Di Antara Dua Camus

[image error]1.


Memento Mori


Saya duduk di kursi paling depan. Dalam pesawat kecil jenis ATR hal itu berarti saya duduk di kursi dekat jendela darurat. Pesawat berguncang cukup kuat ketika hendak mendarat, garis penanda tepi landasan mendadak terlihat miring, dan akhirnya, setelah berusaha keras, pesawat gagal menyejajarkan diri dengan aras pendaratan yang benar. Ia terangkat kembali.


Saya melirik pramugari yang duduk di kursi geser yang tepat membelakangi kokpit, mengirim pertanyaan serta sinyal kepanikan yang agaknya diekspresikan dengan baik oleh wajah saya. Ia tersenyum seraya menjawab singkat: “Angin.”



Pesawat kembali berada tinggi di udara. Landasan terlihat menjauh. Saya berusaha menenangkan diri sambil membuka kembali bagian buku yang tadi saya tandai. Novel Albert Camus berjudul L’Etranger atau yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai: Orang Asing. Saya berada di bagian akhir buku itu, saat Tuan Mersault yang sebentar lagi dihukum mati berdebat dengan seorang pendeta mengenai pertobatan, keyakinan, dan kematian.


Astaga, kematian!


2. 


Pemanggul Pintu






Sebetulnya saya telah merencanakan untuk menulis sesuatu malam ini. Sebuah resensi mungkin, atau meneruskan cerpen yang sudah cukup lama menyandang predikat ‘calon’. Tapi persekongkolan antara rindu dan sakit kepala menahan saya di tempat tidur. Sementara saya, tak seperti Truman Capote, tak terbiasa menulis dengan berbaring di tempat tidur.


Rindu saya tentu untuk anak dan istri yang sedang di tempat jauh. Sedangkan sakit kepala…tak perlu saya jelaskan di sini apa atau siapa yang menyebabkannya.


Batal menulis, saya kemudian memutuskan membaca sebuah buku, tapi itu pun selalu disela bunyi notifikasi Facebook. Yang terjadi akhirnya saya membaca terus bagian yang sama, berulang-ulang, entah berapa kali.


Jadi, saya membaca di bagian ketika sejumlah orang di suatu kedai membicarakan penyakit TBC, gejala, dampak, dan penanganannya. Tapi kemudian, karena disela notifikasi tadi, saya lupa mengapa orang-orang itu membicarakan TBC. Saya mundur satu halaman ke belakang, dan, seperti orang idiot keras kepala, terus membaca tanpa melompati bagian di antara halaman itu dan halaman saya terhenti tadi, sampai kemudian disela notifikasi, dan lagi-lagi saya lupa mengapa saya bisa berada di halaman itu. Saya balik lagi satu halaman, dan begitulah sepanjang sejam saya membaca.


Untungnya, bagian yang saya ulang-ulang itu menarik juga sebetulnya–mungkin itu sebenarnya alasan mengapa saya bolak balik seperti seorang sanguin yang sedang stres. Bagian itu tentang kebiasaan penjaga kedai menuliskan jumlah total harga makanan yang dimakan pelanggannya di belakang pintu dapur. Mengapa dia melakukan itu? Entahlah, mungkin waktu itu nota pembelian belum ditemukan. Ketika si pemilik kedai berselisih paham dengan pelanggannya mengenai harga makanan, ia akan melepas pintu itu dari engselnya dan memikulnya ke tempat pelanggan tukang protes itu berada.


Ini novelnya Albert Camus. Bukan yang berjudul Orang Asing karena itu sudah saya tamatkan kemarin. Novel ini judulnya Mati Bahagia (La mort heureuse), tapi beberapa tokoh punya nama yang mirip dengan novel yang judulnya saya sebut lebih dulu. Protagonis itu bernama Mersault, temannya juga bernama Emmanuel, dan pemilik kedai itu pun bernama Celeste.


Membayangkan Celeste memanggul pintu bagi saya adalah suatu pemandangan yang lucu. Saya merasa Camus sedang mengejek sesuatu, tapi saya tak berhasil menerka apa itu. Namun saya tergoda membayangkan pintu dapur itu sebagai perlambang dari suatu hal yang berat, misalnya: pandanganmu tentang dirimu sendiri dan orang-orang di sekitarmu.


Kau adalah pemilik kedai, sementara orang lain cuma singgah makan. Kau telah berhitung dan menuliskan perhitunganmu sebagai sebuah aturan tak terbantahkan, tapi kau melakukan itu di tempat yang mungkin hanya kau saja yang bisa melihatnya.


Ketika si pendatang ini mendebatmu, kau melepaskan catatan itu dari tempatnya, lalu terbungkuk-bungkuk, berusaha keras menunjukkan ada yang salah dalam pikiran si pendatang ini. Kau ingin membuktikan bahwa kaulah pemilik tempat itu dan dia harus tahu diri.


Itu memang lucu. Juga melelahkan.


April 2017



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 04, 2017 21:21
No comments have been added yet.