DIGUYU VCD KABA
[image error]
Bila pulang ke Ranah Bundo saya tak hendak benar lansir seperti lokomotif kereta api Ganefo di lebuh raya sambil mempertontonkan mobil sewaan. Yang pertama-tama saya cari dan amati adalah toko-toko dan para penjual kaset dan VCD Minang di pinggir-pinggir jalan. Distributor Tanama Record dan Sinar Padang Record di pusat kota Padang adalah tempat kunjungan wajib saya. Membawa pulang setengah kardus kaset-kaset dan VCD-VCD Minang terbaru sambil berjalan kaki menelusuri trotoar jalan-jalan kota Padang dengan jebakan banyak lubang riol yang menganga membuat saya merasa senang.
Akhir juli lalu saya bertemu dengan tukang rabab Pasisia Siril Asmara di Pasir Jambak yang sedang di-shot untuk clips VCD terbarunya (17 volume) "Kaba Sutan Palembang" produksi Sinar Padang, salah satu perusahaan rekaman daerah Sumatra Barat yang sangat agresif merilis VCD-VCD sastra lisan Minangkabau untuk mana, menurut saya, penghargaan perlu diberikan kepada pimpinannya: H. Yuskal.
Sambil menikmati ombak sore di pantai Pasir Jambak, selepas melihat 'syuting' Siril, saya putar dengan laptop saya salah satu VCD terbaru produksi Sinar Padang Record: "Kaba Sutan Pangaduan" yang dibawakan oleh Monen dan Mayur, dua orang singer rabab Pariaman yang masih bertahan di zaman ketika 'kuda Jepang', korupsi, dan BlackBerry makin menjadi berhala baru di negeri ini.
Sejak awal kurun ke-21 VCD daerah, tak terkecuali Minangkabau, sudah menjadi sebuah keniscayaan. Jenisnya beragam, mencakup dendang tradisional kabanti dari Buton sampai 'album politik' "Membangun Padang Piaman" dengan biduan utama Muslim Kasim dan Gusti Randa. Tetapi VCD kaba-kaba Minang, yang umumnya dibuat dalam genre rabab Pasisia dan rabab Pariaman, menarik untuk diamati karena ia menghadirkan kekacauan sekaligus daya magnet (allure) tentang peristiwa, tempat, dan waktu.
Kaba Sutan Pangaduan atau Kaba Malin Dewa Gombang Patuanan adalah salah satu kaba klasik Minangkabau yang terkenal di rantau pesisir barat Minangkabau, khususnya di Rantau Pariaman. Inti kaba ini adalah tentang perjuangan Sutan Pangaduan, seorang pangeran dari Kampung Dalam, membebaskan ibunya, Puti Andam Dewi, yang diculik oleh Rajo Unggeh Layang, penguasa Teluk Singalai Tabang Papan. Kaba yang panjang dan bernuansa bahari itu adalah salah satu cultural site yang belum banyak diteliti baik oleh antropolog maupun peneliti sastra dan sejarah. Kaba ini penuh dengan simbol-simbol kinship keminangan berwarna pesisir (rantau) dan juga sejarah kontak agama Islam dengan daerah Pariaman.
VCD yang baru ditemukan tahun 1987 dan kemudian dipasarkan oleh JVC, Philips and Matsushita tahun 1993 telah menimbulkan revolusi yang signifikan pada teknologi rekaman berkat kemampuannya menghadirkan images visual. Ketika VCD digunakan untuk merekam kaba, maka tempat, waktu, dan peristiwa, menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik.
Di Pantai Pasir Jambak yang didereti oleh pondok baremoh dan sepeda motor yang parkir beririt panjang, saya menyaksikan VCD Gombang Patuanan di layar laptop, wakil globalisasi dan manusia modern. Tokoh-tokoh penuh kekuatan supranatural – Gombang Patuanan, Puti Sari Makah, Rajo Unggeh Layang, dsb. – dalam wujud audio (suara tukang rabab Monen dan Mayur) hadir serentak saling-silang dengan gambar-gambar clips yang mengacaubalaukan horizon harapan saya bagaikan semrawut pusat kota Padang yang makin tidak berkeruncingan. Pada momen itu sesungguhnya waktu, tempat, dan peristiwa saling dibenturkan dalam distorsi-distorsi yang tsunamis, layaknya sebuah massa yang masuk ke dan keluar dari lubang hitam (black hole).
Clips VCD kaba itu menghadirkan cuplikan-cuplikan tentang suasanya daerah Padang Pariaman di masa sekarang: kegiatan orang di pasar, baliho-baliho politik di pinggir jalan, suasana pedalaman (countryside) yang indah, dan tentu saja laut dan pantai. Tak ada sama sekali visualisasi tokoh-tokoh dalam Kaba Gombang Patuanan yang coba dihadirkan oleh produser dalam clips VCD itu. Ini dapat dipahami karena pembuatannya tentu membutuhkan biaya tambahan yang cukup besar, sesuatu yang mesti ditekan oleh perusahaan rekaman daerah yang hanya berstatus sebagai industri kecil.
Clips tentang sang storyteller Monen dan Mayur – "perpustaakaan lisan" etnik Minangkabau yang makin terancam punah – menghadirkan suasana sederhana: mereka disorot kamera, hampir tanpa variasi sudut bidik (angle), dalam sebuah rumah panggung yang tak sedikitpun menampakkan kesan mewah, lalu berpindah ke sebuah tempat di pinggir sungai dan pantai. Mereka tampil dalam beberapa jenis pakaian yang berbeda: tradisional dan kemeja biasa. Penampilan mereka adalah sebuah dekonstruksi penuh ironi (tentu sekaligus sinisme) tentang pengaruh media terhadap tubuh kasar manusia Indonesia, seperti yang dihadirkan setiap hari dalam banyak sinetron dan acara Bukan Empat Mata-nya Thukul Arwana di layar televisi nasional kita.
Monen dan Mayur bercerita hampir tanpa senyum. Mimiknya lebih menghadirkan kesedihan dan beratnya hidup, seolah mewakili perjuangan berat tokoh Gombang Patuanan yang sedang mereka ceritakan, yang berjuang sehabis asa untuk membebaskan ibundanya, Andam Dewi, yang ditawan oleh raja bengis Unggeh Layang di 'anjung tak berjenjang' di Teluk Singalai Tabang Papan.
Monen dan Mayur kelihatan statis dalam clips, berbeda dengan bagian clips yang lain tentang pemandangan di berbagai daerah di Padang Pariaman yang terkesan sangat dinamis. Kedua jenis clips itu lagi-lagi menghadirkan sebuah oposisi. Tetapi sesungguhnya VCD itu terus-menerus mendesakkan berbagai macam oposisi dan distorsi ke dalam kepala saya, tidak saja dalam hubungan antara yang audio (cerita itu sendiri) dengan yang visual (clips), tapi dalam clips itu sendiri, dan juga antara horizon harapan penonton – saya menghindari pemakaian kata 'khalayak (audience)' di sini karena menonton VCD kaba pada hakekatnya berbeda dengan menonton pertunjukan kaba yang live (langsung) – dengan realitas tekstual dalam VCD kaba itu sendiri.
Di Pasir Jambak itu saya terus-menerus berada dalam deraan teks dan konteks: suara-suara dari masa lampau dalam Kaba Gombang Patuanan membentur otak kanan saya, sementara clips VCD itu yang merekam tempat-tempat tertentu di wilayah Pariaman yang bersekutu dengan goyangan-goyangan dan suara cekikian modern yang datang dari pondok baremoh itu membentur otak kiri saya.
VCD kaba itu penuh dengan anakronisme: peristiwa masa lalu (cerita Gombang Patuanan yang bersifat klasik dan supranatural) dibawa ke ruang visual masa kini. Lintasan-lintasan kecil yang imajinatif dihadirkan kepada pembaca yang tak henti-hentinya dikacaukan oleh desinkronisasi suara dan gambar. Misalnya, imajinasi saya masih dapat melintas ke masa lalu kerajaan-kerajaan bahari yang direfleksikan dalam Kaba Gombang Patuanan melalui beberapa clips yang merekam tukang pukat di pantai Pariaman dan laut lepas di sekitar Pulang Angsa Dua yang ombaknya bagai sirih bersusun.
VCD Kaba Sutan Pangaduan itu telah mengguyu (baca: mengobok-obok dengan sedikit nakal) pikiran saya dalam memaknai ruang, peristiwa, dan waktu. Bagi para pencandu studi budaya (cultural studies) – seperti terkesan dari nama baru Fakultas Sastra Universitas Andalas: 'Fakultas Ilmu Budaya' – apakah fenomena pem-VCD-an kaba-kaba Minang itu tidak menarik perhatian mereka? Penelitian terhadapnya mungkin menarik dilakukan dalam rangka memahami audio-visual media and its allure yang makin menyungkup manusia modern masa kini.
Suryadi, alumnus Prodi Bahasa/Sastra Minangkabau, Universitas Andalas, dosen/peneliti di Leiden University, Belanda
* Artikel ini dipublikasikan di harian Padang Ekspres, Minggu, 16 Oktober 2011
Suryadi's Blog
- Suryadi's profile
- 15 followers
