Minang Saisuak #212 - Dr. M. Amir: Intelektual Minang putra Talawi

e120a084b9adf0ca2b4629dd89df4e75_seg



Jika kita menelusuri figur intelektual Minangkabau diaspora angkatan awal, maka Dr. M. Amir adalah salah seorang di antaranya, di samping beberapa orang lainnya seperti Dr. Abdul Rivai dan Roestam Effendi. Seperti halnya Rivai, Dr. M. Amir adalah ahli medis yang sangat tertarik dengan isu-isu kebudayaan. Dia adalah seorang penulis prolifik. Tulisan-tulisannya mengenai dunia medis dan isu-isu kebudayaan hampir sama banyaknya.



M. Amir adalah putra Talawi, lahir pada 27 Januari 1900 dari pasangan M. Joenoes Soetan Malako dan Siti Alamah yang bersuku Mandaliko. Dia bersaudara sepupu dengan tokoh nasional Mohammad Yamin dan wartawan kawakan [Djalamaloedin] Adinegoro.



M. Amir menempuh sekolah rendah di Sawahlunto. Setelah itu dia sempat ke Palembang mengikuti mamaknya, M.J. gelar Radjo Endah, dan masuk HIS. di kota tepian Sungai Musi itu. Sebelum tamat, Amir pindah ke Batavia dan masuk ELS, dan terus ke jenjang MULO. Kemudian dia melanjutkan studinya di STOVIA (1913-1923). Pada awal 1924, Amir bertolak ke Belanda untuk belajar kedokteran di Universitas Utrecht, dengan beasiswa dari perkumpulan Teosofi.



Pada 1928 Amir kembali ke Indonesia dan bekerja dengan Pemerintah sampai 1937 sebagai psikiater. Mulai 1 April 1937 dia ditugaskan di Tanjungpura, Langkat. Pada 14 Agustus 1945, ketika masih bertugas si Langkat, bersama Teuku Mohammad Hasan, Amir menghadiri Sidang PPKI mewakili rakyat Sumatra. Dia kemudian diangkat menjadi salah seorang menteri dalam Kabinet Presidensial (1 Sept. - 14 Nov. 1945). Pada bulan Desember 1945 Amir diangkat menjadi wakil gubernur Sumatra mendampingi Teuku Mohammad Hasan.



Revolusi sosial yang meletus di Sumatra Timur, menyusul kemedekaan Indonesia, mengancam jiwa Amir. Hal itu memaksanya pindah ke Sabang, kemudian dari kota itu dia pergi ke Utrecht, tempat dia pernah menimba ilmu kedokteran. Keputusan mengungsi ke Belanda itulah yang menyebabkan dia dituduh sebagai pengkhianat. Dia masih sempat pulang ke Indonesia dan, atas bantuan D.J. Warouw, berpindah-pindah tempat dari Gorontalo, Palu, dan Makassar. Tetapi kemudian Amir kembali ke Belanda. Dalam usia yang belum begitu tua, dia meninggal di Amsterdam pada tahun 1949.



Dr. M. Amir adalah contoh intelektual Indonesia yang dipersepsikan salah oleh generasi yang lebih kemudian. Aktivitas-aktivitas politiknya menunjukkan kecintaanya yang tak dapat diragukan lagi terhadap tanah airnya: Indonesia. Semasa bersekolah di STOVIA, Batavia, bersama Tengku Mansur, Amir mendirikan Jong Sumatranen Bond (JSB) pada 8 Desember 1917. Pada 1920 dia menjadi ketua JSB, sebelum digantikan oleh Bahder Djohan pada 1922. Semasa bersekolah di Belanda, Amir aktif dalam Perhimpoenan Indonesia (De Indonesische Vereeniging) dan menjadi salah seorang komisarisnya pada 1925. Selama bertugas di Medan, Amir aktif dalam perkumpulan intelektual ‘Taman Kemadjoean’ yang antara lain mengadakan ceramah budaya secara periodik. Foto ini diambil dari salah satu makalahnya yang berjudul “Harga Keboedajaan Barat oentoek bangsa kita” (Maret 1940). Tulisan-tulisan Amir berserak di berbagai media cetak dan juga jurnal-jurnal ilmiah dalam dan luar negeri. Sebagian besar dari tulisan-tulisan itu masih dapat dilacak sampai sekarang.



Manusia menemui jalan hidupnya dalam aliran sejarah yang tak terduga. Adalah sangat bermanfaat bagi penambah pengetahuan sejarah bangsa Indonesia, jika ada mahasiswa/dosen kita yang mau melakukan studi tentang Dr. M. Amir.



Suryadi - Leiden, Belanda | Singgalang, Minggu, 29 Februari 2015


(Sumber foto: Taman Kemadjoean: Harga Keboedajaan Barat oentoek bangsa kita. Medan: Centrale Courant en Boekhandel, 1940: [ii]).

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 01, 2015 22:00
No comments have been added yet.


Suryadi's Blog

Suryadi
Suryadi isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Suryadi's blog with rss.