Dya Ragil's Blog, page 5

August 20, 2012

Kenapa Penulis?

Itu hanya sekelumit pertanyaan gaje yang kadang mendera saya. Kenapa memilih hidup untuk menulis? Meski endingnya tetap menjadi guru, kenapa masih tetap memilih untuk menjadi penulis amatir?
Well, that's my way of life. That's all.I love writing. That simple.
Menulis membuat saya mengenal diri saya lebih jauh. Sadar atau tidak sadar, setiap karakter yang saya ciptakan, setiap kisah yang saya rangkai, mengandung sekelumit dari kehidupan saya. Entah itu sifat saya, entah itu pengalaman hidup saya. Saya jadi mengerti seperti apa batasan saya. Saya jadi memahami bagaimana tanggapan orang bersifat seperti ini kepada orang bersifat seperti itu.
Menulis membantu saya memahami orang lain.
Menulis membantu saya memahami dunia.
Saya tak pernah membayangkan bahwa saya akan betah mengetik puluhan ribu kata selama ini. Yang saya tahu, saya tak pernah merencanakan mau menulis seberapa banyak. Saya tak pernah memikirkannya. Karena saya tahu bahwa sekali saya mulai menulis, kata demi kata akan terangkai begitu saja. Seratus kata, seribu kata, bahkan puluhan ribu kata. Dan terbentuklah sebuah kisah yang hidup. Atau paling tidak, hidup di benak saya.
Menulis adalah dunia saya. That's why I want to be a writer. Because I love it.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 20, 2012 08:11

July 23, 2012

Welcome Home

Ah, saya kangen rumah kecil saya ini! XDEhem, abaikan kegajean barusan....
Well, akhirnya setelah lama sekali tak mengisi rumah saya ini karena kesibukan tak manusiawi dari kehidupan nyata, sekarang saya mulai bisa aktif lagi di kehidupan maya. Good news? Yeah ... more or less....
Pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa Romadhon bagi yang menjalankan. Alhamdulillah kita masih dipertemukan dengan bulan puasa tahun ini. Saya hanya berharap, kita masih diberi umur oleh Allah Azza wa Jalla sampai bulan puasa tahun depan. Aamiin.

Tahulah, coba tilik para remaja zaman sekarang? Bagaimana pergaulan mereka? Dan bagaimana mungkin mereka tidak memahami agama mereka sendiri? Yah, saya hanya berpikir bahwa tidak ada salahnya berdakwah lewat novel. Saya tak terlalu bisa berdakwah lewat lisan, alhasil tulisan menjadi pelampiasan saya.
Well, doakan saya, teman-teman. Doakan ambisi saya untuk meracuni para remaja islam dengan novel teenlit islami yang membumi bisa tercapai. Aduh, kosakatanya agak keras ya? Ah, biarlah.
Baiklah, tahun ini benar-benar tahun yang penuh ujian. Saat kita merasa sendiri, memang Allah hanya satu-satunya tempat berpaling. Saat ide menulis buntu, saat mood menulis hilang, saat orang-orang mencemooh apa pun yang kita lakukan padahal pekerjaan itu halal, saat orang-orang memandang rendah kita, asalkan hati kita terus-menerus berdzikir, segalanya akan menjadi lebih baik. Asalkan kita mau bersujud setiap malam dan menyerahkan semua hasilnya kepada Allah setelah usaha terbaik sudah kita kerahkan, segalanya akan baik-baik saja.
Yah, begitulah.
Salam :3
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 23, 2012 21:24

February 6, 2012

[Katalis Waktu] Chapter 3

Lan meraih sebuah mantel cokelat kusam yang terlipat rapi di dalam lemari. Ia ragu sejenak. Apakah ia akan membawa mantel itu serta? Lan ingat, itu adalah mantel yang diberikan Ellial padanya saat pertama kali mereka bertemu. Lan mengambil napas cepat, lalu menghembuskannya perlahan.  
Dipakainya mantel itu, lantas beranjak keluar dengan langkah yang dimantapkan. Sebelum ia meninggalkan rumah, ia sempat membuat guratan kecil yang membentuk segitiga di dalam lingkaran di palang pintu. Ditatapnya sebentar guratan itu, dalam hati ia berharap adiknya bisa melihat guratan itu bila kembali nanti. Itu pun jika mereka tidak bertemu di tengah pencarian Lan.
Lan berjalan perlahan dari tepi hutan, menuju kota. Hanya ada satu tempat yang harus dituju jika ia menginginkan informasi. Lan menghentikan langkah sebentar. Ia sudah berada di tebing tepi hutan, pandangannya lurus ke bawah, ke tempat ribuan rumah hunian tersusun teratur di atas dataran yang diapit dua bukit batu. Lan akhirnya berjalan memutar melewati jalan setapak yang melingkar spiral di sekeliling salah satu bukit—satu-satunya jalan penghubung antara kediaman klan Verellin dan kota kecil Regal.

Seperti dugaan Lan, hari sudah gelap saat ia nyaris mencapai Lubang Temu. Kini, ia hanya bisa mengandalkan matanya untuk menemukan gua kecil itu. Ia membuang napas, bersyukur karena bulan sedang purnama hingga dapat membantunya menyimak jalan. Tak lama berjalan, ia akhirnya bisa menemukan bayangan agak lebar yang lebih gelap dari bebatuan di sekelilingnya, tapi juga samar-samar terlihat berpendar. Hanya ada satu alasan. Lan pun bergegas ke sana.
Lan tersenyum saat menemukan sebuah gua kecil dengan tanaman rambat yang berpendar aneh di atap gua. Pendarannya sudah lebih dari cukup untuk bisa membuatnya melihat sisi-sisi gua, menyadarkannya bahwa gua itu tidak sekecil kelihatannya. Tapi, pendaran itu pun cukup remang untuk membuat Lan tak sadar bahwa ada sesuatu di lantai gua yang membuatnya terjungkal saat ia melangkah masuk.
Lan mengumpat. Ia terlalu terkesima memandangi atap untuk bisa memperhatikan sesuatu yang tergeletak di lantai yang membuatnya terjerembab. Ia segera bangkit dan menghampiri sesuatu itu.
Sesuatu itu tertutup mantel putih gading kehijauan—akibat pendaran cahaya hijau dari tanaman rambat aneh di atap—yang sudah sobek di sana-sini. Wujudnya sendiri tak tampak, hanya menyisakan surai-surai hijau kehitaman—Lan tak yakin, di bawah pendaran remang cahaya hijau itu, semuanya tampak berwarna kehijauan atau semacamnya. Lan kemudian sadar. Itu bukan surai, tapi rambut. Itu juga bukan sesuatu. Itu seseorang.
Lan langsung jatuh pada kedua lututnya. Cepat, dibalikkannya sosok itu. Lan membelalak saat menemukan bahwa sosok itu adalah seorang gadis belasan tahun. Disingkirkannya rambut panjang yang menutupi leher jenjang gadis itu. Lan cepat-cepat menyentuhkan jemarinya ke leher itu. Ia seketika menghela lega ketika jemarinya masih merasakan denyut nadi dari balik kulit pucat itu. Kening mengerut gadis itu meyakinkan Lan bahwa gadis itu tidak sedang tidur. Gadis itu pingsan.
Lan lalu menepuk-nepuk pipi gadis itu. Keras. Tak lama, gadis itu membuka mata. Lan seketika membelalak. Pendar kehijauan tanaman rambat di atap tak mengubah keyakinan Lan soal warna mata gadis itu. Kelabu gelap. Hidung gadis itu juga kecil, dengan dagu agak panjang.
“Hei, apa kau orang selatan? Bagaimana kau bisa ada di sini?”
Gadis itu hanya menggumam kecil. Terlalu lemah untuk sampai ke telinga Lan. Ia pun menunduk, mendekatkan telinganya ke mulut gadis itu.
“Aku lapar,” bisik gadis itu lemah.
Lan seketika mengangkat kepalanya lagi. Tentu saja. Gadis itu pasti pingsan karena kelaparan. Lan kemudian membantu gadis itu bangun dan menyandarkannya di dinding gua. Ia segera meraih tas butut yang tersampir di samping tubuhnya, mengambil roti gandum yang sempat disambarnya dari rumah sebelum pergi, lalu menyodorkannya pada gadis itu. Hanya butuh beberapa saat untuk roti itu raib. Lan lalu mengambil kantong air dari dalam tas dan menyerahkannya pada gadis itu. Lan yakin gadis itu baru saja menghabiskan separuh isi kantong itu.
“Terima kasih. Kau baik sekali.”
Lan seketika mengernyit. “Kau … fasih sekali bahasa kami. Logatmu juga tak seperti orang selatan.”
Lan mengamati gadis itu lagi. Ia tak mungkin salah mengenali orang. Bahkan gadis itu pun masih mengenakan pakaian orang selatan—kerah baju rendah dengan memperlihatkan belikat, juga rompi luar tanpa lengan berkerah rendah membentuk kotak. Satu hal yang menarik perhatian Lan. Baju itu berlengan panjang sampai mendekati buku jari. Lan kembali mengernyit. “Kau bukan dari keluarga miskin. Lengan bajumu menunjukkan kalau paling tidak kau adalah bawahan seorang bangsawan. Apa aku salah?”
“Tidak, kau benar. Aku di sini mencari majikanku. Dia kabur dari rumah. Entah bagaimana, aku sampai di sini dan ambruk karena kelaparan.”
“Siapa namamu?”
“Sua. Kau siapa?”
“Namaku Lan.”
“Lan?” Mata Sua seketika membulat. Ia lalu mencondongkan tubuh ke arah Lan. Diamatinya Lan dari atas hingga bawah, mau tak mau membuat Lan risih. Sua kemudian tersenyum. “Kau juga bukan orang utara. Nama dan perawakanmu tidak seperti mereka. Padahal, kau begitu fasih bahasa utara.”
“Sepuluh tahun hidup di keluarga bangsawan kuno negeri ini sudah lebih dari cukup untuk membuatku terbiasa dengan adat sini.”
“Kalau begitu, kau berasal dari mana?”
Lan hanya memandangi gadis di hadapannya itu tajam. Dilihat dari perawakannya, gadis itu seumuran dengan adiknya. Ia lalu menghela panjang dan bangkit menjauhi Sua. Ia kemudian bersandar ke dinding di seberang tempat bersandar Sua. Diabaikan seperti itu, Sua hanya memajukan bibirnya dengan alis menyatu. Sua kemudian bangkit dan duduk di samping Lan. Lan bergeser menjauh, tapi Sua kembali memepetnya, membuat Lan tak punya pilihan lain kecuali kembali menatap gadis itu tajam.
“Apa yang kaulakukan?”
“Dingin,” jawab Sua singkat. “Kita bisa saling berbagi kehangatan dengan berdekatan seperti ini.”
“Aku tidak ingin berbagi kehangatan,” kata Lan sambil beranjak menuju sisi seberang.
Mereka kini berhadapan. Lan seketika membuang muka saat menangkap senyuman Sua. Lan berbaring, berusaha memejam. Ia melirik ke seberang, demi menemukan Sua yang juga berbaring sambil menatap lurus padanya. Senyum simpul kembali menghiasi wajah Sua, yang seketika itu juga mengingatkan Lan pada Yue. Ia pun cepat-cepat berbalik memunggungi Sua. Matanya menatap kosong ke arah dinding gua. Sesuatu tentang Yue menggelitik benaknya, membawanya kembali ke masa lalu.
“Ini adalah ikatan kita,” kata seorang anak laki-laki sambil menggurat sebuah lingkaran di atas tanah dengan patahan ranting. “Lalu, ini,” lanjutnya sambil kembali memberikan guratan membusur di dalam lingkaran, “adalah fondasinya.”
Si Anak Lelaki mendongak, menatap senang saat seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki yang lebih muda darinya itu menatanya bingung. Ia lalu menoleh pada anak perempuan itu. “Itu kau, Lan.”
“Aku … fondasinya?” tanya Lan bingung.
Anak lelaki itu hanya mengangguk. Ia kemudian kembali memberi guratan membusur di dalam lingkaran. Dua kali, hingga ketiga guratan di dalam lingkaran itu membentuk segitiga. “Dua sisanya adalah bangunannya. Aku dan Yue,” katanya sambil mengacak-acak rambut anak lelaki yang lebih muda darinya. Anak lelaki yang lebih muda itu hanya tertawa senang.
Si Anak Lelaki mengikuti guratan melingkar dengan jemarinya. “Takkan terpisah selamanya.” Jemarinya lalu beralih ke guratan segitiga. “Kita … saudara sampai mati.”
Ketiganya pun tertawa, seolah itu adalah tawa terakhir mereka di dunia ini.
Lan menghela cepat. “Kenapa aku yang jadi fondasinya? Kakak … aku tak pernah punya kesempatan untuk bertanya.”
“Kau bicara padaku?”
Tersentak, Lan bangkit dari tidurnya dan berbalik demi menemukan tatapan penasaran dari Sua. Lan benar-benar lupa kalau ia tidak sedang sendirian di Lubang Temu. Ia hanya mendengus kesal. “Sudah, tidurlah.”
Lan kembali berbaring, lalu memejam. Kali ini benar-benar berusaha untuk tidur. Sementara, Sua tak sebentar pun memejam. Matanya tertuju langsung pada Lan. Sorot mata kelabunya mengelam, dan senyumnya hilang.
***
Matahari sudah tinggi saat Lan nyaris mencapai kaki bukit. Ia berhenti sejenak, mengambil napas. Kehadiran orang lain di dekatnya membuat Lan menyatukan alis. Ia lalu berbalik, demi mendapati senyuman Sua di hadapannya.
“Berhenti mengikutiku!”
“Di tempat ini, hanya kau yang kukenal. Aku tidak tahu wilayah sini. Kalau sembarangan berkeliaran, aku pasti tersesat.”
“Kalau begitu, cari kenalan lain.”
“Ayolah,” kata Sua sambil beranjak lebih dekat ke hadapan Lan. “Aku juga ingin ke kota. Kita bisa ke sana bersama.”
Lan menatap tajam gadis itu. Sua bergeming, dan masih tetap tersenyum. Lan kesal sekali melihatnya. “Sesampainya di kota, menyingkirlah dariku.”
Lan berbalik dan menjauh dari gadis itu dengan cepat. Tak lama ia berhenti, lalu berbalik lagi. “Sebelum itu, tutupi dulu lehermu dengan sesuatu.”
“Apa?”
“Apa kau tidak tahu? Di sini, perempuan yang begitu berani mempertontonkan lekukan leher dan tulang belikatnya … itu menjijikkan.”
“Itu peraturan dari mana? Konyol sekali.”
Lan bergegas menuju Sua, lantas berhenti tak sampai semeter dari gadis itu. “Peraturan yang membedakan tinggi-rendahnya kasta seseorang berdasarkan panjang-pendeknya lengan baju justru jauh lebih konyol lagi, kan?”
Sua tak menyangkal. Ia hanya menggigit bibir bawahnya. “Aku tak punya apa pun lagi untuk menutupi leherku.”
Lan mendengus kesal. Ia lalu menarik semacam kain panjang dari dalam tas buntutnya. Pelan, ia mengalungkan kain itu di leher Sua. Hati-hati, Lan mengikatkan kain itu sedemikian rupa hingga menutupi leher dan belikat Sua. Sua tersenyum setelah Lan menyelesaikan pekerjaannya. “Kau berubah lembut. Kalau kau sedikit lebih baik lagi, aku pasti menyukaimu. Kita bisa jadi teman, Lan.”
“Aku tidak butuh uluran pertemanan dari anak ayam yang sedang kehilangan induknya. Kau seharusnya fokus saja menemukan majikanmu itu.”
“Kalau begitu, apa kau tahu tempat yang cocok untuk mencari informasi?”
Lan hanya bisa mengerang cepat. Seketika, ia merutuki dirinya sendiri. Membuat gadis itu mencetuskan ide semacam itu hanya akan membuatnya repot sampai seterusnya. Karena tempat tujuan mereka sama. Lan sepertinya memang harus bertahan dengan gadis itu lebih lama lagi. Ia sebelumnya berharap bisa menyingkirkan benalu secepat mungkin setelah mereka tiba di kota. Tapi, ia masih harus menunggu sampai mereka bertemu Nulla.
“Kita harus menemui Nulla. Dia informan paling bisa dipercaya di sepenjuru daratan utara.”
“Kita? Apa kau juga mencarinya?”
Bukannya menjawab, Lan justru mendengus kesal. Ini perjalanan keduanya ditemani benalu. Lan masih ingat, perjalanan pertamanya ditemani orang lain tidak berakhir baik, terutama untuknya. Sebuah kota kecil hancur, dan ia dicari-cari pemerintah setempat. Beruntung, nama klan Verellin membuatnya tak jadi kehilangan kepala. Sejak saat itu, ia lebih suka bekerja sendirian.
Lan cepat-cepat beranjak dari tempat itu, menuju kota. Di belakangnya, Sua berlari-lari kecil menyeimbangi langkah Lan.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 06, 2012 09:43

January 4, 2012

Setan Merah: The Fallen Devil?

Kalau ada istilah The Fallen Angel untuk penyebutan malaikat yang jatuh dari surga, apakah setan juga memiliki istilah yang sama untuk menyebut keterpurukannya? Entahlah. Apakah setan bisa lebih jatuh lagi? Hahaha, kenapa saya jadi berpusing-pusing ria soal itu, ya?

Saya hanya sedang ingin menulis soal BPL. Apa itu BPL? Euh, masa' harus tanya lagi, sih? Barclays Premier League, nama untuk liga utama di Inggris. Entah kenapa, saya suka sekali menonton BPL, mungkin karena jarak kemampuan tim papan atas dan tim papan bawah tidak terlampau jauh, sehingga kompetisi tetap terjaga baik meskipun pertandingan sedang menghadapkan tim papan atas dan tim papan bawah. Itulah menariknya. Lalu apa hubungannya dengan setan merah?
Oke, cukup curcolannya. Saya hanya merasa bahwa akhir-akhir ini MU kehilangan tipe permainan aslinya. Entahlah. Saya bukan pengamat sepak bola. Saya hanya terlalu sering menonton permainan MU selama 8 tahun untuk tahu apakah permainan mereka sama seperti biasanya atau tidak. Mungkin saya salah. Tapi, rasanya mengganjal saja kalau saya tidak menuliskan uneg-uneg saya setelah melihat pertandingan dini hari tadi dengan kemenangan Newcastle United 3-0 atas MU.
Mungkin ini perasaan saya saja, tapi sejak dikalahkan City di kandang sendiri dengan beda skor jauh itu, permainan mereka tidak setaktis biasanya. Setelah kalah 1-6 itu memang tak terlalu tampak. Tapi, di dua pertandingan terakhir ini, saat melawan Blackburn Rovers dan Newcastle United, mereka jelas kehilangan tipe permainan mereka. Mereka tidak main buruk, tentu saja, tapi tetap saja jauh dari ekspektasi saya soal permainan Setan Merah. Maka dari itu, saya berusaha keras untuk tidak menjadi penggemar fanatik. Penggemar fanatik hanya akan melihat keburukan lawan dan menyalahkan wasit saat tim kesayangan mereka kalah, tanpa sadar kalau kesalahan utama terletak pada tim itu sendiri. Ini yang saya rasakan dini hari tadi, karena Newcastle United memang main jauh lebih bagus. Saya angkat topi buat mereka. Mereka memang pantas menang dini hari tadi.
MU tak pernah main dengan membiarkan lini belakang, tengah, dan depan tak terhubung sama sekali. Mereka biasanya main cepat dan taktis dengan memanfaatkan lebar lapangan dan space sekecil apa pun untuk bisa menyerang pertahanan lawan. Tapi, saya salut pada Newcastle United. Sejak awal pertandingan sampai peluit tanda pertandingan berakhir dibunyikan, tak sekali pun mereka melonggarkan man mark mereka. Tiap pemain MU dapat bola, mereka selalu konsisten melakukan tekanan pada pemain yang memegang bola, tanpa membiarkan mereka bebas untuk saling mengoper. Taktik mendasar itu berjalan sangat efektif, saya rasa. Hubungan antarlini terputus. MU seperti kehilang penghubung antara lini pertahanan dan lini tengah, begitu pula dengan penghubung lini tengah dan lini depan. Mereka terisolasi. Itu yang membuat mereka tidak bisa main bebas.

Bahkan, Giggs yang biasanya main cepat, terarah, dan tidak serampangan itu, entah kenapa tidak bisa main optimal. Biasanya saya langsung tahu kalau Giggs main tanpa melihat daftar pemain yang selalu dimunculkan sebelum pertandingan dimulai karena permainannya yang memang khas sekali. Tapi, dini hari tadi, kalau saya tidak melihat angka 11 di punggung seragamnya, saya pasti tidak tahu apakah dia dimainkan atau tidak.
Yang paling menarik perhatian saya adalah komunikasi antara kiper dan para defender. Entahlah, mereka seperti hilang komunikasi, sering sekali terjadi salah pengertian antara kiper dan defender. Entah apa, tapi saya tahu ada yang salah. Penjaga gawang MU sekarang bukan lagi Van der Saar, sih, apa yang bisa saya harapkan? Bukan berarti saya bilang kalau permainan Lindegaard buruk. Paling tidak, dia sudah berusaha keras. Tapi, pemain yang paling menarik perhatian saya adalah Jones. Sejak awal babak kedua, permainannya yang sangat emosional dan serampangan itu sudah langsung membuat saya berpikir bahwa pemain yang satu ini cepat atau lambat pasti akan membuat masalah di pertandingan ini. Ide terjauh yang terpikir oleh saya adalah dia akan melakukan pelanggaran di kotak penalti. Saya tak pernah membayangkan sesuatu seperti "gol bunuh diri" darinya. Yah, ini memang bukan harinya.
"This is not MU. There's something wrong with them." Itulah yang terpikir oleh saya setelah pertandingan dini hari tadi. Entahlah. Mereka serasa tidak bisa main kolektif. Teamwork mereka beberapa kali terpecah. Salut untuk taktik man mark yang berhasil dari Newcastle United.
Yah, roda memang selalu berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Saya hanya berharap Sir Alex bisa membawa tim untuk memutar roda kembali menuju ke permainan asli mereka. Saya tidak terlalu peduli skor sih. Mungkin saya memang kecewa tiap kali mereka kalah, tapi permainan bagus mereka lebih dari cukup untuk bisa menghilangkan kekecewaan saya. Tapi, memang begitu kan sebuah pertandingan itu? Selalu ada drama dalam setiap pertandingan. Mungkin itulah yang dinamakan "drama tanpa skenario".
Well, semoga mereka bisa bangkit lagi dan kembali ke permainan biasanya mereka di pertandingan berikutnya. Keterpurukan semacam ini malah bisa jadi pelajaran yang amat berharga daripada kemenangan yang wajar mereka dapatkan, bukan? Hehehe, ambil saja hikmah positif dari semua ini. Kita memang seringkali lebih banyak belajar dari kegagalan daripada keberhasilan.
Ganbatte, Red Devil! XD
Salam :)
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 04, 2012 22:23