atas pertanyaan itu, di akhir cerita pembaca semestinya dapat menangkap pandangan Rizal yang dituangkannya dalam fiksinya ini: betapa seni amat bersifat personal, menyitir sebuah ujaran: bagimu senimu, bagiku seniku.
Berdekade-dekade silam, lewat Nota Over de Volkslectuur Penerbit Balai Pustaka pernah melarang terbit fiksi-fiksi dengan bahasa ala Melayu Pasar. Lewat terbitan-terbitannya, mereka memperkenalkan gaya bahasa baku dalam penulisan karya sastra. Dengan pembakuan seperti itu, usaha eksperimental atau ala-ala mbeling dan cerita-cerita stensilan tak mungkin mendapatkan tempat terpandang. Imbasnya, ada kemungkinan sejak saat itu masyarakat pembaca mengalami keterputusan bacaan. Mengapa? Bisa jadi, lantaran bagi sebagian besar masyarakat di negara ini, cerita dengan gaya Melayu Pasar-lah yang paling memperoleh tempat di hati pembacanya. Karena bahasa penulis cerita-cerita Melayu Pasar itu dekat dengan bahasa pembacanya. Gaya bercerita Rizal dalam Sambutan Orang Gila, Percakapan di Negeri Topeng, ataupun sekian cerpennya soal kehidupan Sulastri, Supri, Marno, dan Paimo bisa jadi memperbaiki “jembatan putus” itu. Masih menyoal bahasa, meski di beberapa bagian narasi Rizal masih tampak kekeliruan tata bahasa dasar, seiring jalan Rizal tentu dapat mengupayakannya agar menjadi lebih baik.
Hal apa lagi yang merefleksikan cerita ala Melayu Pasar? Selain dengan bahasanya yang begitu lentur, melompat dari bahasa Indonesia sehari-hari ke aksen Jawa, semesta cerita Rizal pun kuat akan unsur yang dekat dengan tradisi masyarakat Jawa. Lewat Sulastri, Supri, Marno, dan Paimo ia menghadirkan suasana domestik pada umumnya, dan dalam cerpen Pasan, ia membawakan setting sebuah pondok pesantren.
Pada akhirnya, berancang-ancang lewat epilog yang begitu bersemangat dari salah seorang tokoh fiksinya, Supri, kita semestinya dapat berharap akan menemukan pencarian yang lebih dalam tentang keseharian seniman dan orang biasa dalam cerita-cerita Rizal di masa mendatang.
Apa yang khas dari “Mati Ketawa” ala Rizal? Pertama, karena ia bercerita tentang dunia yang dekat dengannya, dunia seni dan seniman, maka dengan entengnya narator-narator dalam ceritanya menjabarkan stereotipe-stereotipe seniman yang membikin pembaca—yang meski tak berlatar belakang seni—tersenyum-senyum. Berikutnya, karena ia bercerita tentang keseharian orang biasa dengan tuturan yang jujur ala orang biasa, maka dapat kita harapkan ia merepresentasikan sedekat-dekatnya diri sang narator dan diri kita sebagai pembaca.
Rupa keseharian seorang seniman dapat kita lihat dalam sekian cerpennya. Percakapan macam apa yang bakal terjadi di antara seorang mahasiswa seni dengan tukang tambal ban motornya soal fashion “tanpa jiwa” para seniman kiwari? Atau bagaimana tanggapan seorang mahasiswa seni yang kritis terhadap basa-basi dalam sambutan-sambutan acara sekelas dies natalis di kampusnya dan terhadap isi dari pameran dalam acara itu?
Berbeda dengan orang lain, dan menjelaskan pandangan seniman yang nyentrik, narator dalam kisah Rizal misalnya tidak memaksakan pandangannya terhadap sesuatu. Dalam cerpen Kapasitas, kepada seorang bergaya ala seniman yang tampaknya tak dihargai oleh orang lain, naratornya hanya memberi sebutan “tukang ngimpi”. Ia bahkan bermain-main dengan istilah ‘abnorma’, untuk menyitir ‘abnormal’.
Dengan ringan, dalam cerpen berjudul Metafora, narator Rizal dalam suatu kelas perkuliahan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ontologis yang menyoalkan “apa itu seni”. Alih-alih menggantungkan jawaban atas pertanyaan itu, di akhir cerita pembaca semestinya dapat menangkap pandangan Rizal yang dituangkannya dalam fiksinya ini: betapa seni amat bersifat personal, menyitir sebuah ujaran: bagimu senimu, bagiku seniku.
Berdekade-dekade silam, lewat Nota Over de Volkslectuur Penerbit Balai Pustaka pernah melarang terbit fiksi-fiksi dengan bahasa ala Melayu Pasar. Lewat terbitan-terbitannya, mereka memperkenalkan gaya bahasa baku dalam penulisan karya sastra. Dengan pembakuan seperti itu, usaha eksperimental atau ala-ala mbeling dan cerita-cerita stensilan tak mungkin mendapatkan tempat terpandang. Imbasnya, ada kemungkinan sejak saat itu masyarakat pembaca mengalami keterputusan bacaan. Mengapa? Bisa jadi, lantaran bagi sebagian besar masyarakat di negara ini, cerita dengan gaya Melayu Pasar-lah yang paling memperoleh tempat di hati pembacanya. Karena bahasa penulis cerita-cerita Melayu Pasar itu dekat dengan bahasa pembacanya. Gaya bercerita Rizal dalam Sambutan Orang Gila, Percakapan di Negeri Topeng, ataupun sekian cerpennya soal kehidupan Sulastri, Supri, Marno, dan Paimo bisa jadi memperbaiki “jembatan putus” itu. Masih menyoal bahasa, meski di beberapa bagian narasi Rizal masih tampak kekeliruan tata bahasa dasar, seiring jalan Rizal tentu dapat mengupayakannya agar menjadi lebih baik.
Hal apa lagi yang merefleksikan cerita ala Melayu Pasar? Selain dengan bahasanya yang begitu lentur, melompat dari bahasa Indonesia sehari-hari ke aksen Jawa, semesta cerita Rizal pun kuat akan unsur yang dekat dengan tradisi masyarakat Jawa. Lewat Sulastri, Supri, Marno, dan Paimo ia menghadirkan suasana domestik pada umumnya, dan dalam cerpen Pasan, ia membawakan setting sebuah pondok pesantren.
Pada akhirnya, berancang-ancang lewat epilog yang begitu bersemangat dari salah seorang tokoh fiksinya, Supri, kita semestinya dapat berharap akan menemukan pencarian yang lebih dalam tentang keseharian seniman dan orang biasa dalam cerita-cerita Rizal di masa mendatang.
Published on May 03, 2017 05:09
•
Tags:
alfin-rizal, dewi-kharisma, indonesia, kumpulan-cerpen, lelaku, penulis
February 6, 2017
RINDU
Jika saat ini kau merasakan sesak pada rongga dadamu seolah gagal bernafas padahal nyata normal kau hirup dan hempas udara yang menyelimutimu, atau kau pejamkan mata hingga padam namun terang benderang yang kau pandang untuk menangkap bayanganku dan lebih nyata ketimbang saat kau belalakkan mata, maka sudah saatnya kukisahkan kau tentang rindu!
“Sungguh, hanya hujan yang mampu memanggil mimpi-mimpi tanpa harus terlelap tidur!” bisikmu pelan sembari memandangi rinai yang berbaris di luar dan meninggalkan bulir-bulir bening pada kaca jendela kamarmu.
Aku hanya memandangi pancar matamu yang berpendar memandang gelisah basah bumi. Suaramu semakin pelan dikalahkan bisik rinai yang jatuh meninggalkan rembulan.
"Jangan tidur dulu, sebab mewujudkan apa yang kita mimpikan lebih asyik daripada hanya memimpikan apa yang ingin kita wujudkan."
Alfin Rizal, februari 2017
“Sungguh, hanya hujan yang mampu memanggil mimpi-mimpi tanpa harus terlelap tidur!” bisikmu pelan sembari memandangi rinai yang berbaris di luar dan meninggalkan bulir-bulir bening pada kaca jendela kamarmu.
Aku hanya memandangi pancar matamu yang berpendar memandang gelisah basah bumi. Suaramu semakin pelan dikalahkan bisik rinai yang jatuh meninggalkan rembulan.
"Jangan tidur dulu, sebab mewujudkan apa yang kita mimpikan lebih asyik daripada hanya memimpikan apa yang ingin kita wujudkan."
Alfin Rizal, februari 2017
Published on February 06, 2017 03:57
•
Tags:
alfin-rizal, catatan-rindu, cinta, februarindu, kangen, mimpi, rindu
February 4, 2017
INGATAN
HUJAN memaksaku untuk mengenang kening kenanganmu, Kekasih. Di ambang pintu reyot bangunan tua di ujung selatan, kecupmu menguncup di pelarian dekapanku yang kau bilang begitu hangat. Waktu itu hujan turun tanpa peringatan dan tanda jenuh. Telapak tanganmu bersatu saling menyentuh sembari ditemani tiup bibirmu yang utuh. Gigil tengah gagal melipur dinginnya tubuhmu, namun kemudian kau gayuh lenganku untuk kau kaitkan bersama lenganmu yang bulu kecilnya mulai bergemuruh. Kau kedinginan sayangku.
Kekasih, aku yakin sebab detak jantung ketika tiap detik kau cairkan darah asmara lewat kisah kasih yang melupakan kesah keluh itulah hujan mengerti persandingan kita waktu itu.
Tak kurang, tak lebih, lantaran memang tepat pada tetesan hujan inilah aku dipermainkan lorong waktu. Meski puluhan musim dan lelah lapuknya usia tengah terjadi, agaknya tak ada yang berubah selain kesendirianku kini, kekasih. Hujannya air masih memancarkan kesaksiannya, gersang lapisan pintu berkayu senja serta angin yang dulu menyibukkan hujan dan gerakmu pun masih nampak kurasa. Benar hanya karena engkau tak lagi mengaitkan lengan kita, semuanya menjadi sangat berbeda.
Aku masih menyapamu sebagaimana kau menyapaku dulu; kekasih. Namun penantianku sudah tak lagi sama seiring melajunya sang waktu. Kian pelik dan licik bayang-bayangmu menggerayangi ingatanku. Sebab kepergianmu yang mendadak bergejolak memburu haru biru dalam hatiku. Kerinduan yang semula kunyatakan mampu bertahan berujung dengan isyarat bahwa akan menjadi puncak paling berat. Kau paham bukan, seberat-beratnya rindu ialah merindukanmu yang tak mungkin lagi bernafas di hadapanku.
Kekasih, sedihku bukan sebab Tuhan mencintaimu sehingga kau harus digegaskan untuk menemui-Nya. Namun lantaran ingin dan angan kita yang begitu saja hilang bahkan kini kutanggung sendirian.
Katakanlah para iblis membangunkanku sebuah istana megah, aku tak ingin menjadi rajanya jika bukan kau yang mendampingiku sebagai ratunya. Rongga hatiku merongrong serupa gorong-gorong yang dibanjiri limbah kerelaan yang palsu.
- Alfin Rizal, Yogyakarta 2017
Kekasih, aku yakin sebab detak jantung ketika tiap detik kau cairkan darah asmara lewat kisah kasih yang melupakan kesah keluh itulah hujan mengerti persandingan kita waktu itu.
Tak kurang, tak lebih, lantaran memang tepat pada tetesan hujan inilah aku dipermainkan lorong waktu. Meski puluhan musim dan lelah lapuknya usia tengah terjadi, agaknya tak ada yang berubah selain kesendirianku kini, kekasih. Hujannya air masih memancarkan kesaksiannya, gersang lapisan pintu berkayu senja serta angin yang dulu menyibukkan hujan dan gerakmu pun masih nampak kurasa. Benar hanya karena engkau tak lagi mengaitkan lengan kita, semuanya menjadi sangat berbeda.
Aku masih menyapamu sebagaimana kau menyapaku dulu; kekasih. Namun penantianku sudah tak lagi sama seiring melajunya sang waktu. Kian pelik dan licik bayang-bayangmu menggerayangi ingatanku. Sebab kepergianmu yang mendadak bergejolak memburu haru biru dalam hatiku. Kerinduan yang semula kunyatakan mampu bertahan berujung dengan isyarat bahwa akan menjadi puncak paling berat. Kau paham bukan, seberat-beratnya rindu ialah merindukanmu yang tak mungkin lagi bernafas di hadapanku.
Kekasih, sedihku bukan sebab Tuhan mencintaimu sehingga kau harus digegaskan untuk menemui-Nya. Namun lantaran ingin dan angan kita yang begitu saja hilang bahkan kini kutanggung sendirian.
Katakanlah para iblis membangunkanku sebuah istana megah, aku tak ingin menjadi rajanya jika bukan kau yang mendampingiku sebagai ratunya. Rongga hatiku merongrong serupa gorong-gorong yang dibanjiri limbah kerelaan yang palsu.
- Alfin Rizal, Yogyakarta 2017
Alfin Rizal
Menulis adalah salah satu caraku bersyukur kepada Tuhan
- Alfin Rizal's profile
- 50 followers
