Jatuh Bangun Cinta Yumisa (Based On True Story): Bab 3 Ternyata Sudah Ada yang Punya
Hari ini rasanya aku ingin melompat setinggi-tingginya karena komputer di tempat kursusku kembali memiliki koneksi internet. Aku pun rusuh membuka jendela internet dan mengetik alamat Friendster. Dari sana aku login dan mulai mengetikkan akun Friendster-mu. Padahal namamu ada di urutan ke 14 di kertas itu.Aku bersyukur ketika menemukan profil Friendstermu tidak dikunci, itu berarti aku dengan leluasa bisa melihat isinya. Namun hatiku yang tadinya ibarat langit siang, seketika berubah menjadi langit malam ketika menemukan sebuah komentar.Comment From Salma:Jay, I miss you so. Makasih ya buat kalung L nya. Lihat foto aku deh. Udah aku pake lho.Tubuhku pun lunglai di kursi. Ternyata tebakan Noelan tidak salah, tidak mungkin Atmajaya tidak memiliki pacar. Walau hatiku tengah tergores, aku malah nekat membuka profil cewekmu. Manisnya. Aku jadi iri. Kulihat kalung simbol L karakter utama dalam Death Note yang menggantung di lehernya. Sepertinya ceweknya itu juga menyukai manga dan anime dari Jepang.Pupus sudah harapanku. Eh—tunggu dulu. Kalau kamu tidak punya pacar pun memangnya aku punya kesempatan? Aku baru sadari itu. Aku benar-benar bingung. Jika kamu menyukaiku juga aku pasti sangat senang. Lalu bagaimanakah nantinya? Hmm, lagi-lagi aku berpikir terlalu jauh. Aku tidak akan pernah merusak prinsipku yang tidak ingin berpacaran sebelum menikah. Sayangnya aku termasuk orang yang keras kepala. Karena setelah mengetahui kamu memiliki pacar pun aku tidak pernah menyerah. Aku biarkan kamu membayangi pikiranku selalu. Toh janur kuning belum terbentang di depan rumahmu.Aku pun mulai meng-add teman-temanku yang lain. Saat itu aku menyadari jika kamu sudah menerima pertemananku di Friendster. Aku ingin menoleh ke belakang, sepertinya kamu sedang online juga. Tapi aku mengurungkan niatku itu daripada aku kembali memanen malu. Aku pun langsung mengirimkan komentar di akunmu itu, biar bisa modus sekalian.Comment from Yumi;Hai, Jay. Makasih udah di-accept hehe.Sepuluh detik kemudian….Comment from Atmajaya:Sama2Mataku jadi sayu. Benar-benar percakapan yang singkat dan garing. Aku sendiri tidak tahu apa yang harus kubicarakan denganmu di kolom komentar itu. Aku lantas melirik jam. Waktu istirahat akan berakhir sepuluh menit lagi. Ketika kembali memandangi layar komputer rupanya ada yang meng-add Friendsterku. Aku pun melihat namanya dan nyaris terjungkal.Cewekmu ternyata meng-add Friendsterku!Bagaimana ini? Jangan-jangan ia tahu aku menyukaimu. Masak bisa tahu hanya dengan membaca komentar? Tapi kan insting cewek memang kuat. Aku mulai berpikir dua kali apakah aku harus menerima pertemanan itu atau tidak. Namun jika aku mendiamkannya bisa-bisa perasaanku ini malah terbongkar. Akhirnya aku pun menerimanya. Dan kita malah mengobrol melalui komentar Friendster itu.Situasi apa ini? Sungguh aneh bin ajaib!..Hari itu aku sedikit terlambat datang ke tempat kursus. Ketika sampai di daun pintu ruangan kelas aku terdiam sejenak melihat ke dalam. Ini kedua kalinya kamu duduk di belakang kursi yang biasa aku duduki. Aku pun memutar otak, tiba-tiba jantungku berpacu dan membuat tubuhku gerah seketika.Apa yang harus kulakukan? Kegugupan ini rasanya nyaris membuatku semaput. Tapi jika aku memilih kursi lain aku takut kamu mengira aku menjauhimu. Langkah kakiku pun jadi terasa dijejali besi dan aku memutuskan duduk di tempat biasa.“Lagi baca apa?” sapaku padamu.Kamu tersenyum menatapku. “Slam Dunk.”Ah, aku tahu tentang manga itu! “Wah, aku suka banget sama animenya. Seru dan bikin sakit perut. Aku nggak pernah berhenti ketawa nontonnya. Sayangnya episode terakhir animenya kayak ngegantung gitu ya?”“Kalau mau tahu ending-nya baca aja komiknya. Ini aku lagi baca jilid terakhir. Mau pinjam?”Mataku mengerjap. Tidak menyangka kamu berniat meminjamkan komik itu, padahal kamu sedang membacanya. “Kamu bukannya lagi baca?”“Aku udah baca ketiga kalinya ini. Habis seru, sih.”Aku mendengus dalam hati. Rupanya kamu sudah selesai membacanya. Agak kecewa sebenarnya. Aku mengira kamu akan rela meminjamkan komik itu, walau kamu belum selesai membacanya. Khayalanku memang mengada-ngada!“Nggak deh, Jay. Soalnya aku belum baca dari awal. Nanti aku malah jadi bingung.” Rasa gugupku pun makin tidak keruan. Aku pun merogoh isi tasku dan mengotak-atik ponsel untuk melenyapkan keadaan konyolku ini. Hari ini kamu sangat ganteng, habisnya aku bisa melihatmu dari dekat seperti ini.“Oh ya, kamu punya rekomendasi anime bagus nggak? Aku lagi bosan nih cuma nonton Naruto aja.” Aku mulai kembali mengajakmu ngobrol.Matamu berputar, tampak berpikir. “Ada, judulnya Midori no Hibi. Cerita cinta gitu, gimana? Kalau kamu mau besok aku bawain copy-annya.”Judul apa itu? Aku sama sekali tidak berminat menonton anime yang isinya cinta-cintaan. Tapi karena aku tahu ini adalah kesempatanku untuk lebih dekat denganmu akhirnya aku pun mengiyakan.“Kamu suka banget sama Midori no Hibi?”Kamu mengangguk dengan riang. “Soalnya cewek aku juga suka.”Aku cengok mendengarnya. Ekspresi bodohku itu tidak bisa kusembuyikan lagi. Untungnya matamu sedang fokus di komik itu. Aku teringat dengan obrolanku kemarin dengan Salma, pacarmu itu. Ia bilang paling menyukai anime Midori no Hibi karena ceritanya hampir mirip dengan kisah cinta kalian berdua.Kenapa seperti ini jadinya? Jadi, kamu ingin berbagi cerita percintaan kalian denganku? Hatiku remuk. Modus yang kulakukan tidak berarti apa-apa untukmu. Habis jatuh, aku malah ketiban tangga pula!..“Jadi, lo belum pernah pacaran, Mi?! Hahay! Memang kelihatan, sih!” Ranu mulai bawel.Aku pun menjitak kepalanya dengan buku. Kalau sudah bicara dengannya gaya bahasaku berubah jadi ala Betawi. “Bodo amat! Ini prinsip gue, tahu!”Kala itu beberapa teman sekelasku duduk di meja bundar yang cukup besar. Kami mengobrol banyak siang itu. Sampai akhirnya mereka asyik membahas prinsipku yang menurut mereka sangat langka itu.“Gue nggak nyangka masih ada aja cewek kayak lo di zaman sekarang!” Ranu malah makin tertawa kencang. Dasar! Dia pasti berpikir aku tidak laku!“Ih, Yumi keren, tahu, Nu! Kalau aku sih ngebayangin orang yang nggak pernah pacaran, pas menikah pasti jadi lebih kerasa suasana romantisnya,” Noelan membelaku. Ah, dia memang sahabat terbaikku.Mataku lantas tidak sengaja bertemu dengan mata cokelatmu. Kamu kemudian cepat berpaling. Kembali sibuk dengan ponsel di tanganmu. Kulihat bibirmu menyunggingkan senyuman tipis. Membuat mataku melebar. Apa maksudnya senyuman itu? Apakah kamu menyaluti aku atau kamu menertawaiku prinsipku yang dianggap langka ini? Yang jelas senyuman itu langsung mengganggu pikiranku.Lalu semenjak itu aku berharap bahwa suatu hari kamu akan mengerti mengapa aku memiliki prinsip ini. Aku mendoakanmu agar suatu saat kamu juga memutuskan tidak pacaran hingga waktu yang tepat untuk menikah.Aku tahu doa ini aku panjatkan hanya karena perasaan kecewaku saja. Aku tahu kamu adalah tipe cowok gaul yang tidak terlihat menegakkan hukum Islam secara menyeluruh.Tapi setelah sebulan ini memperhatikanmu selalu, aku sangat tahu kamu tidak pernah meninggalkan solat. Bahkan setelah azan kamu langsung segera ke musola untuk melaksanakan solat. Andai saja suatu saat kamu bisa menjadi lelaki yang selalu berusaha menegakkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh. Aku pikir hal itu bukanlah suatu hal yang mustahil.Hingga suatu hari nanti, akhirnya aku menyadari betapa besarnya kekuatan doa yang dipanjatkan berkali-kali. Seharusnya aku tidak pernah menganggapnya keluar hanya karena perasaan kecewaku saja…...Aku tergopoh-gopoh berlari ke musola. Kulihat keadaan Caca yang lemah dan setengah mati berusaha menarik oksigen di sekitarnya. Tapi terlihat sekali ia kesulitan melakukannya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tadi Noelan dengan wajah pucat berlari ke arahku dan mengatakan Caca lunglai ke lantai dan mengalami sesak napas.Karena aku tidak tahu harus berbuat apa, aku membiarkan Susan menuntun Caca untuk mengambil napas dalam berkali-kali. Waktu SMA Susan bercerita ia adalah anggota PMR, jadi ia tahu pertolongan pertama untuk orang yang mengalami sesak napas ini. Sayangnya karena memang Caca tidak memiliki riwayat asma, ia pun tidak memiliki obatnya.“Kita bawa ke Borromeus. Mumpung dekat. Gue takut ada apa-apa. Ada yang punya jaket nggak?” Sepertinya usaha yang Susan lakukan sia-sia. Tapi tindakannya cekatan sekali. Ia tidak menunggu lebih lama dan langsung melangkah lebih jauh.Teman-temanku yang cowok menggendong tubuh Caca yang berat itu. Sementara aku teringat jika kamu tadi mengenakan jaket. Aku pun langsung terbirit-birit mengejarmu yang untungnya saat itu sedang berada di tempat parkir motor, bersiap-siap pulang.“Jay, aku boleh pinjam jaket? Caca sesak napas. Badannya dingin banget.”“Kok bisa begitu?”Aku menggeleng kepala. “Aku juga nggak tahu. Sekarang mau dibawa ke Borromeus.”Kulihat kamu yang langsung membuka jaketmu itu. Aku pun meraihnya dengan sukacita, meski sebenarnya aku sedang panik. “Ada yang nganter Caca?”“Iya, tenang aja, Jay. Tuh dia lagi digendong sama beberapa orang,” aku menunjuk ke arah kerumunan orang yang berlari-lari kecil meninggalkan gerbang utama. Kuperhatikan wajahmu yang tampak khawatir sekaligus bingung.“Tenang aja, Jay. Rumahmu jauh kan di Soreang? Udah sore lho. Besok aja jenguk Caca-nya. Mudah-mudahan sih dia nggak dirawat,” ucapku seolah-olah tahu apa yang tengah kamu pikirkan.Kamu pun mengangguk dan segera menghidupkan motormu. “Aku pulang duluan ya.”“Hati-hati,” ucapku yang sebenarnya agak berat membiarkannya pergi. “Nanti jaketnya aku cuci, santai aja. Dijamin bersih.”Kamu hanya tersenyum dan segera tancap gas dari sana. Sementara aku, aku malah menatap jaketmu dengan mata berbinar. Kepanikanku hilang seketika. Aku segera berjalan santai ke Borromeus. Ya, teman-temanku sedang panik dan Caca sedang sakit, tapi aku malah terjerembab di imajinasiku sendiri. Aku meremas lembut jaket warna abu-abu itu. Kucium aroma yang menempel di sana. Aroma colognekhas laki-laki. Aku sering melihatmu mengenakan jaket ini, tapi jaketmu sama sekali tidak ada bau kecut sedikit pun.Pada akhirnya aku tidak rela melepaskan jaket itu. Bahkan saat sampai di Borromeus pun aku tidak memberikannya pada Caca. Aku terus menggenggamnya. Malam itu Caca dipindahkan ke Hasan Sadikin untuk perawatan intensif dan aku masih saja betah menggenggam jaket itu. Hingga akhirnya aku yang malah mengenakan jaket itu. Untungnya Caca sudah mendapatkan jaket lain. Keesokan paginya pun Caca sudah bisa pulang dari rumah sakit...Aku berlari kencang ketika keluar dari kosan. Aku tahu tadi aku asal-asalan mengenakan pakaian. Bahkan kerudung langsung yang kukenakan pun agak miring sebelah. Namun aku tak mengindahkannya, jantungku nyaris copot ketika mendapatkan telepon dari Noelan. Katanya Caca pingsan di supermarket di Bandung Indah Plaza. Memang semenjak keluar dari rumah sakit seminggu yang lalu keadaannya belum pulih benar.Aku segera menaiki angkutan umum. Sesampai di BIP, aku berlari kembali menuju supermarket dan menemukan Noelan duduk menemani Caca yang terbaring di atas tikar. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih pada petugas supermarket yang mengantarku ke ruangan istirahat karyawan supermarket ini. Kusadari teman kampusku yang lain, Opik dan Ihsal juga di sana. Kupandangi Caca dengan raut prihatin. “Apa nggak dibawa ke rumah sakit aja?” “Nggak mau. Aku udah sering ngerepotin kalian. Obat yang kemarin aja belum habis.” Susah payah Caca menguraikan kalimatnya. “Kita kayaknya besok harus nganterin Caca pulang ke Sukabumi. Kasihan dia udah dari seminggu lalu sakit-sakitan terus.” Kini Opik yang mengeluarkan pendapat. “Kebetulan gue sama Hadyan nyewa mobil seharian buat pindahan kosan besok. Gimana habis gue pindahan, kita langsung anterin Caca pulang? Sekalian Yumi mau pulang juga kan ke Bogor?” “Hah? Waduh nggak usah repot-repot. Gue udah booking travel buat besok,” jawabku pada Ihsal. “Lo masih bisa nge-cancel, kan? Udah ikut kita aja. Dijamin selamet, insya Allah. Si Hadyan jago nyetir. Dari Sukabumi ke Bogor nggak jauh ini. Sekalian kita making some memories lha.” Opik memberikan alasan logis. Mendengar nama Hadyan, aku melirik Noelan sejenak. Ingin menggoda, tapi melihat Noelan yang tidak begitu bersemangat aku pun mengurungkan niatku. Aku lantas berpikir sejenak. “Oke deh, gue keluar sebentar ya. Mau nelepon travel-nya. Gue ikut kalian besok. Sekalian neleponin ibu gue buat nyiapin masakan untuk kalian.” Noelan tersenyum. “Gitu dong ikut. Caca juga seneng kamu ikut, Mi. Ya kan, Ca?” Caca mengangguk perlahan. Meski tampak lemas, ia masih bisa menyunggingkan senyum tipis. Ia memang gadis yang tegar. Aku kemudian nyengir lebar, lalu berjalan keluar supermarket. Dalam hati aku cukup senang. Aku tahu, besok bakal jadi perjalanan yang tidak terlupakan. Sepertinya aku juga perlu melakukan beberapa rencana buat mendekatkan Hadyan sama Noelan. Ah, aku tidak sabar menunggu hari esok... Aku dan Noelan sibuk membantu Caca yang lagi-lagi muntah dalam perjalanan. Untungnya Noelan sudah menyiapkan kantong plastik kosong dan akhirnya kantong plastik itu terpakai juga. Aku dan dua sahabatku duduk di bangku mobil bagian tengah bersama dengan Opik. Sedangkan Ihsal duduk di bangku depan bersama dengan Hadyan yang bertugas mengendarai mobilnya. Baru kali ini aku berinteraksi dengan Hadyan. Meski wajahnya terlihat serius, rupanya ia cowok yang senang berguyon-ria. Kupikir ia memang cocok dengan Noelan yang easy going. “Sori banget aku lagi-lagi bikin repot kalian.” Caca mengelap bibirnya dengan tissue. “Kamu mau makan, Ca? Perjalanan kita lumayan jauh lho. Apalagi lewat Padalarang. Jalannya meliuk-liuk.” Aku mengeluarkan kotak kue yang baru dibeli tadi. “Nggak dulu deh. Masih mual.” Aku sebenarnya ingin memaksa Caca untuk makan, tapi aku tidak tega juga jika makanan yang baru masuk itu akhirnya dimuntahkan; itu pun terjadi berulang-ulang. Aku lantas menoleh ke arah kemudi. Memperhatikan Hadyan yang lihai mengemudikan mobil, padahal umurnya baru menginjak 18 tahun. Kemudian pandanganku beralih pada Noelan yang ternyata sedang memandangi Hadyan dalam diam. Kedua alisku terangkat. Diam-diam merhatiin nih, ye. Ingin kulontarkan kata-kata itu, tapi bisa-bisa Noelan nangis karena malu. Setelah empat jam perjalanan, akhirnya rombongan sampai di rumah Caca di Sukabumi. Kuperhatikan ladang dan kolam ikan yang berpadu membentuk pemandangan alam yang belum tergerus perubahan zaman. Padahal daerahnya masih termasuk kotamadya, namun aku merasa berdiri di sebuah pedesaan. “Andai Atmajaya ikut ya, Mi.” Aku nyaris oleng di pijakanku. “Duh, kamu ngagetin aja, Lan.” Desahan panjang keluar dari mulutku. “Aku sempat berpikir gitu sih, tapi ya mana mungkin?” Aku pun memutuskan mengalihkan pembicaraan. Sedang malas membicarakan seseorang yang nun jauh di sana. “Aku seneng ngeliat ekspresi kamu cerah terus dari kita berangkat ke Bandung.” “Maksudmu?” nada suara Noelan mulai sewot. “Emangnya aku nggak tahu? Kamu selama perjalanan merhatiin si Hadyan terus.” “Dasar!” “Ya, gimana dong? Gelagat kamu terekam sama mataku, Lan.” Aku berkacak pinggang sembari terbahak-bahak, paling senang menggoda Noelan soal gebet-gebot ini. “Hadyan keren seperti biasa,” ucap Noelan jujur. Tawaku masih berlanjut. “Aku harus rela akuin kalau Hadyan emang keren.” “Alah! Nggak niat mujinya. Aku tahu cowok paling keren di mata kamu cuma Atmajaya!” “Ya, iyalah kerenan Atmajaya!” Aku jadi tertawa non-stop begini. Perutku nyaris sakit karenanya. “Sayangnya si Atmajaya udah punya cewek ya, Mi. Kamu nggak patah hati?” Entah berapa kali Noelan sudah menanyakan hal itu. Aku mendesah pelan. “Patah hati sih ada. Tapi kamu tahu sendiri aku maunya pacaran abis nikah aja.” Karena aku memang sama sekali tidak memikirkan bahwa perasaanku ini akan terbalaskan. “Kamu hebat banget, Mi. Aku bakal terus ngedukung prinsipmu itu.” Noelan menepuk-nepuk bahuku. “Ngomongin apa sih? Asik bener kayaknya.” Sebuah suara serak-serak basah tiba-tiba muncul di belakangku. Aku agak tersentak melihat sosok itu. “Eh ada Hadyan!” seruku antusias. Kupandangi Noelan yang cuma bisa nyengir di tempatnya. “Aku duluan masuk ya. Mau bantuin ibunya Caca nyuguhin kue buat kita. Dah!” Aku pun buru-buru ngibrit dari sana. “Lha? Baru aja gue disuguhin kue sama ibunya Caca.” Hadyan tampak kebingungan dengan gelagatku, tapi aku pura-pura tidak dengar dan masuk ke dalam rumah. “Cuma basa-basi aja dia, palingan mau ke WC.” “Kenapa nggak bilang mau ke WC aja?” Noelan menggaruk kepalanya sendiri. Ia mengangkat kedua bahunya. Pura-pura tidak tahu. “Mungkin malu. Dia kan cewek.” “Apa hubungannya?” Hadyan terlihat berpikir serius. Matanya memutar ke atas. Ia meletakkan jarinya di dagu. Noelan jadi bingung mau menjawab apa. Kudengar ia mengalihkan pembicaraan. Noelan punya kebiasaan yang sama denganku. Kalau berbicara dengan cowok gaya bahasanya berubah menjadi bahasa Betawi. “Keren lo, Yan. Bisa nyetir sejauh ini. Umur lo masih 18 tahun lagi. Habis ini kita masih ke rumah Yumi di Bogor lho.” Kulihat Hadyan tersenyum. “Lo agak berlebihan deh. Gue dari SMP memang udah diajarin nyetir mobil. Nggak susah kok, asal niat dan berani bawa ke jalan aja.” Hadyan dan Noelan tidak tahu, jika dari balik tirai jendela aku sedang merayakan kemenanganku. Apalagi setelahnya Hadyan dan Noelan tampak asyik mengobrol di sana. “Yes! Taktikku berhasil!” Namun aku mulai menyadari sesuatu. “Eh? Astaghirullah, harusnya aku nggak ngebiarin mereka berdua-duaan aja!” Aku pun ngibrit ke pinggir ladang dengan tawa kecil yang dipaksakan. “Hei, kalian, masuk yuk! Nyicipin camilan khas Sukabumi! Cepetan!” Hadyan melihat ke arahku dengan cengengesan. “Semangat banget lo.” Ia dan Noelan pun berjalan ke arahku. Aku berjalan di sebelah Hadyan; agak menjaga jarak. Jadi, Hadyan diapit oleh aku dan Noelan. “Semakin cepat kita makan, semakin cepat juga kita sampai di Bogor. Gue mengandalkan lo, Yan!” ujarku dengan semangat 45. Di otakku memang sudah dipenuhi dengan suasana rumah. “Oh ya!” Hadyan memukul dahinya. “Gue hampir lupa habis ini harus ke Bogor. Lo ikut kita balik ke Bandung aja ya? Capek banget nih!” Aku tahu ia sedang menjahiliku. Aku pun malah terbawa suasana. “Ih, ogah! Kemarin kan perjanjiannya lo mau anterin gue juga ke Bogor.” Mata Hadyan tampak berputar di balik kacamatanya. “Tapi makanan gratisnya tetep ada, kan?” “Iya, ada!” Hadyan mulai terkekeh-kekeh. “Jangan lupa STMJ juga, ya! Biar gue nggak masuk angin!” “He-eh!” Ini cowok banyak maunya juga! Lho … lho? Kenapa aku jadi asyik ngobrol sama Hadyan begini? Aku pun memperhatikan Noelan yang tampak terkikih-kikih di tempatnya. Aku mengembuskan napas panjang. Aku harap percakapanku tadi dengan Hadyan tidak akan merusak mood Noelan yang sudah bagus di hari ini. Setelah salat Magrib rombongan kami pun pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Bogor. Sesampai di mobil kami mulai ribut mengatur posisi duduk terbaru. “Lo di depan ya, Mi. Nunjukkin si Hadyan jalan,” perintah Ihsal tiba. “Haah?” Aku terang saja jadi cengo. “Ya, iya dong. Kita kan mau ke rumah lo sekarang. Apa balik ke Bandung aja?” gurau Opik. “Waduh! Bukan begitu!” Aku pun menatap Noelan. Mataku bergerak; seolah meminta izin. Noelan mengangkat satu jempolnya dengan tersenyum. Aku pun menggaruk kepalanya yang diselubungi kain kerudung. “Oke deh.” Aku lalu masuk ke kursi depan sebelah kemudi. “Sori, Yan. Sekarang giliran gue yang bakalan repotin lo.” “Santai. Kan hadiahnya udah menunggu di rumah lo. Makan malem,” kelakar Hadyan. Kayaknya di otak dia isinya cuma makanan saja. Aku pun tertawa renyah dan lebih rileks. “Itu Ibu gue yang masak lho, bukannya gue.” Hadyan lantas menyalakan mobil dan tancap gas dari sana. Aku sebenarnya belum pernah duduk di depan mobil seperti ini dengan seorang cowok di sebelahku. Kalau ini bukan keadaan darurat aku pasti enggan melakukannya. Untung di dalam mobil juga tidak hanya ada kami berdua. Baru sepuluh menit berjalan, mataku mulai terasa berat. “Lo udah pernah ngendarain mobil dari Sukabumi ke Bogor?” Aku pun mencoba mengobrol dengan Hadyan agar tidak tertidur. “Belum,” jawab Hadyan sembari menggelengkan kepalanya. “Haah? Terus lo tahu dari mana kita harus ngambil jalan ini?!” “Tadi gue nanya sama ayahnya Caca. Kata beliau jalan ke Bogor dari sini tinggal lurus aja. Sisanya kan ada lo yang jadi petunjuk jalan,” balas Hadyan santai. “Gue memang pernah ke Sukabumi, tapi itu pas umur lima tahun. Gue udah nggak ingat jalannya. Terus kalau gue ketiduran gimana?” Aku malah pura-pura menguap. “Kalau itu terjadi. Sori banget. Gue terpaksa bakal bangunin lo. Pakai air sekalian bakal gue lakuin!” Hadyan lalu tergelak-gelak. “Payah!” Aku jadi manyun, namun ikut nyengir mendengarnya. Mataku lantas tidak sengaja menangkap sosok Noelan dari cermin persegi panjang yang menggantung di tengah kaca depan mobil. Rupanya Noelan sedang memperhatikanku pula. Aku pun memberikan salam dua jari pada sahabatku itu dan ia membalas dengan salam serupa. Sekarang aku paham mengapa Noelan menyukai Hadyan. Hadyan adalah tipe lelaki humoris yang pasti banyak disukai para perempuan. Aku masih heran mengapa dulu mantan pacarnya malah berani mengkhianati cintanya. Ya, tapi kini Hadyan sangat beruntung karena disukai cewek seperti Noelan. Noelan adalah tipe perempuan yang tidak neko-neko dan ramah pada semua orang. Dua jam perjalanan akhirnya mereka tiba di rumahku. Aku bersyukur ibuku sudah menyiapkan makan malam yang cukup banyak untuk kami. Para cowok meminta izin untuk mengerjakan salat Isya terlebih dahulu. Sedangkan aku dan Noelan membantu Ibu menghidangkan makanan. Selesai mereka solat, giliranku dan Noelan yang solat di lantai atas. Kami lalu bersantap bersama. Hanya mengobrol sebentar. Lalu empat orang rombongan sisa pamit untuk kembali pulang ke Bandung. “Sebenernya aku mau aja sih kalian nginap di sini. Apalagi si Hadyan, pasti capek banget dia nyetir dari tadi siang, istirahat cuma bentar. Sayangnya nggak ada laki-laki di rumah. Bapakku kerja di Kalimantan Barat,” curhatku pada Noelan. Kami sedang berdiri di pekarangkan rumahku. “Santai kali. Gue nggak selemah itu.” Aku otomatis menoleh pada suara serak penuh semangat itu. Aku pun jadi nyengir kuda. “Oh ya, lo belum tahu jalan ke tol-nya, kan?” “Iya gue nggak tahu.” “Nanti keluar pertigaan ke jalan besar yang tadi, lo pasti nemuin angkot 03, jurusan Bubulak – Baranang Siang. Ke arah kanan. Lo ikutin aja angkot itu, pasti bakal nyampe jalan tol,” ucapku berusaja menjelaskan segamblang mungkin. “Beres!” Noelan ikut nimbrung. Aku harap ia bisa merekam penjelasanku dengan baik. Aku lantas memperhatikan satu per satu dari teman-temanku itu masuk ke dalam mobil. Aku kemudian menyadari kini Noelan duduk di depan; sebelah kemudi yang ditugaskan pada Hadyan. Senyuman tersungging di bibirku. Ketika mesin mobil menyala, aku lalu berteriak lantang. “Makasih banyak lho, Guys! Semoga selamat sampai Bandung! Kalau ada apa-apa jangan ragu hubungin gue!” “Sip! Assalammu’alaikum!” “Wa’alaikumsalam!” Mobil APV itu pun perlahan menjauh dari mataku sampai akhirnya menghilang. . “Apa? Kalian baru nyampe Bandung jam tiga?! Kalau lewat tol sih tiga jam juga sampai!” Aku sangat terhenyak mendengar pernyataan Noelan barusan. Esok paginya aku menelepon Noelan untuk menanyakan kabar dan kabar seperti ini yang aku dapatkan. “Soalnya kita nyasar, Mi. Pas keluar di jalan utama yang kamu maksud, kita nggak nemuin angkot 03. Jadinya muter ke mana-mana selama sejam di Bogor.” Aku hanya bisa menepuk dahi. “Kasian banget Hadyan.” “Iya. Makanya pas di tol kita istirahat agak lama di rest area.” “Harusnya aku ikut aja ya. Sampai di tol-nya, nanti aku balik lagi ke rumah.” “Ye, ada-ada aja kamu. Tenang aja, Mi. Kita sampai Bandung dengan selamat kok. Nginap di rumah Ihsal.” “Sori, Lan. Aku jadi ngerepotin gebetan kamu.” “Ih, udah aku bilang santai aja! Hadyan keren tahu. Kuat juga dia nyaris 24 jam ngendarain mobil. Pas sampai di rumah Ihsal, langsung tepar dia.” Aku tidak tahu harus menanggapi apa. Aku ingin menghubungi Hadyan, namun aku urung melakukannya. Aku tidak ingin terlalu dekat dengan gebetan sahabatku itu. Apalagi di hatiku hanya ada kamu seorang. Akhirnya yang bisa aku lakukan hanya menyampaikan salam untuk Hadyan melalui Noelan.
Published on May 16, 2015 18:05
No comments have been added yet.