Latihan: Menulis Karakter
Dua minggu yang lalu kebagian tugas untuk menulis karakter. Tugas ini adalah bentuk latihan untuk menggambarkan sebuah tokoh. Aku dapat jatah untuk menggambarkan nasib tragis seorang pengrajin perak. Susah juga ternyata. Berikut hasil yang berhasil aku buat.
Sang Pencungkil
I Wayan Candra membuka matanya lebih lebar, menatap batang-batang besi lurus yang berjejer satu setengah meter di depannya. Tidak ada motif yang muncul. Seandainya batang-batang itu terbuat dari perak, mungkin akan lain ceritanya, mungkin ia bisa melihatnya.
Tapi sebenarnya, mulanya ia juga tidak bisa melihatnya. Ia ingat saat berumur sembilan tahun bape (bapak) mengatakan akan menunjukkan sesuatu kepadanya.
"Liat cincin ini," kata bapaknya sambil mengangkat cincin perak polos di tangan kanannya. "Cincin ini sama persis dengan yang ini," lanjut bape sambil mengangkat cincin perak berukir di tangan kirinya.
Wayan memperhatikan kedua cincin tersebut. Ia berpikir apa bape sudah rabun? Jelas kedua cincin itu berbeda. Ya, memang keduanya berbentuk cincin dan sama-sama terbuat dari perak. Tapi, cincin di tangan kanan bape masih polos, tidak ada ukiran sama sekali, sedang di tangan yang satu lagi sudah penuh ukiran bunga.
Namun Wayan tidak membantah, ia diam saja mendengarkan bape mengoceh. Bape menjelaskan tentang lapisan bening yang menutupi cincin polos itu. Hari itu bape menjelaskan sangat detail apa yang dia lihat pada cincin itu, hingga Wayan sampai pada kesimpulan: kalau bape tidak benar-benar bisa melihat ukiran pada cincin polos itu, pastilah bape tukang tipu yang paling ulung seantero Bali.
"Yang harus kau lakukan hanyalah membuang dan mencongkel lapisan yang menutupi ukiran aslinya?"
Heh? Wayan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Lama ia mencoba melihat ukiran pada cincin polos itu. Membolak-baliknya, melihat dari dekat dan dari jauh, melihat sambil berjongkok, sambil berdiri bahkan sambil nungging. Dia mencoba melihat cincin itu dari segala macam posisi. Hasilnya sama saja.Dalam penglihatannya cincin itu polos—tak berukir sama sekali.
"Nah sekarang coba kau congkel lapisan bening itu," perintah bapaknya sejam kemudian.
Sudah setahun ia membantu di studio bape, namun sampai saat itu, yang ia kerjakan hanyalah pekerjaan sepele, seperti: mengambil perak, membereskan peralatan atau bersih-bersih. Sesekali ia diberi kesempatan untuk memukul-mukul perak yang telah dipanaskan. Baru kali ini ia diperintahkan untuk mengukir.
Meski tidak bisa melihat ukiran apa pun yang ada pada cincin polos itu, ia tetap mematuhi perintah bape. Tentu saja ia harus berulang kali melihat contoh cincin berukir yang telah selesai.
Ia lakukan pekerjaan seperti itu berbulan-bulan, lalu bulan berganti tahun. Ia terus berpura-pura seolah bisa melihat ukiran pada cincin, gelang atau kalung perak polos yang diperintahkan untuk diukir. Namun setiap hari Wayan masih saja penasaran untuk bisa melihat ukiran pada cincin, gelang atau kalung tersebut. Kadang ia mencoba melihat benda itu dari balik gelas, lain waktu dari tempe goreng yang bolongi. Pernah juga ia mencoba melihatnya sehabis mandi, sehabis tidur semalaman di beranda rumah, atau melihat melalui lubang pada bunga kamboja. Hasilnya duruk, nihil?ia tidak bisa melihat ukiran apa pun. Dengan semua tingkahnya itu, rasanya mustahil bape tidak mengetahui kepura-puraannya. Tapi selama bape juga pura-pura tidak tahu, selama itu pula ia akan terus berpura-pura bisa melihat ukiran.
Tahun demi tahun Wayan dengan tekun membuat ukiran seperti contoh yang diberikan. Lambat laun, jemarinya mulai lihai mengunakan peralatan untuk mengukir. Tangannya juga terampil mengukur keras atau pelannya alunan palu untuk mendapatkan hasil semirip mungkin dengan contoh-contoh yang diberikan. Akhirnya, setelah lima tahun berpura-pura, ia terkejut karena pada suatu pagi matanya benar-benar bisa melihatnya. Ia bisa melihat gelang polos di tangannya benar-benar telah terukir dengan lapisan bening membungkusnya. Ia mengerjapkan matanya, gelang itu berubah lagi ke bentuk asalnya, polos—tak berukir. Lalu perlahan ukiran-ukiran itu muncul kembali. Ukiran yang dilihatnya itu adalah motif baru, semacam gabungan motif naga dan mawar, karenanya motif itu ia namakan naga mawar. Mawar dan naga sudah sering dia ukir, tapi yang ini adalah gabungan indah dari keduanya. Naga melingkar-lingkar dengan mulutnya yang terbuka membentuk pola seperti mawar merekah.
Cepat ia mengambil peralatannya, mencungkil dan membuang lapisan yang menyembunyikan ukiran naga mawar pada gelang itu. Saat ia telah berhasil membuang semua lapisan yang menutupi naga mawar itu, ia langsung menunjukkannya kepada bape. Ia ingat betul mata serta seluruh mimik bape saat melihat gelang itu. Mata itu bersinar lebih terang dari bintang utara dan tawanya juga sangat keras, lebih keras daripada tawa saat mendengarkan guyanan bli(paman). Setelah itu, bape tersenyum dan bernyanyi sepanjang hari. Saat Wayan bertanya kenapa bapaknya terus menerus bersenandung, bape dengan enteng menjawab, karena itulah yang dilakukan oleh bapaknya dulu dan kini ia tahu rasanya. Wayan mencatat itu dalam hati. Ia butuh gambaran itu untuk dilakukannya kelak saat putranya juga berhasil melakukan seperti yang ia lakukan hari itu.
Saat berumur duapuluh tahun, Wayan memutuskan untuk membuka studio ukir sendiri. Wayan masih sering mendapat penglihatan motif-motif ukir baru. Dan saat ia berhasil mengeluarkan lapisan yang menutupi motif itu, ia akan menunjukkannya kepada bapaknya, juga kepada Ketut Sudarya, temannya yang juga memiliki studio ukir. Ia tidak pelit membaginya kepada teman, bahkan orang-orang dari kampung lain yang tertarik untuk meniru motif yang dibuatnya. Menurutnya motif itu bukan ia yang menciptakannya. Toh motif itu memang sudah ada. Yang ia lakukan cuma mencungkil dan membuang lapisan yang menutupinya. Lagi pula, ukiran adalah kerajinan tangan. Ia hanya mampu membuat sepuluh, paling banyak duapuluh buah cincin, gelang atau kalung dari motif yang sama. Barang yang dibuatnya tidak bisa banyak, kalau mau banyak cetak saja pakai mesin. Dijamin namanya akan berubah menjadi kerajinan mesin.
Ia juga tidak susah mencari pelanggan. Beberapa bulan setelah membuka studio, seorang pria berkebangsaan Amerika Serikat, Mister Richgood, bertandang ke studionya dan tertarik untuk membeli beberapa cincin, gelang serta kalung perak buatannya. Mister itu pun menawarkan kerjasama jangka panjang. Ia berjanji akan menyalurkan produk-produk buatan Wayan untuk dijual di Amerika dan Eropa. Wayan senang saja dibantu begitu. Setelah itu usahanya maju pesat. Kini ia telah mempunyai empat orang pegawai.
Namun hidup tidak hanya dibuat dari kisah-kisah indah. Yang buruk juga ada. Contohnya sepuluh bulan yang lalu dua orang lelaki yang katanya wakil dari PT Karya Teramat Indah, sebuah perusahaan pembuat perhiasan perak yang dimiliki warga negara Amerika Serikat, mengunjungi studionya. Orang itu memintanya untuk tidak lagi membuat motif naga mawar serta batu pusaka karena kedua motif tersebut telah dipatenkan di departemen HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) oleh perusahaan itu. Wayan tidak ambil pusing dengan peringatan orang itu, motif itu ia yang temukan dan telah lama pula ia buat, kenapa mesti dilarang segala. Bukan cuma dia, tapi ada beberapa belas pengrajin yang sering membuat motif itu.
Dua bulan kemudian, Ketut menemuinya, mengatakan tidak akan membuat lagi motif naga mawar dan batu pusaka karena takut masuk penjara. Ketut bilang, perusahaan itu dimiliki Robert Neddis, orang Amerika yang sudah lama tinggal di Bali dan punya banyak uang dan dekat dengan aparat dan pejabat.
Chi cing!( Anjing!) orang itu mungkin bisa menakut-nakuti Ketut, tapi ia tidak takut.
Tiga bulan berselang, seluruh pemasok perak di Bali, menolak menjual peraknya kepada Wayan. Alasannya macam-macam, mulai dari kehabisan stok sampai yang terang-terangan bilang takut menjual kepada Wayan karena adanya ancaman.
Mendapat kesulitan seperti itu, Wayan bukannya mundur, ia malah tambah kekeh untuk membuat motif naga mawar dan batu pusaka. Delapanpuluh persen kemampuan produksi studio digunakannya untuk membuat motif naga mawar dan batu pusaka. Soal bahan baku, karena ia tidak dapat membelinya di Bali, ia mencarinya di Jawa dan Lombok. Ia juga bertekad untuk tidak menyerah kepada Amerika keparat itu. Kalau orang-orang Jawa dan Lombok tidak mau lagi menjual perak kepadanya, ia akan cari bahan itu di Kalimantan kalau perlu sampai Sumatra.
Sialnya, bedebah Amerika itu juga tidak menyerah. Empat bulan kemudian, lima belas orang berpakaian preman menyatroni studio dan rumahnya pada suatu sore. Mereka menggeledahnya. Ia berusaha mencegah mereka, namun orang-orang itu galak sekali. Mereka mengancam akan memenjaranya dengan tuduhan telah menghalangi aparat. Wayan tidak berani menggunakan kekerasan. Ia mempunyai tinggi sekitar seratus enampuluh delapan sentimeter dan badannya tergolong besar di kampungnya. Tapi orang-orang yang datang itu lebih besar lagi. Kulit mereka juga lebih gelap dari kulitnya. Mempertimbangkan jumlah mereka yang banyak dan keadaan Ida, istrinya, Wayan memilih diam sambil memeluk Ida yang sedang mengandung tujuh bulan.
Wayan melaporkan kejadian itu kepada polisi keesokan harinya. Hasilnya, dua hari kemudian ia menerima surat dari polisi, mengatakan bahwa mereka menggeledah rumah dan studionya karena ia diduga telah melakukan pelanggaran hak cipta.
Aneh sekali, digeledah dulu baru ada surat perintah penggeledahan. Keanehan tidak berhenti sampai di situ, seminggu kemudian tiga orang polisi serta dua orang berpakaian preman mendatangi studionya dan memintanya untuk mengikuti mereka ke kantor polisi. Ia mencoba untuk bertanya alasannya, namun mereka mengatakan akan menjelaskannya di kantor. Jadilah ia di sini sekarang, di dalam ruangan berjeruji besi.
Wayan masih memandangi jeruji besi di depannya. Jeruji itu masih belum menampilkan motif apa pun. Mungkin jeruji itu seperti juga perak, butuh lima tahun sebelum menampilkan motif pertamanya. Wayan mendesah. Ia capek. Ia sudah tigapuluh hari di ruangan dingin dan berbau busuk ini. Minggu kemarin Ketut mengunjunginya dan bilang, setelah teman-teman yang lain tahu apa yang menimpanya, mereka berdemonstrasi di DPRD Bali?meminta bantuan anggota dewan untuk membebaskannya. Namun ketika ia bertanya apa reaksi anggota dewan, Ketut bilang dewan tidak bisa mengintervensi proses hukum.
Kleng ci nok!Babi! Proses hukum apa? Jelas-jelas dia telah dihukum bahkan sebelum mengatakan apa pun di depan sidang. Ia juga harus mengeluarkan uang untuk membayar pengacara. Kata pengacaranya, sidangnya sendiri mungkin baru di mulai tiga bulan lagi.
Dua hari yang lalu, istrinya mengatakan Mister Richgood membatalkan pesanan dan mungkin tidak akan memesan apa pun lagi karena mereka mendapatkan ancaman pelanggaran hak cipta di Amerika sana. Kali ini Wayan sudah tidak mampu lagi memaki. Sebenarnya ia ingin sekali saat itu juga pergi ke tempat Amerika biadab itu, lalu mencincangnya. Makhluk itu harus dicincang sampai benar-benar halus dan dagingnya diberikan kepada grogo, anjing kurap yang suka nongkrong di kebun belakang rumahnya. Tapi ia harus pastikan daging cincang bule itu benar-benar halus supaya gusi grogo tidak terluka saat mengunyahnya.
Namun Wayan tidak memaki, ia malah diam. Ia tahu marah tiada gunanya. Bule dedemit itu telah melumatkannya dari segala penjuru. Tidak ada yang bisa ia lakukan, jadi ia hanya memeluk Ida yang sedang mengandung anak pertamanya lalu membelai-belai punggung Ida hingga bisa merasakan tetesan hangat di dadanya?tempat Ida menyandarkan kepalanya sambil terisak.
Wayan termenung sambil memandangi jeruji besi yang masih saja polos. Tapi mungkin itu bagus juga karena bisa jadi setelah keluar dari tempat keparat ini ia tidak bisa lagi melihat motif apa pun pada cincin, gelang atau kalung perak polos. Namun, jika pun masih bisa, ia ragu, apa masih berani untuk mencungkil dan membuang lapisan-lapisan yang menutupinya.
[]


