The Vague Temptation Part 6



Pagi harinya Alexa keluar kamar, masih takut-takut. Suasana rumahnya sepi seperti biasa. Dia lalu melangkah keluar dan melihat ayahnya masih tidur di sofa, mendengkur dengan kerasnya. 
Alexa menghela napas panjang, kemudian segera menuju dapur dan menyiapkan sarapan, masih jam setengah enam pagi. Alexa menengok tempat nasi dan menemukan nasi semalam masih banyak, ayahnya mungkin memutuskan memakan mie instant sehingga nasinya tidak tersentuh. Kebetulan. Alexa bisa membuat nasi goreng untuk sarapan. Hari ini hari minggu, jadi Alexa tidak perlu buru-buru mempersiapkan diri untuk berangkat ke kantor.
Beberapa menit kemudian, aroma nasi goreng yang harum  memenuhi rumah mungil itu, membuat ayahnya terbangun. Lelaki setengah baya itu melangkah, masih setengah mengantuk menuju dapur.
"Kau bangun pagi sekali." ayahnya menyapa serak, tersenyum sambil duduk di meja dapur.Alexa mengamati ayahnya dan bersyukur karena sepertinya pengaruh alkohol sudah hilang dari tubuhnya. Dan juga, ayahnya tampaknya tidak ingat bahwa semalam dia hampir-hampir memeluk Alexa karena menganggapnya sebagai ibunya. Untunglah ayahnya tidak ingat, kalau tidak mereka berdua pasti berada dalam suasana canggung hari ini.
Alexa menyodorkan kopi kental hitam yang panas dan menguarkan aroma harum di meja depan ayahnya, kemudian dia mengambilkan sepiring nasi goreng untuk ayahnya, dia sendiri mengambil sepiring.
Mereka duduk berhadapan di meja dapur itu, menikmati sarapan mereka. Diam-diam Alexa mengamati ayahnya yang mengernyit sambil menyesap kopi panasnya. Yah... mungkin alkohol yang diminumnya semalam membuat kepalanya pening di pagi hari, semoga saja kopi kental itu bisa sedikit membantunya.
Setelah yakin ayahnya cukup sadar, Alexe memulai pembicaraan.
"Ayah bertemu dengan seorang kakek bernama Albert Simon?"
Sang ayah mengerutkan keningnya kembali, menatap Alexa, lalu mengangkat bahunya, "Dia sudah menemuimu ya?"
"Jadi ayah mengenalnya?"
Sang Ayah menganggukkan kepalanya, "Dia pernah datang dulu ketika nenekmu meninggal dan menawarkan bantuan. Aku tidak tahu detailnya, ibumu yang tahu. Kata ibumu, dia terikat perjanjian dengan nenekmu menyangkut dirimu." Mata sang ayah menerawang, "Aku tidak pernah menduga bahwa itu adalah perjanjian pernikahan, Albert Simon menemuiku beberapa hari yang lalu, dan mengatakan bahwa kau harus menikah dengan salah seorang cucunya. Semula aku bingung, tetapi Albert Simon menjelaskan bahwa dirinya sangat kaya dan berkuasa, bahwa dirinya bisa menjamin dan mencukupimu, serta menawarkan rehabilitasi untukku... aku pikir itu baik untuk kita semua, jadi ketika dia menyodorkan surat persetujuan untuk kutandatangani, aku menandatanganinya."
Mata Alexa menyipit ketika menatap ayahnya, "Apakah ketika Albert Simon menemui ayah, ayah sedang dalam keadaan mabuk?"
Pipi sang ayah merona merah, "Aku.. eh minum sedikit waktu itu, tapi aku masih sadar kok."
Alexa menghela napas panjang. Yah, dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Seperti kata ayahnya, semua ini mungkin yang terbaik untuknya. Alexa tidak peduli dengan dirinya sendiri, dia mempedulikan ayahnya. Rehabilitasi itu akan sangat berarti bagi ayahnya.
Ayahnya bisa dibilang kecanduan mabuk dan berjudi. Kalau tidak segera diselamatkan nyawanya akan terancam, entah dari minuman keras itu, atau dari penjahat-penjahat tempat dia berhutang judi.
Akhirnya Alexa memantapkan dirinya, "Albert Simon sudah menemuiku ayah, dan aku setuju. Mungkin hari ini ayah akan masuk ke rehabilitasi. Dan aku akan tinggal sementara bersama Albert Simon sampai aku menentukan pilihan."
"Menentukan pilihan?" Ayahnya berhenti menyuap nasi goreng dan menatap Alexa sambil mengerutkan keningnya
"Ya." pipi Alexa memerah. Ternyata Albert Simon memiliki dua orang cucu laki-laki, dan tidak bisa memutuskan mana yang akan bertunangan denganku. Jasi beliau memberiku kesempatan selama tiga bulan untuk mengenali mereka dan memilih."
Senyum ayahnya melebar, "Enak sekali kau Alexa, semua perempuan pasti ingin berada di posisimu."
Tidak. Alexa tidak ingin berada di posisi ini. Kalau bisa memilih, dia akan memilih jalan hidupnya lurus-lurus saja, bukannya rumit seperti ini.
*** 
"Kau akan pergi, Daniel?"
Mamanya muncul di balik pintu, mengerutkan kening ketika melihat Daniel sudah mengemasi pakaiannya di beberapa koper besar.
Daniel menatap mamanya dengan sayang. Irene, mamanya, tampak lebih kurus akhir-akhir ini. Dia berusaha menyembunyikannya dalam riasan yang sempurna. Tetapi Daniel tahu bahwa hati mamanya berdarah-darah dan terluka.
Selama ini perkawinan kedua orang tuanya baik-baik saja. Mamanya bahkan sangat memuja papanya dan mencintainya, meskipun sang papa sedemikian sibuknya hingga jarang sekali berada di rumah. Tetapi kemudian kedatangan Nathan masuk ke dalam keluarga ini benar-benar menghancurkan hati mamanya, seolah-olah dia ditampar dan dipermalukan secara terang-terangan.
Bayangkan, anak haram suaminya,dari perselingkuhan yang tidak pernah diduganya, tiba-tiba saja datang, masuk ke dalam keluarga besar mereka dan mengklaim diri, bahkan diakui oleh Albert Simon yang notabene adalah pemimpin klan Simon.
Mamanya dan Daniel benar-benar menjadi bahan gunjingan di keluarga besar mereka, ditambah lagi sang papa yang malahan menghindari tanggung jawab dan menerima tugas keluar negeri oleh Albert Simon, membuat Daniel dan mamanya harus menghadapi semua ini sendiri.
"Mama tahu aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah keinginan kakek." Daniel melipat pakaian terakhirnya dan memasukkannya ke dalam koper, "Dia ingin aku tinggal di mansion agar perempuan itu bisa mengenali kami berdua dan memilih."
Sang mama memasuki kamar dengan lunglai, lalu duduk di tepi ranjang Daniel, menghela napas panjang, tampak begitu rapuh.
"Apapun yang dikatakan oleh Kakekmu harus dilakukan... bukankah begitu?" Mata mamanya menerawang, "Kalau tidak mungkin kita akan kalah dan terpinggirkan, menjadi bahan cemoohan keluarga kita dan membiarkan anak haram itu berkuasa." ditatapnya anak lelaki satu-satunya itu dengan sayang, "Maafkan mama sayang, membuatmu berjuang untuk keluarga kita... papamu sendiri.. mama tidak bisa mengharapkannya."
Daniel mengerutkan bibirnya sinis, "Kita memang tidak bisa mengharapkan papa. Padahal dialah penyebab semua masalah ini terjadi."
Mamanya hanya menganggukkan kepalanya, dan matanya berkaca-kaca, sekejap Daniel berpikir mamanya akan menangis, tetapi sang mama kemudian malahan bertanya,
"Apakah dia cantik?"
"Siapa?" Daniel mengerutkan keningnya.
"Alexa. Perempuan yang dijodohkan dengan kalian berdua?."
Daniel langsung membayangkan wajah Alexa yang mungil dengan rambut panjangnya yang indah, bibrinya ranum dan sepertinya menggoda untuk dicium....
Ah. Tidak! Daniel tidak boleh teralihkan, dia harus benar-benar fokus kalau ingin memenangkan persaingan dengan Nathan.
"Aku tidak peduli apakah dia cantik atau jelek, mama. Tidak ada bedanya bagiku. Yang pasti, apapun yang terjadi, bagaimanapun caranya, aku akan membuatnya memilihku, dan segera setelah itu aku akan menyingkirkan Nathan dari keluarga kita."
Mamanya menghela napas panjang, tiba-tiba terdengar tercekat, matanya semakin berkaca-kaca, "Bertahun-tahun mama hidup mengabdi kepada papamu... meskip kadang papamu kurang perhatian kepada kita, tetapi mama terima, karena cinta mama yang begitu besar kepada papamu, bagi mama tidak apa-apa asalkan papamu tetap pulang ke rumah kita, asalkan keluarga kita tetap utuh..." Air mata merembes di mata mamanya, mengalir ke pipinya. "Tetapi mama sungguh-sungguh tidak menyangka kalau papapu berbuat itu, sampai memiliki anak haram dengan perempuan lain, mengkhianati mama... mama sungguh-sungguh tidak menyangka..." Air mata Irene mengalir deras, suaranya tertelan oleh isak tangisnya yang semakin kencang.
Daniel menghela napas panjang, hatinya serasa direnggut paksa melihat mamanya menangis terisak-isak seperti itu. Dia lalu melangkah dan memeluk mamanya. 
Matanya menerawang dan menggertakkan giginya. Dia tidak akan memaafkan orang-orang yang telah melukai hatinya dan mamanya. Papanya yang tidak bertanggung jawab, Albert Simon yang tidak punya hati karena begitu saja memasukkan Nathan ke dalam keluarga mereka tanpa mempedulikan perasaan mamanya, dan juga terutama Nathan. Lelaki itu punya niat jahat, Daniel yakin itu.
Dan melihat kondisi mamanya sekarang, kalau memang benar Nathan ingin menghancurkan keluarganya, tampaknya dia sudah hampir setengah jalan menuju keberhasilannya...
*** 
Nathan menatap lapangan rumput di halaman belakang mansion keluarga Simon yang sangat indah, di beberapa sudut ada taman-taman dan kolam ikan yang dinaungi pohon-pohon rindang dan besar menambah kesejukan. Beberapa pegawai tengah menyapu daun-daun yang berguguran, dan suasana sejuk bahkan terasa sampai ke dalam kamarnya.
Dingin. Itulah yang dirasakan Nathan di hatinya. Dingin dan penuh dendam.
Kedatangannya ke keluarga ini bukannya tanpa maksud. Orang tidak mungkin mengatakan bahwa dia masuk ke keluarga ini hanya demi harta dan kekuasaan. Tidak. Nathan tidak butuh harta dan kekuasaan, dia sudah  bisa mengusahakannya sendiri, karena dia amat sangat kaya dan berkuasa, hasil dari usahanya sendiri.
Meskipun dia berhasil meyakinkan Albert Simon bahwa dia masuk ke keluarga ini demi pengakuan oleh ayahnya dan demi mencari keluarga kandungnya, sebenarnya bukan itu yang menjadi alasannya.
Nathan masuk ke keluarga ini untuk membalas dendam. Untuk menghancurkan ayah kandungnya dan keluarganya, menghancurkan mereka semua yang telah merenggut ayahnya, dari ibunya.
Disesapnya kopi dari cangkir di tangannya, mengernyit sedikit karena panasnya, dan tanpa bisa ditahan, ingatannya melayang ke masa kecilnya....
=======================================================================
Nathan Usia 10 tahun
"Mereka bilang aku tidak punya ayah." Nathan menangis sesenggukan dalam pelukan ibunya yang kurus. Dia baru pulang dari sekolah, masih memakai seragam, tetapi seragamnya basah kuyup karena dia habis tercebur ke selokan, bukan atas kemauannya sendiri tetapi karena didorong oleh anak-anak nakal di kelasnya.
Anak-anak nakal itu selalu mengganggunya, apalagi karena tubuhnya kurus kering dan lemah, kurang gizi. Mereka selalu mengatainya anak haram yang tidak punya ayah. Gosip cepat tersebar di kota kecil ini, dan penduduknya yang tidak pernah berganti membuat ingatan mereka masih terang akan sepuluh tahun lalu ketika ibu Nathan menciptakan skandal di kampung mereka, hamil tanpa suami, tanpa ada yang mengakui.
Skandal itu membuat ibu Nathan diusir dari keluarganya dan kemudian harus menghidupi dirinya sendiri sebagai buruh, beruntung ada salah seorang keluarga jauh yang mau menampungnya, Nathan memanggilnya nenek, mereka kemudian tinggal bertiga, saling mengurus di bawah garis kemiskinan.
Tetapi kemudian, postur Nathan yang lebih mirip seperti orang asing, tubuhnya tinggi meskipun kurus, rambutnya kecokelatan dan matanya berwarna cokelat bening dengan struktur wajah campuran terpatri jelas di sana. Sebutan anak haram mulai didengung-dengungkan kepadanya, dan dia sering diganggu oleh anak-anak lain.
Seperti sore ini ketika dia pulang dan basah kuyup, bau comberan dan menangis keras-keras kepada ibunya yang hanya bisa memeluknya tanpa daya.
"Siapa sebenarnya ayahku, ibu? Kenapa dia tidak ada? Kenapa dia membuatku diperlakukan seperti itu?"
Air mata bergulir di pipi ibunya, jemarinya yang lembut mengelus pipi Nathan, suaranya terdengar serak dan pedih.
'"Jangan pernah bertanya tentang ayahmu, Nathan. Kau sudah berjanji kepada ibu bukan? Sekarang kau memiliki ibu dan juga nenek, kami akan menjagamu."
"Tetapi aku tidak punya ayah!" Nathan berteriak, teriakan anak kecil yang marah dan masih belum mengerti kenapa dunia memperlakukannya dengan kejam. "Aku anak haram! Dan ini semua karena ibu! Aku benci ibu karena menjadikanku anak haram! Aku juga benci ayah karena dia tidak pernah ada! Aku benci semuanya!!" Nathan berteriak keras, tidak mempedulikan panggilan ibunya yang berusaha menenangkannya, kemudian dia masuk ke kamarnya, membanting dan mengunci pintunya.
Panggilan ibunya untuk makan malam sama sekali tidak didengarkannya. Dia benar-benar marah.
Lalu paginya dia tidak mau berangkat ke sekolah. Dia muak dengan semua orang dan ingin menghilang saja dari dunia ini. Tidak dipedulikannya ibunya yang mengetuk-ngetuk pintu kamarnya, ingin  mengajaknya bicara. Hatinya masih terlalu keras dan dipenuhi kemarahan kepada dunia.
Sampai kemudian tragedi itu terjadilah, neneknya mengetuk pintunya dan mengabarkan berita buruk itu... ibunya mengalami kecelakaan dalam perjalanannya bekerja sebagai buruh di pasar dan meninggal dunia....
========================================================================
Ingatan Nathan kembali ke masa sekarang, dan dadanya terasa sesak. Hari itu dia mengalami penyesalan terburuk seumur hidupnya. Ibunya meninggal tanpa Nathan sempat meminta maaf, tanpa Nathan sempat mengaku bahwa dia sebenarnya menyayangi ibunya, bahwa dia tidak membenci ibunya... bahwa teriakannya malam itu hanya karena emosinya.
Sayangnya kadang tidak pernah ada kesempatan kedua untuk seseorang, seperti halnya pada Nathan. Ibunya meninggal, dengan kalimat terakhir Nathan yang diteriakkan kepadanya, bahwa Nathan membenci ibunya.
Setelah kematian ibunya, Nathan benar-benar terbangkitkan. Dia berusaha mencari ayah kandungnya, bukan untuk meminta diakui, tetapi lebih untuk membalas dendam. Dia belajar dengan giat sehingga nilai-nilainya selalu cemerlang. Beasiswa  demi beasiswa diraihnya sehingga dia memperoleh gelar pendidikan yang makin tinggi. 
Pun ketika neneknya akhirnya meninggal karena usia tua, Nathan sudah mampu hidup mandiri, Ketika kuliah dengan beasiswa. Nathan sambil bekerja keras untuk mencukupi dirinya. Ketika lulus, Nathan bekerja lebih keras lagi, mengambil jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Dia memaksa dirinya sampai di batas kemampuannya, mendorong dirinya menjadi yang terhebat dan mengantarkan dirinya menjadi CEO paling muda sekaligus yang paling brilian di dunia bisnis. Nathan sukses membangun perusahannya sendiri yang kemudian menggurita dan membuatnya memiliki kekuasaan dan kekayaan yang cukup banyak, tidak bisa menandingi kekayaan keluarga Simon tentu saja, tetapi tetap saja patut diperhitungkan,
Lalu seperti rencananya, dia masuk ke dalam keluarga Simon. Keluarga lelaki yang ternyata adalah ayah kandungnya.Semua rencana sudah tersusun matang-matang di benaknya.
Saatnya sudah tiba. Untuk sampai disinilah Nathan berusaha sedemikian kerasnya. Segalanya akan terbayar pada akhirnya. Dia akan membalaskan dendamnya...
*** 
Pintu rumahnya diketuk dan Alexa langsung tahu siapa yang datang. Dibukanya pintu dan ada dua mobil yang parkir di depan rumahnya dan dua supir yang berdiri di sana, salah satunya adalah yang menjemputnya kemarin.
"Kami datang untuk menjemput kalian. Saya akan mengantarkan anda ke mansion keluarga Simon, dan rekan saya akan mengantar ayah anda ke pusat rehabiltasi."
Alexa menganggukkan kepala, tahu bahwa saat ini akan datang. Dia lalu meminta izin untuk membereskan beberapa barangnya dulu dan kemudian masuk ke dalam.
Ayahnya sudah menunggu di sana, tampak gugup meskipun sudah berpakaian rapi, . Ayahnya  berhasil menahan diri dan tidak minum-minum sampai dengan sore ini, sehingga Alexa merasa bangga kepadanya.
"Ini pakaian ayah, Alexa sudah menyiapkan." Alexa tersenyum lembut, menyerahkan tas besar  berisi pakaian itu kepada ayahnya. "Hati-hati di sana ya ayah, semoga ayah selalu sehat, semoga rehabilitasi itu baik untuk ayah."
"Pasti Alexa." Tiba-tiba sang ayah memeluk Alexa lembut, Sejak mama Alexa meninggal dunia, baru kali ini dia tampak berlaku seperti seorang ayah kepada anaknya, biasanya sikapnya lebih mengarah kepada ketidak pedulian. "Terimakasih Alexa, semoga kau baik-baik saja ya. Maafkan ayah selama ini merepotkanmu."
Mata Alexa berkaca-kaca dan terasa panas, menahan tangisnya, perasaan sayang menyeruak di dadanya,  dia memeluk ayahnya sejenak, lalu mendampingi ayahnya ke luar. 
Sopir itu langsung membawakan tas pakaian ayahnya. Dan setelah melambaikan tangan sekali lagi kepada Alexa, ayahnya masuk ke mobil yang kemudian melaju pergi.
Sejenak Alexa tertegun, lalu dia menyadari bahwa supir yang satunya masih di sini dan menungguinya, dia lalu masuk ke dalam rumah lagi dan mengambik kopernya yang telah disiapkan sejak siang tadi. Ketika melangkah ke ruang tamu, dia melihat foto ibunya yang cantik, dan dengan impulsif Alexa memasukkan foto itu ke dalam kopernya.
"Aku siap." gumamnya kepada sopir itu yang membantu membawakan kopernya ke mobil. Pintu mobil terbuka untuk Alexa dan Alexa melangkah masuk ke dalam.
Mobil itupun melaju, membawa Alexa ke mansion Albert Simon, tempat dia akan tinggal  selama tiga bulan, bersama dua orang tunangannya.

Bersambung ke Part 7

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 29, 2013 04:14
No comments have been added yet.


Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.