Hal-Hal yang Tak Usang Dimamah Waktu

Anak perempuan itu berdiri di podium. Menggenggam piala di tangan kiri dan piagam penghargaan di tangan kanan. Di kedua benda itu tercetak namanya dengan huruf berwarna emas yang bersanding dengan gelar "Juara Umum", gelar yang sudah terlampau sering ia terima, tak ada yang istimewa. Orang-orang masih bertepuk tangan dengan riuh ketika ia turun dari panggung. Wali kelasnya memberi selamat, merangkul bahu, dan memberikan tepukan di punggung.

Tapi hari itu ia lupa untuk tersenyum. Pandangannya berkeliaran ke arah pintu gedung. Menanti dua sosok yang ia tahu tak akan pernah datang. Tapi ia tetap menunggu. Orang tuanya.

Saya tidak pernah bisa mengingat berapa banyak piala atau piagam penghargaan yang pernah saya terima karena memang tidak pernah menghitungnya. Juara cerdas cermat? Juara umum? Juara bidang studi matematika? Juara bidang studi PPKN? Sebut saja. Rasanya waktu kecil saya sudah pernah dihadiahi berbagai penghargaan di bidang akademis.

Sayangnya, secerdas apa pun saya di sekolah. Seberprestasi apa pun saya di bidang pendidikan. Walaupun nyaris di tiap tingkat pendidikan saya selalu mendapatkan beasiswa siswa berprestasi, tidak pernah sekalipun saya mendapatkan ucapan selamat atau pujian dari Ibu atau Bapak. Saya masih menjadi anak yang kerap dibandingkan dengan anak tetangga yang lebih suka membantu orang tua daripada membaca seperti saya. Saya masih kerap dibandingkan dengan anak perempuan lain yang lebih pandai memasak daripada menulis puisi, seperti saya.

Satu-satunya pujian yang pernah saya dapatkan adalah ketika di usia 23 tahun saya berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai buruh pabrik dengan gaji yang lumayan.

♥♥♥Penghargaan bagi SayaAnda yang mengenal saya di dunia maya, yang mengenal saya lewat tulisan-tulisan yang saya gubah, yang mengenal saya lewat lomba-lomba penulisan yang saya menangkan, barangkali berpikir bahwa di dunia nyata saya juga dielu-elukan. Anda salah. Di dunia nyata saya bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Hanya anak perempuan yang setiap kali pulang ke rumah akan disugihi pertanyaan semacam, "Sudah ada yang transfer belum nih?" oleh ibunya. Hanya kakak perempuan yang setiap dalam acara kumpul keluarga selalu diberi cibiran semacam, "Katanya penulis, katanya desainer grafis. Kok kere?" oleh adik perempuannya.

Sejak jadi freelancer lima tahun silam, saya memang memutuskan untuk keluar dari rumah. Karena freelancer artinya gaji yang tidak menentu. Gaji yang tidak menentu artinya pengangguran. Pengangguran artinya saya hanya manusia yang tidak berguna.

Berbeda dengan adik saya yang sudah mampu kredit rumah, punya kendaraan, yang punya entah apa saja, saya tak ingat. Berpuluh tahun, saya tetap si anak perempuan yang tak bisa dibanggakan.

♥♥♥Namun, entah mengapa saya tidak pernah jera mencoba. Setiap kali menang lomba, setiap kali saya mendapatkan pekerjaan yang honornya lumayan, orang pertama yang saya kabari adalah Ibu. Setiap kali saya mendapatkan hadiah, entah itu barang atau uang, saya selalu pulang ke Sarijadi dengan niat berbagi kebahagiaan. Biasanya, mereka akan mengajak saya belanja ke supermarket atau makan. Tidak jarang, saya akan diberi kehormatan untuk membayar seluruh tagihan semacam listrik atau gas atau yang lainnya.

Saya masih ingat ketika beberapa bulan silam pernah memenangkan Voucher Belanja Sodexo sebanyak 500 ribu rupiah. Dengan gembira saya membawanya pulang ke rumah. Saya bilang bahwa voucher itu bisa dipakai untuk belanja nyaris di mana saja. Tapi coba tebak apa tanggapan Ibu?

"Ah Ibu mah minta mentahnya aja, buat apa voucher beginian mah?" katanya.

Ada sepasukan pisau yang menyayat-nyayat dada ketika kalimat itu sampai di telinga. Ibu tidak pernah bertanya usaha macam apa yang telah saya lakukan untuk mendapatkannya. Ibu tidak pernah tahu bahwa saya mati-matian menahan diri untuk tidak membeli buku yang saya butuhkan untuk riset dengan voucher itu hanya agar bisa diberikan kepada keluarga.

Karena waktu itu saya pikir, ada 269 Merchant Sodexo di seluruh Indonesia dan 43 di Bandung saja.    

Saya tidak pernah peduli walaupun kerap kali uang hadiah habis di sana dan ketika pulang ke kosan menjalani pola hidup yang sama: makan sesedikit mungkin, kerja sebanyak mungkin.

Tak banyak yang saya inginkan ketika pulang. Saya hanya ingin dihargai sebagai perempuan dewasa yang memilih jalan hidupnya sendiri. Sebab bagi saya, strata seseorang bukan dilihat dari seberapa banyak uang yang mereka miliki.

Tapi, di kepulangan berikutnya, jika saya tidak membawa apa-apa maka saya akan kembali menjadi anak perempuan ditertawakan.

 
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 16, 2016 09:17
No comments have been added yet.


Mimpi dan Ilusi

Skylashtar Maryam
An author's blog ...more
Skylashtar Maryam isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Skylashtar Maryam's blog with rss.