Prasangka Kendesoan: dari Oberg sampai Kaesang Pangarep

[image error]

pixabay.com


Ada banyak banyolan rasial dalam buku The Collected Jokes of Slavoj Žižek (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai Mati Ketawa Cara Slavoj Žižek oleh penerbit Marjin Kiri). Sebuah buku yang disarikan dan disusun Auden Mortensen dari sejumlah risalah dan ceramah filsuf asal Slovenia, Slavoj Žižek. Salah satu yang saya ingat adalah tentang seorang Yahudi yang bertemu seorang Polandia di sebuah kereta.


Keduanya duduk berhadap-hadapan. Setelah beberapa lama memandangi si Yahudi, si Polandia akhirnya berkata: “Beritahu aku, bagaimana kalian orang Yahudi berhasil mengeruk uang orang-orang sampai ke receh-recehnya dan dengan cara itu menumpuk kekayaan kalian?”


Si Yahudi menjawab: “Oke, akan kuberitahu, tapi tidak gratisan; pertama-tama beri aku uang lima zloty.” Sesudah menerima uang, si Yahudi melanjutkan: “Kau ambil ikan mati; potong kepalanya dan taruh isi perutnya ke dalam segelas air. Lalu sekitar tengah malam, saat bulan purnama, kau harus kubur gelas ini di halaman gereja.”


“Kalau aku lakukan semua itu, aku akan jadi kaya?” potong si Polandia.


“Ini belum semua; tapi kalau kau ingin dengar sisanya, kau harus bayar lima zloty lagi,” jawab si Yahudi.


Si Polandia menyanggupi syarat itu. Namun kemudian si Yahudi bercerita berputar-putar, dan tak lama kemudian memotong ceritanya, lalu meminta uang lima zloty lagi. Begitu seterusnya sampai si Polandia geram. “Bajingan tengik, kau pikir aku tidak tahu maumu? Rahasia itu sama sekali tidak ada, kau cuma mau mengeruk uangku sampai ke receh-recehnya!”


Dan si Yahudi menjawab tenang: “Nah, kau sekarang lihat kan bagaimana kami orang Yahudi…”


Dalam masyarakat yang multikultural, kebudayaan yang majemuk itu diibaratkan seperti mobil-mobil yang melaju di sebuah jalur dua arah. Benturan demi benturan budaya wajar terjadi dan kerap menghasilkan gegar. Culture shock atau gegar budaya.. Kamus Merriam-Webster mencatat, culture shock sebagai sebuah istilah umum populer digunakan sejak tahun 1932, tapi orang yang pertama kali menggunakan istilah ini di lapangan akademik adalah antropolog berdarah Finlandia kelahiran Kanada bernama Kalervo Oberg.


Oberg adalah seorang sojourner atau pengelana budaya. Ia berkelana ke berbagai tempat di dunia dan menulis pengalamannya bersinggungan dengan berbagai budaya. Pada tahun 1960, Oberg menerbitkan sebuah makalah berjudul Cultural Shock: Adjustment to New Cultural Environments yang salah satu poinnya mengenalkan culture shock sebagai perasaan dalam diri seseorang yang ditimbulkan oleh kecemasan akibat orang yang bersangkutan kehilangan semua tanda-tanda familiar berikut hubungan sosial mengikutinya. Tanda-tanda familiar yang dimaksud meliputi ribuan cara seseorang mengorientasikan dirinya dengan situasi sehari-hari.


Dalam tesis Oberg, culture shock lebih merupakan istilah yang menggambarkan bagaimana seseorang dari suatu negara berhasil atau gagal beradaptasi dengan konteks sosial dan lingkungan negara baru yang ia tinggali. Pada tahun-tahun belakangan ini, ketika berbagai masyarakat di dunia semakin multikultural dan kompleks, istilah culture shock bisa juga berlaku untuk interaksi yang dilakukan antarmanusia dalam satu negara. Di Eropa, ketika keran imigrasi dibuka lebar-lebar, perbenturan budaya menjadi semakin sering dan hampir selalu melibatkan prasangka, sebagaimana yang digambarkan Žižek melalui anekdotnya yang saya kutipkan di awal tulisan ini.


Di Indonesia, gegar budaya dan prasangka primordial masih saja dapat dilihat di mana-mana, meski lebih dari 300 kelompok etnik dan 1.340 suku hidup di negeri ini telah hidup bersama selama berabad-abad. Media massa, berikut sistem politik dan ekonomi yang sentralistik, menyederhanakan keanekaragaman ini menjadi peta-peta demografis yang lebih besar; Barat-Timur; Pusat-Daerah; Jakarta-Luar Jakarta; Jawa-Luar Jawa; Maju-Tertinggal. Dalam benak masyarakat, pengkotak-kotakkan ini lebih disederhanakan lagi menjadi Kota dan Desa.


Kata ndeso mungkin telah lama akrab dalam kosakata sehari-hari masyarakat Jawa, tetapi istilah ini baru populer bagi masyarakat luar Jawa setelah Tukul Arwana memakainya secara rutin sejak September 2005, dalam acara hibrida bincang-bincang dan komedi yang dipandunya, Empat Mata.


Jauh sebelum ndeso, telah ada kata kampungan. Banyak yang menganggap kedua kata ini memiliki konotasi sama dengan ketertinggalan serta cara berpikir, perilaku, sikap, dan aksen yang norak. Namun, antara ndeso dengan kampungan, dalam pemahaman saya, memiliki secercah perbedaan. Kampungan adalah sebuah istilah yang kental dengan nada pelecehan, yang dilontarkan oleh orang-orang dalam himpunan, kepada mereka yang berada di luar himpunan. Sebuah cara bagi si ‘aku’ untuk merendahkan yang ‘liyan’.


Sementara ndeso, adalah sebuah pengakuan inferioritas. Ndeso adalah kata yang berakar dari bahasa Jawa sendiri, sebuah identitas yang dipakai Tukul untuk menyebut dirinya sendiri. Ndeso oleh Tukul adalah istilah yang sejajar dengan culture shock yang dipakai Oberg. Ndeso menjadi sebuah representasi dari kegagapan seorang Jawa dari luar Jakarta dalam melakukan negosiasi dan adjustment dengan nilai-nilai Jakarta yang modern dan sarat snobisme.


Tukul misalnya memperlihatkan dengan terang-terangan kesulitannya dalam memakai jas, berbahasa Inggris, dan mengoperasikan laptop. Ia juga menyebut nama-nama semacam Ngatiyem, Ngatini, Paijo, yang identik dengan kejawaan sebagai nama-nama yang ndeso. Tukul, bahkan membawa inferioritasnya merasuk semakin dalam ke wilayah-wilayah yang telah terberi sejak lahir seperti bentuk wajah dan perawakan fisik.


Beberapa orang memuji apa yang dilakukan Tukul tersebut sebagai sebuah kesadaran di tengah masyarakat yang tidak tahu diri. Cara yang asyik untuk melawak dengan menertawakan diri sendiri. Bagi saya sendiri apa yang dilakukan Tukul adalah sebentuk pragmatisme di tengah tuntutan industri televisi yang gemar merayakan kebanalan. Dengan karakter ndeso yang pelan-pelan berubah menjadi merek dagang itu, Tukul membuat dirinya terterima sebagai keunikan dalam dunia hiburan kita yang masih menjadikan cemoohan sebagai materi utamanya.


Saya tidak tahu kapan pastinya kata ndeso menempati posisi yang sejajar dengan kata kampungan yang lumayan ofensif itu. Dari yang semula digunakan untuk mengejek diri sendiri, kata ndeso bergeser penggunaannya untuk meledek orang lain. Maknanya pun menjadi semakin sensitif, bahkan sampai membuat seorang warga Bekasi bernama Muhammad Hidayat melaporkan vlogger yang juga putera presiden Jokowi, Kaesang Pangarep ke polisi gara-gara sebuah video yang diunggahnya ke internet.


Di satu sisi, saya melihat apa yang dilakukan Muhammad Hidayat itu berlebihan. Sebuah kelatahan dalam menanggapi aksi-aksi persekusi yang sedang marak belakangan ini. Namun menyedihkan juga mengingat betapa kata ndeso, berikut masyarakat desa yang diwakilinya menjadi diliputi berbagai macam prasangka. Sebelum Pangarep, kita juga ingat misalnya tentang tersendat-sendatnya pembagian dana desa akibat para pembuat kebijakan begitu sibuk mencurigai kemampuan dan kejujuran masyarakat desa dalam mengelola keuangannya sendiri.


Kita juga ingat ketika beberapa waktu lalu blogger Denny Siregar menyebut para petani Rembang yang menyemen kaki sebagai protes pembangunan pabrik semen di desa mereka sebagai orang-orang lugu yang mudah dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu, seolah masyarakat desa tidak memiliki kemampuan dalam berpikir dan mengorganisasikan diri untuk mengekspresikan pendapat mereka.


Ketika Kaesang Pangarep berkali-kali menyebut ndeso untuk menyebut kenorakan politis dalam vlog-nya, ia mungkin lupa dengan bapaknya sendiri, yang dalam berbagai kampanye menggunakan kendesoan itu sebagai sebuah citra yang mangkus dalam meraup simpati publik. Ndeso, yang oleh pendukung dan tim komunikasi politik Presiden Jokowi lebih dititikberatkan pada karakter sederhana, merakyat, dan tidak neko-neko itu adalah salah satu alasan mengapa sang Presiden begitu dicintai banyak orang.


Mungkin Kaesang perlu mendalami ilmu sosiologi lebih dalam, khususnya sosiologi pedesaan. Kaesang perlu menelaah lagi apakah orang yang suka minta proyek itu cocok dengan penggambaran karakter masyarakat desa menurut Roucek dan Warren? Apakah kegemaran menyebarkan kebencian merupakan salah satu ciri masyarakat desa menurut Paul H. Landis? Apakah budaya saling menjelek-jelekkan, mengadu domba, dan mengafirkan orang lain itu sesuai dengan pandangan hidup orang desa sebagaimana yang dicetuskan Everett Rogers?


Jika nyatanya tidak, mungkin Kaesang dan banyak lagi dari kita harus mulai berhenti menyalahkan orang desa untuk segala perilaku buruk yang tidak mereka lakukan.***


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 13, 2017 01:05
No comments have been added yet.