Embrace The Chord Part 18


Rachel melangkah turun dari taxi di depan cafe itu, cafe tempat dia dulu sering menghabiskan waktunya bersama Calvin di hari minggu di masa lalu.
Dia memasuki cafe itu dan menatap ke arah tempat duduk di sudut, tempat favorit mereka dulu dan tersenyum ketika melihat bahwa Calvin sudah menunggu di sana.
“Hai Calvin.” Rachel melangkah mendekat, menatap Calvin yang langsung mendongak menatapnya dan membalas senyumnya.
“Hai Rachel.” Calvin berdiri, langsung menarikkan kursi untuk Rachel di depannya, “Duduklah, aku sudah memesankan minuman kesukaanmu.” Mata Calvin mengamati Rachel dengan lembut, “Kau cantik sekali, Rachel.
Pipi Rachel merona, menatap Calvin yang mengambil tempat duduk di depannya dan menatapnya dalam-dalam.
“Terimakasih Calvin.”
Calvin masih tidak melepaskan tatapan matanya dari Rachel, “Kau tampak lebih feminim sekarang, apakah itu karena hubunganmu dengan Jason?”
Sekali lagi, Rachel terdorong untuk berkata jujur kepada Calvin, tetapi dia kemudian menahan diri.
“Mungkin.” Gumamnya lembut, berusaha menghindari pertanyaan selanjutnya, “Jadi bagaimana Calvin, bagaimana tentang Anna?”
Mata Calvin berubah muram, “Anna... yah...” lelaki itu menghela napas panjang, “Aku berusaha menghubunginya seharian ini tetapi tidak diangkat, semua pesanku tidak di balas, mungkin dia marah kepadaku.”
“Kenapa dia marah kepadamu?” Rachel menyela, merasa bingung.
Calvin menghela napas panjang sekali lagi, seakan ingin membuang seluruh beban berat di benaknya.“Karena aku selalu membicarakanmu. Anna merasa terganggu, dia tidak mengerti kalau kau adalah teman masa kecilku dan kita cukup dekat.” Ada senyum miris di wajah Calvin, “Aku rasa dia cemburu kepadaku.”
Rachel membelalakkan matanya, “Anna?” Membayangkan wajah Anna yang luar baisa cantik dan sempurna, jauh sekali di atas dirinya, rasanya sangatlah tidak mungkin kalau Anna cemburu kepada Rachel. “Bagaimana mungkin dia cemburu kepadaku?”
Ekspresi Calvin tampak serius,
“Mungkin karena pembicaraan tentangmu terasa mendominasi percakapan kami... Anna merasa terganggu, dia bilang mungkin di dalam otakku terlalu dipenuhi dirimu.” Calvin tersenyum.
Kata-kata Calvin itu membuat Rachel sedikit ternganga. Apakah maksud kata-kata Calvin itu?
“Seharusnya kau jangan membicarakan tentang aku terus-terusan.” Rachel berusaha bersikap wajar meskipun merasakan hal yang berbeda di benaknya.
Calvin menghela napas panjang, “Yah, entahlah Rachel, kurasa memang benar kata-kata Anna, aku terlalu sering membicarakanmu, Rachel, mungkin hal itulah yang membuat Anna terganggu....”
“Dan kenapa kau sering membicarakan tentangku, Calvin?”
Mata Calvin berubah serius, “Mungkin tanpa sadar, kau selalu ada di hatiku, Rachel.”
Kali ini jantung Rachel benar-benar berdesir. Calvin seolah ingin mengungkapkan sesuatu kepadanya, lelaki itu tampak serius, menatap Rachel dengan tatapan matanya yang dalam.
Apakah Calvin.. apakah Calvin secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa Rachel ada di dalam hatinya? Bahwa sekarang entah kenapa lelaki itu mulai menyadari bahwa Rachel mungkin selama ini selalu tersimpan di dalam hatinya dan menunggu untuk diakui?
Kalau memang benar begitu, kenapa tidak ada rasa yang berbeda di benak Rachel selain jantungnya yang berdesir pelan? Bukankah inilah yang selama ini dinantikannya? Pengakuan Calvin bahwa Rachel ada di dalam hatinya, meskipun sedikit? Seharusnya Rachel bersorak dan berteriak gembira bukan? Tetapi kenapa dia sekarang malahan merasa..... datar?
Jemari yang ramping tiba-tiba menyentuh bahunya lembut, membuat Rachel terperanjat kaget, begitupun Calvin yang tampak benar-benar terkejut dengan mata memandang ke belakang Rachel.
Rachel mendongakkan kepalanya, menatap ke belakang, dan membelalakkan matanya ketika melihat Jason berdiri di dana, di belakangnya, memandangnya dengan tatapan mata memperingatkan yang segera hilang, berganti dengan tatapan mesra penuh sandiwara.
“Maafkan aku terlambat sayang.” Jason menunduk dan mengecup dahi Rachel yang sedang duduk dengan lembut, kemudian lelaki itu menarik kursi dan duduk di sebelah Rachel, berhadap-hadapan dengan Calvin, ditatapanya lelaki itu dengan tatapan mata datar, “Maafkan aku terlambat, Tadi aku bersama Rachel dan kebetulan aku sedang ada urusan mengenai konser tunggalku, jadi aku terpaksa meninggalkan Rachel sebentar, Rachel lalu bilang sambil menungguku dia akan menemuimu, dan aku berjanji akan segera menyusul setelah semua urusanku beres.”
Calvin masih ternganga, seolah kehilangan kata-kata. Dia menoleh berganti-ganti ke arah Rachel yang memasang wajah bersalah dan Jason yang tersenyum tenang, dan kemudian ekspresinya berubah sedikit malu.
“Oh. Maafkan aku, aku tidak tahu kalau aku mengganggu Rachel di sela acara kalian.” Lelaki itu langsung beranjak berdiri, “Kurasa aku ada urusan mendadak, aku harus pergi.”
“Calvin!” Rachel hendak berdiri, mencegah kepergian Calvin, tetapi tangan Jason menahannya dengan kencang dan penuh peringatan, membuat gerakan dan suara Rachel tertahankan.
Calvin menoleh, menatap Rachel, ekspresinya terlihat terluka.
“Mungkin lain kali kita bisa mengatur waktu untuk bertemu, Rachel. Selamat tinggal.” Dan kemudian, tanpa menoleh lagi, Calvin melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.
Seketika itu juga Rachel langsung melemparkan tatapan marah kepada Jason.
“Kenapa kau melakukan itu, Jason? Itu snagat tidak sopan, kau seperti mengusir Calvin dengan kasar, tetapi menggunakan bahasa yang halus.”
Jason menyandarkan tubuhnya di kursi dan bersedekap dengan tenang.
“Karena kau menemui Calvin tanpa meminta persetujuan kepadaku.”
Rachel membelalakkan matanya, “Aku tidak membutuhkan izinmu untuk apapun, kau bukan siapa-siapaku.” Gumam Rachel, nadanya sedikit meninggi menahankan emosi karena menghadapi sikap Jason yang angkuh.
“Kau memang bukan siapa-siapaku dan hubungan kita hanyalah hubungan sandiwara. Tetapi selama kita bersandiwara, kau berada di bawah tanggung jawabku.” Mata Jason menyipit. “Apakah kau tidak tahu bahwa aku sedang memancing Arlene, yang kuduga sebagai otak dibalik penyeranganmu untuk mengulangi lagi usahanya?”
“Mengulangi lagi?”
“Ya.” Jason menatap Rachel dengan serius, “Aku berusaha membuatnya lengah dan terburu-buru untuk menyerangmu lagi, dan aku sudah menghubungi polisi, mereka akan menyiapkan orang untuk mengawasimu dan menangkap Arlene ketika dia melakukan maksudnya, dan selama polisi belum bergerak, kau harus berada di tempat di mana aku bisa melihatmu, agar aku bisa menjagamu.”
Rachel membuka mulutnya untuk membantah, tetapi kemudian dia menahan diri, menyadari bahwa perkataan Jason ada benarnya juga. Tetapi meskipun begitu, itu tidak membenarkan perlakukan Jason kepada Calvin tadi.
“Tetapi tetap saja aku tidak suka, kau seolah memaksa pergi Calvin tadi.”
“Aku tidak memaksanya pergi, dia sendiri yang pergi dengan tergesa-gesa.” Jason mengangkat alisnya, “Kurasa dia hampir menyatakan perasaannya kepadamu ya?”
Rachel merasakan pipinya merona, kemudian dia bergumam lirih, “Aku tidak tahu... mungkin saja... dia bilang aku ada di hatinya.” Suara Rachel menjadi pelan, berubah ragu.
Jason terkekeh, “Dia benar-benar terlambat menyadari perasaannya, kalau kau menuruti saranku, jangan langsung memberikan jalan untuknya.” Mata Jason menajam, “Kau sendiri bagaimana perasaanmu?”
Rachel tercekat, bahkan dia tidak bisa menjelaskan perasaannya kepada dirinya sendiri, bagaimana mungkin dia bisa menjelaskan perasannya kepada Jason?
Sementara itu Jason mengamati ekspresi Rachel dan tiba-tiba senyumnya melebar.
“Kurasa Calvin sudah terlambat.”
Rachel yang sedang merenung dan sibuk dengan pikirannya mendengar Jason bergumam dan mengangkat kepalanya,
“Apa?”
Jason menggelengkan kepalanya, “Tidak.” Senyumnya mengembang, penuh arti, “Ayo kita pergi, kita harus berlatih biola untuk konser tunggalku nanti?”
Konser tunggal? Rachel baru mendengar informasi itu, Jason akan mengadakan konser tunggal? Tetapi bukankah tangan Rachel belum pulih benar?
Jason melihat pertanyaan di mata Rachel dan menganggukkan kepalanya, “Ayo kita bicarakan sambil jalan, aku punya banyak rencana, dan aku membutuhkanmu, Rachel.”
***
Mereka berada di ruang musik, tempat Jason biasanya berlatih di rumah itu. Ruangan itu lebih seperti ballrom yang besar, terletak di bagian belakang rumah. Dua buah biola telah disiapkan di sana, satu adalah Stradivari milik Jason dan satu lagi adalah biola Paganini pemberian Jason untuk Rachel.
Mereka berdiri di tengah ruangan dan Rachel menatap Jason dengan bingung, pandangannya berganti-ganti antara Jason dengan dua buah biola yang telah disiapkan itu.
“Apakah kita.. apakah kita akan bermain biola?” Rachel masih teringat jelas ketika dia melihat Jason mencoba bermain biola di rumah sakit waktu itu, dan lelaki itu tidak bisa menyelesaikan permainannya karena tangannya kesakitan. Dia juga masih ingat ekspresi sedih Jason waktu itu... ekspresi sedih sang maestro yang tidak bisa menyelesaikan permainan biolanya.
Jason tersenyum penuh arti, “Aku ingin kau melihat sesuatu.” Ditarikkannya kursi untuk Rachel di tengah ruangan, “Duduklah, buatlah dirimu nyaman, kau adalah penonton pertamaku.” Gumam Jason lembut.Mau tak mau Rachel duduk di kursi itu seperti yang diminta Jason, duduk dengan tenang, meraskan jantungnya berdebar menanti apa yang akan terjadi.
Jason sendiri melangkah ke depan Rachel dengan membawa biola Stradivarius miliknya. Jantung Rachel berdebar, penuh antisipasi menanti apa yang akan terjadi.
Dan kemudian Rachel ternganga ketika dia menatap Jason yang meletakkan biola itu di pundak kanannya....
Di pundak kanannya? 
Apakah itu berarti... Jason akan menggunakan tangan kirinya untuk menggesek biolanya?
Tetapi apakah itu mungkin? Menggesek biola dengan tangan kiri sangatlah sulit dan sangat jarang di kalangan violinist profesional sekalipun. Bahkan seorang violinist kidal kebanyakan memilih tetap menggunakan tangan kanannya untuk menggesek biolanya, karena menggesek biola dengan tangan kiri memerlukan konsentrasi dan teknik yang lebih sulit, untuk menghasilkan nada-nada yang sama persis dengan nada yang dihasilkan dengan gesekan tangan kanannya amatlah sulit, bisa dikatakan tingkat kesulitannya dua kali lipat.
Tetapi Jason seorang pemain biola jenius bukan?
Tidak menutup kemungkinan bahwa Jason akan mampu melakukannya....
Rachel duduk di sana, menatap Jason yang berdiri tegak di tengah ruangan, posisi sempurna seorang violinist profesional dan merasakan jantungnya berdebar semakin kencang... dan menunggu.
Lalu Jason menggesekkan biolanya hingga alunan musik terdengar memenuhi ruangan. Nada awalnya indah....dan seketika Rachel menyadari bahwa ini adalah salah satu nada yang sulit. Lagu yang sama yang pernah dimainkan Rachel pada malam audisinya untuk mengikuti kelas khusus Jason, lagu yang sama yang pernah mereka mainkan bersama-sama tanpa rencana.
Tchaikovsky, Violin Concerto in D major Op.35 .... 
Alunan nada yang cukup indah dan sulit, diciptakan oleh maestro yang sangat ahli dan luar biasa, dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi.
Ketika nada-nada berubah semakin cepat, dengan sempurna, tanpa meleset sama sekali, Rachel ternganga, matanya membelalak, seluruh ekspresinya mengungkapkan ketakjuban yang tiada terkira.
Perasaannya bergolak, antara kekaguman dan ketakjuban melihat Jason, sang maestro biola yang jenius.... ternyata bisa memainkan biolanya dengan sempurna meskipun menggesek dengan tangan kirinya!

Ternyata istilah kejeniusan Jason itu benar adanya, semua orang tidak main-main ketika menempelkan istilah itu kepada Jason. Lelaki ini benar-benar memiliki teknik tinggi dalam bermain biola, dan kenyataan bahwa lelaki itu bisa memainkan biolanya dengan tangan kanan dan kirinya dengan sama-sama sempurnanya, amatnya luar biasa... bagaikan sebuah keajaiban.....
Bersambung ke Part 19

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 21, 2013 02:47
No comments have been added yet.


Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.