Perjanjian Hati Part 8

Part 8
Ketika kau mencintaiku,
aku akan selalu ada di hatimu
Pun ketika kau membenciku,
aku akan selalu ada di pikiranmu
Pada akhirnya,
Aku akan selalu ada
Nessa menatap kepergian Paula dengan langkah anggun dan dramatis itu, lalu menghela napas panjang. Di sisi lain Kevin malahan mengamati Nessa, lalu terkekeh geli, membuat Nessa melemparkan pandangan membunuh kepada lelaki itu, "Kenapa kau tertawa?" Kevin bahkan makin tergelak, "Kau. Kau membuatku tertawa. Caramu menjawab pertanyaan Nessa tadi membuatku sedikit bangga. Ternyata isteriku rela mempertahankanku dari rayuan perempuan lain." "Jangan salah paham. Aku cuma tidak suka sikapnya yang merayumu terang-terangan, padahal ada aku di sebelahmu.", Nessa melirik ke arah Delina dan Ervan yang juga tersenyum-senyum mendengar percakapan mereka. Sialan Kevin! pasti sekarang Delina dan Ervan mengira dia cemberut dan marah-marah karena cemburu. Kevin mengikuti arah mata Nessa, menyadari bahwa Delina dan Ervan mendengarkan percakapan mereka. Dia lalu mengedipkan mata ke arah Nessa, mengirimkan isyarat bahwa percakapan ini belum selesai, kemudian melangkah menuju mobil. *** Langit tampak cerah, biru dihiasi awan putih berbagai bentuk, seakan-akan menyambut mereka dengan keindahan pemandangannya. Nessa berdiri tanpa alas kaki, menginjak pasir putih itu dan memejamkan mata, merasakan hembusan angin laut yang hangat yang menerpa pipinya. Rasanya hangat dan mendamaikan, apalagi dengan alunan deburan ombak yang begitu menenangkan. "Senang?" suara Kevin yang dekat di sampingnya membuat Nessa hampir terlonjak kaget. dia menoleh dan melihat Kevin berdiri di sampingnya. Lelaki itu berpenampilan santai, dengan t-shirt putih dan celana pendek warna khaki dan kaki telanjang, sangat berbeda dari penampilan sehari-harinya yang resmi. Nessa berpikir untuk membantah perkataan Kevin, tetapi dia akan tampak tidak tahu terimakasih kalau melakukannya, setidaknya biarpun menjengkelkan, Kevin sudah mengajaknya bersama Ervan dan Delina untuk menghabiskan akhir pekan menyenangkan dan merayakan ulang tahunnya. "Senang." Nessa mencoba tersenyum, mengajak berdamai, "Terimakasih sudah mengajak kemari." Kevin membalas senyuman Nessa dengan senyuman tipis, lalu menatap ke arah laut, hembusan angin laut membuat rambutnya berantakan tertiup angin dan menerpa dahinya, mengubah penampilan kerasnya menjadi lebih santai. "Dulu kami sering berlibur kesini, sekeluarga, Aku, mama, papa dan Delina, waktu umur kami masih kecil." Pandangan Kevin menerawang, mengenang, "Kemudian tahun berganti dan papa menjadi semakin sibuk, mama semakin lemah.... kadangkala disaat aku lelah, aku melarikan diri kesini." Nessa mengernyit. Pasti Kevin membawa kekasih-kekasihnya kemari untuk menghabiskan malamnya, pikirnya dengan sinis. Tanpa diduga Kevin menatapnya dan bisa membaca apa yang ada di dalam benaknya, lelaki itu terkekeh, "Hentikan semua pikiran buruk yang ada di dalam kepalamu itu." gumamnya dalam tawa, "Sendirian. Aku selalu kemari sendirian. Resor pribadi ini, cottage ini, sisi pantai yang ini, semuanya khusus hanya untuk keluarga." Nessa mengernyit lagi, "Dan apakah kau pikir aku keluargamu?" Tatapan Kevin setelahnya begitu dalam dan misterius, tidak terbaca, "Kau isteriku." *** "Malam ini kita akan makan di restoran pinggir pantai." Delina duduk di ranjang Nessa dan tampak bersemangat, "Kak Kevin memesan kue tart dari dapur resort khusus untukmu." Delina mengedipkan matanya menggoda, "Dia tidak pernah seperhatian itu kepada siapapun." Pipi Nessa memerah, entah kenapa. Padahal dia tahu pasti, Kevin melakukannya karena ada Delina dan Ervan di sini. Semua ini hanya sandiwara.... Tetapi kalau memang hanya sandiwara, kenapa jantungnya berdegup tak karuan saat ini? Mereka menginap di resort mewah di pinggir pantai, dengan cottage indah dengan tiga kamar, ruang keluarga, dan dapur yang penuh dengan peralatan modern, dimana salah satu fasilitasnya menghadap ke arah pantai pribadi yang bisa di datangi langsung dari pintu belakang cottage mereka. Nessa tentu saja harus sekamar dengan Kevin, sedangkan Delina dan Ervan menempati kamar sendiri-sendiri. Malam ini mereka akan makan malam di restoran tepi pantai yang terkenal dengan masakan kepitingnya. Delina sedang menunggui Nessa berganti pakaian sambil bercerita tentang berbahgai hal, dan Nessa mendengarkannya sambil tersenyum. Tersenyum dan bersyukur, karena Delina sepertinya telah berhasil melalui kesedihannya dengan ketegaran jiwanya, "Aku sudah siap, ayo kita keluar, para lelaki pasti telah mengunggu kita dengan jengkel." gumam Nessa sambil mengajak Delina melangkah keluar kamar. Kevin duduk di sana sedang bercakap-cakap dengan Ervan, ketika Nessa dan Delina keluar, dia mengangkat alisnya dan tersenyum, "Sudah siap?" Nessa mengangguk dan Kevin langsung berdiri, menghelanya ke pintu. Mereka berjalan menyusuri pinggiran pantai, diikuti Delina dan Ervan di belakangnya. Restoran pinggir pantai itu benar-benar berada di piggir pantai, tempat makannya ada di paviliun paviliun kecil dari kayu dan beratapkan rumbia, dengan lilin-lilin yang ditata secara eksotis di sekelilingnya. Makanannya luar biasa nikmatnya, berbagai macam hidangan laut dan minuman kelapa yang menyegarkan. Mereka tertawa, mereka bercakap-cakap dalam suasana yang begitu santai, hingga Nessa hampir melupakan suasana permusuhan yang dibangunnya bersama Kevin. Kevin banyak tertawa malam ini, lelaki itu mengedipkan mata ketika seluruh hidangan dan piring kotor, serta meja mereka dibersihkan. "Saatnya untuk yang paling istimewa." Sedetik setelah Kevin berkata-kata, seolah sudah diprogram sebelumnya, seorang pelayan datang membawakan kue ulang tahun berwarna putih dengan lilin-lilin cantik di atasnya, Pelayan itu meletakkan kue itu di meja, di depan Nessa, "Saatnya mengucapkan pengharapanmu." gumam Delina sambil bertepuk tangan bersemangat. Nessa memejamkan matanya, lalu mengucapkan doa singkat, bahwa dia ingin semua orang yang dicintainya berbahagia, "Tiup lilinnya." gumam Ervan pelan. Nessa meniup lilin itu dan semua bertepuk tangan gembira. Suasana begitu membahagiakan, membuat Nessa menoleh ke arah Kevin dan tersenyum tulus, "Terimakasih Kevin." Tanpa diduga, lelaki itu mendekatkan tubuhnya, lalu mengecup dahi Nessa lembut, "Sama-sama, sayang." Delina dan Ervan tersenyum melihat keromantisan tulus yang ditampilkan Nessa. Tetapi Nessa duduk disana dengan jantung berdegup kencang, mencoba meyakinkan hatinya bahwa semua ini hanyalah sandiwara sempurna yang diperankan olehnya dan Kevin. *** Malam itu ketika Nessa membaringkan tubuhnya di ranjang, dia merasa gugup. Rasanya aneh, padahal selama ini dia biasa saja jika tidur di ranjang ini, menantikan Kevin menyusulnya ketika hampir tengah malam setelah membereskan pekerjaannya, dan tidur di sebelahnya. Malam ini terasa berbeda, entah kenapa. Mungkin karena suasana kamar yang temaram dan romantis dengan nuansa kuning kecoklatan dan debur ombak di kejauhan. Mungkin pula karena nuansa yang dibangun dari pagi tadi sampai sekarang, semua terasa berbeda. dan jantung Nessa berdesir pelan ketika pintu kamar mandi terbuka, dan Kevin keluar, dengan rambut basah sehabis mandi. "Sudah mau tidur?", Lelaki itu berdiri di tengah ruangan, menatap Nessa dengan pandangan yang terasa misterius karena tertutup bayang-bayang kamar yang remang-remang. Nessa menatap Kevin dan tersenyum gugup, "Iya, aku lelah seharian ini." Kevin melangkah dan duduk di atas ranjang, mematikan lampu tidur hingga membuat suasana kamar gelap, hanya cahaya bulan yang menyusup dari balik jendela kaca yang tertutup gorden putih yang menyinari kamar, lalu Kevin naik dan berbaring di sebelah Nessa, "Besok pagi kita melihat matahari terbit, kau pasti terpesona, indah sekali. Lalu kita bisa berenang di laut." "Kedengarannya menyenangkan." Suara Nessa tercekat, kenapa pula mereka melakukan pembicaraan basa-basi begini? Lalu hening, Nessa pura-pura tertidur, membalikkan tubuhnya membelakangi Kevin. Lama dia dalam posisi itu dan dia tidak bisa tidur, tubuhnya terasa pegal, dan pelan dia mengubah posisi tubuhnya, supaya tidak membangunkan Kevin yang diyakininya sudah tidur karena dia tidak mendengar suara apapun dari laki-laki itu. "Tidak bisa tidur?" suara Kevin mendadak terdengar, menembus keheningan dan membuat Nessa terlonjak karena kaget. Dia membalikkan badannya dan mendapati Kevin berbaring terlentang berbantalkan lengannya. "Kupikir kau sudah tidur." bisik Nessa lirih. Kevin menatap Nessa, lalu tersenyum, "Tidak, aku juga tidak bisa tidur." suaranya berubah parau. "Kenapa?" "Kau tahu kenapa." nafas Kevin terdengar berat, "Aku tidak bisa tidur setiap malam sejak aku menikah denganmu." "Karena kau tidur seranjang denganku?" Suara Nessa berubah cemas, apakah dia mendengkur dengan keras sehingga mengganggu istirahat Kevin, ataukah gaya tidurnya berantakan, seperti kemarin, menempel-nempel Kevin atau mungkin menendangnya dalam tidurnya? "Ya. Karena aku tidur seranjang denganmu." Kevin terkekeh, "Tidur seranjang denganmu dan tidak bisa menyentuhmu." Gumaman Kevin itu, biarpun pelan membuat Nessa langsung beringsut ke ujung ranjang dengan waspada, "Apa maksudmu." "Apakah aku harus menjelaskan maksudku dengan gamblang seperti menjelaskan kepada anak kecil?" Lelaki itu memiringkan kepala, menatap sinis ke arah Nessa yang menjauh ke ujung ranjang, "Kau pasti tahu pasti apa yang dirasakan lelaki dewasa ketika harus melewatkan malam demi malam dengan perempuan di ranjangnya, tanpa bisa berbuat apa-apa." "Memangnya kau mau berbuat apa?" kali ini suara Nessa benar-benar cemas. Kevin terkekeh lagi, terdengar meremehkan. "Tenang Nessa, tak perlu melonjak dan lari dari ranjang ini, sesuai janjiku kepadamu, aku tidak akan menyentuhmu." suara sensualnya kembali memenuhi ruangan, "Kecuali kalau kau mau kusentuh." "Aku tidak mau disentuh olehmu." jerit Nessa spontan. Sedetik kemudian Nessa menyadari bahwa dia salah bicara, karena gerakan tubuh Kevin tampak tegang, lelaki itu tersinggung, "Kenapa kau tidak mau kusentuh?" Kevin bergerak mendekat, dan sebelum Nessa bisa menyingkir dari ranjang, lengan Kevin dengan kuat merengkuhnya, merapatkan tubuhnya kepadanya. "Apakah aku menjijikkan untukmu?" Nafas Kevin terasa hangat di pipinya, membuatnya bergetar, " Nessa mencoba meronta, tetapi kedua lengan Kevin menahan punggungnya dan menjepit lengannya di kedua sisi, "Lepaskan aku." seru Nessa panik. "Kenapa kau tidak mau kusentuh?" kali ini suara Kevin berbisik di telinganya, membuat Nessa merasakan gelenyar geli merayapi tubuhnya, "Aku suamimu." Kemudian bibir itu melumat bibir Nessa, dengan panas dan penuh penguasaan, seolah berusaha menaklukkan dan mendominasi Nessa. Bibir kuatnya melumat kelembutan bibir Nessa tanpa ampun, membuat Nessa terengah, kemudian lidahnya mencicipi, mencecap kehangatan permukaan bibir Nessa yang lembut, ketika lidah itu ingin menjelajah masuk, Nessa mengatupkan bibirnya erat-erat, sekuat tenaga, "Ayo sayang, biarkan aku masuk." Suara Kevin berat dan parau, penuh hasrat, bibirnya menggoda tanpa ampun, menggelitik sudut bibir Nessa, hingga ketika Nessa membuka mulutnya untuk memekik, dengan lihai Kevin menelusupkan lidahnya, menjelajah masuk, berpesta pora di sana menikmati seluruh rasa Nessa, dengan teknik ciumannya yang begitu ahli dan tanpa ampun. Hingga ketika lelaki itu selesai melumatnya, Nessa terbaring megap-megap dalam pelukannya. Kevin menatap Nessa dengan tatapan yang tidak bisa diartikan, membara, marah, sekaligus penuh kasih sayang. "Nanti, ketika kau menyerahkan diri kepadaku, akan kubuat itu menjadi malam yang tidak terlupakan olehmu." Lalu dalam sekejap dia melepaskan pelukannya dan meninggalkan ranjang, tergesa keluar, meninggalkan pintu berdebam di belakangnya, dan Nessa yang masih terbaring di sana dengan perasaan campur aduk. *** Kevin tidak kembali ke kamar malam itu, lelaki itu entah tidur di mana semalam, yang pasti, ketika Nessa keluar untuk sarapan, Kevin sudah duduk di sana, bercakap-cakap dengan Delina dan Ervan. Lelaki itu hanya menatap Nessa datar, lalu berdiri dan menarikkan kursi disebelahnya dengan sopan. Tidak ada indikasi sama sekali bahwa lelaki itu mengingat insiden ciuman paksanya di atas ranjang semalam. Nessa mencoba menahan rasa panas yang menjalari pipinya ketika melihat Kevin, mungkin bagi Kevin itu hal biasa, tetapi bagi Nessa hal itu sangat intim, sangat baru dan membuatnya teringat terus setiap detiknya. Tetapi, karena Kevin bersikap seolah semalam tidak terjadi apa-apa, Nessa berusaha bersikap sama. Tidak akan dibiarkannya Kevin tahu bahwa ciumannya begitu mempengaruhi Nessa. "Kata kak Kevin, kak Nessa bangun terlambat karena kelelahan." Delina tersenyum, "Sayang sekali, padahal tadinya kita ingin mengajak kak Nessa melihat matahari terbit." Nessa menatap Delina dengan pandangan menyesal, "Maafkan aku Delina, aku langsung tertidur lelap semalam, dan bangun-bangun sudah siang, mungkin aku memang benar-benar kecapekan." "Tidak apa-apa kak Nessa, kita masih bisa berenang di laut sekarang, kak Nessa bisa mencoba kembali berenang sambil ditemani kak Kevin, kata Delina kak Kevin sangat jago berenang melawan ombak." Nessa menoleh kepada Kevin yang tersenyum menggoda, "Kau tidak bisa berenang, Nessa?" "Kak Nessa takut air." jawab Ervan sambil mengangkat bahu, "Dulu waktu SD kami pernah berenang di kolam renang umum. Ketika mencoba menyelam, kaki kak Nessa kram, tetapi karena dia di dasar, tidak ada yang tahu kalau kak Nessa mulai tenggelam, dia sudah tenggelam beberapa lama dan mengalami serangan panik sampai kemudian salah satu orang tua menyadari dan menyelamatkannya. Sejak itu kak Nessa tidak mau berenang lagi." Kevin menatap Nessa penuh perhatian, "Jadi kau akan melewatkan kegiatan menyenangkan kita untuk berenang di laut pagi ini?" Nessa menghela napas, "Aku sangat menyesal, tetapi mungkin aku memang harus melewatkannya." "Tidak." Kevin berseru keras kepala, "Kau akan berenang, dan kau tidak akan tenggelam, aku akan menjagamu." "Aku tidak mau." Nessa mengernyit, meminta pertolongan pada Delina dan Ervan, tetapi keduanya hanya mengangkat bahu, tidak ada yang bisa membantah Kevin kalau lelaki itu memutuskan sesuatu. "Kau harus mau, titik." Kevin beranjak berdiri, "Sekarang ganti baju renangmu aku menunggu di depan." Ketika Kevin melangkah pergi, Nessa menatap punggungnya sambil mengucapkan berbagai macam cacian yang bisa diingatnya. Dasar lelaki arogan yang keras kepala! *** "Ayo." Kevin menggenggam lengannya setengah memaksa, "Aku akan menjagamu." Kevin sudah berhasil memaksa Nessa ke tengah laut, masih ditepian tetapi sudah lumayan dalam, dengan ombak bermain di pinggang mereka, membuat kaki Nessa kadang-kadang terasa melayang-layang. Nessa mengikuti Kevin setengah terpaksa, "Kau memang suka memaksakan kehendakmu ya, kuharap kau puas." Kevin tertawa, tidak menutupi rasa puasnya, "Ya aku puas. Lagipula sekarang kau sadar bukan, ketakutanmu hanya ilusi. Kau bisa berenang dan air tidak akan mengalahkanmu." "Tidak kalau kau kram dalam kedalaman air lima meter dan tidak ada orang yang menyadari bahwa kau tenggelam." Nessa meringis ketika kenangan yang membuatnya sesak napas itu tergambar kembali di otaknya, membuatnya gemetar, Kevin menyadari itu, dia menggenggam lengan Nessa lembut, "Aku menjagamu. jangan takut." Entah kenapa kata-kata Kevin itu terdengar tulus, membuat Nessa hampir saja memaafkan kelakuan Kevin di insiden semalam ketika lelaki itu menciumnya dengan paksa. "Kevin!" Suara itu familiar sekaligus membawa kenangan buruk bagi Nessa. Dia langsung menoleh dengan waspada, dan mendapati mimpi buruknya benar-benar terjadi, kenapa pula Paula ada di pantai pribadi ini? Ervan dan Delina tadi memutuskan keluar untuk berjalan-jalan dan membeli es krim, dan sekarang Nessa harus sendirian menghadapi perempuan yang merayu Kevin tanpa malu-malu dan tidak mempedulikan kehadirannya. "Boleh aku ikut bergabung bersama kalian?" Paula melepas handuk yang melilit pinggangnya dan melemparnya ke pasir, lalu mulai masuk ke air laut yang hangat, perempuan itu tersenyum manis sambil menatap Nessa, senyuman palsu yang penuh ejekan, "Oh, hai Nessa, kau ada di sini juga? kemarin aku memutuskan menyusul kalian ke sini, untung aku masih mendapat cottage di sebelah cottage kalian, jadi Kevin bisa dekat kalau memutuskan mampir malam-malam" diliriknya Kevin dengan tatapan menggoda, "Iya kan sayang?" Kevin tidak menjawab, hanya terkekeh geli, lalu mengarahkan Nessa untuk mencoba berenang ke tepian yang lebih dalam, "Ayo Nessa, berenanglah, aku akan berjaga di sebelahmu." Darah Nessa naik ke kepala. Kevin tampak tidak kaget melihat Paula menyusul kesini. Jangan-jangan semua yang dikatakannya bohong, jangan-jangan Kevin sering mengajak Paula ke sini untuk bermalam, melihat Paula begitu luwes dan tampak terbiasa memasuki bagian pantai pribadi di cottage yang selalu di sewa Kevin kalau mereka kemari. Dan semalam, Kevin tidak pulang ke kamarnya, apakah jangan-jangan lelaki itu menginap di tempat Paula? Suara Nessa bergetar ketika dia menghentakkan tangan Kevin dengan kasar, "Jangan dekat-dekat! aku bisa sendiri!" serunya kasar. Kevin berdiri di sana, menatap Nessa yang memalingkan muka tak mau menatapnya, "Kenapa Nessa? kau tampak marah, apakah karena Paula menyusul kemari? jangan pedulikan dia, dia memang suka mengikutiku kemanapun mengingat dia sangat terobsesi padaku." gumam Kevin pelan, mengedikkan bahunya ke arah Paula yang sudah mulai berenang ke tengah dengan elegan, melambaikan tangannya dan mengajak Kevin bergabung bersamanya. "Aku tidak peduli kalau kau mau menghabiskan waktu dengan simpananmu. Tetapi sungguh suatu penghinaan kalau kau mengajaknya ke sini, saat kau sedang bersamaku!" "Aku tidak pernah mengajaknya ke sini, dia sendiri yang bilang tadi menyusul kita kemari, dia menginap di cottage sebelah, lalu kau pikir aku harus berbuat apa? mengusirnya?" Kau bisa mengusirnya dari pantai ini! Nessa menjerit dalam hati, ingin rasanya dia memukuli dada Kevin dengan marah. Tetapi itu tidak dilakukannya, dia menahan dirinya sekuat tenaga, menghembuskan napasnya panjang-panjang. Rasa sakit itu mulai menyeruak ke dadanya, rasa sakit yang sama, rasa sakit yang menakutkan. "Aku sangat membencimu. Pernikahan ini seperti neraka untukku!", Nessa menggeram marah, meninggalkan Kevin yang tertegun mendengar perkataannya, lalu dengan nekat masuk ke air menyelam ke dalam lautan, dan berenang ke tengah, menjauhi Kevin. Semua biasa saja, Nessa merasakan berenang di laut ternyata sangat menyenangkan, berbeda ketika berenang di kolam renang. Disini dia harus bisa menyesuaikan diri dengan hempasan ombak yang membawa tubuhnya mengikutinya. Sejenak Nessa menikmatinya, senang ketika dia bisa menjauh dari pasangan tak tahu malu itu, Kevin dan Paula yang mungkin sedang bercengkerama di sana, dia berenang makin jauh, dan jauh.... sampai kemudian dia merasakan rasa sakit itu. Rasa sakit menyengat di kakinya yang mulai terasa kaku. Kakinya kram lagi! Dengan panik Nessa berusaha menjejak, menyadari dia sudah berada jauh di tengah sehingga pasir sudah tidak bisa digapai oleh kakinya. Nessa mulai tenggelam dengan sebelah kaki kram dan sakit setengah mati. Tidak bisa berteriak. Kevin! Teriaknya panik dalam hati sebelum kegelapan menelannya. *** Bersambung ke Part 9Baca Part 1 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-1.html
Baca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-2.html
Baca Part 3 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4.htmlBaca Part 4 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4_28.htmlBaca Part 5 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-5.htmlBaca Part 6 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/perjanjian-hati-part-6.htmlBaca part 7 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/perjanjian-hati-part-7.html
Published on January 07, 2013 04:35
No comments have been added yet.
Santhy Agatha's Blog
- Santhy Agatha's profile
- 483 followers
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.
