Renung #27 | Boros

Kita mungkin termasuk bangsa paling boros di dunia. Hal itu dapat dikesan dari pemandangan yang dapat kita lihat sehari-hari secara kasat mata, baik dalam maupun di luar lingkungan keluarga sendiri. Kebanyakan individu dalam masyarakat kita mempraktekkan gaya hidup yang jauh dari sifat hemat dan ekonomis, padahal bangsa ini lama dijajah Belanda, sebuah bangsa kecil dari Negeri Kincir Angin yang mempraktekkan hidup hemat dan irit, walau sering dimaknai sebagai sifat kikir oleh orang Indonesia.



Memang jarang tindak laku kita yang menunjukkan sikap hemat. Dalam laku makan saja misalnya, masyarakat kita sering menyisakan nasi di piring. Banyak orang Indonesia memakai lebih dari satu HP dan sepeda motor. Orang-orang kaya apalagi: mereka punya banyak rumah dan di garase mereka bertumpuk mobil-mobil mewah melebihi jumlah anggota keluarga.



Di kota-kota sikap hidup boros didorong oleh lingkungan baik fisik dan non fisik. Kemacetan di jalan-jalan akibat infrastruktur yang buruk telah menimbulkan pemborosan penggunaan bahan bakar kendaraan. Sementara dalam kehidupan sehari-hari orang berlomba-lomba memamerkan kekayaan. Program-program televisi menghadirkan mimpi-mimpi tentang kemewahan dan hidup senang penuh materi, menghadirkan sikap hidup permisif dan nafsu mengejar materi yang kerap dilakukan dengan jalan pintas.



Sikap boros dalam bentuk yang sederhana dapat dilihat dalam praktek seperti ini: seseorang punya rumah yang berjarak 100 atau 200 meter dari sebuah warung, tapi untuk membeli rokok atau obat nyamuk ke warung itu ia lebih suka mengendarai motor ketimbang jalan kaki. Seseorang tidak lagi memakai baju yang belum lama dibelinya karena tertantang untuk membeli baju model baru sebab tetangga sebelah sudah memakainya.



Boros tidak saja sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat materi. Boros waktu adalah sifat yang tak kunjung hilang dari perilaku bangsa kita. Kebiasaan ngaret dalam berbagai kegiatan acara (resmi dan tak resmi) adalah cerminan dari sifat boros dalam penggunaan waktu. Kalau seseorang diberi kesempatan berpidato atau memberi sambutan, sering ia menggunakan waktu lebih panjang dari yang dialokasikan. Itu juga sifat boros yang sulit diubah oleh banyak pejabat publik.



Bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang beragama. Dalam Islam, agama mayoritas di negara ini, umat dinasehatkan untuk mempraktekkan hidup hemat. Akan tetapi mengapa justru yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari adalah gaya hidup boros? Lihatlah misalnya dalam perayaan lebaran: banyak orang memboroskan uang untuk membeli barang-barang yang kadang-kadang tidak diperlukan benar. Apakah umat tidak lagi mendengar ajaran agama mereka? Atau mungkin juga karena para pemimpin agama juga banyak yang tidak lagi memberi suri tauladan hidup hemat kepada umat? Sering dikatakan bahwa orang kafir, karena tak mempercayai hari akhirat, hidup mengejar duniawi. Karena setelah mati, ya… semua akan berakhir dan materi tidak lagi dapat dinikmati. Kita orang yang mempercayai adanya hidup sesudah mati mestinya lebih asketis dan mempersiapkan bekal untuk hari akhirat. Tapi dalam prakteknya, umat Islam justru hidup boros dan orang-orang kafir hidup hemat, penuh perhitungan, dan ekonomis.



Gaya hidup boros juga telah lama melunyah jiwa para pemimpin Indonesia. Beberapa kali saya diundang makan siang atau makan malam oleh beberapa politikus. Saya melihat kelimpahan makanan yang kadang-kadang tidak dihabiskan. Dalam keadaan seperti itu, saya ingat orang-orang miskin yang kekurangan makanan, yang membanting tulang delapan kerat hanya untuk mendapatkan sesuap nasi.



Presiden Sukarno pernah dikritik karena sifat borosnya. “Bung Karno dengan dia punya aksi jang berlebih-lebihan untuk menyambut [Jawaharlal] Nehru telah bikin orang djadi muak. [...] Hofmeester [Istana Merdeka] katanja diperintah oleh Bung Karno buat memperbaruhi semua lampu ["Istana"], semua sendok garpu, taplak medja, piring dan mangkok. Semua harus diperbaruhi dengan jang paling indah dari jang indah. Bung Sjafruddin [Prawiranegara] jang tadinja menolak, achirnja kasih djuga uang jang diminta buat keperluan tsb. Apa Bung Karno tidak pernah dengar, bahwa di Priangan Selatan banjak rakjat pernah tidak makan selama seminggu? Tjoba itu uang jang dibuang2 dibelikan beras dan dibagi sama rakjat jang kelaparan?



Bung Karno punya sembojan - gantungkan tjita2 setinggi bintang - tapi kalau bung Karno mau terima Nehru dengan segala matjam kemewahan setinggi bintang, wah, kitapunja negara bisa bangkrut. [...] [M]estinja pemerintah jang mempunjai sembojan: ‘Hemat! Hemat!’ mentjegahnja, bukan? Presiden bukan radja, tidak dapat mengeluarkan uang negeri menurut suka hatinja sendiri. Pun radja jang Konstitutionil tidak lagi dapat mengeluarkan uang negeri sesuka hatinja. Kita sudah tidak hidup dalam djaman tumbak, tetapi hidup dalam djaman atom”. Demikian redaksi majalah Republik menulis dalam edisi no.31, Th.1, 1 Djuni 1950, hlm.34.



Gaya hidup boros tampaknya makin meruyak dalam diri bangsa kita. Aneh juga: bangsa yang dililit utang sabalik pinggang ini jauh dari sikap hidup hemat. Dengan gaya hidup boros itu, makin lama utang bangsa ini makin menggunung. Dan para kapitalis yang menyuapkan segala bentuk hasil teknologi kepada bangsa ini makin bersorak melihat sifat rakus dan boros bangsa kita yang makin bertambah-tambah itu. Jujur saja, karena hidup boros, tampaknya bangsa Indonesia makin sulit lepas dari cengkeraman kuku bangsa asing.



Padang Ekspres, Minggu, 17 Agustus 2014

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 18, 2014 05:00
No comments have been added yet.


Suryadi's Blog

Suryadi
Suryadi isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Suryadi's blog with rss.