Perjanjian Hati Part 5


Created On Bandung 23rd, December 2012

Part 5

Ketika kau harus memilih, mana yang akan kau pilih?
Seuatu yang ada dalam genggamanmu, tetapi masih kau ragukan
Atau sesuatu yang dulu pernah ada dalam genggamanmu, sempat terlepas, tetapi ingin kembali pulang?







Nessa ternganga, begitupun Delina dan Ervan yang ada di ruang tunggu iccu itu. Dengan gugup Nessa menelan ludah, menatap Kevin yang tampak begitu serius, menatap Delina dan Ervan yang mengamati mereka dengan penuh keingintahuan. Nessa bingung harus bicara apa. Kalau menurut kata hatinya, seharusnya dia langsung menolak mentah-mentah lamaran itu, bukankah saat ini mereka sedang mempersiapkan pernikahan yang hanya sandiwara? Kenapa Kevin melamarnya di sini, di depan kedua adik mereka? Bagaimana Nessa harus menanggapinya? dengan sungguh-sungguh atau bersandiwara? "Kevin...?" Nessa bergumam lirih berusaha supaya tidak terdengar oleh Delina dan Ervan yang ada di ujung ruangan. Kevin menatap Nessa dengan mata membara, tampak tersiksa, "Please." Mulutnya membentuk permohonan tanpa bersuara. Nessa menelan ludah lagi. Kevin pasti punya alasan melakukan ini, mungkin dia akan menjelaskannya nanti. Dan jika ternyata mereka salah arah, Nessa berharap Kevin bisa mengeluarkannya dari masalah ini. Dengan menguatkan hati, Nessa menganggukkan kepalanya. "Baik Kevin aku bersedia menikah denganmu." Terdengar suara helaan napas Delina di sudut ruangan, lega. Sementara Nessa mencuri pandang ke ekspresi adiknya yang tercekat. Mungkin sama seperti dirinya, Ervan kaget dan tidak menyangka hubungan Nessa dan Kevin berkembang secepat ini. Sedangkan Kevin, lelaki itu memejamkan matanya tampak lega luar biasa. Lalu dengan cepat, seolah takut Nessa berubah pikiran, dia menyelipkan cincin yang mereka beli barusan ke jemari Nessa, "Itu jadi cincin pertunangan kita. Besok kita beli lagi cincin pernikahan.", bisiknya serak sambil mengecup jemari Nessa yang bercincin. Kevin lalu berdiri dari posisi berlututnya, tampak menjulang di depan Nessa, "Baiklah Nessa, karena kau telah menyetujuinya, kita akan menikah besok." "Besok??!"
Kali ini yang bersuara kaget bukan hanya Nessa, tetapi juga Ervan dan Delina. Kevin menghela napas panjang, lalu menoleh sedih ke arah ruangan iccu. "Mama sedang memperjuangkan hidupnya di sana serangan ini tidak akan terjadi satu kali saja, pasti akan terjadi lagi, dan setiap terjadi kita mempunyai resiko kehilangan mama, satu-satunya permintaannya adalah bisa melihat aku menikah." Kesedihan di mata Kevin bukanlah sandiwara, lelaki itu benar-benar sakit dengan kondisi mamanya, "Aku tidak mungkin menolak permohonan mama kan? Akan hidup dengan penyesalan yang mendalam kalau sampai mama meninggal dan aku tidak bisa melakukan amanat satu-satunya darinya." Delina mengusap air matanya dengan pedih, membiarkan dirinya dipeluk oleh Ervan.  Sementara itu, Ervan mengamati Kevin dan Nessa berganti-ganti. "Apakah... apakah kalian yakin? aku tidak tahu seberapa lama dan seberapa dalam hubungan kalian berdua... meskipun aku sangat senang kalian bersatu, tapi... pernikahan mempunyai dasar pertimbangan lain selain cinta dan pemenuhan amanat untuk orang lain... pernikahan adalah komitmen seumur hidup... untuk selamanya kalau bisa." gumam Ervan, mencoba mencari jawaban dari ekspresi dua manusia di depannya. Wajah Nessa memucat, tetapi tidak bisa berkata-kata. Ervan benar, pernikahan adalah hal yang sangat serius untuk dilakukan. Mereka melakukan janji di hadapan Tuhan, dan itu bukan main-main. Selain itu, jangankan komitmen seumur hidup, mereka bahkan tidak mempunya cinta satu sama lain yang bisa mendukung komitmen itu. Apa yang harus dia lakukan? dia menyetujui sandiwara ini dari awal dan kemudian terseret arus, tidak bisa kembali lagi. Kevin merangkul Nessa dengan sebelah lengannya, "Tidak apa-apa. Kami saling mencintai." jawab Kevin tegas, mengetatkan rangkulannya untuk menegaskan maksudnya, "Aku akan menemui ibumu Nessa, untuk meminta izin." ***  "Jadi begitu ceritanya bu. Mohon maaf saya mendesak secara mendadak seperti ini. Tetapi kondisi mama sayalah alasan satu-satunya saya mempercepat pernikahan ini, meskipun resepsi akan tetap dilaksanakan empat bulan lagi." Ibu Nessa menatap Kevin yang begitu serius dengan permintaannya. Sebagai seorang ibu, tentu saja dia kaget anaknya dilamar mendadak seperti ini. Oh. mama Kevin dan Kevin sendiripun sudah menemuinya minggu kemarin, untuk membicarakan persiapan pernikahan. Tetapi itu untuk pernikahan empat bulan lagi, bukannya pernikahan dadakan besok pagi. Dengan lembut, ibu Nessa melirik ke arah putri satu-satunya yang dari tadi tidak bersuara, sibuk dengan pikirannya sendiri. "Nessa, ibu terserah padamu nak, karena kau yang menjalaninya." Nessa meringis. Bagaimana bisa dia terjebak dalam situasi ini? Sepanjang jalan ke rumah tadi, Nessa ingin meledak kepada Kevin, marah karena ditempatkan dalam posisi seperti ini tanpa rencana. Tetapi dia tidak bisa mengatakan apa-apa kepada Kevin, karena Ervan ikut bersama mereka untuk mengambil baju ganti sebelum kembali ke rumah sakit lagi, sementara Delina masih di rumah sakit, berjaga menunggui mamanya. "Nessa sudah setuju dengan saya ibu, toh kami memang sudah berencana menikah, betul kan Nessa?" sela Kevin cepat, mencegah Nessa mengeluarkan penolakan. Nessa hanya menganggukkan kepalanya lemah. Ibu Nessa menghela napas panjang,  "Baiklah nak, ibu memberikan restu. Ibu yakin, pernikahan ini bertujuan baik, dan semua yang bertujuan baik pasti akanberujung baik." *** "Kakak yakin ?" Ervan mendekatinya, ketika Nessa sedang melangkah memasuki kamarnya. Ervan sudah membawa tas ransel berisi beberapa baju ganti dan selimut. Lelaki itu akan menemani Delina menginap di ruang tunggu iccu sambil menunggu mama Kevin bisa dipindahkan ke kamar pribadi. Dia sudah akan berangkat lagi ke rumah sakit diantar Kevin. Kevin sendiri belum bisa menginap di rumah sakit, dia harus mempersiapkan segala urusan untuk pernikahan dadakan itu di pagi harinya, baru mungkin dini hari nanti dia akan menyusul Delina dan menggantikan adiknya menunggui mamanya. Nessa menatap mata adiknya, ada kecemasan di sana. Nessa tahu pikiran Ervan terlalu tajam dalam melihat semua ini. Ervan pasti merasa semua terlalu cepat, dan dia terlalu mengenal kakaknya untuk mengabaikan kecemasan yang berkecamuk di dalam hati Nessa, Sambil tersenyum kepada adiknya, Nessa menganggukkan kepalanya, "Pernikahan ini adalah jalan yang terbaik." gumamnya. Ervan menatap Nessa tajam, mencoba menembus mata kakaknya, "Apakah... apakah ada yang kau rahasiakan kepadaku?" Nessa langsung menatap Ervan waspada. Apakah sandiwara mereka begitu kelihatan di mata Ervan? "Kenapa kau berpikiran seperti itu?" Ervan mengangkat bahunya, tersenyum miris, "Entahlah kak." Senyumnya berubah menjadi permintaan maaf, "Maafkan aku, bukannya aku tidak percaya akan cinta kalian, tetapi ini semua terlalu cepat... aku...aku bahkan tidak menyangka kakak Delina mau berkomitmen kepada seseorang, Delina selalu cerita kalau kakaknya sangat menghindari pernikahan, dia selalu ingin menjadi lelaki bebas. Lamarannya tadi, aku takut dia terlalu tergesa-gesa karena dorongan hatinya ingin menyenangkan mamanya..... Kalau yang dilamarnya bukan kakak, mungkin aku akan tenang-tenang saja. Tetapi kau, kakakku, dan aku sangat menyayangimu. Aku tidak ingin ada penyesalan nantinya." Nessa merasakan matanya panas dan berkaca-kaca. Ingin rasanya dia mengungkapkan semuanya kepada adiknya, yang sangat disayanginya. Tetapi dia tidak bisa. Ervan akan merasa sangat bersalah, karena sandiwara dengan skenario yang kacau ini asal muasalnya adalah demi kebahagian Ervan dan Delina. "Kakak sudah siap Ervan, kau jangan mencemaskan kakak ya." "Apakah kau mencintai Kevin?" Ervan berdehem salah tingkah, "Maksudku, Kevin memang sangat mudah dicintai dengan berbagai kelebihannya itu, tapi apakah kau benar-benar mencintainya untuk hidup bersamanya dalam satu pernikahan?" Bagaimana mungkin? Nessa meringis kesal. Kevin tidak mudah dicintai. Lelaki itu arogan, angkuh dan suka memaksakan kehendak. Tapi Nessa bisa apa? Semoga Tuhan memaafkannya karena melakukan perjanjian palsu untuk menikah. Semoga Tuhan mengerti bahwa ada alasan baik di balik sandiwara yang berujung tak terduga ini. "Kakak mencintainya Ervan." Nessa berbohong dengan lancar, "Tenang saja ya, seperti kata ibu tadi, apapun yang dilakukan dengan tujuan baik, pasti akan berujung baik." ***  Mereka menikah pagi itu di rumah sakit. Kondisi mama Nessa sudah membaik sehingga bisa dipindah ke kamar pribadi yang luas dan lebih privat. Pernikahan itu sederhana, hanya dihadiri oleh beberapa perwakilan keluarga keduabelah pihak sebagai saksi. Semua berlangsung begitu cepat, tiba-tiba saja Kevin sudah memakaikan cincin kawin itu. Cincin dengan berlian besar yang ditolaknya kemarin, ke jemarinya, dan mereka sudah sah sebagai suami isteri. Mama Kevin tampak lemah dan pucat, tetapi senyum bahagianya memancar ketika dia meremas jemari Nessa, dan mengucapkan terimakasih dengan lemah, air mata menetes dari mata indahnya, membuat jantung Nessa serasa ditusuk-tusuk oleh rasa bersalah. Tuhan, seandainya saja mama Kevin tahu ini semua hanya sandiwara, betapa hancurnya perasaannya. Delinapun memeluknya dengan rasa terimakasih dan kasih sayang persaudaraan yang tulus, membuat Nessa semakin sesak dadanya. Semua orang berterimakasih padanya, tetapi kenapa rasa bersalah tetap menggayutinya, rasa bersalah dan ketakutan tersembunyi... ketika dia menyadari bahwa dia sudah menjadi isteri sah Kevin. *** Nessa diantarkan masuk oleh petugas kamar hotel mewah di dekat rumah sakit tempat Mama Kevin di rawat. Kevin sengaja memesankan kamar untuk bulan madu mereka di sana, karena tempatnya dekat dengan rumah sakit sehingga mereka bisa bergegas ke sana kalau-kalau ada apa-apa. Nessa duduk di sofa di kamar itu dengan gugup, sambil menatap Kevin yang melepas jasnya dan melemparkan dasinya ke kursi.  Inilah kesempatan pertama kalinya mereka bisa berdua saja. Sebelumnya selalu banyak interupsi, dan Kevin begitu sibuk mempersiapkan pernikahan dadakan ini sehingga susah di temui. Bahkan tadi pagi Nessa baru melihatnya pertama kali, beberapa menit sebelum pernikahan dilangsungkan. "Kita harus bagaimana?" gumam Nessa lemah, pada akhirnya. Kevin menghempaskan tubuhnya di sofa diseberang Nessa, "Maafkan aku menempatkanmu pada situasi sulit seperti ini." Dengan frustrasi dia mengusap wajahnya, "Aku juga tidak menyangka akan berujung seperti ini.... " Nessa menghela napas panjang dan menatap Kevin dalam, "Apakah kita bisa mengurus perceraian dengan mudah nantinya....?" Dan dia akan menyandang status janda, di usianya yang masih muda. Perceraian itu mungkin mengandung konsekuensi yang sangat berat, selain pandangan masyarakat, belum lagi berbagai pertanyaan dari keluarganya nantinya, bagaimana mungkin Nessa bisa menghadapinya? Tatapan Kevin tampak mengeras, "Jangan bicarakan perceraian dulu. Kita jalani saja pernikahan ini dengan sebaik-baiknya dulu. Semoga nanti ada jalan keluar." suara Kevin berubah serius, "Aku berjanji Nessa, selama menjadi suamimu, aku akan menghormatimu sebagai isteriku." Nessa menelan ludahnya, apa maksud Kevin dengan menjalani pernikahan ini dengan sebaik-baiknya? Apakah mereka juga harus... pipi Nessa memerah. Kevin tampaknya memahami ekspresi Nessa itu, senyumnya tampak miris, "Tidak Nessa, jangan takut. Aku tidak akan menyentuhmu, jika itu yang kau takutkan." Tanpa sadar Nessa menghela napas lega. Pernikahan ini sudah terasa seperti ikatan yang menyesakkan dada. Nessa tidak akan bisa menanggungnya kalau mereka harus lebih terikat lagi.

"Apakah kita akan tidur bersama dalam satu kamar nantinya?", tanya Nessa was-was.

Kevin melemparkan tatapan meminta maaf kepada Nessa,

"Ya Nessa, kita akan tidur bersama, setelah mama pulang, kau akan ikut pindah ke rumahku, tinggal di kamarku, dan tidur seranjang denganku, kita harus melakukannya. Kalau tidak, akan muncul gosip di kalangan pelayan yang mungkin akan sampai ke telinga mamaku. Jangan takut." Kevin menyadari ekspresi Nessa yang berubah pucat, "Aku tidak akan berbuat tidak senonoh kepadamu, aku berjanji....

Nessa menghela napas lega, tetapi rupanya Kevin belum selesai dengan ucapannya.

"Kecuali kalau kau yang meminta kepadaku."

Ucapan susulan Kevin itu langsung mendapat hadiah pelototan mata dari Nessa.

"Aku cuma bercanda." Gumam Kevin terkekeh geli sambil menatap Nessa. "Tetapi aku sungguh-sungguh Nessa, kalau kau yang memintanya, aku pasti tidak akan menolak untuk melakukan sesuatu yang lebih." Suaranya berubah sensual.

Nessa menatap Kevin dengan pipi merah padam dan napas terengah, merasa malu sekaligus marah,

"Itu hanya akan terjadi dalam mimpimu!" serunya mantap kemudian, dan disambut dengan gelak tawa Kevin. Kurang ajar lelaki itu!
 *** Dalam seminggu, mama Kevin sudah boleh pulang, wajahnya masih pucat dan lemah meskipun tampak lebih sehat dari terakhir kali keluar dari iccu. "Mama sudah tidak sabar mempersiapkan resepsi pernikahan kalian." Sang mama tersenyum ketika Kevin merebahkannya di atas ranjang. "Istirahatlah dulu saja mama, mama harus lebih kuat lagi. Toh kami sudah menikah, jadi resepsi pernikahan hanyalah syarat saja." suara Kevin terdengar serak. Mama Kevin tersenyum lembut dan menggenggam jemari Kevin, "Terimakasih sayang, terimakasih. Mama merasa tenang dan bahagia sekali dengan pernikahan kalian. Mama sangat menyayangimu dan ingin kau bahagia, kau tahu itu kan...." dengan lembut sang mama mengusap dahi Kevin, "Kau adalah anakku yang sangat kucintai, detik itu, ketika aku menggendong bayimu yang menangis keras-keras, aku sudah menasbihkanmu di dalam hatiku sebagai anak laki-lakiku." Kevin tersenyum lembut dan mengecup dahi mamanya. "Istirahatlah mama sayang, aku juga sangat mencintaimu." Ketika mamanya tertidur kemudian, Kevin melangkah keluar kamar dengan tergesa-gesa, hampir tersandung, membuat Nessa cemas dan mengikutinya keluar. "Kevin ada apa?" Nessa berdiri, menatap Kevin yang berpegangan pada uliran tangga di luar kamar. Punggung Kevin tampak bergetar.  Dengan gugup, Nessa mendekat, dan menyentuh pundak Kevin. "Kevin, kenapa?" Lalu secepat kilat, tanpa diduga, Kevin membalikkan badan dan merengkuh tubuh Nessa kuat-kuat, memeluknya seakan ingin meremukkan tulangnya. Tubuh Nessa terasa sakit, tetapi ditahankannya ketika merasakan isakan Kevin tenggelam di rambutnya. Ah Ya Tuhan, lelaki arogan ini menangis di pelukannya. Dengan lembut, Nessa melingkarkan lengannya di punggung Kevin yang keras, mengusapnya lembut, membiarkan lelaki itu menumpahkan perasaannya. "Dokter bilang....", suara Kevin terdengar serak dan tersengal, "Dokter bilang mama sudah tidak bisa bertahan lagi.... kita... kita tinggal menghitung hari..." lalu isak itu terdengar lagi. Nessa memeluk Kevin kuat kuat, mencoba menyalurkan kekuatan kepada lelaki itu. Lelaki yang sebenarnya tidak begitu dikenalnya, tetapi sekarang sudah menjadi suaminya. Lama Kevin menumpahkan perasaannya, sampai kemudian lelaki itu mengangkat kepalanya dari rambut Nessa, matanya tampak basah. Ditatapnya Nessa dengan lembut, "Terimakasih Nessa." Tiba-tiba perasaan hangat menjalari dada Nessa, menemukan sisi Kevin yang rapuh ini ternyata menghangatkan perasaannya.

Lalu tiba-tiba tatapan Kevin meredup, lelaki itu kemudian mendekatkan kepalanya dan mengecup dahi Nessa, sebelum Nessa sempat menghindar. Kecupan yang lembut dan sopan, tetapi entah kenapa membuat tubuh Nessa seperti tersetrum ketika menerimanya.

Lelaki itu lalu membalikkan tubuh dan melangkah pergi tanpa kata, meninggalkan Nessa yang berdiri di sana sambil merasakan panas membara di bekas kecupan Kevin di dahinya. ***  Ketika Nessa sedang memberi nilai pada gambar hasil karya anak didiknya, pintu ruangan kelasnya diketuk. Nessa memang tidak berniat untuk pulang cepat, dia menunggu Kevin menjemputnya, lelaki itu sekarang mengantar jemputnya setiap Nessa bekerja, dan tidak mengizinkan Nessa naik kendaraan umum lagi. Ketika Kevin sedang sibuk dengan pekerjaannya, dia akan mengirimkan supir. Pernikahan ini sudah berjalan hampir dua minggu, dan mereka baik-baik saja. Kevin mengajak Nessa tinggal di rumahnya bersama ibunya dan Delina. Mereka tidur seranjang meskipun Kevin menepati janjinya untuk tidak menyentuhnya.  Pada malam-malam pertama tentunya terasa canggung, Nessa tidak pernah seranjang dengan lelaki manapun seumur hidupnya, kecuali dengan Ervan, itupun ketika mereka masih berumur 7 tahun. Ketika tanpa sengaja kaki atau lengan mereka bersenggolan, Kevin akan segera meminta maaf dengan canggung, lalu mereka akan bergeser dengan cepat masing-masing di ujung sisi ranjang yang berseberangan. Tetapi lama kelamaan mereka terbiasa, mereka akan mengucap selamat tidur tanpa kata, lalu menempati posisi masing-masing, sambil berusaha tidak menyentuh satu sama lain di ranjang itu. Setidaknya setelah Kevin menangis di pelukannya waktu itu, Nessa menemukan sisi positif dalam diri Kevin. Lelaki itu memang arogan, angkuh dan suka memaksakan kehendaknya. Tetapi dia juga lelaki yang bertanggung jawab, yang sangat mencintai mama dan adik perempuannya. Nessa bisa memahami itu karena dia juga begitu sayang dengan ibunya dan Ervan. Ponsel di tangannya berdering. Dan Nessa melirik ke layarnya, lalu mengernyitkan matanya, Marcell? Nessa masih menyimpan nomor Marcell di ponselnya ternyata, dan ini nomor yang sama, yang berdering dan membuat layar ponselnya terus berkedip-kedip, tak mau menyerah. Nessa mendiamkan ponsel itu, ragu. Tetapi Marcell di seberang sana tampak tak mau menyerah, Kenapa Marcell meneleponnya lagi? Sambil menghela napas panjang, Nessa mengangkat telepon itu. "Halo..." "Nessa ini aku..." suara Marcell terdengar serak dan tersiksa di seberang sana. "Aku dengar... aku dengar kau sudah menikah dengan tuan Kevin...." Apakah isakan Marcell yang terdengar di sana? , "Aku tak kuat lagi Nessa, aku mau mati saja." "Astaga Marcell jangan bicara sembarangan!", Nessa berseru kaget mendengar kalimat Marcell, suara diseberang sana tampak rapuh dan tidak main-main. "Aku mencintaimu Nessa, aku sangat mencintaimu! Meskipun aku hanyalah pecundang lemah yang tak mampu melawan keluargaku, aku sangat mencintaimu. Aku tak kuat lagi menahan beban demi keluargaku, kau yang kucintaipun sudah menikah dengan lelaki lain, jadi untuk apa aku hidup??" "Marcell." Nessa bergumam tenang, berharap ketenangannya menular kepada Marcell yang tampak histeris, "Tenangkan pikiranmu Marcell, kau ada di mana?" "Aku akan mati saja..... sekarang aku ada di tempat perpisahan kita dua tahun yang lalu.... aku... aku akan terjun dari jembatan itu... Selamat tinggal Nessa...." "Marcell!! Jangan lakukan apapun! aku akan kesana!!", Nessa meraih tasnya dengan cepat dan berlari menembus koridor Taman Kanak-Kanak, dan bertabrakan dengan Kevin yang sedang berjalan dari arah berlawanan. "Nessa ada apa?" Kevin menyentuh kedua lengan Nessa yang panik. Nessa menahankan napasnya yang tersengal, "Marcell... Marcell di taman kota... mencoba bunuh diri... lompat dari jembatan..." setiap kata-katanya berhamburan, bercampur dengan kepanikannya. Kevin mencerna kalimat itu dalam sedetik, kemudian menggandeng Nessa dan mengajaknya melangkah ke mobilnya yang diparkir di depan secepat kilat, "Ayo." gumamnya, mendorong Nessa duduk di kursi penumpang, lalu masuk ke kursi pengemudi dan melajukan mobilnya secepat kilat. *** Bersambung ke part 6 
Baca Part 1 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-1.html
Baca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-2.html
Baca Part 3 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4.htmlBaca Part 4 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4_28.html  
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 28, 2012 21:27
No comments have been added yet.


Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.