Goodreads Indonesia discussion
Is Google Making Us Stupid?
wah gimana yah? kalo ga ada mbah Google en guru wikipedia, pasti saya orang yang paling kuper sedunia.
biar tidak jadi bodoh, aku tidak lagi pakai google. tapi pakai yahoo atau lycoskira-kira ikutan bodoh gak ya?
Ah, masih banyak yang beriman pada superioritas kodeks pabrikan masal rupanya.
Saya tidak tahu dan jujur saja tak peduli apakah Google membuat saya dan orang seperti saya makin bodoh atau tidak. Moga-moga itu benar. Yang saya tahu pasti, Google membuat hidup saya dan orang-orang lainnya berbeda :)
Toh the medium is the message, eh bukan mess age, eh mass age oh, iya .... the MASSAGE! the MASSAGE! :D
Saya tidak tahu dan jujur saja tak peduli apakah Google membuat saya dan orang seperti saya makin bodoh atau tidak. Moga-moga itu benar. Yang saya tahu pasti, Google membuat hidup saya dan orang-orang lainnya berbeda :)
Toh the medium is the message, eh bukan mess age, eh mass age oh, iya .... the MASSAGE! the MASSAGE! :D
Is Google Making Us Stupid?Nggak ah kaya'nya ... wong dari dulu aku juga udah stupid kok hehehe.....
apa gue kirim voucher aja yah Jenderal Erie? Voucher pijat zombie hihihi :D
@Jenderal Erie: hehehe, jadi inget lagunya Rockapella kiriman Jenderal Erie :D
@Mas Tomo: Setuju! Eh, maksudnya, gue sadar sekarang. Gugel, Internet, hiperteks (baik yg daring maupun yg luring) dkk. dari waktu ke waktu setia menyadarkan gue bahewa emang gue lebih bodoh dari yg gue kira :D
kalu kagak insentif [belajar (/):] baca ga ada lagi kan?
@Mas Tomo: Setuju! Eh, maksudnya, gue sadar sekarang. Gugel, Internet, hiperteks (baik yg daring maupun yg luring) dkk. dari waktu ke waktu setia menyadarkan gue bahewa emang gue lebih bodoh dari yg gue kira :D
kalu kagak insentif [belajar (/):] baca ga ada lagi kan?
loh...kalao yang bikin kemampuan gw menurun adalah.. 'PHONEBOOK'!!!
Sebagai mathematic lover, sejak kecil gw banyak ingat luar kepala berbagai nomer telpon temen2, sodara,, tanggal lahir, kode pos..
nah sekarang, dikit2 liat phonebook, dikit2 liat phonebook..
apa karena waktu gw sekolah nomer telpon baru sedikit ya?? atau karena sekarang mana no telp 13 angka, banyak temen yang harus dihapal lagi nomernya.. Kalo hp ilang dah kalang kabut karena yang keinget juga ga nyampe 10..
lita wrote: "jelaslah bahwa buku tetap yang terbaik...hehehe..." *hidup Google books!* hehehe... gimana, Lit?
oh tidak.. tidak..i'm not 30 already..!! (in a couple of months maybe..)
setuju..
buku lebih baik dari phonebook.. kalau cuma inget sebagian masih ngerti maknanya..
lha kalo no telp? inget sebagian ga ada gunanya..
Toni wrote: "lita wrote: "jelaslah bahwa buku tetap yang terbaik...hehehe..." *hidup Google books!* hehehe... gimana, Lit?"judulnya kan tetep buku, ton...hahaha...pa kabar pak? masih di makassar?
@ James (#14):akurrr.... :-)
@ Coqueline:
baru sadar nih ... kaya'nya konsentrasi mulai sering hilang saat membaca, sejak usia "menginjak" kepala 3. Padahal aku baru mulai senang nginternet dan ngegoogle baru pas saat usia pertengahan 30-an.
hehe...
awal mulanya karena tercipta "copy-paste"
*nyambung ga sih?*
*nyambung ga sih?*
sekali lagi, gue ga bakalan jadi diri gue sekarang kalu ga ada Goggle V huahahaha ;P
Jenderal Erie, yg bener itu ejaannya Voltus apa Voltes sih? :P (makin ga jelas)
voltes kalo gak salah ejaan jepun yah? ejaan gw jaman kecil mah di video betamax nya tertulis voltus :D
hahaha goggle v ama voltus dasar ternyata ini tempat berkumpulnya jadulers *ngelirik wakil ketua afrit* ... ngacir ah aku masih abg :D
Andri wrote: "Is Google Making Us Stupid? .. jawabannya gw googling dulu yah...klo aja ada kotak pilihan: "like this comment", pasti aku klik :)
buat Indri: salam kenal, 30 is gorgeous lagi, matang dan berisi gimana gtu... *mxdnya berisi karena proses metabolisme melambat, dan terjadi penumpukan lemak :p*
berkat paman google, yg usia 30 jd tdk terlalu lemot :D
Berlian wrote: "Kayaknya gak deh. Kalo gstring dan gspot iya, bikin kepala atas gak bisa mikir:D"
gyahahaha... *ketawa durjana*
Berlian wrote: "Andhi wrote: "kalau gmail termasuk bikin bodoh ga?"Kayaknya gak deh. Kalo gstring dan gspot iya, bikin kepala atas gak bisa mikir:D
"
ya kepalanya dipake mikir gmail
*apa coba..*
@ Berlian (#33):Bukannya malah para g itu bikin kepala atas berpikir keras untuk bisa "nambah" hehe
udah-udah daripada nuduh google dan para g yang lain mending tuduhlah aku sepuas hatimu.... hehehe
Teknologi emng lahir sesuai dg spirit zamannya kan, bentar lg kayanya bakal ada chip google yg bs ditempelin ke otak biar kita lebih pinter dan gak usah repot ketak-ketik serta melototin layar monitor deh hehe... Utk para guru memang udh gak relevan lg sistem pembelajaran klasikal top down, guru lebih pada seorang partner dan fasilitator pengetahuan pada murid2nya.
teknologi manggut manggut ada juga gak y... biar leher gak sakit... *manggut manggut juga tapi pake ngelus dagu*
atas berkat info dari Ephi, banyak orang lagi merasa stupid skarang gara2 gmail lagi down. untung akun gue belon kena pengaruh :D
cepat sembuh ya gmail hehehe
cepat sembuh ya gmail hehehe
google suka maen monopoli ! huhmending pake punya tetangga yg fasilitas bagus atau punya sendiri yg fasilitasnya gak lengkap?
butuh search engine yg indonesia banget! kalo aku bisa buat, bakalan hype tuh.. wkwk
Judul yang lebih relevan sekarang mungkin Is Social Media Making Us Stupid? Anak2 sekarang lebih percaya apa yang dibaca di social media, daripada googling sendiri dan riset tentang informasi yang akurat.
anak2 sekarang gak maenan kelereng, lompat tali, petak umpet, sodor, maenannya internetan, sosmed,
semua dimulai dari akses mereka ke gadget.. ya ga ?
gw lebih setuju klo google yg bikin gitu.. klo gak ada di google masih ketemu tuh sosmed? wkwk
ngaco dikit boleh yaaa
Silvana wrote: "Judul yang lebih relevan sekarang mungkin Is Social Media Making Us Stupid? Anak2 sekarang lebih percaya apa yang dibaca di social media, daripada googling sendiri dan riset tentang informasi yan..."
mungkin karena artikelnya dibuat tahun 2008, dan yang saat itu booming cuma Google, jadi yah gitu deh.
klo sekarang yah jelas, socmed menguasai segala hal ...
Google "hanyalah" pengepul informasi. Apakah informasi itu benar atau salah, itu bukan urusan Google. Google tidak membedakan informasi dan disinformasi, walau page rank mungkin mengarah kesitu. Tapi terus terang aku gak tau pasti, aku bukan orang IT.Buku bagaimanapun, adalah sumber informasi yang lebih terpercaya, karena ia telah melalui tangan editor dan penerbit, walaupun tidak ada jaminan juga. Tapi paling tidak mendingan dibandingkan dengan informasi dari tangan siapa saja yang asal punya akses internet.
Yang bikin pinter itu libgen.
Dulu jaman ketika ada suatu pertanyaan kita memikirkan terlebih dahulu jawabannya, sekarang apapun pertanyaannya kita cenderung langsung mencarinya di google... mungkin itu awal dari kenapa otak menjadi melambat kinerjanya.. Saya juga turut merasakannya
setahu saya tentang apa yang dilakukan Google, memang mereka secara halus melakukan tindakan 'penyortiran' informasi, dengan berbagai macam alasan, seperti isu politik (masukan dari negara-negara tertentu), dan isu finansial (dengan mengiklan di Google, otomatis produk kita bisa tampil lebih dahulu di mesin pencarian mereka).Kita memang tidak bisa lepas dari mesin pencari seperti Google, yang perlu kita lakukan adalah 'menyortir kembali' informasi yang kita terima, melakukan kroscek tentang informasi tersebut ke pihak lain yang bisa kita percaya.












By Nicholas Carr
The Atlantic Online - July/August 2008
Tulisan “Is Google making us stupid?” selain berjudul provokatif, juga mulai dengan dramatis sekali: suatu adegan menegangkan dari film 2001: A Space Odyssey, film fiksi sains yang sangat terkenal dari Stanley Kubrick, buatan tahun 1968. Di samping kedua astronot Dave dan Frank, tokoh yang sangat penting dalam film itu adalah HAL, suatu superkomputer, yang memiliki kecerdasan (intelligence) mirip kecerdasan manusia. Dialah yang mengendalikan hampir semua kegiatan di spaceship Discovery One yang menuju planet Jupiter. Ada beberapa kejadian dalam perjalanan itu yang mencurigakan karena bisa terjadi akibat HAL tidak berfungsi dengan baik (malfunction), atau lebih mengerikan, HAL mulai bertindak sesuai keinginannya sendiri (jadi bukan seperti mesin lagi!). Dave, yang hampir celaka karena ulah HAL, memutuskan untuk mencabut sambungan jaringan memori yang mengendalikan otak artifisial HAL. HAL memohon agar Dave tidak melakukannya: “Dave, stop. Stop, will you? Stop, Dave. Will you stop, Dave?” Tapi Dave dengan tenang meneruskan proses pencabutan, dan HAL mengeluh dengan sedih: “Dave, my mind is going” …. “I can feel it. I can feel it.”
Itulah yang terjadi pada HAL. Ia kehilangan otaknya, kemampuan berfikirnya, dan itulah yang menurut Carr juga sedang terjadi dengan dia sendiri, dia juga merasa bahwa otaknya tidak lagi berfungsi sebagai dulu:
Saya merasakannya juga. Selama beberapa tahun belakangan ini saya punya perasaan yang tidak enak bahwa ada seseorang, atau sesuatu, mengutak-atik otak saya, mengubah jaringan saraf, memprogram ulang memoriku. Kemampuan berfikir saya, setahu saya, tidak sedang lenyap, tapi sedang berubah. Saya tidak berfikir lagi seperti saya dulu berfikir. Saya paling bisa merasakannya saat saya sedang membaca. Dulu mudah sekali untuk tenggelam dalam keasyikan membaca buku atau artikel panjang. Pikiran saya hanyut dalam jalan cerita atau lika-liku suatu argumen, dan saya bisa selama berjam-jam dengan santai menjelajahi tulisan prosa yang panjang. Itu sekarang jarang terjadi lagi. Kini konsentrasi saya mulai buyar setelah dua atau tiga halaman. Saya mulai gelisah, lupa jalan cerita, mulai cari-cari kesibukan lain. Saya merasa seakan-akan harus terus menerus menyeret pikiran saya, yang mau lari entah kemana, kembali ke teks bacaan. Kegiatan membaca dengan penuh konsentrasi yang dulu merupakan sesuatu yang bisa saya lakukan dengan begitu saja, sudah menjadi suatu perjuangan.
Carr melanjutkan bahwa ia tahu apa yang sedang terjadi dan apa yang menjadi biang keladinya: Internet! Dijelaskannya bahwa sudah lebih dari sepuluh tahun ia menghabiskan banyak waktu online untuk surfing, menelusur dan menulis. Ia bersyukur karena berkat web pekerjaannya sebagai pengarang menjadi jauh lebih lancar. Tak perlu lagi ia menghabiskan waktu berhari-hari di ruang majalah atau ruang baca perpustakaan. Dalam hitungan menit informasi yang diperlukan bisa ditemukan. Dengan menelusur lewat Google, klik sana klik sini, kutipan yang tepat sudah ketemu. Dan, kalau tidak bekerja pun ia asyik di Web: menulis dan membaca e-mail, scanning tajuk-tajuk berita, baca posting di blog, nonton video, mendengar podcast, atau loncat dari satu link ke link lain.
Carr mengakui: “Bagi saya, seperti bagi orang lain, internet sedang menjadi medium yang universal, suatu saluran bagi kebanyakan informasi yang mengalir lewat mata dan telinga saya masuk ke dalam otak saya.” Memang akses langsung ke koleksi sumber informasi yang begitu kaya dan bervariasi amat menguntungkan. Tapi ada pula harga yang harus dibayar untuk itu! Saluran, atau media, bukanlah sesuatu yang sekedar menyalurkan informasi secara pasif. Media menjadi saluran yang mensuplai bahan yang membuat kita berfikir, tetapi media sekaligus membentuk proses berfikir itu. Carr merasa bahwa ia sudah mulai membayar harga yang mahal itu. Ia merasa bahwa internet lambat laun mengurangi kemampuannya untuk berkonsentrasi dan berkontemplasi. Otaknya sekarang ingin menyerap informasi dengan cara yang sama seperti cara informasi disebarkan di internet, yaitu sebagai suatu arus butir-butir kecil yang mengalir dengan cepat. Dulu ia menyelam bagaikan seorang scuba diver di dalam lautan kata-kata, sedangkan sekarang ia berselancar di atas permukaan lautan bagaikan seorang pemuda naik Jet Ski.
Teman dan kenalan Nicholas Carr mengalami gejala yang kira-kira sama. Makin banyak mereka menggunakan web, makin besar kesulitan yang mereka alami ketika mau membaca tulisan yang panjang. Susah untuk tetap fokus. Ada yang mengaku bahwa ia sudah berhenti membaca buku samasekali. Padahal ia dulu studi sastra dan melahap buku. Bagi yang lain membaca adalah men-scan cepat-cepat cuplikan teks pendek-pendek dari banyak sumber online. Bagi teman ini suatu post di blog yang cuma tiga atau empat paragraf sudah terlalu banyak untuk diserap. Ia cuma membacanya cepat dan sekilas.
Sudahkah gejala yang meresahkan ini diteliti secara ilmiah? Carr melaporkan bahwa belum ada studi atau eksperimen neurologi dan psikologi yang memberikan gambaran yang definitif bagaimana internet berpengaruh pada daya kognitif manusia. Memang ada suatu studi yang baru-baru saja dipublikasikan tentang perilaku pengunjung dua situs research yang populer, satu situs dioperasikan oleh British Library dan satu oleh suatu konsorsium Inggris. Para peneliti dari University College London yang melakukan studi ini menemukan bahwa pengunjung loncat dari satu situs ke situs lain dan jarang kembali ke suatu situs yang sudah pernah dikunjungi. Mereka biasanya membaca cuma satu dua halaman dari suatu artikel atau buku sebelum melesat ke situs lain. Meskipun mereka kadang-kadang menyimpan (save) artikel panjang, tidak ada bukti bahwa mereka betul-betul membaca artikel tersebut. Para penulis studi tersebut melaporkan:
Jelas bahwa pengguna yang membaca online tidak membaca dalam arti tradisional; bahkan ada tanda-tanda bahwa bentuk-bentuk “membaca” yang baru sedang muncul ketika pengguna sedang “power browse” secara horisontal melalui judul-judul, halaman isi dan abstrak untuk mendapatkan hasil yang cepat. Bahkan mereka sepertinya sengaja menelusur online agar tidak perlu membaca dalam arti tradisional.
Perubahan dalam cara kita membaca perlu dicermati sebab perubahan itu erat terkait dengan perubahan dalam cara berfikir, dan bahkan perubahan dalam persepsi kita tentang diri kita sendiri. Carr mengutip pendapat Maryanne Wolf, pakar psikologi perkembangan dari Tufts University dan penulis buku Proust and the Squid: The Story and Science of the Reading Brain. Wolf berkata: “We are how we read” dan mengutarakan alasannya mengapa ia cemas mengamati gaya membaca yang dipicu oleh Internet. Gaya itu mengutamakan efisiensi dan kesegeraan (immediacy) di atas segala-galanya. Dan gaya macam ini melemahkan kapasitas kita untuk membaca mendalam, yaitu cara membaca yang mulai muncul ketika mesin cetak menghadirkan karya-karya prosa yang panjang dan kompleks. Wolf berpendapat bahwa bila kita membaca online, kita cenderung cuma menjadi “decoders of information“. Kemampuan kita untuk menginterpretasi teks, untuk membuat hubungan-hubungan mental yang terbentuk apabila kita membaca dengan mendalam dan penuh konsentrasi tidak diaktifkan.
kelanjutan dari artikel ini bisa di baca di: http://pustakawan2009.wordpress.com/2...