Tanpa Kata

Alif Dirgantara begitulah nama seorang pemuda yang tengah duduk di pojok sebuah kafe kala hujan turun dengan begitu derasnya. Ia hanya menatap kosong kearah laut biru yang terhampar luas di depan kafe itu. Kesedihan tergambar jelas di wajah pemuda yang baru saja menyelesaikan pendidikan pasca sarjana ini. Kesedihan yang sepertinya telah begitu lama ia simpan sendiri.


“Kamu Alif, kan?” Pertanyaan itu langsung membuyarkan lamunan Alif. Dengan sangat baik ia tutupi keterkejutannya.


“Yes. I am.” Jawaban itu datar. Begitu datar hingga membuat suasana terkesan kaku.


“Aku Zahra, teman SMA kamu. Kamu ingat, kan?”


“Zahra?” Alif terlihat berpikir sejenak. “Kamu Zahra Masyrurah?”


“Yes. I am.” Jawab wanita itu dengan senyum manis yang terukir di wajahnya. Suasana mencair seketika.


Alif lalu meminta Zahra duduk di sebuah kursi kosong yang ada di seberangnya. Mereka lalu berbincang mengenai banyak hal terutama masa-masa sekolah.


“Eh, ngomong-ngomong kamu kok bisa ada di sini? Bukannya kamu kerja di luar negeri?” tanya Alif.


“Aku baru saja pindah ke sini sebulan yang lalu. Aku rindu tempat ini. Seperti apapun tempat lain, tetap lebih baik di kota sendiri. Apalagi suamiku sudah dipindah tugaskan di sini, aku harus ikut dong.” Jelas Zahra panjang.


“Eh iya, bagaimana kabar Dinda? Aku dengar kamu sempat mengantarnya saat hendak ke luar negeri dulu. Yang kutahu, kamu satu-satunya sahabat yang ia miliki”.


Pertanyaan itu membungkam Alif. Seketika ingatan masa lalunya muncul dan berebut untuk dikenang.


***


Seorang gadis tiba-tiba saja terjatuh pingsan di depan mata Alif. Ia melihat sekeliling, tak ada siapapun di lorong kelas itu. Tidak heran, sekarang masih pukul 06.15. para siswa pasti baru berangkat dari rumah mereka karena kelas baru akan di mulai pukul 07.00 nanti.


Dengan menguatkan diri sambil beristigfar dalam hati, Alif lalu mengangkat gadis itu dan membawanya menuju Unit Kesehatan Sekolah dan membaringkan gadis itu di atas sebuah kasur. Beruntung petugas kesehatan telah ada di sana. Gadis itu lalu diberi pertolongan pertama.


Setelah memastikan gadis itu ditangani oleh orang yang tepat, Alif lalu kembali ke kelas. Kini kelasnya mulai riuh dengan suara teman-temannya.


“Tumben ketua OSIS terlambat pagi ini.” Ganggu sahabat karibnya, Putra.


“Aku tidak terlambat. Apa kamu tidak lihat tasku sedari tadi sudah ada di atas meja?”


Putra lalu menghadap pada sebuah meja paling depan. Benar saja, sebuah tas yang ia tahu siapa pemiliknya telah ada di sana.


“Lantas kamu dari mana?”


“Aku dari UKS. Siswi XII MIA 1 ada yang pingsan tadi.”


Semua mata langsung tertuju pada Alif.


“Eh siapa yang pingsan?”

“Kamu yang bawa anak itu ke UKS, Lif?”

“Apa kamu mengangkatnya, Lif?”


Pertanyaan-pertanyaan itu langung menghujani Alif. Sekalipun bukan pesantren, namun hukum-hukum islam di sekolah itu begitu ditegakkan. Setiap siswa wajib mengenakan celana dan baju lengan panjang serta kopiah hitam. Sedang para siswi wajib berjilbab dan jilbab yang dignakanpun harus sesuai dengan apa yang diajarkan dalam islam.


Jadi tidak heran jika saat ini Alif dihujani pertanyaan seperti demikian. Selain sebagai OSIS, Alif juga terkenal karena patuh dengan semua hukum yang ada di sekolah. Ia bahkan tidak pernah menyentuh gadis apalagi sampai mengangkatnya seperti yang ia lakukan tadi.


“Aku tidak begitu mengenal siapa nama gadis itu, tapi yang aku tahu dia siswi kelas XII MIA 1. Lagi pula aku tidak sengaja mengangkatnya. Tadi belum ada seorangpun siswa yang datang. Aku tidak ingin dia kenapa-kenapa jadi aku angkat saja dia ke UKS.” jelas Alif pada teman-teman sekelasnya panjang lebar disambut dengan suara teman-temannya yang ber ‘oh’ ria.


“Gadis itu beruntung sekali karena kamu udah ada di sana, Lif. Aku tidak bisa membayangkan jika tidak ada siapapun yang melihat ia terkapar di lantai seperti itu.” Ujar Putra.


Alif hanya tersenyum menanggapi pernyataannya Putra yang menurutnya tak begitu penting.


“Ngomong-ngomong apa kalian sudah siap untuk ulangan hari ini?” tanya Alif.

Lagi-lagi teman-temannya terkejut dengan pernyataan Alif. Bahkan kali ini mereka tidak hanya menunjukkan ekspresi terkejut tetapi juga takut sekaligus.


“Ada ulangan ya, kenapa aku tiba-tiba pikun? Ya Allah aku belum belajar sama sekali!” ujar salah seorang dari mereka yang terlihat frustasi.


“Aku hanya bercanda!” Alif lalu tertawa keras.


“Dasar kamu Lif!”


“Maaf.. maaf.” Alif lalu berlari keluar kelas menghindari murka teman-temannya yang terlihat begitu kesal.


Di sisi lain seorang gadis baru saja sadarkan diri. Ia terlihat kebingungan. Kepalanya masih sakit. Dengan memaksakan diri ia mencoba duduk. Dilihatnya sebuah infus yang telah terpasang di pergelangan tangan kirinya.


“Syukurlah, kamu sudah sadarkan diri.” Ujar salah seorang pegawai kesehatan bernama Ayu.


“Aku di mana mbak?”


“Kamu di Unit Kesehatan Sekolah. Dua jam yang lalu kamu pingsan,”


“Dua jam?” Gadis itu membelalakkan matanya.


“Iya. Tadi Alif yang membawamu ke sini.” Sambung pegawai kesehatan itu melanjutkan kalimatnya.


“Alif?” saat ini Dinda semakin terkejut. Bagaimana bisa seorang Alif yang mengantarnya ke sana. Alif bahkan selalu menundukkan pandangannya jika berpapasan dengan para siswi.


“Iya Alif. Mbak juga terkejut. Tapi mbak pikir mungkin karena tadi masih sangat pagi dan tidak ada orang lain jadi dia membawamu kemari.”


“Kenapa kamu bisa pingsan seperti tadi?” tanya Ayu.


“Tadi kepalaku pusing, mbak.”


“Ya sudah. Sekarang kamu istirahat dulu, tidak usah ikuti pelajaran. Tadi mbak sudah memberi tahu wali kelasmu. Mbak tinggal dulu ya. Mbak masih punya pekerjaan”.


“Terima kasih, mbak” ucap Dinda tulus.

Setelah Ayu pergi, Dinda kembali menidurkan dirinya di atas kasur. Perlahan air matanya jatuh melihat jarum infus yang ada di tangannya itu. Ia menangis tanpa suara sampai ia tertidur lelap.


Sehari setelah kejadian itu, Dinda lalu memberanikan diri menemui Alif. Ia menguapkan terima kasih sebesar-besarnya juga meminta maaf kepada Alif karena telah merepotkannya.


Hari demi hari berlalu begitu cepat. Dinda dan Alif semakin hari semakin akrab. Ya. Dinda menjadi satu-satunya teman wanita yang dimiliki Alif. Namu tetap saja, Alif memperlakukan semua gadis sama, tidak terkecuali Dinda.

Hingga sampai pada hari perpisahan sekolah. Ia tanpa sengaja bertemu dengan Dinda di balkon kelas. Mereka lalu berbincang cukup panjang.


“Setelah lulus, kamu berencana kuliah di mana?” tanya Dinda.


“Alhamdulillah. Aku sudah lulus ujian masuk UI.”

“Alhamdulillah. Selamat ya.” Ucap Dinda dengan Sumringah.


“Bagaimana denganmu?”


“Aku belum tahu. Aku berencana akan pergi keluar negeri.”


“Oh ya? Alhamdulillah.”


“Alif.. apa aku boleh minta sesuatu?” tanya Dinda lagi. Ekspresinya berubah serius.


“Insya Allah. Tapi jika yang kau minta itu uang. Maaf saja tapi aku sunggu tidak punya saat ini.” Canda Alif.


“Tentu saja bukan itu.” Dinda memasang wajah kesal.


“Lalu, apa yang kamu inginkan?”


“Bisakah kamu mengantarku besok di bandara? Aku akan berangkat pukul 8 pagi.”


“Kamu berangkat besok? Apa tidak terlalu cepat?” Alif sedikit terkejut.


“Tentu saja tidak.”


“Insya Allah. Akan kuusahakan.”

Dinda lalu tersenyum. Sangat manis. Untuk pertama kalinya Alif melihat senyuman seperti itu. Selama ini ia tidak pernah melihat wanita lain tersenyum kecuali ibunya. Entah mengapa, hal tersebut membuat hatinya bahagia.


Dua puluh empat jam berlalu. Dinda telah sampai di bandara bersama kedua orang tuanya. Matanya tak bisa berhenti berkeliaran mencari sosok yang ia harapkan ada untuk mengantarnya. Ia lalu mendapati seseorang dengan kemeja hitam duduk di ruang tunggu. Alif sedang asik mengotak-atik handphone miliknya. Dinda lalu menghampiri Alif.


“Aku pikir kamu tidak datang.” Ujar Dinda yang sudah ada di depan Alif.

Alif lalu mengangkat wajahnya. Ia tersenyum tipis pada Dinda.


“15 menit lagi aku akan berangkat.”


Alif lalu menarik napas panjang. “Jaga dirimu baik-baik. Jangan sampai kamu pingsan lagi seperti saat itu.”


Dinda hanya membalasnya dengan senyuman. Ia lalu berpamitan pada Alif. Dengan sekuat hati ia berusaha untuk membendung air yang sebentar lagi mungkin jatuh melewati bukit pipinya. Pesawat yang ia naiki pun lepas landas bersamaan dengan jatuhnya air mata yang ia tahan.


Siang dan malam terasa lebih panjang bagi Alif. Hari perlahan berganti bulan. Tak terasa satu tahun sudah ia berpisah dengan Dinda. Namun tak satu pun kabar tentang Dinda yang ia dapatkan. Gadis itu seperti hilang ditelan bumi.

Suatu waktu saat ia akan berangkat ke kampus. Didapatinya sepucuk surat yang diletakkan di teras rumahnya. Nama Dinda tertera pada kolom pengirim surat. Ada sepercik kebahagiaan yang tiba-tiba saja muncul di hati Alif. Dibuka lalu dibacanya perlahan surat itu.


Air mata Alif jatuh seketika. Ia tak mapu berucap, hanya tangisan yang mewakili perasaannya saat ini.


Dear Alif,

Assalamualaikum.

Bagaimana kabarmu, Lif? Aku harap kamu selalu baik-baik saja.

Aku minta maaf jika kamu harus membaca surat ini. Karena saat kamu membacanya, itu berarti aku telah tertidur lelap, selamanya. Maaf karena aku tidak bisa menjaga diriku seperti apa yang pernah kamu pesankan dulu. Maaf karena aku tidak menurut padamu. Maaf karena aku telah membohongimu. Aku tidak pernah melanjutkan pendidikanku, yang kulakukan di luar hanyalah berobat. Tapi takdir berkata lain. Aku tahu semua telah menjadi kehendakNya. Aku sebagai hamba hanya mengikuti skenario yang telah Dia buat.


Terima kasih karena telah menemaniku di akhir hidupku ini. Terima kasih karena telah hadir di sisa-sisa umurku. Terima kasih karena kamu, aku bisa merasakan seperti apa memiliki seorang saudara. Terima kasih untuk semuanya, Alif. Aku menyayangimu.


Dinda Saputri


 


Tanpa kata, Dinda hadir begitu saja dalam hidup Alif. Namun kenangan singkat tentangnya tetap menemani Alif bahkan setelah bertahun-tahun berlalu.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 15, 2018 05:33
No comments have been added yet.