Another 5% Part 7



Senyum Gabriel tampak aneh dan menakutkan ketika menatap bu Sandra dan mempersilahkannya duduk. Dengan gugup, bu Sandra duduk di kursi di depan meja besar Gabriel, sedikit salah tingkah karena lelaki itu menatapnya dengan begitu intens,
"Saya mendengar beberapa rumor akhir-akhir ini..." Gabriel sengaja menggantung kalimatnya, membuat wajah bu Sandra pucat pasi, 
"Rumor?" bu Sandra bertanya, pura-pura tidak mengerti, meskipun jantungnya berdebar menduga... apakah dia begitu sial sehingga rumor yang dia sebarkan tentang Gabriel dan Selly bisa sampai ke telinga Gabriel?"Ya, rumor." Gabriel tersenyum...... meski senyum itu tidak sampai ke matanya. "Rumor negatif, gosip tidak menyenangkan yang tersebar di kalangan karyawan, bahwa aku menjalin hubungan khusus dengan Selly."
Kali ini ketakutan muncul di ekspresi ibu Sandra,
"Eh... saya... saya belum mendengarnya... benarkah?" dia mencoba berkelit.
"Pembohong." Gabriel mendesis, "Apakah kau tidak tahu kalau aku bisa membaca pikiranmu? bahwa aku bisa mendengar sekarang jantungmu berdebar lebih kencang? aliran darahmu lebih deras dan kau mulai berkeringat.... itu adalah tanda fisik seorang pembohong."
Bu Sandra menatap Gabriel  dengan terkejut dan bingung, Benarkah laki-laki ini bisa melakukan apa yang dikatakannya tadi? ataukah dia hanya menggertak?
Dan sebelum sempat Bu Sandra mengatakan apapun, tiba-tiba Gabriel mendekat, tanpa peringatan dengan tatapan mata tajam, membuat bu Sandra bagaikan hewan yang terpojok, terpaku di tempat duduknya.
"Aku sudah punya rencana besar, dan kau mengganggu dengan rumor yang kau sebarkan itu." Tiba-tiba Saja Gabriel sudah berdiri di depan bu Sandra, dan entah kenapa meskipun berusaha, bu Sandra tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Perempuan itu panik, dan nyala ketakutan semakin terlihat di matanya,
"Tolong.... to...long." suara bu Sandra terhenti ketika Gabriel menyentuhkan telunjuknya tepat di atas dahi bu Sandra, membuatnya mengernyit karena rasa panas yang teramat sangat di sana. Lalu rasa panas itu seolah-olah membakar pikirannya, menyedot jiwanya. Bu Sandra masih berusaha mempertahankan diri, tetapi kekuatan itu sangat kuat dan memaksa, hingga akhirnya jiwanya yang lemah menyerah, lalu tersedot habis... dan semuanya gelap.
Gabriel menatap sosok bu Sandra yang sekarang duduk dengan mata kosong. Dia melepaskan jarinya dari dahi bu Sandra dan bersedekap puas,
"Sekarang kau kembali ke sana, dan kau harus membersihkan namaku dan Selly. Kau yang menyebarkan rumor itu, dan kau yang harus menariknya kembali."
"Ya Tuan." bu Sandra menganggukkan kepalanya, patuh seperti budak.
Gabriel menatap sosok itu dengan sinis dan mengernyit tidak suka, "Oke. Pergilah."
Sama seperti tadi, dengann sikap patuh seperti robot, bu Sandrapun pergi dari ruangan itu, meninggalkan pintu tertutup di belakangnya.
*** 
Setelah ruangan itu sepi, Gabriel menoleh ke arah Carlos. Pelayannya itu berdiri di sudut yang gelap, dalam bayang-bayang, mengamati semuanya.
"Kenapa ekspresimu seperti itu, Carlos?"
Carlos tergeragap, berpikir untuk menutupi apa yang ada di benaknya, tetapi seketika merasa percuma karena dia tahu bahwa Gabriel bisa membaca apa yang ada di dalam hatinya kalau lelaki itu mau.
"Saya hanya heran anda tidak membunuh perempuan itu." Gabriel terasa berbeda. Gabriel yang dikenalnya selama ini pasti sudah menghancurkan perempuan itu menjadi abu karena menganggapnya seperti pembantu. Tetapi alih-alih membunuhnya, Gabriel malahan menjadikan perempuan itu sebagai salah satu budaknya. 
Apakah memang ada belas kasihan di hati Gabriel? ataukah lelaki itu punya rencana lain yang lebih kejam?
Gabriel hanya tersenyum sinis menanggapi perkataan Carlos, lalu mengalihkan perhatiannya kepada berkas-berkas di depannya
"Semula aku berniat membunuhnya. Karena itulah aku menyuruhmu menunggu di sini, agar kau bisa membersihkan abu sisa tubuhnya setelahnya. Tetapi kemudian aku berpikir bahwa perempuan itu lebih bermanfaat untukku kalau hidup dari pada mati, jadi aku mempertahankannya." Gabriel menatap Carlos lagi, "Kau boleh pergi, Carlos."
Carlos menganggukkan kepalanya. Menghela napas panjang dan membatin dalam hati. Tuannya ini memang menakutkan, dan tak ada yang bisa dilakukannya selain menyimpan ketakutannya, lalu mengabdi dengan setia.
*** 
Selly tiba di lorong khusus itu, dan kemudian terkejut ketika melihat para suster dan dokter berlarian dengan panik ke arah ujung ruangan.
Jantung Selly langsung berdebar.... itu arah kamar Rolan!
Sellypun setengah berlari menuju ujung ruangan, benaknya terasa lega ketika melihat para dokter dan suster itu tidak masuk ke kamar Rolan.... tetapi mereka masuk ke kamar Sabrina...
Astaga, apakah terjadi sesuatu dengan Sabrina?
Selly mengintip dengan gelisah ke ujung pintu, dan melihat apa yang terjadi dari balik kaca.
Itu Sabrina, dokter sedang menanganinya, ada oksigen di pasang di wajahnya, dan dia tampak  luar biasa pucat, ada Rolan di sebelah ranjang tampak panik dan menggenggam jemari Sabrina.
"Tadi dia tidak apa-apa." Rolan bergumam pada dokter Beni yang memeriksa Sabrina, "Kemudian dia merasakan pusing yang hebat....."
Dokter Beni menganggukkan kepalanya, kemudian meminta Rolan sedikit menjauh karena dia akan menangani Sabrina. Rolan menganggukkan kepalanya, dan kemudian dia berdiri hendak menjauh, ketika itulah dia melihat Selly yang masih mengintip di pintu.
"Selly." Rolan bergumam, lalu tergesa keluar dari kamar dan kemudian memeluk Selly erat-erat,
"Oh astaga... tadi aku bersama Sabrina, dan tiba-tiba dia mengalami serangan... dia mengeluh pusing dan kesakitan lalu kejang..."
Selly membalas pelukan Rolan erat-erat, dia mengerti, dia sungguh mengerti, hal ini pasti sangat mempengaruhi Rolan. Dulu ketika masih sakit, Rolan juga sering mengalami serangan kesakitan yang parah, saat itu yang bisa dilakukan Selly hanyalah menangis dan berdoa, merasakan jantungnya diremas ketika menyadari bahwa kekasihnya sedang menahankan kesakitan yang luar biasa.
"Semoga Sabrina baik-baik saja ya." Selly menepuk punggung Rolan yang masih memeluknya erat, membisikkan kata-kata penghiburan. 
Rolan mengangkat kepalanya dan sedikit menjauhkan pelukannya, lalu mengecup dahi Selly dengan lembut, "Terimakasih sayang, kau sungguh menenangkanku, kejadian ini...." Rolan melirik ke arah Sabrina yang masih ditangani dokter, sepertinya kondisi perempuan itu sudah stabil, "Kejadian ini sungguh sangat mempengaruhiku, aku pernah mengalami sakit separah itu...."
"Tapi kau sudah sembuh." Selly memeluk Rolan erat-erat, mencoba membuat Rolan tidak mengenang kembali kepahitan dulu ketika dia sakit keras, "Dan yang bisa kita lakukan untuk membantu Sabrina adalah mendoakannya dan menemaninya....membuatnya ceria dan penuh harapan." Dia menatap Rolan penuh pengertian, "Kau mau menunggu sampai Sabrina sadar bukan? supaya kita bisa berpamitan padanya dan berjanji untuk sering-sering menengoknya?"
Rolan menganggukkan kepalanya, mengecup jemari Selly dengan sayang, "Terimakasih atas pengertianmu, Selly."
*** 
SabrinaSabrina sadar beberapa jam kemudian, dia membuka matanya pelan, bulu matanya yang tebal terangkat dengan indahnya dan menampakkan mata hijaunya yang memukau. 
Perempuan itu langsung tersenyum ketika melihat Rolan ada di samping ranjangnya.
"Rolan." Sabrina tersenyum lembut, "Kau di sini..."
"Aku menunggumu sampai sadar. Kau kesakitan tadi."
Sabrina menghela napas panjang, "Aku... pusing sekali tadi, kepalaku sakit." perempuan itu mengalihkan matanya dan bertatapan dengan Selly, lalu tersenyum, "Selly, kau di sini."
Selly menganggukkan kepalanya, "Syukurlah sekarang kondisimu sudah stabil, Sabrina."
Sabrina menganggukkan kepalanya, "Terimakasih... terimakasih..." bisiknya lemah, lalu memejamkan matanya.
"Aku akan pulang dari rumah sakit hari ini." Rolan bergumam, membuat Sabrina membuka matanya perlahan, "Aku ingin berpamitan denganmu Sabrina."
Ekspresi Sabrina tampak luar biasa sedih, matanya berkaca-kaca, "Apakah kau akan sering-sering menengokku?" bibirnya bergetar ketika berkata.
Rolan tersenyum, "Tentu saja, aku sudah berjanji bukan?" lelaki itu merangkul Selly dengan sayang, "Aku dan Selly akan sering-sering datang dan menengokmu." Rolan menganggukkan kepalanya, lalu tersenyum lembut pada Sabrina, "Kami pamit dulu ya, besok aku akan datang kemari dan menengokmu."
Sabrina mengangguk, tetapi ketika Rolan hendak membalikkan badan bersama Selly, Sabrina meraih jemari Rolan, dan matanya penuh air mata,
"Berjanjilah sekali lagi kepadaku Rolan, bahwa kau tidak akan membiarkan aku kesepian sendirian di sini." suaranya lemah di sela isak tangisnya.
Rolan menghela napas panjang, lalu melepaskan pelukannya dari Selly, melangkah kembali ke tepi ranjang, dan kemudian membungkuk, lalu mengecup dahi Sabrina yang dingin dan pucat,
"Aku berjanji Sabrina." bisiknya lembut.
*** 
"Kenapa sayang?" Rolan menoleh ke arah Selly yang tampak merenung di dalam taxi yang mereka tumpangi dalam perjalanan menuju rumah.
Selly tergeragap dari lamunannya, dia menatap Rolan dan menghela napas panjang, "Tidak apa-apa."
Rolan mengerutkan keningnya, "Oh ayolah, katakan padaku, sepertinya banyak yang kau pikirkan."
Sekali lagi Selly menghela napas panjang, "Aku... aku memikirkan Sabrina, tampaknya dia sangat terikat kepadamu.. dan kau... kau begitu lembut padanya."
Rolan langsung terkekeh, meraih Selly ke dalam pelukannya dan menunduk untuk mengecup bibirnya dengan lembut,
"Kau cemburu?" gumamnya senang.
Selly memukul lengan Rolan pelan, "Rolan! itu bukan untuk ditertawai." gumamnya cemberut, "Aku.. aku merasa malu kepada diriku sendiri karena menyimpan kecemburuan kepada Sabrina yang sedang sakit... tapi kau begitu lembut kepadanya, dan Sabrina sangat cantik... jadi aku..." Selly
"Selly." kata-kata Rolan berubah serius, "Bagiku kau yang paling cantik. Hanya kau satu-satunya perempuan yang kucintai. Aku bersikap lembut kepada Sabrina hanya karena empatiku kepadanya, karena aku pernah mengalami apa nyang dia rasakan. Percayalah padaku ya. Dan jangan berpikir yang tidak-tidak."
Selly menganggukkan kepalanya. Lalu menenggelamkan dirinya di pelukan dada Rolan yang bidang. Rolan betul, tidak seharusnya dia membebani kebahagiaan mereka ini dengan pikiran yang aneh-aneh.
*** 


Gabriel muncul begitu saja di kamar Sabrina, menatap adiknya dengan dingin.
"Serangan sakit lagi?" Gumamnya sinis, "Kenapa kau tidak menyerah saja Sabrina?"
Sabrina terbaring lemah, lalu menatap Gabriel tajam, "Kau seharusnya bisa menyembuhkanku dengan kekuatanmu, Gabriel."
Gabriel terkekeh, "Tidak cukupkah aku memberikan darahku untuk memperpanjang umurmu? Dan tidak, aku tidak bisa menyembuhkanmu, Sabrina, karena kau seharusnya sudah mati sejak lama, hanya darahkulah yang bisa membuatmu tetap bertahan hidup selama ini. Tetapi darahku bukanlah untuk menyembuhkan penyakit, dia hanya untuk memperpanjang umur."
Air mata meleleh di pipi Sabrina, "Tetapi mama dulu selalu membuatku tidak merasakan sakit. Sedangkan kau..kau membiarkanku menahan kesakitan ini. Aku tahu kau punya kekuatan itu, kekuatan untuk menyembuhkanku dari sakitku."
Gabriel tersenyum sinis, "Ya, aku punya kekuatan itu dan bisa menggunakannya kalau aku mau. Kau kesakitan karena kau keras kepala dan tidak mau menyerah. Kau harusnya sadar Sabrina, kau melanggar takdirmu sendiri, kau seharusnya sudah mati sejak lama, tetapi kau menggunakan mama untuk membuatku bersumpah akan memberikan darahku kepadamu terus menerus agar kau bisa bertahan hidup, Kau menyiksa dirimu sendiri."
Gabriel menatap ke arah infus Sabrina, dan kemudian, dengan kekuatannya, infus itu berwarna merah, bercampur darah Gabriel, mengalir masuk ke dalam pembuluh darah Sabrina.
"Aku tetap memberikan darah untukmu, hanya demi sumpahku kepada mama kita. Dan hanya itu yang diminta mama, dia tidak pernah memintaku menyembuhkanmu, jadi jangan harap aku mau melakukannya." gumamnya dingin lalu menghilang kembali di telan kegelapan.
*** 


GabrielGabriel merenung. Semua ingatan itu kembali kepadanya, ingatan yang menyakitkan. Mamanya dulu adalah sang pemegang kekuatan kegelapan sebelum pada akhirnya kekuatan itu diserahkan kepada Gabriel....
Dengan kekuatan itu, mamanya berumur panjang, menjaga kehamonisan dunia dengan keseimbangan kekuatannya masing-masing. Bahkan mamanya itu mampu menekan kekuatan jahat yang mendorongnya untuk merusak dan menguasai dunia, karena itulah ketika kekuatan kegelapan itu dipegang oleh mamanya, dunia seakan-akan damai dan seimbang. 
Tetapi kemudian entah kenapa, mamanya lalu memindahkan kekuatannya kepada Gabriel, memberikan seluruh beban itu di pundak Gabriel, menyatakan dirinya sudah lelah menahan bebannya sendiri dan memilih untuk menyerah. Mamanya merasa hidupnya hampa, terus hidup dan kuat sementara orang-orang disekitarnya menjalani kehidupan dengan normal, lahir hidup dan kemudian mati sesuai takdirnya. Mamanya merasa muak dengan umur panjang dan kekuatannya.
Segera setelah kekuatan itu diserahkan kepada Gabriel, mamanya melemah oleh penyakit kanker yang menggerogotinya. Penyakit yang sama, yang menyerang Sabrina adik tirinya, hasil pernikahan mamanya dengan suami keduanya. Suami keduanya adalah lelaki yang sangat kaya, dan begitu sibuknya sehingga jarang sekali bertemu dengan Gabriel dan Sabrina. Gabriel bahkan tak habis pikir kenapa waktu itu mamanya menikahi lelaki itu. Dia curiga bahwa mamanya hanya ingin memiliki seorang anak lagi untuk disayangi. Gabriel yakin bahwa mamanya tidak pernah mencintai suami keduanya ini, karena mamanya pernah bilang bahwa satu-satunya cinta sejatinya, adalah suaminya, ayah Gabriel yang meninggal sejak lama, jauh sebelum mamanya diwariskan kekuatan kegelapan ini. Dan dia tahu, ketika mendapatkan kekuatan kegelapan ini, mamanya kehilangan kemampuan untuk mencintai laki-laki, sama seperti Gabriel sekarang yang tidak punya cinta di hatinya.
Sebelum meninggal, mamanya mengungkapkan bahwa dia memberikan darahnya kepada Sabrina terus menerus, untuk mempertahankan hidup anak perempuannya itu, dan kemudian memaksa Gabriel bersumpah untuk memberikan darahnya kepada Sabrina.... seterusnya dan mempertahankan Sabrina untuk bisa berumur panjang.
Sabrina seharusnya sudah mati bertahun lalu. Tetapi darah Gabriel mempertahankan kehidupannya. Gabriel memang jahat. Tetapi dia tidak akan pernah melanggar sumpah yang pernah dibuatnya.
*** 
"Aku akan menjemputmu sepulang kantor nanti ya." Rolan tersenyum dan mengecup dahi Sally, mereka ada di depan kantor Selly, Rolan sendiri yang menyetir dan mengantarkan Selly, dia benar-benar merasa sehat luar biasa.
Dan ada yang menggelitik di benaknya, dorongan untuk memakai kekuatan tubuhnya sampai ke tingkat yang lebih jauh. Hanya saja Rolan tidak tahu bagaimana cara melakukannya, jadi dia masih menahan kekuatan itu di tubuhnya.
"Terimakasih Rolan." Selly tersenyum lembut menatap kekasihnya itu, menganggukkan kepalanya dan keluar dari mobil. Dia lalu melambai ke arah Rolan sampai mobil kekasihnya itu berlalu.
Setelah itu Selly melangkah memasuki lobby kantornya dan menuju lift dan memasukinya menuju lantai paling atas, dia menghela napas panjang ketika ingatan akan perkataan dan tuduhan teman-temannya kemarin menyerang ingatannya. Rasa sakit dan terhina itu muncul kembali di benaknya, menyadari bahwa teman-temannya berpandangan negatif kepadanya. Memberinya tuduhan keji... amat sangat keji.
Selly lalu keluar dari lit melangkah hati-hati menuju lorong di ruangan besar di lokasi paling ujung. Dia harus melewati ruang kantornya yang dulu untuk menuju kantor itu. Langkahnya melambat melihat pintu ruangan accounting yang berlapis kaca bening.
Semua orang di sana mungkin berpandangan negatif kepadanya....
Selly menghela napas panjang dan memutuskan untuk mempercepat langkahnya. Tidak ada yang bisa dilakukannya. Gosip memang sangat kejam, bahkan kalaupun dia mengklarifikasi semuanya, dugaan negatif tetap saja menyerangnya...
Tetapi kemudian pintu ruangan accounting terbuka dan bu Sandra keluar dari sana, mereka berdiri berhadap-hadapan.
***
RolanRolan sampai ke rumah ketika seorang pelayannya menyambutnya di pintu,
"Ada paket untuk anda Tuan." pelayan itu menatap ke arah sebuah kotak yang dibungkus rapi dan diletakkan di meja ruang tamu.
Rolan mengangkat alisnya dan menatap pelayannya bingung, "Paket? siapa yang mengantar?" Siapa yang mengirim paket kepadanya? 
"Diantar menggunakan jasa pengantar paket biasa, Tuan." jawab pelayan itu sopan.
"Oke." Rolan menganggukkan kepalanya, "Terimakasih."
Setelah membungkukkan badannya hormat, pelayan itupun berlalu, sementara Rolan melangkah duduk di kursi ruang tamu dan mengamati paket yang terbungkus rapi itu di meja.
Dia mengangkat kotak yang sedikit berat itu dan melihat nama pengirimnya. Matthias... dan sebuah nomor ponsel. Hanya ada itu. Siapa Matthias? dia tidak pernah punya teman bernama Matthias sebelumnya...
Dengan penuh rasa ingin tahu Rolan membuka paket itu. Isinya sebuah kotak kulit yang terlihat sangat tua, tetapi terawat rapi. Dan kemudian Rolan membuka kotak kulit itu, lalu mengerutkan keningnya.
Itu sudah jelas sebuah buku. Buku yang besar, tebal dan amat sangat tua....

Bersambung ke part 8
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 04, 2013 01:08
No comments have been added yet.


Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.