duniamimpigie's Blog, page 4
September 6, 2015
Fanbook Doukyuusei-Sotsugyousei (Nakamura Asumiko)
Front coverYeay, I bought Doukyuusei Fanbook!!! Woohoooooo~~~ ♪♪\(^ω^\)( /^ω^)/♪♪
Even if I have some friends live in Japan (for studying abroad or working), I rarely make them buying something for me when they return to Indonesia. Idk, I just don't want to trouble them to hunt what I want, then use their money for me (even if I'll pay them later), and bring my luggage all the way to Indonesia; except if they themselves offered to bring me something.
And, luckily, a friend of mine who is studying abroad asked me if there's something that I want from Japan because he'll bring it to me when he return home--and I just "Well, why not?"
I knew I want some mangas (yes, is there anybody who'll deny Japan for a manga heaven?), yet could not decide which manga.
I want to extend my BL collections especially. Completing my Nakamura Asumiko's collection, and some new collections from Hayakawa Nojiko, Aoi Aki, Ichikawa Kei, or Ogura Muku; yet I really don't want to trouble him to bring so much books (of course!!!). Besides, I don't have much money in that short of time, it was too sudden. Besides (again), he is a "he"--which means double-trouble for BL genre ||orz
After some hard consideration (?) finally I chose Nakamura Asumiko's Doukyuusei Fanbook!!!
Lay aside his so-much-oh-I-enough-hearing complains for buying BL books, he actually brought it save and good to me. Thank you soooooo much, Bruh! I know you can fight (?) it for me!!! (๑•̀ㅂ•́)و
Enough for chit-chat now, lets take a peek inside!
Stickers
Postcard plus free-paper manga (5 panels only, but it is cute overload!!!)
5 y.o Kusakabe is soooo cute!! I want his hat!
16 y.o Sajyou's hand is holding Kusakabe's hand in next page
Nakamura Asumiko Sensei's step by step coloring process
This one step by step for B/W illustration
Sajyou and Kusakabe chibi in KyotoWell, there are some short manga inside the book, a full-colored one about Sajyou who woken up right beside Kusakabe in the morning and found that their hands are holding one another (it really sweeeeet~~~), one titled "Mou Hitotsu no" ("Another One") about their first meeting in Sajyou's PoV, and the last one is "Coffee Time" Kusakabe told Sajyou that they could not have coffee time together after their graduation, but Sajyou said "Wrong, it'll be much more, from now on".
Ah, maybe any of you want to know the price. Mine is used one in good condition, for 3000 yen--which means for about 330.000 rupiah. The actual price is 2286 yen only, well... rare item, everyone ヽ( ´¬`)ノ
If you think I don't thank my friend enough, I have bribed him with my handmade chocolate cake~~~ Fufufufufu!!!
Yeeaaaaaaayyy~~~ Oh, what a lucky girl I am~~~!!!
Published on September 06, 2015 08:05
August 24, 2015
[Review] The Wolf and the Hungry Boy by Refrainbow
Gak usah pake basa-basi pembukaan lah ya. Langsung aja. (Bingung mau pembukaan gimana soalnya ahahaha~)
“The Wolf and the Hungry Boy” ini komik indie yang langsung menarik minat saya semenjak baru di-publish secara online di sini. Awalnya cuma kebetulan liat ada temen Facebook yang nge-sharetautannya dari akun Rayda, empunya Refrainbow ini. Sekali liat, saya langsung demen nuansa ilustrasi dan ceritanya—apalagi saya memang demen cerita-cerita fairy tale-ish.
Ah, bahasan soal konten cerita saya tunda dulu, mari kita lihat fisik bukunya.
Pertama dan terutama!!! Saya kecewa beraaaaaat dengan cetakannya. K-E-C-E-W-A B-E-R-A-T. Entah ini karena emang percetakannya gak bagus, atau emang sayanya aja yang lagi bernasip naas dan hanya punya saya aja yang cetakannya jelek *hiks*Isi buku punya saya penuh bercak-bercak putih di TIAP halaman sebelah kiri ||orzzzz Kasihanilah sayaaaaa uweweweweweweeee~~~!!! Kalo cuma 1-2 halaman sih masih oke ya, masih bisa diterima. Ini mah dari depan sampe belakang, Emaaaaaak Q____Q Hidup ini tidak adiiiiillll wowowowowo!!!
Tuh liat di foto di atas, banyak bercak-bercak putih kotor kan? Coba bandingin dengan foto halaman sebelah kanan (bawah) yang mulus.
Lalu, soal binding. Ini buku pake binding lem + jahitan. Emang sih, jahitan itu perlu banget supaya kertasnya gak cepet lepas, apalagi tipe kertasnya yang setebel karton. Tapi yak... ini pengalaman saya sebagai editor komik yak, kalau mau pake jilid lem, sebaiknya pinggir-pinggirnya diberi space, karena jilid lem bikin bukunya gak bisa dibuka selebar jilid staples.
Masalahnya, doujinkakita ini tampaknya masih kurang pengalaman soal teknis beginian. Teks-teks komiknya ada beberapa yang justru mepeeeeeeet banget ke pinggir, bikin pembaca terpaksa mesti buka halamannya lebar-lebar. Hasilnya? Yah, begini deh, jahitannya keliatan ke mana-mana dan binding-nya jadi gak rapi lagi. Padahal saya tipe yang memperlakukan buku dengan sangaaaaat lembut, tapi gegara teks-yang-terlampau-minggir, jadi rusak deh :’(
Editor-editor komik menyebut space di sisi-sisi halaman komik itu “uploop”. Jadi, kami—editor komik—(salah satu) tugasnya adalah mengecek uploop ini supaya teks yang paling pinggir gak masuk ke bagian lem atau kena garis potong.
Saya harap, di buku selanjutnya doujinka ini ngasih uploopyang cukup lebar di sisi-sisi dalam bukunya, supaya gak kena lem dan bikin pembaca mesti maksa buka halamannya lebar-lebar sampe akhirnya binding-nya jadi rusak. *panjang bener kalimatnya ahahaha*
Ah, dari tadi ngeritik mulu, sekarang bagian asiknya. Kertasnya tebel bangeeeeet!!! Wuhuuuuu! Meski sebenernya saya gak bakal terlalu masalah kalau lebih tipis asalkan gak pake cacat bercak-bercak putih di tiap halaman :”( *tetep dibahas*
Btw, sampulnya doooong~~~!!! BAGUS BANGET!!! Iya, pake kapital semuanya! Warna silver-nya ber-glitter cling-cling gituuuu~~~ Bahagia banget saya ngeliatnya ♥ ♥ ♥
Secara keseluruhan, saya demen pewarnaannya yang merah-hitam ♥ Kualitas ilustrasinya gak usah ditanyain lah ya, saya ngikutin page Refrainbow gegara demen gaya gambarnya. Ini masalah selera sih. Saya juga suka pemilihan font-nya dan permainan warna font-nya. Bikin gak bosen liat, mata saya dimanjain ♥ Soalnya banyak doujinkayang males ngasih variasi font (y)
Tapi sayang seribu sayang ;_____; Entah kenapa kualitas warnanya jadi turun saat dicetak dibanding waktu saya liat secara online. Cetakan, oh cetakan ;;;;_____;;;; Padahal saya jatuh cinta sama seri ini gegara liat warna-warnanya yang kuat ;____;
Mari masuk ke masalah plot cerita.
Setelah baca beberapa sesi di tapastic, saya jadi bisa nebak kalo cerita ini: fairy tale-ish yang gore dan penuh twisted character.
Perlu saya garis bawahi? Iya, NEBAK aka KETEBAK ceritanya. Hmmmm....
Saya bisa langsung “ngebaca” kalau sebenernya si Hungry Boy-lah yang berbahaya, alih-alih si Wolf. Sementara saya liat di Facebook doujinka-nya ada pembaca yang komen soal ending “That plot twist tho” atau semacamnya, saya malah “Huh? Itu bukan suatu plot twist, soalnya ketebak.” Atau mungkin pembaca itu gak baca yang di-publishdi tapastic, jadinya beliau gak bisa nebak apa yang bakal terjadi nantinya.
Meski begitu, saya tipe yang agak denial dan masi ngarep-ngarep agar cerita ini akan diakhiri dengan cute-cute manis—sampai teman saya yang sesama penulis bilang, “Gie, tidak ada adegan si Boy ngorekin perut si Wolf kan?”
JLEB gitu rasanya. Uuuuh... itu ending dengan skenario terburuk yang selama ini bikin saya denial. Sebenernya ketebak sih, tapi saya masih ngarepin mereka berdua bakal hidup bahagia(?). Ini emang masalah selera, tapi yah saya udah kenyang dengan cerita fairy tale sok-sok manis padahal suram dengan ending yang sama suramnya.
Sejatinya, dibanding masalah ending, saya lebih kecewa dengan plot BL-nya. Whyyyyyyyyyyy??? Why dibikin jelas-jelas nge-BL??? Biarin aja hubungan mereka itu bersifat bromance tanpa bener-bener bikin pembaca tau kalo itu perasaan “cinta”. Biarin aja pembaca berimajinasi secara bebas, tanpa doujinka mencekoki “Si Wolf tuh cinta lhoooo sama si Hungry Boy. Ini cintaaaaaa lhooooo”. Saya benci dicekokin(?) ||OTL
Kesan manis-manis cute hubungan mereka sekonyong-konyong ilang pas saya baca bagian si Wolf dan Hungry Boy hampir ciuman ;w; Gak usah pake tanda-tanda sejelas almost kissing doooong ;w; Aw aw aw, kembalikan Hungry Boy yang manis-misterius dan Wolf yang naif-tsundere sebelumnyaaaa ;;;_____;;;
Ugh, bagian klimaksnya bikin saya gatel(?) pengen nyorakin “Ciyeeeh si Wolf ternyata maso akuuuut~~~ Uhuuuy~~~!!!” waktu si Boy nyabik-nyabik perutnya :v :v :v *plak* Bener-bener deh, si Wolf ini penggambaran gamblang soal “Cinta itu buta”. Bahkan ada dialog Wolf kalau dia merasa bahagia diapa-apain si Boy, bahkan meski dirinya sendiri jadi santapan. Heh.
Karakter-karakternya emang kuat. Saya suka. Wolf yang selama ini hidup sendirian mendadak dapet pendamping yang sangat-sangat-sangat bergantung padanya, bikin si Wolf jadi merasa “ternyata hidup diperlukan oleh seseorang tuh gak buruk juga” dan akhirnya membuat dirinya secara tidak sadar “terikat” kepada si Boy jauh melebihi apa yang diperkirakannya sendiri. Malangnya, justru “ikatan” itulah yang menuntun si Wolf jatuh. Hungry Boy bener-bener karakter berbahaya.
Berdasarkan hubungan “kuat-tapi-instan” di antara mereka berdua, pembaca yang jeli sebenernya bisa dengan mudah menebak apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Dan sang doujinka, malah beneran bikin ending seperti yang udah ditebak. Jujur saya agak kecewa *hiks* Klise itu boleh banget, tapi ending dengan skenario-terburuk-yang-klise itu bukan cup of tea saya.
*coret*Total*coret* Linimasa(?) penilaian:
Waktu awal baca di tapastic: 4 dari 5 bintang *menjanjikan banget soalnya*Setelah baca bagian almost kissing: 3,5 dari 5 bintang *kenapa cerita bagus mesti banget dijadiin BL?*Setelah liat cetakannya: 3 dari 5 bintang *bercak-bercak putih itu lho*Setelah baca ending-nya: 2,5 dari 5 bintang *baiklah, baiklah, Wolf Masokis*
Tapi jelas, saya bakal tetap menantikan karya Refrainbow selanjutnya ♥ Gaya gambar dan pewarnaannya itu selalu bikin saya suka ♥
Gie—yang berani-beraninya bilang "Meh" lalu *buang* untuk ending manga "Kaori no Keishou"-nya Nakamura Asumiko
Published on August 24, 2015 21:52
August 16, 2015
Bernard dan Lil (Beruang dan Monyet Kecil)
Bernard dan Lil (Beruang dan Monyet Kecil)
Duniamimpigie
“Kau yakin ini tempatnya, Lil?”
Pria dengan ukuran tubuh yang membuatnya berkesan mirip beruang itu bertanya, sekedar memastikan.
Yang ditanya kontan melancarkan tendangan ke betis si beruang―dengan tingginya itu, hanya sebatas itu yang mampu kakinya capai. “Sudah dari tadi kubilang, bukan! Otakmu tuh otak ikan, ya? Atau udang? Bernard, kau tolol banget sih,” suara nyaring anak kecil menyusul.
Tidak sakit, bahkan tidak berasa apa-apa; tendangan itu terlalu ringan dan kecil untuk si beruang.
“Hei, kalau selalu ngomong kasar begitu, kau tidak akan tumbuh tinggi, Lil. Dan panggilanmu akan terus ‘Lil’ meski kau sudah tua nanti,” kekehnya yang berlanjut menjadi derai tawa singkat. Jemarinya yang raksasa itu mengacak-acak topi pet yang menutupi rambut pirang kusam anak kecil di sampingnya―saking jauhnya perbedaan tinggi mereka, hanya ujung jemari sang beruang yang bisa menyentuh si bocah.
“Jadi, siapa yang akan membuka pintu ini? Aku? Atau kau?” balas si bocah sambil menepis jemari si beruang dari kepalanya dan membetulkan posisi topi petnya. Dari saku kanan jaketnya lantas ia mengeluarkan serenceng benda logam: beragam ukuran peniti, kawat besi, jepit rambut, sampai kunci kecil. “Aku yakin punya yang untuk jenis pintu ini,” imbuhnya sambil memilah-milah, lidahnya menyisiri bagian dalam deretan gigi atasnya bolak-balik—kebiasaannya saat berkonsentrasi.
“Tergantung mau dilakukan secara heboh atau tidak, Lil,” balas si beruang untuk pertanyaan si bocah. “Aku sih suka yang heboh,” lanjutnya, ada kesan geli dalam suaranya.
“Dan aku tidak,” pungkas si bocah sambil mulai memasukkan sebuah peniti berukuran sedang ke lubang kunci di pintu di hadapan mereka.
Si beruang yang dipanggil Bernard hanya angkat bahu. “Kalau aku yang kerjakan, hanya butuh satu detik untuk membuka pintu ini―bahkan mungkin tidak sampai. Kalau kau...” dia menimbang sejenak, “kali ini mungkin lima menit?”
“Tiga.”
“Baik, baik. Lima,” disusul dengus tawa mengejek saat si bocah memelototinya jengkel. “Orang bebas berpendapat, Lil,” ujarnya membela diri, yang sayangnya, membuat bocah emosian itu akhirnya meledak.
“Bisa diam, enggak sih!!!” jengkelnya, spontan merogoh sakunya dan menarik keluar sebuah petasan kecil racikan tangan, menggesek sumbunya di punggung tangan kirinya―tempat selembar logam tipis terikat, dan melemparkannya pada partnernya.
“Ups!” ujar si beruang yang lebih karena refleks, menepis peledak kecil itu ke samping dengan tangan kosong. Petasan itu berdentum saat mengenai dinding sisi rumah yang akan mereka susupi malam itu.
Bagai tentara dibangunkan dengan bel pagi dan teriakan komandannya, para penghuni di rumah dua lantai yang terpisah dari pemukiman warga lainnya itu serta-merta ricuh.
Setelah meniup-niup telapak tangannya yang perih karena baru dipakai untuk menepis petasan, si pria beruang berkata, “Bukan salahku,” lantas mengangkat kedua tangannya seolah dengan begitu ia akan terbukti tak bersalah.
Si bocah berdecak, menarik kembali penitinya dari lubang pintu dan memekik kesal diselimuti frustrasi, “Sudahlah, dobrak saja!!” yang sekejap kemudian sang partner telah menggendongnya di satu tangan, lantas menendang terbuka pintu itu dengan satu kaki.
“Tuh, kan! Apa kubilang!” tawa bergemuruh dari Bernard, rambut cokelat gelapnya yang pendek berkelebat saat mereka berlari menerobos lorong di dalam. “Cara heboh lebih cocok dengan kita!”
Sekonyong-konyong terdengar bunyi senapan.
“Atas!” Lil menunjuk. Beberapa pria berderap di susuran tangga yang menuju lantai dua. Salah satu dari mereka memegang senapan yang masih berasap, bau mesiu segera menyeruak ke hidung bocah itu.
“Oh, akhirnya ada yang menyambut!” Sang beruang menendang meja kayu besar terdekat hingga pecah berkeping-keping. Dia mengambil bagian terbesar dan berlindung di baliknya seperti perisai.
Ia lantas menjejak keras-keras dari bawah tangga, melompati beberapa penyerang sambil menendang beberapa dan menyikut beberapa yang lain. “Aku pasti akan sedih kalau tak ada penyambutan.”
Lil merogoh sakunya cekatan, mengeluarkan ketapel modifikasinya. Batang utama yang menjadi poros di tengah dibuat rongga dan diisikan kelereng-kelereng. Dan di ujung bawah rongga itu, terdapat semacam katup yang akan terbuka cukup dengan didorong jari; tempat keluarnya kelereng. Ketapel modifikasi itu ditambah kecekatan tangannya membuat Lil mampu melempar kelereng-kelerengnya dengan cepat.
“Angkat dan lepaskan aku!” ujarnya, lebih menyerupai perintah, setelah melepaskan satu kelerengnya yang telak kena tangan penembak tadi hingga senapannya terlempar dan jatuh ke lantai bawah.
Bernard mengerti. Ditinggikannya Lil sampai bahu dan dilepaskannya pegangannya. “Jangan sampai tertembak, lho,” lalu teringat satu hal lagi, “jangan sampai jatuh juga seperti yang terakhir kali itu.”
Lil merayap naik dengan gerakan persis seperti monyet ke atas pundak pria kekar itu, lantas duduk di atasnya dan menopangkan satu sikunya di atas kepala si beruang sebagai penyeimbang. “Bilang begitu saat kau sudah berani menembak tepat di jantung orang, Pak Polisi.”
“Mantan,” ralat sang beruang, dia merebut satu senapan angin dari musuh yang sudah ambruk di belakangnya lalu melompati lima anak tangga sekaligus. “Sekarang aku sudah tidak termasuk mereka lagi, jadi istilahnya mantan, Bocah Tengik,” mengokang senapannya secepat kilat dan menembakkannya ke bahu satu-satunya musuh yang tersisa di lantai dua―sebisa mungkin tidak ingin mengakibatkan luka fatal―tepat saat kelereng Lil berhasil menjatuhkan musuh yang masih setengah sadar meski telah disikut Bernard di belakang tadi.
“Fiuh!” Bernard menghela napas sambil menginjak senapan tadi hingga hancur lantas menepuk-nepuk kedua telapak tangannya, matanya memeriksa sekilas dan yakin bahwa semua musuh sudah tak sadarkan diri. “Beres! Yang seperti ini bukan apa-apa buat aku yang hebat ini! Tak ada korban jiwa, itu yang penting!” bangganya sambil mengelus dagunya yang berjambang tipis.
“Yeah. Paling ada satu-dua yang gegar otak gara-gara disikut beruang idiot.”
“Atau karena kena lemparan kelereng bocah berandal bermulut kasar―duh!” jerit Bernard, mengelus bekas gigitan baru di pundaknya sementara sang pelaku sudah melompat turun dengan mulus seperti kucing ke lantai.
Lil menarik ujung kemeja partnernya saat pria itu melangkah ke arah yang berbeda. “Bukan di sana. Kemari, Bernard.”
Pria itu balas menatapnya, alisnya bertaut. “Aku yakin ke arah sini. Aku sudah membaca petanya, Lil.”
Lil mengangkat satu alis, tampangnya bosan. “Justru karena kau sudah membaca petanya, Bernard, makanya kita harus ke arah sebaliknya,” pungkasnya sembari berlari kecil, sama sekali tak mendengar protes pria dewasa di belakangnya. “Kau selalu salah mengingat arah, Bernard, dan kau selalu yakin kau benar padahal tidak. Aku masih tidak percaya kau pernah jadi detektif polisi. Partnermu pasti kerepotan mengurusmu,” dengusnya.
Lil tidak menyadari, ketika dia menyebut kata partner, langkah Bernard melambat sejenak―benar-benar sejenak―sebelum akhirnya berderap menyusul bocah kecil di depannya, “Nah, anak kecil tidak boleh jalan-jalan sendirian,” tambahnya sambil sekonyong-konyong menggendong Lil dengan mengempitnya di bawah ketiak.
“Uwoi! Aku enggak suka―”
Namun protes Lil tak pernah berlanjut karena sebutir peluru berdesing tak jauh dari wajahnya, panasnya bahkan membakar sedikit ujung rambut Lil. Dia melihat rekannya refleks melemparkan pisau ke arah penembak di lorong di seberang. Setelahnya, segalanya terasa berputar-putar dengan sangat cepat―ternyata karena mereka berguling―untuk berlindung di balik pintu kamar terdekat.
“Oi, Pak Tua, kau tidak apa-apa?” cemas Lil, dia yakin sempat mencium aroma yang mirip besi―darah.
Yang dibalas dengusan, “Hah! Jujur, masih lebih mengerikan luka gigitan darimu!” Punggung tangan Bernard meneteskan darah, untungnya hanya luka gores dangkal. “Sial, usia tua ini membuat refleksku buruk! Masih ada dua orang di seberang sana, Lil. Dan salah satunya penembak jitu―mereka takkan keluar dari sarangnya jika peluru mereka belum membuat lubang di tubuh kita,” jelasnya sambil merobek lengan kemejanya dan membebatkan kainnya di lukanya.
Lil tahu Bernard terluka karena pria beruang itu melindungi dirinya. Jika saja tadi dia tidak sedang dalam gendongan Bernard, peluru itu mungkin sudah bersarang di batok kepalanya.
Lil melirik pria berjanggut yang kini tengah sibuk menyiapkan revolver-nya yang sebelumnya disembunyikan di balik kemeja luarnya. Dari jarak sedekat itu, bocah itu bisa melihat dengan jelas bekas luka gores besar yang melintang dari alis kanan hingga hampir ke telinga si beruang―luka mencolok yang selalu berhasil menarik perhatian Lil, seolah ada yang istimewa dari luka itu, seolah luka itu ada memang untuk dipamerkan.
“Bernard, maafkan aku,” ujarnya dengan suara lirih, mirip bisikan. Seandainya telinga Bernard tidak terlatih mendengarkan suara-suara lirih selama dia jadi polisi detektif, pria itu mungkin melewatkan ucapan itu.
Tangan Lil yang mungil perlahan meraih lengan berotot pria yang tadi melindunginya dan menggenggamnya erat. Perasaan bersalahnya sekaligus ketakutan akan banyak hal tersampaikan pada Bernard melalui jemari itu.
Tersenyum, Bernard melepas topi pet Lil lalu mengacak-acak rambutnya keras, “Kalau setelah dewasa nanti kau punya dada besar dan montok, aku pasti akan memaafkanmu, Lil!”
Lil cemberut, bibirnya mengerucut ketika dia memprotes, “Aku cowok. Enggak mungkin punya dada montok!” lantas sekonyong-konyong bangkit dan berdiri tegap sambil membusungkan dadanya, seolah-olah dengan melakukan itu ia bisa meyakinkan semua orang di dunia bahwa dirinya pantas dipandang sebagai seorang pria tulen.
Bernard hanya tertawa singkat, tidak ada kesan mencandai ataupun mengejek. “Daripada itu, Lil, kau yakin target kita ada di lorong sebelah sini? Bukan di seberang?”
Lil kontan menantap sang beruang, lantas mengangguk mantap. “Ingatanku setajam pisau, Pak Tua. Aku langsung ingat denah rumah ini cukup dengan melihat petanya sekali-dua kali,” yakinnya sambil mengetuk-ngetuk sisi kepalanya dengan telunjuknya.
Bernard membalasnya dengan mendengus, “Baiklah, Bocah Sok Tahu. Aku percaya padamu. Dan bisakah kita bekerja sama dengan baik kali ini? Kukira lebih tepat jika kita bergerak terpisah namun tetap terkomando.” Lantas mengulurkan tangannya yang terkepal ke arah Lil.
“Kau pegang janjiku, Bernard,” sumpah Lil sambil menubrukkan kepalan kecilnya ke kepalan Bernard penuh semangat. “Aku selalu di pihakmu. Ini janji antarlelaki.”
Bernard membalas cengiran Lil. Lantas dengan terburu-buru mengeluarkan kotak kecil berisi lensa kontak. Lil memperhatikan, ternyata rekannya tidak main-main kali ini. Tentu saja, lawan mereka kali ini ada penembak jitu, tidak aneh.
“Kurasa masih ada satu penjaga di sisi target, Lil, suasana ini terlalu sunyi jika lebih dari itu. Dan kuyakin dia bersenjata. Kau serius tidak apa menerobos sendirian?” cemas Bernard.
Lil sudah bersiap di posisinya, di ambang pintu di seberang Bernard. “Tak masalah. Akan kubebaskan Sang Putri.”
“Bagus. Aba-aba dariku,” komando Bernard, kini telah menempel rapat pada dinding di samping pintu. “Go!” pekiknya sambil menarik daun pintu hingga terlepas dari engselnya dan memosisikannya sebagai perisai di depan tubuhnya lantas menerjang keluar.
Sekonyong-konyong letupan senjata api terdengar membahana, susul-menyusul dari koridor seberang. Sayang, sebagian besar pelurunya hanya bersarang dengan percuma di kayu tebal berkualitas tinggi yang sebelumnya berupa daun pintu dalam genggaman Bernard.
Lil menyusul, dengan gesit dia melompat ke arah sebaliknya dan melesat dengan kecepatan yang mirip hewan liar, bersembunyi di celah-celah tiap kali peluru berdesing. Dia memang tak seperti Bernard, yang bisa menghancurkan pintu dengan sekali tendang, maka dari itu dia terpaksa membuka pintu-pintu untuknya bersembunyi dengan cara orang biasa―memutar kenop. Kekhawatirannya hanya satu, dan itu begitu fatal: bagaimana jika pintu-pintu itu terkunci?
Mustahil Lil menghabiskan waktu dengan mencoba membongkar kunci tiap-tiap pintu. Bisa-bisa Bernard yang kini melindunginya dari peluru di koridor seberang makin kesulitan. Belum lagi jika penjaga targetnya muncul dan mulai menembakinya juga.
Mendadak terdengar suara berdentum dari arah punggungnya. Spontan Lil menoleh: Bernard tengah berderap lari menuju penyerangnya.
“Oh, tidak! Dia mulai nekat! Memangnya dia sebegitu percayanya punggungnya akan aman dari serangan!?” gerutu Lil, kaget sekaligus jengkel. Tapi, memang begitulah Bernard yang dikenalnya. Dan karena itu pulalah, pria itu harus beraksi bersama seseorang, setidaknya untuk melindunginya dari belakang.
Dan itulah tugas Lil sekarang.
Dan Lil mengerti.
Tanpa ragu, Lil merogoh saku dan mengeluarkan beberapa peledak racikan buatannya. Tiga selongsong dikepitnya di antara jemari tangan kanan dan digeseknya sumbunya di selembar logam yang terikat di punggung tangan kirinya.
Satu untuk pintu di sisi kiri, satu untuk pintu di sisi kanan, dan yang terakhir untuk pintu di ujung lorong.
Bunyi ledakan berturut-turut, asap yang mengepul, dan bau mesiu menyeruak seketika di koridor tempatnya berada. Di antara seluruh kekacauan itu, Lil samar-samar mendengar jeritan wanita.
Sang target.
Kaki-kaki kecil Lil berderap menuju pintu di sebelah kanan, yang sebagiannya telah hancur terbakar berkat peledak yang dilemparkannya tadi. Dengan mudah dia menerobos masuk. Ia berhadapan dengan seorang pria ceking bermata cembung tengah membidikkan bedil yang sepertinya telah berumur tua ke arahnya. Tak jauh dari pria itu, seorang wanita bergaun malam tengah terikat di sebuah kursi kayu, matanya yang basah dengan air mata tampak memandang liar penuh ketakutan.
“Hah! Bocah kecil??” cemooh sang pria ceking.
Lil mengabaikannya, namun satu tangannya yang cekatan tetap bersiaga di dekat saku sementara satu tangannya yang lain telah menggenggam erat ketapelnya.
“Kami datang untuk menolongmu, Tuan Putri, dan mengembalikanmu ke tunanganmu,” imbuh Lil, datar. Tak ada kesan dia bermanis mulut, namun keseriusan tampak jelas di matanya.
“Jangan harap!!” amuk sang penjaga jahat sambil menarik pelatuk senjatanya dengan tangan gemetar. Sebutir peluru dimuntahkan dari moncongnya, arahnya melenceng dan Lil tidak perlu bergerak banyak untuk menghindarinya.
Lil segera mengerti bahwa lawannya tidak terbiasa dengan senjata api itu.
Lil mendengus, “Payah sekali. Kemampuan menembakmu bahkan jauh di bawah Beruang Tua di sana,” lantas menjulurkan lidah dan mengacungkan jari tengahnya tinggi-tinggi, “kau pasti kalah dariku, Bajingan.”
Lantas menjejakkan kakinya kuat-kuat di lantai dan melontarkan tubuhnya ke samping, bersembunyi di balik perapian dingin yang tak pernah dipakai sepanjang musim panas itu. Dari sana, dia menembakkan kelerengnya cepat-cepat ketika lawannya mulai panik menembak membabi-buta.
Satu kelerengnya mengenai tangan, senjata sang musuh terlontar jauh. Satu kelereng lagi dibidiknya ke mata musuh.
“Maaf, tapi apa boleh buat, ini terpaksa. Hanya sebelah saja kok.”
Pria ceking itu menjerit-jerit sambil menggeliat kesakitan, tangannya memegangi sebelah matanya yang mengucurkan darah. Tak lama kemudian, pria itu tumbang dan tak sadarkan diri.
Melihat keadaannya sudah aman, Lil perlahan-lahan mendekati sang sandera. “Tidak apa, aku akan menolongmu,” jelasnya sambil membuka ikatan sang wanita, “tapi kuharap kau tidak akan membuat kami repot saat keluar nanti.” Lil mengakhiri ucapannya dengan seringai mengancam yang membuat bulu kuduk sang wanita merinding.
Tak lama kemudian, Lil mendengar suara partnernya, “Oi, Lil, di sana beres?”
“Semudah membalikkan telapak tangan.” Ia menyadari bunyi-bunyi letupan senjata sudah berhenti sama sekali, lantas menarik kasar lengan sang wanita hingga keluar kamar. “Aku justru lebih mencemaskanmu. Bisa-bisanya kau berlari mendekati musuh. Apa selain sudah tua, kau juga sudah tidak waras?”
Dan ketika sudah berdiri di lorong, Lil spontan memandang ke koridor seberang dan mencari-cari sang partner.
Di sanalah Bernard berada: duduk di atas daun pintu yang dibawa-bawanya tadi, sementara di bawah daun pintu itu seorang pria asing berambut merah tertindih.
Lil mengernyit, “Uh... kuharap tulang-tulangnya masih utuh. Atau lebih tepatnya... kuharap dia masih hidup.”
Perlahan-lahan Bernard bangkit, lantas mengusap sepatu kulitnya yang sedikit berdebu, “Kautahu aku tidak suka mencabut nyawa orang. Dia masih hidup. Aku bahkan yakin nyawanya tidak terancam.”
Lil menaikkan alis, “Yah, semoga saja. Aku sih tidak yakin, Bern.”
Bernard mencabut pesawat telepon di sisi lorong sambil lalu dan melemparkannya ke arah sang wanita. “Tolong telepon rumah sakit, Nona Cantik,” ujarnya sambil mengerling genit. Yang justru dibalas Lil dengan ekspresi berpura-pura muntah.
Pria beruang itu lantas merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya sendiri, memencet beberapa nomor dan menunggu respons di seberang.
Sang wanita tampak kebingungan. Selama beberapa detik dia hanya mematung tak berguna sampai akhirnya Lil menyadarkannya dengan kata-katanya yang tak pernah dipilah.
“Kau tidak dengar apa katanya, hah? Telepon rumah sakit. Sekarang. Kecuali kalau kau lebih suka mempertanggungjawabkan semua ini.”
Sambil mengantongi kembali ponselnya, Bernard berkata pada Lil, “Sebentar lagi Paman Philip-mu kemari, Lil.”
Mendengar nama itu disebut, serta-merta mata Lil melotot marah. “Satu!” mulainya dengan suara keras, hampir-hampir berteriak, “dia bukan pamanku!”
“Dua!” lanjut sang bocah sembari mengacungkan telunjuk dan ibu jarinya tinggi-tinggi—perempuan sang target gemetar dan menutup telinganya sementara Bernard hanya mengangkat bahu, menunjukkan bahwa dia tidak peduli—, “aku membencinya!!! Sangaaaaat membencinya, dan kautahu itu, Bern!”
Lalu si bocah menambahkan satu jari lagi, “Tiga!” sergahnya dengan volume suara yang masih sama tingginya.
“Aku!” Dia menjejakkan kakinya keras-keras, maju satu langkah ke arah Bernard. “Juga!”—langkah kedua—“Sangat!”—langkah ketiga, kini dirinya hanya terpisah beberapa inci dari Bernard—
“Membencimu!!!!!”
Tandasnya keras sambil menusukkan jari telunjuknya dalam-dalam ke perut sang beruang, berusaha menunjukkan seberapa kuat kekesalannya pada sang pria raksasa akibat perkatannya barusan—tapi, sayangnya, telunjuknya yang mungil itu hanya bagaikan gigitan nyamuk bagi otot-otot Bernard.
Bernard sempat terpaku, sejenak.
Sang nona juga berhenti menelepon.
Lantas sang beruang tergelak keras. Suaranya yang membahana membuat bangunan dua tingkat itu bergetar samar. Di tengah gelaknya, dia mengacak-acak rambut partner mungilnya—lebih karena refleks dibandingkan disengaja. Dan kelakuannya itu kontan membuat wajah Lil merah padam karena merasa dipermalukan.
“Jangan tertawa!” tukasnya sambil menonjok keras perut sang beruang; usaha yang tidak berarti. Namun sang beruang justru tergelak makin keras seolah-olah dia tengah menonton pertunjukan komedi terkocak di dunia.
“Kubilang, jangan tertawaaaaaa!!!” namun Lil keras kepala, meski tahu usahanya memukul Bernard sia-sia, dia tetap terus memukul sekuat tenaganya mampu, berkali-kali.
Setelah Lil berhenti memukul karena letih dan kepalan tangannya mulai terasa sakit, Bernard menyeringai, “Nyerah?” lantas menyentil sepelan mungkin dahi Lil yang sukses membuat bocah itu terdorong mundur beberapa langkah sembari meringis kesakitan.
Mengabaikan teriakan amarah Lil, Bernard berjalan ke pintu utama di lantai bawah setelah mendengar bunyi alarm mobil polisi dan decitan ban-ban di luar. Tampaknya kawan lamanya, Philip, sudah tiba bersama rombongan polisinya yang berisik.
“Brengsek kau, Bernard!!!” Itulah yang pertama terlontar dari mulut sang inspektur muda ketika wajah Bernard muncul di ambang pintu yang telah dijebol, tangan si Beruang bersidekap dan sosoknya bersandar malas ke sisi pintu, seringai jahil mewarnai wajahnya.
Inspektur Philip adalah seorang perwira bertubuh pendek dan cenderung kurus, penampilan yang secara keseluruhan mengesankan bahwa dia berperawakan kecil. Usianya terpaut hanya beberapa tahun lebih muda dari Bernard. Rambutnya sangat pirang dan mencolok, berbeda dengan Bernard yang cokelat keabu-abuan seperti bulu tikus. Tangannya berkacak pinggang, raut wajahnya penuh kejengkelan dengan kerut-kerut halus di antara kedua alisnya dan bibir yang menekuk tajam ke bawah.
“Hai, Philip, rindu padaku?” canda Bernard—cenderung lebih kepada mencemooh.
Serta-merta sang inspektur menarik keluar senjata apinya dari pinggangnya. “Minggir, Sialan! Jangan berani-beraninya kau membuatku lebih jengkel dari ini!!!” Beberapa anggota kompi terdepan yang berada tepat di belakangnya segera meniru tindakan sang pimpinan dengan mengacungkan pistolnya masing-masing ke arah Bernard.
Cengar-cengir tanpa rasa bersalah, Bernard mengangkat kedua telapak tangannya dan menyingkir dari jalan. “Silakan, maaf rumahnya berantakan,” lirih Bernard, sengaja memicu amarah sang inspektur yang sangat berhasil: Philip mendelik kesal padanya.
“Berpencar!” komando Philip pada seluruh anak buahnya yang segera berlarian ke tiap penjuru rumah yang sudah setengah hancur itu. “Tangkap semua pelaku yang ada di rumah ini! Jangan biarkan seorang pun lolos!!!”
“Heh, padahal tidak perlu terburu-buru pun tidak masalah, toh semuanya sudah kami buat tidur—dengan paksa,” lirih Bernard dengan nada merendahkan.
Inspektur itu mengabaikannya dan berjalan dengan langkah tegap dan tergesa-gesa menuju tangga, mengarahkan kakinya kepada sesosok wanita yang telah dilihatnya sejak pertama memasuki rumah itu. Wanita itu adalah orang yang semestinya dijaga dan dilindunginya beberapa minggu lalu, namun dia gagal dengan sangat memalukan. Apalagi yang menolong wanita itu justru Bernard—orang yang benar-benar dibencinya.
“Maafkan saya, Nona Lily. Saya... seharusnya saya tidak melonggarkan penjagaan terhadap calon menantu Perdana Menteri seperti Anda.”
Setelah kedatangan pihak kepolisian, sang nona tampak jauh lebih lega ketimbang sewaktu hanya bersama Lil dan Bernard. Selain karena merasa lebih tenang dengan hadirnya Inspektur Philip yang telah dikenalnya, Lily akhirnya bisa merasa bahwa dirinya benar-benar telah terselamatkan.
Lily menggeleng, “Tidak. Aku tidak apa-apa, dan itulah yang terpenting, Inspektur,” jelasnya dengan sikap anggun khas putri bangsawannya yang telah kembali setelah sempat lenyap ditelan ketakutan dan teror.
“Sekarang, bawalah aku pulang secepatnya ke tempat tunanganku berada. Aku... aku rasa itulah yang terbaik agar tidak terjadi keributan yang lebih dari ini. Aku tidak ingin negara ini menjadi kacau hanya karena aku,” imbuhnya mengiba. Bulir-bulir air tampak menggenang di pelupuk matanya. Lalu sekonyong-konyong wanita itu jatuh terduduk. Tenaga yang telah dipertahankannya sekuat mungkin sedari tadi kini lenyap seketika. Rasanya untuk berdiri saja dia tidak sanggup lagi.
“Waduh, waduuuuh...” ujar Lil, berusaha tampak prihatin namun jelas-jelas gagal. “Hei, Pak Inspektur! Gendong nona itu, dong! Itu tugasmu, bukan?” tandasnya sambil menunjuk-nunjuk Philip dengan tidak sopan, cara yang biasa digunakannya saat ingin mengejek sang inspektur.
Philip berdecak kesal, “Itu bukan tugas polisi, asal kautahu! Tapi... sudahlah, dasar bocah tidak tahu sopan santun!” lantas dengan enggan mengangkat bahu Lily ke pundaknya... namun batal. Bernard sudah dengan cekatan mengangkat tubuh Lily lebih dulu dan menggendongnya di depan tubuhnya ala tuan putri.
“Payah kau, Philip. Begini cara yang benar memperlakukan seorang putri!” lantas tergelak lagi. Sikapnya seolah-olah dia baru saja memenangkan pertarungan hidup-mati melawan Philip. “Sungguh, padahal sudah berpuluh-puluh tahun kita saling kenal, tapi kau tidak juga berubah, Philip—tetap kaku memperlakukan wanita.”
Philip hanya mendesis, “Ck!”, tidak mampu membalas kata-kata kurang ajar dari rekan lamanya.
“Makanya kau tidak pernah populer dengan wanita. Haaaah... wajah tampanmu itu jadi sia-sia, tahu! Meski, well, aku memang jauh lebih tampan,” lanjut Bernard, mengeluh seolah-olah dirinya peduli. “Atau kalau kau perlu objek untuk latihan, bawa saja bocah tengik di sana untuk jadi partner wanitamu!” disusul gelak tawa lantang khasnya.
“Heeeeeeh!!????” kini gantian Lil yang bersuara. “Aku tidak sudi! Aku benci dia, Bernard!!!”
“Dan aku juga benci kau, Bocah Sial!!” balas Philip tak mau kalah—jelas-jelas berusaha menyembunyikan wajahnya yang merah padam karena merasa dipermalukan. “Dan aku tidak perlu nasihat maupun latihan apa pun!” tukasnya lantas berjalan ke arah lorong tempat sosok pria ceking bermata cembung yang ditumbangkan Lil berada.
“Berakrab-akrab rialah bersama Paman Philip, Lil!” gelak Bernard terdengar dari arah bawah. “Sementara aku akan mengakrabkan diri bersama nona ini!”
“Beruang sialan itu dan bocah peliharaannya sama saja! Selalu membuatku naik pitam!” balas Philip di sela-sela langkahnya yang mengentak. “Cepat selesaikan penangkapan seluruh pelaku! Aku ingin cepat-cepat berpisah dari tempat ini dan kedua bajingan itu!” tambahnya dengan suara keras, mengomandoi anak buahnya.
Lil berlari sambil melompati para polisi yang berseliweran di sekitarnya, untuk mengejar Beruang Tua yang tengah merayu sang wanita menuju mobil polisi terdekat. Mulutnya mengerucut. Lil tahu Bernard paling hobi merayu wanita dan tidak jarang pula dia melihatnya membawa wanita ke apartemen mereka—wanita yang selalu berbeda tiap kalinya.
“Dasar beruang tua mesum!” makinya seraya melepas sebutir kelereng berukuran jumbo dari ketapel modifikasinya, yang sukses membuat Bernard yang baru selesai menurunkan sang putri ke jok belakang mobil itu mengumpat.
Sambil menggosok punggungnya yang kini sedikit memerah berkat kelereng jumbo Lil, Bernard mengacungkan ibu jarinya ke arah partnernya dan meringis, “Lumayan.”
Lil berkacak pinggang. “Rasakan itu! Jangan pernah meremehkan anak kecil, Pak Tua!!” lantas berbalik arah dan mulai menjauh dengan angkuh, “aku pulang duluan.”
Bernard kontan terkejut dan membalasnya, “Pulang? Bukannya sebelum ini kau merengek-rengek minta ditraktir es krim dan hotdog di Taman Berley di dekat persimpangan sana begitu tugas ini selesai?”
Tanpa menghentikan langkahnya, Lil hanya menjawab, “Ingat sekarang jam berapa, Bern, tidak ada tukang es krim maupun hotdog di belahan dunia mana pun tengah malam buta begini,” lalu bocah berisik itu pun mendadak hening.
Setelah mengucapkan selamat tinggal pada sang wanita dan mengecup jemari lentiknya hanya sebagai formalitas, Bernard segera menyusul partnernya—dengan hanya beberapa langkah besar—lantas tanpa peringatan sekonyong-konyong mengalungkan lengan besarnya di pinggang Lil dan mengangkatnya seperti dia mengangkat Lily sebelumnya.
Untuk kemudian menggendongnya ala tuan putri.
“Tung—HEI!!”
Melihat partner kecilnya panik dan berusaha memberontak dalam gendongannya, Bernard tergelak keras-keras. “Repot memang punya bocah yang cepat ngambek sepertimu! Jangan cemburu gitu dong, kau tetap yang terutama bagiku, Lil,” ditambah kerlingan mata centil, “asalkan nanti kau tumbuh jadi wanita cantik bertubuh seksi,” imbuhnya dengan gerakan tangan yang berkelok menggambarkan lekuk tubuh wanita di udara kosong.
Yang segera disusul tamparan dan tonjokan dan cubitan dan tendangan dan sikutan dan gigitan kecil dari monyet kecilnya.
Namun tak satu pun dari serangan kecil itu yang mampu menghentikan gelak puas sang Beruang. Dia tahu Lil-nya hanya sedang merajuk dan tidak betul-betul marah—lantaran bocah itu tidak mengeluarkan ketapel maupun peledaknya atau senjatanya yang lain.
Serta-merta Lil mengacungkan telunjuknya ke depan mata sang beruang. “Berani-beraninya kau memperlakukanku seperti cewek, Paman Tua! Sebagai hukuman, traktiran es krimnya kuminta tiga scoop dan hotdog-nya yang spesial dengan double cheese dan banyaaaaaak mayones!!!”
“Hehe... kuharap perut kecilmu itu tidak sakit setelahnya, Lil. Porsinya terlalu besar, kukira.”
“Enggak peduli.”
“Kau bisa terjangkit kolesterol nanti. Kau harus diet.”
“Akan kupertimbangkan kalau usiaku sudah setua dirimu, Beruang Sial.”
“Aku bukan ‘Beruang Sial’, My Cute Little Lil.”
“Hentikan panggilan menjijikkan itu, Tua Bangka, bulu kudukku sampai merinding mendengarnya.”
“Bisakah kau berhenti memanggilku—sudahlah. Kita baru menyelesaikan misi, aku letih, kau letih. Kita gencatan senjata saja kali ini. Setuju?”
Menguap, Lil mengacungkan ibu jarinya tinggi-tinggi, “Hwetuju, Hwern.” Lalu, samar-samar seolah diucapkan dalam tidur, bocah itu bergumam, “Sorry soal luka tanganmu, Bern,” yang membuat Bernard tidak tahan untuk mengusap pelan rambut kusam bocah itu.
Dalam beberapa langkah Bernard, Lil sudah tertidur lelap, menggelung nyaman dalam balutan lengan raksasa partnernya yang hangat.
“Selamat tidur, Lil.”
Sosok mereka seolah melebur dengan malam, meninggalkan kericuhan yang berasal dari rumah hancur lebur yang dipenuhi polisi tak jauh di belakang mereka. Hanya bunyi gemerincing kecil dari peralatan logam di saku Lil yang menemani langkah sunyi Bernard.
Gie15.08.2015
Duniamimpigie
“Kau yakin ini tempatnya, Lil?”
Pria dengan ukuran tubuh yang membuatnya berkesan mirip beruang itu bertanya, sekedar memastikan.
Yang ditanya kontan melancarkan tendangan ke betis si beruang―dengan tingginya itu, hanya sebatas itu yang mampu kakinya capai. “Sudah dari tadi kubilang, bukan! Otakmu tuh otak ikan, ya? Atau udang? Bernard, kau tolol banget sih,” suara nyaring anak kecil menyusul.
Tidak sakit, bahkan tidak berasa apa-apa; tendangan itu terlalu ringan dan kecil untuk si beruang.
“Hei, kalau selalu ngomong kasar begitu, kau tidak akan tumbuh tinggi, Lil. Dan panggilanmu akan terus ‘Lil’ meski kau sudah tua nanti,” kekehnya yang berlanjut menjadi derai tawa singkat. Jemarinya yang raksasa itu mengacak-acak topi pet yang menutupi rambut pirang kusam anak kecil di sampingnya―saking jauhnya perbedaan tinggi mereka, hanya ujung jemari sang beruang yang bisa menyentuh si bocah.
“Jadi, siapa yang akan membuka pintu ini? Aku? Atau kau?” balas si bocah sambil menepis jemari si beruang dari kepalanya dan membetulkan posisi topi petnya. Dari saku kanan jaketnya lantas ia mengeluarkan serenceng benda logam: beragam ukuran peniti, kawat besi, jepit rambut, sampai kunci kecil. “Aku yakin punya yang untuk jenis pintu ini,” imbuhnya sambil memilah-milah, lidahnya menyisiri bagian dalam deretan gigi atasnya bolak-balik—kebiasaannya saat berkonsentrasi.
“Tergantung mau dilakukan secara heboh atau tidak, Lil,” balas si beruang untuk pertanyaan si bocah. “Aku sih suka yang heboh,” lanjutnya, ada kesan geli dalam suaranya.
“Dan aku tidak,” pungkas si bocah sambil mulai memasukkan sebuah peniti berukuran sedang ke lubang kunci di pintu di hadapan mereka.
Si beruang yang dipanggil Bernard hanya angkat bahu. “Kalau aku yang kerjakan, hanya butuh satu detik untuk membuka pintu ini―bahkan mungkin tidak sampai. Kalau kau...” dia menimbang sejenak, “kali ini mungkin lima menit?”
“Tiga.”
“Baik, baik. Lima,” disusul dengus tawa mengejek saat si bocah memelototinya jengkel. “Orang bebas berpendapat, Lil,” ujarnya membela diri, yang sayangnya, membuat bocah emosian itu akhirnya meledak.
“Bisa diam, enggak sih!!!” jengkelnya, spontan merogoh sakunya dan menarik keluar sebuah petasan kecil racikan tangan, menggesek sumbunya di punggung tangan kirinya―tempat selembar logam tipis terikat, dan melemparkannya pada partnernya.
“Ups!” ujar si beruang yang lebih karena refleks, menepis peledak kecil itu ke samping dengan tangan kosong. Petasan itu berdentum saat mengenai dinding sisi rumah yang akan mereka susupi malam itu.
Bagai tentara dibangunkan dengan bel pagi dan teriakan komandannya, para penghuni di rumah dua lantai yang terpisah dari pemukiman warga lainnya itu serta-merta ricuh.
Setelah meniup-niup telapak tangannya yang perih karena baru dipakai untuk menepis petasan, si pria beruang berkata, “Bukan salahku,” lantas mengangkat kedua tangannya seolah dengan begitu ia akan terbukti tak bersalah.
Si bocah berdecak, menarik kembali penitinya dari lubang pintu dan memekik kesal diselimuti frustrasi, “Sudahlah, dobrak saja!!” yang sekejap kemudian sang partner telah menggendongnya di satu tangan, lantas menendang terbuka pintu itu dengan satu kaki.
“Tuh, kan! Apa kubilang!” tawa bergemuruh dari Bernard, rambut cokelat gelapnya yang pendek berkelebat saat mereka berlari menerobos lorong di dalam. “Cara heboh lebih cocok dengan kita!”
Sekonyong-konyong terdengar bunyi senapan.
“Atas!” Lil menunjuk. Beberapa pria berderap di susuran tangga yang menuju lantai dua. Salah satu dari mereka memegang senapan yang masih berasap, bau mesiu segera menyeruak ke hidung bocah itu.
“Oh, akhirnya ada yang menyambut!” Sang beruang menendang meja kayu besar terdekat hingga pecah berkeping-keping. Dia mengambil bagian terbesar dan berlindung di baliknya seperti perisai.
Ia lantas menjejak keras-keras dari bawah tangga, melompati beberapa penyerang sambil menendang beberapa dan menyikut beberapa yang lain. “Aku pasti akan sedih kalau tak ada penyambutan.”
Lil merogoh sakunya cekatan, mengeluarkan ketapel modifikasinya. Batang utama yang menjadi poros di tengah dibuat rongga dan diisikan kelereng-kelereng. Dan di ujung bawah rongga itu, terdapat semacam katup yang akan terbuka cukup dengan didorong jari; tempat keluarnya kelereng. Ketapel modifikasi itu ditambah kecekatan tangannya membuat Lil mampu melempar kelereng-kelerengnya dengan cepat.
“Angkat dan lepaskan aku!” ujarnya, lebih menyerupai perintah, setelah melepaskan satu kelerengnya yang telak kena tangan penembak tadi hingga senapannya terlempar dan jatuh ke lantai bawah.
Bernard mengerti. Ditinggikannya Lil sampai bahu dan dilepaskannya pegangannya. “Jangan sampai tertembak, lho,” lalu teringat satu hal lagi, “jangan sampai jatuh juga seperti yang terakhir kali itu.”
Lil merayap naik dengan gerakan persis seperti monyet ke atas pundak pria kekar itu, lantas duduk di atasnya dan menopangkan satu sikunya di atas kepala si beruang sebagai penyeimbang. “Bilang begitu saat kau sudah berani menembak tepat di jantung orang, Pak Polisi.”
“Mantan,” ralat sang beruang, dia merebut satu senapan angin dari musuh yang sudah ambruk di belakangnya lalu melompati lima anak tangga sekaligus. “Sekarang aku sudah tidak termasuk mereka lagi, jadi istilahnya mantan, Bocah Tengik,” mengokang senapannya secepat kilat dan menembakkannya ke bahu satu-satunya musuh yang tersisa di lantai dua―sebisa mungkin tidak ingin mengakibatkan luka fatal―tepat saat kelereng Lil berhasil menjatuhkan musuh yang masih setengah sadar meski telah disikut Bernard di belakang tadi.
“Fiuh!” Bernard menghela napas sambil menginjak senapan tadi hingga hancur lantas menepuk-nepuk kedua telapak tangannya, matanya memeriksa sekilas dan yakin bahwa semua musuh sudah tak sadarkan diri. “Beres! Yang seperti ini bukan apa-apa buat aku yang hebat ini! Tak ada korban jiwa, itu yang penting!” bangganya sambil mengelus dagunya yang berjambang tipis.
“Yeah. Paling ada satu-dua yang gegar otak gara-gara disikut beruang idiot.”
“Atau karena kena lemparan kelereng bocah berandal bermulut kasar―duh!” jerit Bernard, mengelus bekas gigitan baru di pundaknya sementara sang pelaku sudah melompat turun dengan mulus seperti kucing ke lantai.
Lil menarik ujung kemeja partnernya saat pria itu melangkah ke arah yang berbeda. “Bukan di sana. Kemari, Bernard.”
Pria itu balas menatapnya, alisnya bertaut. “Aku yakin ke arah sini. Aku sudah membaca petanya, Lil.”
Lil mengangkat satu alis, tampangnya bosan. “Justru karena kau sudah membaca petanya, Bernard, makanya kita harus ke arah sebaliknya,” pungkasnya sembari berlari kecil, sama sekali tak mendengar protes pria dewasa di belakangnya. “Kau selalu salah mengingat arah, Bernard, dan kau selalu yakin kau benar padahal tidak. Aku masih tidak percaya kau pernah jadi detektif polisi. Partnermu pasti kerepotan mengurusmu,” dengusnya.
Lil tidak menyadari, ketika dia menyebut kata partner, langkah Bernard melambat sejenak―benar-benar sejenak―sebelum akhirnya berderap menyusul bocah kecil di depannya, “Nah, anak kecil tidak boleh jalan-jalan sendirian,” tambahnya sambil sekonyong-konyong menggendong Lil dengan mengempitnya di bawah ketiak.
“Uwoi! Aku enggak suka―”
Namun protes Lil tak pernah berlanjut karena sebutir peluru berdesing tak jauh dari wajahnya, panasnya bahkan membakar sedikit ujung rambut Lil. Dia melihat rekannya refleks melemparkan pisau ke arah penembak di lorong di seberang. Setelahnya, segalanya terasa berputar-putar dengan sangat cepat―ternyata karena mereka berguling―untuk berlindung di balik pintu kamar terdekat.
“Oi, Pak Tua, kau tidak apa-apa?” cemas Lil, dia yakin sempat mencium aroma yang mirip besi―darah.
Yang dibalas dengusan, “Hah! Jujur, masih lebih mengerikan luka gigitan darimu!” Punggung tangan Bernard meneteskan darah, untungnya hanya luka gores dangkal. “Sial, usia tua ini membuat refleksku buruk! Masih ada dua orang di seberang sana, Lil. Dan salah satunya penembak jitu―mereka takkan keluar dari sarangnya jika peluru mereka belum membuat lubang di tubuh kita,” jelasnya sambil merobek lengan kemejanya dan membebatkan kainnya di lukanya.
Lil tahu Bernard terluka karena pria beruang itu melindungi dirinya. Jika saja tadi dia tidak sedang dalam gendongan Bernard, peluru itu mungkin sudah bersarang di batok kepalanya.
Lil melirik pria berjanggut yang kini tengah sibuk menyiapkan revolver-nya yang sebelumnya disembunyikan di balik kemeja luarnya. Dari jarak sedekat itu, bocah itu bisa melihat dengan jelas bekas luka gores besar yang melintang dari alis kanan hingga hampir ke telinga si beruang―luka mencolok yang selalu berhasil menarik perhatian Lil, seolah ada yang istimewa dari luka itu, seolah luka itu ada memang untuk dipamerkan.
“Bernard, maafkan aku,” ujarnya dengan suara lirih, mirip bisikan. Seandainya telinga Bernard tidak terlatih mendengarkan suara-suara lirih selama dia jadi polisi detektif, pria itu mungkin melewatkan ucapan itu.
Tangan Lil yang mungil perlahan meraih lengan berotot pria yang tadi melindunginya dan menggenggamnya erat. Perasaan bersalahnya sekaligus ketakutan akan banyak hal tersampaikan pada Bernard melalui jemari itu.
Tersenyum, Bernard melepas topi pet Lil lalu mengacak-acak rambutnya keras, “Kalau setelah dewasa nanti kau punya dada besar dan montok, aku pasti akan memaafkanmu, Lil!”
Lil cemberut, bibirnya mengerucut ketika dia memprotes, “Aku cowok. Enggak mungkin punya dada montok!” lantas sekonyong-konyong bangkit dan berdiri tegap sambil membusungkan dadanya, seolah-olah dengan melakukan itu ia bisa meyakinkan semua orang di dunia bahwa dirinya pantas dipandang sebagai seorang pria tulen.
Bernard hanya tertawa singkat, tidak ada kesan mencandai ataupun mengejek. “Daripada itu, Lil, kau yakin target kita ada di lorong sebelah sini? Bukan di seberang?”
Lil kontan menantap sang beruang, lantas mengangguk mantap. “Ingatanku setajam pisau, Pak Tua. Aku langsung ingat denah rumah ini cukup dengan melihat petanya sekali-dua kali,” yakinnya sambil mengetuk-ngetuk sisi kepalanya dengan telunjuknya.
Bernard membalasnya dengan mendengus, “Baiklah, Bocah Sok Tahu. Aku percaya padamu. Dan bisakah kita bekerja sama dengan baik kali ini? Kukira lebih tepat jika kita bergerak terpisah namun tetap terkomando.” Lantas mengulurkan tangannya yang terkepal ke arah Lil.
“Kau pegang janjiku, Bernard,” sumpah Lil sambil menubrukkan kepalan kecilnya ke kepalan Bernard penuh semangat. “Aku selalu di pihakmu. Ini janji antarlelaki.”
Bernard membalas cengiran Lil. Lantas dengan terburu-buru mengeluarkan kotak kecil berisi lensa kontak. Lil memperhatikan, ternyata rekannya tidak main-main kali ini. Tentu saja, lawan mereka kali ini ada penembak jitu, tidak aneh.
“Kurasa masih ada satu penjaga di sisi target, Lil, suasana ini terlalu sunyi jika lebih dari itu. Dan kuyakin dia bersenjata. Kau serius tidak apa menerobos sendirian?” cemas Bernard.
Lil sudah bersiap di posisinya, di ambang pintu di seberang Bernard. “Tak masalah. Akan kubebaskan Sang Putri.”
“Bagus. Aba-aba dariku,” komando Bernard, kini telah menempel rapat pada dinding di samping pintu. “Go!” pekiknya sambil menarik daun pintu hingga terlepas dari engselnya dan memosisikannya sebagai perisai di depan tubuhnya lantas menerjang keluar.
Sekonyong-konyong letupan senjata api terdengar membahana, susul-menyusul dari koridor seberang. Sayang, sebagian besar pelurunya hanya bersarang dengan percuma di kayu tebal berkualitas tinggi yang sebelumnya berupa daun pintu dalam genggaman Bernard.
Lil menyusul, dengan gesit dia melompat ke arah sebaliknya dan melesat dengan kecepatan yang mirip hewan liar, bersembunyi di celah-celah tiap kali peluru berdesing. Dia memang tak seperti Bernard, yang bisa menghancurkan pintu dengan sekali tendang, maka dari itu dia terpaksa membuka pintu-pintu untuknya bersembunyi dengan cara orang biasa―memutar kenop. Kekhawatirannya hanya satu, dan itu begitu fatal: bagaimana jika pintu-pintu itu terkunci?
Mustahil Lil menghabiskan waktu dengan mencoba membongkar kunci tiap-tiap pintu. Bisa-bisa Bernard yang kini melindunginya dari peluru di koridor seberang makin kesulitan. Belum lagi jika penjaga targetnya muncul dan mulai menembakinya juga.
Mendadak terdengar suara berdentum dari arah punggungnya. Spontan Lil menoleh: Bernard tengah berderap lari menuju penyerangnya.
“Oh, tidak! Dia mulai nekat! Memangnya dia sebegitu percayanya punggungnya akan aman dari serangan!?” gerutu Lil, kaget sekaligus jengkel. Tapi, memang begitulah Bernard yang dikenalnya. Dan karena itu pulalah, pria itu harus beraksi bersama seseorang, setidaknya untuk melindunginya dari belakang.
Dan itulah tugas Lil sekarang.
Dan Lil mengerti.
Tanpa ragu, Lil merogoh saku dan mengeluarkan beberapa peledak racikan buatannya. Tiga selongsong dikepitnya di antara jemari tangan kanan dan digeseknya sumbunya di selembar logam yang terikat di punggung tangan kirinya.
Satu untuk pintu di sisi kiri, satu untuk pintu di sisi kanan, dan yang terakhir untuk pintu di ujung lorong.
Bunyi ledakan berturut-turut, asap yang mengepul, dan bau mesiu menyeruak seketika di koridor tempatnya berada. Di antara seluruh kekacauan itu, Lil samar-samar mendengar jeritan wanita.
Sang target.
Kaki-kaki kecil Lil berderap menuju pintu di sebelah kanan, yang sebagiannya telah hancur terbakar berkat peledak yang dilemparkannya tadi. Dengan mudah dia menerobos masuk. Ia berhadapan dengan seorang pria ceking bermata cembung tengah membidikkan bedil yang sepertinya telah berumur tua ke arahnya. Tak jauh dari pria itu, seorang wanita bergaun malam tengah terikat di sebuah kursi kayu, matanya yang basah dengan air mata tampak memandang liar penuh ketakutan.
“Hah! Bocah kecil??” cemooh sang pria ceking.
Lil mengabaikannya, namun satu tangannya yang cekatan tetap bersiaga di dekat saku sementara satu tangannya yang lain telah menggenggam erat ketapelnya.
“Kami datang untuk menolongmu, Tuan Putri, dan mengembalikanmu ke tunanganmu,” imbuh Lil, datar. Tak ada kesan dia bermanis mulut, namun keseriusan tampak jelas di matanya.
“Jangan harap!!” amuk sang penjaga jahat sambil menarik pelatuk senjatanya dengan tangan gemetar. Sebutir peluru dimuntahkan dari moncongnya, arahnya melenceng dan Lil tidak perlu bergerak banyak untuk menghindarinya.
Lil segera mengerti bahwa lawannya tidak terbiasa dengan senjata api itu.
Lil mendengus, “Payah sekali. Kemampuan menembakmu bahkan jauh di bawah Beruang Tua di sana,” lantas menjulurkan lidah dan mengacungkan jari tengahnya tinggi-tinggi, “kau pasti kalah dariku, Bajingan.”
Lantas menjejakkan kakinya kuat-kuat di lantai dan melontarkan tubuhnya ke samping, bersembunyi di balik perapian dingin yang tak pernah dipakai sepanjang musim panas itu. Dari sana, dia menembakkan kelerengnya cepat-cepat ketika lawannya mulai panik menembak membabi-buta.
Satu kelerengnya mengenai tangan, senjata sang musuh terlontar jauh. Satu kelereng lagi dibidiknya ke mata musuh.
“Maaf, tapi apa boleh buat, ini terpaksa. Hanya sebelah saja kok.”
Pria ceking itu menjerit-jerit sambil menggeliat kesakitan, tangannya memegangi sebelah matanya yang mengucurkan darah. Tak lama kemudian, pria itu tumbang dan tak sadarkan diri.
Melihat keadaannya sudah aman, Lil perlahan-lahan mendekati sang sandera. “Tidak apa, aku akan menolongmu,” jelasnya sambil membuka ikatan sang wanita, “tapi kuharap kau tidak akan membuat kami repot saat keluar nanti.” Lil mengakhiri ucapannya dengan seringai mengancam yang membuat bulu kuduk sang wanita merinding.
Tak lama kemudian, Lil mendengar suara partnernya, “Oi, Lil, di sana beres?”
“Semudah membalikkan telapak tangan.” Ia menyadari bunyi-bunyi letupan senjata sudah berhenti sama sekali, lantas menarik kasar lengan sang wanita hingga keluar kamar. “Aku justru lebih mencemaskanmu. Bisa-bisanya kau berlari mendekati musuh. Apa selain sudah tua, kau juga sudah tidak waras?”
Dan ketika sudah berdiri di lorong, Lil spontan memandang ke koridor seberang dan mencari-cari sang partner.
Di sanalah Bernard berada: duduk di atas daun pintu yang dibawa-bawanya tadi, sementara di bawah daun pintu itu seorang pria asing berambut merah tertindih.
Lil mengernyit, “Uh... kuharap tulang-tulangnya masih utuh. Atau lebih tepatnya... kuharap dia masih hidup.”
Perlahan-lahan Bernard bangkit, lantas mengusap sepatu kulitnya yang sedikit berdebu, “Kautahu aku tidak suka mencabut nyawa orang. Dia masih hidup. Aku bahkan yakin nyawanya tidak terancam.”
Lil menaikkan alis, “Yah, semoga saja. Aku sih tidak yakin, Bern.”
Bernard mencabut pesawat telepon di sisi lorong sambil lalu dan melemparkannya ke arah sang wanita. “Tolong telepon rumah sakit, Nona Cantik,” ujarnya sambil mengerling genit. Yang justru dibalas Lil dengan ekspresi berpura-pura muntah.
Pria beruang itu lantas merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya sendiri, memencet beberapa nomor dan menunggu respons di seberang.
Sang wanita tampak kebingungan. Selama beberapa detik dia hanya mematung tak berguna sampai akhirnya Lil menyadarkannya dengan kata-katanya yang tak pernah dipilah.
“Kau tidak dengar apa katanya, hah? Telepon rumah sakit. Sekarang. Kecuali kalau kau lebih suka mempertanggungjawabkan semua ini.”
Sambil mengantongi kembali ponselnya, Bernard berkata pada Lil, “Sebentar lagi Paman Philip-mu kemari, Lil.”
Mendengar nama itu disebut, serta-merta mata Lil melotot marah. “Satu!” mulainya dengan suara keras, hampir-hampir berteriak, “dia bukan pamanku!”
“Dua!” lanjut sang bocah sembari mengacungkan telunjuk dan ibu jarinya tinggi-tinggi—perempuan sang target gemetar dan menutup telinganya sementara Bernard hanya mengangkat bahu, menunjukkan bahwa dia tidak peduli—, “aku membencinya!!! Sangaaaaat membencinya, dan kautahu itu, Bern!”
Lalu si bocah menambahkan satu jari lagi, “Tiga!” sergahnya dengan volume suara yang masih sama tingginya.
“Aku!” Dia menjejakkan kakinya keras-keras, maju satu langkah ke arah Bernard. “Juga!”—langkah kedua—“Sangat!”—langkah ketiga, kini dirinya hanya terpisah beberapa inci dari Bernard—
“Membencimu!!!!!”
Tandasnya keras sambil menusukkan jari telunjuknya dalam-dalam ke perut sang beruang, berusaha menunjukkan seberapa kuat kekesalannya pada sang pria raksasa akibat perkatannya barusan—tapi, sayangnya, telunjuknya yang mungil itu hanya bagaikan gigitan nyamuk bagi otot-otot Bernard.
Bernard sempat terpaku, sejenak.
Sang nona juga berhenti menelepon.
Lantas sang beruang tergelak keras. Suaranya yang membahana membuat bangunan dua tingkat itu bergetar samar. Di tengah gelaknya, dia mengacak-acak rambut partner mungilnya—lebih karena refleks dibandingkan disengaja. Dan kelakuannya itu kontan membuat wajah Lil merah padam karena merasa dipermalukan.
“Jangan tertawa!” tukasnya sambil menonjok keras perut sang beruang; usaha yang tidak berarti. Namun sang beruang justru tergelak makin keras seolah-olah dia tengah menonton pertunjukan komedi terkocak di dunia.
“Kubilang, jangan tertawaaaaaa!!!” namun Lil keras kepala, meski tahu usahanya memukul Bernard sia-sia, dia tetap terus memukul sekuat tenaganya mampu, berkali-kali.
Setelah Lil berhenti memukul karena letih dan kepalan tangannya mulai terasa sakit, Bernard menyeringai, “Nyerah?” lantas menyentil sepelan mungkin dahi Lil yang sukses membuat bocah itu terdorong mundur beberapa langkah sembari meringis kesakitan.
Mengabaikan teriakan amarah Lil, Bernard berjalan ke pintu utama di lantai bawah setelah mendengar bunyi alarm mobil polisi dan decitan ban-ban di luar. Tampaknya kawan lamanya, Philip, sudah tiba bersama rombongan polisinya yang berisik.
“Brengsek kau, Bernard!!!” Itulah yang pertama terlontar dari mulut sang inspektur muda ketika wajah Bernard muncul di ambang pintu yang telah dijebol, tangan si Beruang bersidekap dan sosoknya bersandar malas ke sisi pintu, seringai jahil mewarnai wajahnya.
Inspektur Philip adalah seorang perwira bertubuh pendek dan cenderung kurus, penampilan yang secara keseluruhan mengesankan bahwa dia berperawakan kecil. Usianya terpaut hanya beberapa tahun lebih muda dari Bernard. Rambutnya sangat pirang dan mencolok, berbeda dengan Bernard yang cokelat keabu-abuan seperti bulu tikus. Tangannya berkacak pinggang, raut wajahnya penuh kejengkelan dengan kerut-kerut halus di antara kedua alisnya dan bibir yang menekuk tajam ke bawah.
“Hai, Philip, rindu padaku?” canda Bernard—cenderung lebih kepada mencemooh.
Serta-merta sang inspektur menarik keluar senjata apinya dari pinggangnya. “Minggir, Sialan! Jangan berani-beraninya kau membuatku lebih jengkel dari ini!!!” Beberapa anggota kompi terdepan yang berada tepat di belakangnya segera meniru tindakan sang pimpinan dengan mengacungkan pistolnya masing-masing ke arah Bernard.
Cengar-cengir tanpa rasa bersalah, Bernard mengangkat kedua telapak tangannya dan menyingkir dari jalan. “Silakan, maaf rumahnya berantakan,” lirih Bernard, sengaja memicu amarah sang inspektur yang sangat berhasil: Philip mendelik kesal padanya.
“Berpencar!” komando Philip pada seluruh anak buahnya yang segera berlarian ke tiap penjuru rumah yang sudah setengah hancur itu. “Tangkap semua pelaku yang ada di rumah ini! Jangan biarkan seorang pun lolos!!!”
“Heh, padahal tidak perlu terburu-buru pun tidak masalah, toh semuanya sudah kami buat tidur—dengan paksa,” lirih Bernard dengan nada merendahkan.
Inspektur itu mengabaikannya dan berjalan dengan langkah tegap dan tergesa-gesa menuju tangga, mengarahkan kakinya kepada sesosok wanita yang telah dilihatnya sejak pertama memasuki rumah itu. Wanita itu adalah orang yang semestinya dijaga dan dilindunginya beberapa minggu lalu, namun dia gagal dengan sangat memalukan. Apalagi yang menolong wanita itu justru Bernard—orang yang benar-benar dibencinya.
“Maafkan saya, Nona Lily. Saya... seharusnya saya tidak melonggarkan penjagaan terhadap calon menantu Perdana Menteri seperti Anda.”
Setelah kedatangan pihak kepolisian, sang nona tampak jauh lebih lega ketimbang sewaktu hanya bersama Lil dan Bernard. Selain karena merasa lebih tenang dengan hadirnya Inspektur Philip yang telah dikenalnya, Lily akhirnya bisa merasa bahwa dirinya benar-benar telah terselamatkan.
Lily menggeleng, “Tidak. Aku tidak apa-apa, dan itulah yang terpenting, Inspektur,” jelasnya dengan sikap anggun khas putri bangsawannya yang telah kembali setelah sempat lenyap ditelan ketakutan dan teror.
“Sekarang, bawalah aku pulang secepatnya ke tempat tunanganku berada. Aku... aku rasa itulah yang terbaik agar tidak terjadi keributan yang lebih dari ini. Aku tidak ingin negara ini menjadi kacau hanya karena aku,” imbuhnya mengiba. Bulir-bulir air tampak menggenang di pelupuk matanya. Lalu sekonyong-konyong wanita itu jatuh terduduk. Tenaga yang telah dipertahankannya sekuat mungkin sedari tadi kini lenyap seketika. Rasanya untuk berdiri saja dia tidak sanggup lagi.
“Waduh, waduuuuh...” ujar Lil, berusaha tampak prihatin namun jelas-jelas gagal. “Hei, Pak Inspektur! Gendong nona itu, dong! Itu tugasmu, bukan?” tandasnya sambil menunjuk-nunjuk Philip dengan tidak sopan, cara yang biasa digunakannya saat ingin mengejek sang inspektur.
Philip berdecak kesal, “Itu bukan tugas polisi, asal kautahu! Tapi... sudahlah, dasar bocah tidak tahu sopan santun!” lantas dengan enggan mengangkat bahu Lily ke pundaknya... namun batal. Bernard sudah dengan cekatan mengangkat tubuh Lily lebih dulu dan menggendongnya di depan tubuhnya ala tuan putri.
“Payah kau, Philip. Begini cara yang benar memperlakukan seorang putri!” lantas tergelak lagi. Sikapnya seolah-olah dia baru saja memenangkan pertarungan hidup-mati melawan Philip. “Sungguh, padahal sudah berpuluh-puluh tahun kita saling kenal, tapi kau tidak juga berubah, Philip—tetap kaku memperlakukan wanita.”
Philip hanya mendesis, “Ck!”, tidak mampu membalas kata-kata kurang ajar dari rekan lamanya.
“Makanya kau tidak pernah populer dengan wanita. Haaaah... wajah tampanmu itu jadi sia-sia, tahu! Meski, well, aku memang jauh lebih tampan,” lanjut Bernard, mengeluh seolah-olah dirinya peduli. “Atau kalau kau perlu objek untuk latihan, bawa saja bocah tengik di sana untuk jadi partner wanitamu!” disusul gelak tawa lantang khasnya.
“Heeeeeeh!!????” kini gantian Lil yang bersuara. “Aku tidak sudi! Aku benci dia, Bernard!!!”
“Dan aku juga benci kau, Bocah Sial!!” balas Philip tak mau kalah—jelas-jelas berusaha menyembunyikan wajahnya yang merah padam karena merasa dipermalukan. “Dan aku tidak perlu nasihat maupun latihan apa pun!” tukasnya lantas berjalan ke arah lorong tempat sosok pria ceking bermata cembung yang ditumbangkan Lil berada.
“Berakrab-akrab rialah bersama Paman Philip, Lil!” gelak Bernard terdengar dari arah bawah. “Sementara aku akan mengakrabkan diri bersama nona ini!”
“Beruang sialan itu dan bocah peliharaannya sama saja! Selalu membuatku naik pitam!” balas Philip di sela-sela langkahnya yang mengentak. “Cepat selesaikan penangkapan seluruh pelaku! Aku ingin cepat-cepat berpisah dari tempat ini dan kedua bajingan itu!” tambahnya dengan suara keras, mengomandoi anak buahnya.
Lil berlari sambil melompati para polisi yang berseliweran di sekitarnya, untuk mengejar Beruang Tua yang tengah merayu sang wanita menuju mobil polisi terdekat. Mulutnya mengerucut. Lil tahu Bernard paling hobi merayu wanita dan tidak jarang pula dia melihatnya membawa wanita ke apartemen mereka—wanita yang selalu berbeda tiap kalinya.
“Dasar beruang tua mesum!” makinya seraya melepas sebutir kelereng berukuran jumbo dari ketapel modifikasinya, yang sukses membuat Bernard yang baru selesai menurunkan sang putri ke jok belakang mobil itu mengumpat.
Sambil menggosok punggungnya yang kini sedikit memerah berkat kelereng jumbo Lil, Bernard mengacungkan ibu jarinya ke arah partnernya dan meringis, “Lumayan.”
Lil berkacak pinggang. “Rasakan itu! Jangan pernah meremehkan anak kecil, Pak Tua!!” lantas berbalik arah dan mulai menjauh dengan angkuh, “aku pulang duluan.”
Bernard kontan terkejut dan membalasnya, “Pulang? Bukannya sebelum ini kau merengek-rengek minta ditraktir es krim dan hotdog di Taman Berley di dekat persimpangan sana begitu tugas ini selesai?”
Tanpa menghentikan langkahnya, Lil hanya menjawab, “Ingat sekarang jam berapa, Bern, tidak ada tukang es krim maupun hotdog di belahan dunia mana pun tengah malam buta begini,” lalu bocah berisik itu pun mendadak hening.
Setelah mengucapkan selamat tinggal pada sang wanita dan mengecup jemari lentiknya hanya sebagai formalitas, Bernard segera menyusul partnernya—dengan hanya beberapa langkah besar—lantas tanpa peringatan sekonyong-konyong mengalungkan lengan besarnya di pinggang Lil dan mengangkatnya seperti dia mengangkat Lily sebelumnya.
Untuk kemudian menggendongnya ala tuan putri.
“Tung—HEI!!”
Melihat partner kecilnya panik dan berusaha memberontak dalam gendongannya, Bernard tergelak keras-keras. “Repot memang punya bocah yang cepat ngambek sepertimu! Jangan cemburu gitu dong, kau tetap yang terutama bagiku, Lil,” ditambah kerlingan mata centil, “asalkan nanti kau tumbuh jadi wanita cantik bertubuh seksi,” imbuhnya dengan gerakan tangan yang berkelok menggambarkan lekuk tubuh wanita di udara kosong.
Yang segera disusul tamparan dan tonjokan dan cubitan dan tendangan dan sikutan dan gigitan kecil dari monyet kecilnya.
Namun tak satu pun dari serangan kecil itu yang mampu menghentikan gelak puas sang Beruang. Dia tahu Lil-nya hanya sedang merajuk dan tidak betul-betul marah—lantaran bocah itu tidak mengeluarkan ketapel maupun peledaknya atau senjatanya yang lain.
Serta-merta Lil mengacungkan telunjuknya ke depan mata sang beruang. “Berani-beraninya kau memperlakukanku seperti cewek, Paman Tua! Sebagai hukuman, traktiran es krimnya kuminta tiga scoop dan hotdog-nya yang spesial dengan double cheese dan banyaaaaaak mayones!!!”
“Hehe... kuharap perut kecilmu itu tidak sakit setelahnya, Lil. Porsinya terlalu besar, kukira.”
“Enggak peduli.”
“Kau bisa terjangkit kolesterol nanti. Kau harus diet.”
“Akan kupertimbangkan kalau usiaku sudah setua dirimu, Beruang Sial.”
“Aku bukan ‘Beruang Sial’, My Cute Little Lil.”
“Hentikan panggilan menjijikkan itu, Tua Bangka, bulu kudukku sampai merinding mendengarnya.”
“Bisakah kau berhenti memanggilku—sudahlah. Kita baru menyelesaikan misi, aku letih, kau letih. Kita gencatan senjata saja kali ini. Setuju?”
Menguap, Lil mengacungkan ibu jarinya tinggi-tinggi, “Hwetuju, Hwern.” Lalu, samar-samar seolah diucapkan dalam tidur, bocah itu bergumam, “Sorry soal luka tanganmu, Bern,” yang membuat Bernard tidak tahan untuk mengusap pelan rambut kusam bocah itu.
Dalam beberapa langkah Bernard, Lil sudah tertidur lelap, menggelung nyaman dalam balutan lengan raksasa partnernya yang hangat.
“Selamat tidur, Lil.”
Sosok mereka seolah melebur dengan malam, meninggalkan kericuhan yang berasal dari rumah hancur lebur yang dipenuhi polisi tak jauh di belakang mereka. Hanya bunyi gemerincing kecil dari peralatan logam di saku Lil yang menemani langkah sunyi Bernard.
Gie15.08.2015
Published on August 16, 2015 00:16
August 14, 2015
Nyoba Nge-Blog (Lagi)
Ini sebenernya gara-gara saya merasa enggak ada lapak buat naruh cerpen-cerpen saya :"(
Maksud saya... yah, selama ini memang biasa majang di Kemudian, tapi karena udah lama vakum di sana (selain karena di sana makin sepi), saya makin kesulitan nyari lapak baru.
Nge-post cerpen di Facebook bukan pilihan bagus, menurut saya. Karena selain pembacanya temen-temen sendiri, saya juga ogah membuka setting-annya jadi public.
Ditambah lagi, saya perlu tempat curhat *apa mungkin ini alasan utamanya? :p * dan tempat buat naruh review-review karya indie kawan-kawan saya--lagi-lagi karena kalau di Facebook khawatir tenggelam dengan cepat dan susah di-tracking kembali.
Begitulah.
Jadi, intinya saya mulai menghidupkan blog saya yang udah ditinggalin dan jadi sampah dunia maya sejak tahun 2011.
Semoga kali ini saya konsisten.
Ya, begitulah.
Haha~
/si Anggi gak jelas bener nih/
Eniwei, silakan sering-sering mampir ke sini ya! Supaya si Gie makin rajin juga nge-post di sini :p
Maksud saya... yah, selama ini memang biasa majang di Kemudian, tapi karena udah lama vakum di sana (selain karena di sana makin sepi), saya makin kesulitan nyari lapak baru.
Nge-post cerpen di Facebook bukan pilihan bagus, menurut saya. Karena selain pembacanya temen-temen sendiri, saya juga ogah membuka setting-annya jadi public.
Ditambah lagi, saya perlu tempat curhat *apa mungkin ini alasan utamanya? :p * dan tempat buat naruh review-review karya indie kawan-kawan saya--lagi-lagi karena kalau di Facebook khawatir tenggelam dengan cepat dan susah di-tracking kembali.
Begitulah.
Jadi, intinya saya mulai menghidupkan blog saya yang udah ditinggalin dan jadi sampah dunia maya sejak tahun 2011.
Semoga kali ini saya konsisten.
Ya, begitulah.
Haha~
/si Anggi gak jelas bener nih/
Eniwei, silakan sering-sering mampir ke sini ya! Supaya si Gie makin rajin juga nge-post di sini :p
Published on August 14, 2015 22:24
Koleksi Buku Anak Bergambar si Gie #1
Buku anak dan dongeng bergambar memang gak pernah bikin si Gie bosen hehe o(*>ω<*)o
Kalau diurutin dari yang paling mahal (dan sulit mendapatkannya juga, tentu), itu yang "The Kingdom Under the Sea" buatan Joan Aiken dan Jan Pienkowski (udah pada lihat review saya untuk karya mereka yang lain, "A Necklace of Raindrops"?
Saya sampai perlu menghubungi beberapa toko buku online dan membanding-bandingkan harga yang mereka tawarkan. Ini pun akhirnya saya beli yang bekas (tapi kondisinya masih sangaaaaat mulus!!! ヾ(〃^∇^)ノ♪ ) meski dengan harga yang masih tergolong "WAH" juga, hiks ;______;
Selanjutnya mungkin yang paling bawah, gerombolan buku pelajaran membaca terbitan Ladybird. Apalagi bukunya berat, ongkirnya mahal ahahahaha *nangis di pojokan*
The Flower Fairies Changing Seasons adalah yang termahal setelahnya. Itu saya temui secara kebetulan di pojok buku (saya bilang "pojok" karena benar-benar di pojok!) di sebuah swalayan yang gak saya sangka-sangka punya koleksi buku impor yang lumayan <3
Isinya cantiiiiik bener. Dan bisa dimain-mainin (?) dengan narik gambarnya ke bawah supaya gambarnya berganti rupa hehehe~
Balalaika isinya benar-benar cantik dengan ilustrasi-ilustrasi perempuannya yang menawan. Recommended banget. Bukan impor, dan bisa ditemui di toko-toko buku lokal. Diterbitkan oleh Penerbit Erlangga Kids tahun 2009.
Sementara Balalaika menang dengan ilustrasinya yang cantik, Ekor si Paus punya ilustrasi yang berkesan "ajaib" dan cute. Asik banget ngeliat isinya yang warna-warni. Sama, diterbitin sama Erlangga juga, jadi bisa ditemui di toko-toko buku lokal.
Balalaika, Ekor si Paus, dan A Kiss Goodnight saya beli saat ada bazaar buku murah di Depok. Bahagia bangeeeeet dapet buku-buku bagus dengan harga murah!! Hehehehe~ Kalau ada yang murah, napa harus beli yang mahal kan?
Udah, udah. Lain kali saya pamer (?) koleksi buku-buku saya yang lain lagi hehehehe └(★o★)┐
Published on August 14, 2015 22:06
Review Novel: The Penderwicks
Sederhana, cuma cerita soal liburan musim panas keluarga Penderwicks. Ya, novel ini HANYA menceritakan soal apa yang terjadi selama liburan musim panas.
Buku yang lembut, heart-warming, soal keluarga dan persahabatan. Karakterisasinya juga kuat. Padahal keluarga Penderwicks punya empat anak perempuan, tapi saya bisa mengenali mereka hanya dari dialognya ;)
Saya sukaaaaaa karakter Jeffrey di cerita ini. Sampai-sampai setelah membaca buku ini, saya menulis cerita dengan tokoh anak laki-laki seperti Jeffrey :P
Review dan rating saya mengenai buku ini bisa dilihat juga di Goodreads: https://www.goodreads.com/review/show/279980616?book_show_action=false
Published on August 14, 2015 20:48
December 25, 2011
Review "A Necklace of Raindrops"
Judul buku : A Necklace of Raindrops And Other StoriesPengarang : Joan Aiken (pengarang) & Jan Pienkowski (ilustrator)Bahasa : InggrisPenerbit : Puffin Books (England)Tahun terbit : 1975
Halaman : 125Ukuran : 10 x 15 cm
Berhubung yang bertugas ngisi rubrik Aksarapedia di Aksarayana #4 kali ini adalah si Gie, jadinya yang dibahas buku beginian, deh: dongeng fantasi anak <3“A Necklace of Raindrops” ini bukan novel, melainkan sebuah kumcer. Untuk anak-anak. Sangat fantasiyah. Yang saya temukan di sebuah bazaar buku progdi Jerman kampus saya. Dan saya dikasih gratis sama orang Jermannya―karena sudah robek-robek, katanya―yang saya balas dengan ucapan terima kasih berkali-kali. Ah, betapa saya sudah jatuh cinta dengan buku ini tepat pada saat mata saya bertumbuk dengan covernya yang manis!Dibuka dengan “A Necklace of Raindrops”, bercerita tentang seorang anak perempuan bernama Laura yang tiap ulang tahunnya diberi setetes air hujan oleh Angin Utara. Berkat kekuatan kalung-air-hujan itu, Laura bisa menghentikan dan menurunkan hujan sesuka hatinya! Malang, kalung itu dicuri dan ia harus mengejar hingga ke daratan Arabia karena kalung itu akan diberikan pada seorang putri sebagai hadiah!Disusul “The Cat Sat on the Mat” yang membuat saya terpingkal: tidak punya baju lain, seorang anak perempuan ikut dijemur bersama bajunya yang baru dicuci! Selanjutnya ada kue pai terbang karena adonannya tercampur sejumput Langit! Kucing yang membesar karena minum susu bercampur ragi! Harimau yang mampu berlari lebih cepat dari angin!Kekuatan cerita-cerita Aiken ini adalah gaya berceritanya yang sungguh “dongeng”. Narasi yang interaktif dengan pembaca, kalimat-kalimat pendek—yang pastinya akan digemari anak-anak, nama tokoh yang mudah diingat, latar tempat yang memang ada di dunia nyata (yang―hebatnya―tidak memudarkan efek fantasiyahnya!), deskripsi pun amatapik. Juga: nyanyian, yang merupakan nilai sangat-plus dalam cerita anak!Satu hal lagi, walau se-fantasiyah apapun ceritanya, Aiken selalu menggunakan makhluk atau barang yang mudah dibayangkan oleh anak-anak: gajah, kucing, kue pai, permadani, kereta. Jangan harap seorang anak mau membaca cerpen fantasi yang isinya tentang spesies baru yang bahkan mendeskripsikannya bikin dahi berkerut: Zyoikn, makhluk mirip ikan dengan tanduk dan sirip bercakar yang hidup di planet Wuopge. Aduh, anak mana yang nafsu buat baca narasi sesulit itu? Saya aja males hehe~Kurang lengkap rasanya kalau tidak membahas ilustrasinya. Masih ingat saya bilang kalau saya jatuh cinta berkat cover? Warna jingga-nila-merahmuda yang manis dan lembut, seperti saya (lho?), begitu menggoda! Sayangnya, saya enggak begitu paham soal ilustrasi, jadi saya sulit menuliskan gaya gambar Pienkowski. Yang mencolok adalah bahwa ia menggambar makhluk hidup dengan siluet-siluet hitam. Jadi, baik si Laura, Angin Utara, Putri Arabia, si kucing, si harimau, SEMUA hanya siluet hitam. Yang penuh warna hanyalah latar belakangnya. Tapi, yah, itu, jadi pembaca bisa sesuka hati membayangkan wajah dan ekspresi para tokoh!Eerr... apalagi ya? Ah, pesan moral. Sebuah cerita anak musti ada pesan moral, dong~ Aiken―lagi-lagi―membuat takjub saya, pesan moralnya disampaikan begitu halus, tidak menggurui! Seperti pada cerita “The Three Travellers”, dimana dua pelancong pergi ke tempat yang sudah mereka ketahui medannya, sedangkan seorang sisanyamencoba pergi ke arah yang tidak pernah dicoba teman-temannya. Akhirnya ia menemukan sebuah tempat indah yang belum pernah dikunjungi siapapun! Ia pun mengajak teman-temannya ke sana. (cerita favorit saya, walau fantasinya tidak begitu kuat, eniwei)Apa yang didapat seorang anak dari cerita “The Three Travellers” itu? Bahwa mencoba hal baru akan membuka kesempatan baru; pantang menyerah akan membawa hasil memuaskan; berbagi dengan teman akan membuat apapun yang dibagi terasa lebih menyenangkan.Waduh, saya kok jadi berpanjang-lebar begini? Kalau enggak berhenti, bisa-bisa satu Aksarayana isinya cuman review buku dongeng dari saya hehe...Kesimpulannya, “A Necklace of Raindrops” ini salah satu karya fantasi anak yang sukses! Seribu sayang, kini tidak akan ada lagi karya baru dari Aiken—beliau sudah meninggal tahun 2004. Nah, bukankah sekarang giliran yang muda? Ayo, penulis Indonesia, coba ramaikan literasi anak :)
Gie-yang ingin koleksi dongeng anaknya bertambah-
Published on December 25, 2011 23:35
October 19, 2011
Telisik "Usagi Drop" (うさぎドロップ)
おはよう~
Oleh karena saya lagi “tenggelam” dalam anime Usagi Drop ini, rasanya enggak afdol kalau saya enggak bikin review barang sepatah duapatah kata :P
Mulai dari mana ya... hmmm... Usagi Drop (うさぎドロップ). Jujur, saya belum nonton maupun baca seri ini sampai tamat. Jadi, review ini bisa dibilang “setengah mateng” haha...
Awal saya kenal Usagi Drop adalah dari teman kampus saya. Dia emang udah paham betul selera tontonan saya kayak gimana, jadi waktu dia merekomendasikan anime ini, saya langsung high-expectation deh :3 Apalagi teman saya itu bilang dengan yakin, “Gie pasti suka deh!”
Oke, prolognya selesai, langsung ke ‘kesan pertama’ saya terhadap anime ini~
Kawachi Daikichi & Kaga Rin
Yang paling pertama menarik perhatian saya adalah kedua karakter utama: oom-oom 30 tahun dengan lawan main anak perempuan yang MASIH lima tahun! Saya segera suuzon, wah, bakalan beraroma lolicon nih... pikir saya.
Cerita dibuka dengan adegan Kawachi Daikichi (河地大吉), seorang workaholic yang sampai usia ‘kepala tiga’ masih hidup sendiri, mendadak dikabari bahwa Kakek dari pihak Ibunya meninggal dunia. Ternyata sang Kakek meninggalkan seorang anak perempuan yang masih berusia lima tahun! WTH!
Kaga Rin (鹿賀りん), anak perempuan itu, seolah dimusuhi oleh seluruh anggota keluarga yang datang ke pemakaman karena dia anak hasil hubungan gelap. Eeerr... sebenernya ini juga sih yang membuat saya rada ilfil sama Usagi Drop, enggak masuk akal bagi saya seorang kakek 70 tahun punya anak umur lima tahun =_____=
Well, abaikan saja keluhan enggak berdasar itu.
Adegan pertemuan pertama Daikichi dengan Rin sangat-sangat-sangat berkesan bagi saya :) Hanya saling tatap, tapi terasa ada chemistry di antara mereka. Dan, uh, dilatarbelakangi musik yang indah dan lembut... Segalanya membuat adegan super-singkat itu menjadi sebuah adegan bermutu.
Rin harus dirawat oleh seseorang, tapi semua orang tampak enggan. Segala alasan dikemukakan, mulai enggak punya uang untuk membiayai hidup sampai sibuk bekerja.
Akhirnya, (uuuh... saya SUKA Oom Daikichi di adegan ini! >///<) Daikichi yang menawarkan diri, menghiraukan berbagai keluhan dan ketidaksetujuan dari keluarganya.
Yep, episode pertama yang sangat-amat-bagus-sekali! Saya PUAS! Sampai sekarang sudah tiga atau empat kali saya menonton episode pertama, tapi teteeeeeeep aja saya nangis sesenggukan! Betapa cengengnya saya!!! TAT
Nah, sekarang mari kita telisik-telisik kisah lembut nan manis ini~
Artwork: Dipenuhi warna-warna halus seperti pastel, merah muda, hijau, kuning. Sungguh membantu penyampaian esensi cerita ke penonton dengan warna-warna sederhana namun memikat penuh kelembutan itu. Pokoknya warna-warna Usagi Drop membuat segalanya terkesan semakin lembut dan lembut lagi, manis dan manis lagi!Kekurangannya, terkadang ada adegan TANPA latar belakang gambar. Cuma satu warna polos aja! Ugh! Terkadang adegan-tanpa-latar-belakang-gambar itu ditempatkan di adegan penting! Sukses melenyapkan feel adegan tersebut >:( *kesel*Kerja bagus, tim artwork! Saya kasih nilai 80 dari 100!
BGM: Denting-denting halus, petikan-petikan kecil, gesekan-gesekan manis... aaaah... benar-benar memanjakan telinga saya~ :3Suka! Menyentuh hati!Transisi BGM menuju ke sebuah adegan penting juga terasa sangaaaat halus! Penonton jadi turut merasakan “Ah, ini adegan penting”, hanya dengan mendengarkan latar musiknya saja...Saya kasih nilai penuuuuh untuk ini! 100, dengan setulus hati xD Opening & Ending theme song: Hmm... ini dia masalah Usagi Drop, bagi saya. Opening song-nya lagu ceria mengenai anak perempuan yang berjudul “Sweet Drop” oleh PUFFY. Kurang sreg, karena liriknya bukan untuk anak-anak (well, mungkin bagi sebagian orang ini soal remeh). Memang ear-catchy sih, tapi entah kenapa... Saya juga kurang suka dengan jenis vokal penyanyinya yang terlalu cempreng #selerapribadiBerbeda lagi untuk ending song “High High High” oleh band Kasarinchu. SUKA. Manis dan bikin saya ingin ikut loncat-loncat sama Rin dan para kelincinya~ もうハイハイハイ,はしゃぎ出す気持ちに~*nyanyi*Walau begitu saya tetep sukaaaaaa klip / artwork untuk masing-masing song theme-nya. Terasa begitu kanak-kanak~ :3
Nilai eeerrr... 85, かな?
Cover album High High High limited pressing
Character Development: Kedua tokoh utama tak perlu dipertanyakan lagi. Sangat berkarakter! Tidak mudah dilupakan orang. Walau Daikichi sekadar pegawai kantoran biasa(会社員), begitu sederhana dengan kehidupannya yang biasa-biasa saja. Dia berpikir akan terus hidup biasa-biasa saja sampai akhirnya Rin datang. Oom ini benar-benar berkembang seiring cerita berjalan~Sementara Rin pun berkembang sangat pesat. Kehidupan barunya dengan Daikichi membuatnya sering tertawa dan ceria selaiknya anak biasa.Karakter lainnya juga sama sederhananya: Kouki-kun dan Mama, Reina-chan dan Mama.Perkembangan karakter tidak berkesan terburu-buru namun juga tidak lambat kayak siput. Sip! Nilai 80!
Seiyuu (dubber): Last but not least. Seiyuu adalah unsur penting sebuah anime! \(>o<)/Pantas saya merasa seiyuu Rin “mentah”. Ternyata mereka menggunakan anak kecil ASELI! Bukan perempuan dewasa yang disengaja bersuara anak-anak. Sepertinya semua tokoh anak di seri ini disuarai oleh anak-anak juga. Dan kealamian akting suara mereka menjadi daya tarik tersendiri untuk anime ini. (Dan saya suka suara Kouki-kun!)Suara Oom Daikichi pun terdengar sesuai. Saya enggak ada masalah dengan seiyuu lainnya. Hmm... nilai 90 untuk kekreatifan staf menggunakan anak kecil asli sebagai seiyuu.
Dan ya, saya gatel untuk mengaitkan kisah Usagi Drop dengan keadaan sosial masyarakat Jepang kontemporer. (WARNING: mulai dari sini akan jadi sedikit ilmiah dan membosankan xD)
Sepanjang saya menonton anime ini, saya otomatis teringat dengan komposisi populasi penduduk Jepang dewasa ini. Piramida penduduknya berbentuk nisan yang berarti jumlah anak sudah semakin sedikit. Dan sudah jadi pengetahuan umum di antara peneliti Jepang bahwa dalam kurun 50 tahun lagi, populasi penduduk Jepang akan menyerupai piramida terbalik: anak kecil sangat jarang, sementara orang tua renta akan membanjiri negeri.
Hal ini dikarenakan orang Jepang sudah kehilangan minat untuk memiliki anak. Mereka sudah terlalu letih dengan pekerjaan mereka. Apalagi ada diskriminasi terhadap pekerja perempuan, dimana jika mereka cuti hamil, maka saat kembali masuk ke perusahaan, perempuan-perempuan itu tidak bisa kembali ke jabatannya semula melainkan kembali ke posisi paling bawah seolah mereka pekerja baru.
Seperti yang diungkapkan oleh tokoh adik perempuan Daikichi dimana ia menolak mentah-mentah rayuan orang tuanya untuk menikah dan punya anak. Dengan ketus ia berkata bahwa ia masih ingin berkarir, minum sake setiap malam di luar, dsb dll.
Hal yang sama pun diungkapkan oleh karakter senpai Daikichi yang bernama Goto. Oleh karena ia ingin mengurusi anaknya dengan baik, akhirnya perempuan itu rela melepaskan jabatannya dan kembali ke bagian pekerja kasar di perusahaannya sendiri.
Aaaah... sebenarnya masih bisa dijabarkan lebih detil dan mendalam. Tapi nanti malah jadi karangan ilmiah, bukannya review anime xD
Mungkin setelah saya selesai menonton seluruh episode, saya akan merevisi review Usagi Drop saya ini~
Oleh karena saya lagi “tenggelam” dalam anime Usagi Drop ini, rasanya enggak afdol kalau saya enggak bikin review barang sepatah duapatah kata :P
Mulai dari mana ya... hmmm... Usagi Drop (うさぎドロップ). Jujur, saya belum nonton maupun baca seri ini sampai tamat. Jadi, review ini bisa dibilang “setengah mateng” haha...
Awal saya kenal Usagi Drop adalah dari teman kampus saya. Dia emang udah paham betul selera tontonan saya kayak gimana, jadi waktu dia merekomendasikan anime ini, saya langsung high-expectation deh :3 Apalagi teman saya itu bilang dengan yakin, “Gie pasti suka deh!”
Oke, prolognya selesai, langsung ke ‘kesan pertama’ saya terhadap anime ini~
Kawachi Daikichi & Kaga RinYang paling pertama menarik perhatian saya adalah kedua karakter utama: oom-oom 30 tahun dengan lawan main anak perempuan yang MASIH lima tahun! Saya segera suuzon, wah, bakalan beraroma lolicon nih... pikir saya.
Cerita dibuka dengan adegan Kawachi Daikichi (河地大吉), seorang workaholic yang sampai usia ‘kepala tiga’ masih hidup sendiri, mendadak dikabari bahwa Kakek dari pihak Ibunya meninggal dunia. Ternyata sang Kakek meninggalkan seorang anak perempuan yang masih berusia lima tahun! WTH!
Kaga Rin (鹿賀りん), anak perempuan itu, seolah dimusuhi oleh seluruh anggota keluarga yang datang ke pemakaman karena dia anak hasil hubungan gelap. Eeerr... sebenernya ini juga sih yang membuat saya rada ilfil sama Usagi Drop, enggak masuk akal bagi saya seorang kakek 70 tahun punya anak umur lima tahun =_____=
Well, abaikan saja keluhan enggak berdasar itu.
Adegan pertemuan pertama Daikichi dengan Rin sangat-sangat-sangat berkesan bagi saya :) Hanya saling tatap, tapi terasa ada chemistry di antara mereka. Dan, uh, dilatarbelakangi musik yang indah dan lembut... Segalanya membuat adegan super-singkat itu menjadi sebuah adegan bermutu.
Rin harus dirawat oleh seseorang, tapi semua orang tampak enggan. Segala alasan dikemukakan, mulai enggak punya uang untuk membiayai hidup sampai sibuk bekerja.
Akhirnya, (uuuh... saya SUKA Oom Daikichi di adegan ini! >///<) Daikichi yang menawarkan diri, menghiraukan berbagai keluhan dan ketidaksetujuan dari keluarganya.
Yep, episode pertama yang sangat-amat-bagus-sekali! Saya PUAS! Sampai sekarang sudah tiga atau empat kali saya menonton episode pertama, tapi teteeeeeeep aja saya nangis sesenggukan! Betapa cengengnya saya!!! TAT
Nah, sekarang mari kita telisik-telisik kisah lembut nan manis ini~
Artwork: Dipenuhi warna-warna halus seperti pastel, merah muda, hijau, kuning. Sungguh membantu penyampaian esensi cerita ke penonton dengan warna-warna sederhana namun memikat penuh kelembutan itu. Pokoknya warna-warna Usagi Drop membuat segalanya terkesan semakin lembut dan lembut lagi, manis dan manis lagi!Kekurangannya, terkadang ada adegan TANPA latar belakang gambar. Cuma satu warna polos aja! Ugh! Terkadang adegan-tanpa-latar-belakang-gambar itu ditempatkan di adegan penting! Sukses melenyapkan feel adegan tersebut >:( *kesel*Kerja bagus, tim artwork! Saya kasih nilai 80 dari 100!
BGM: Denting-denting halus, petikan-petikan kecil, gesekan-gesekan manis... aaaah... benar-benar memanjakan telinga saya~ :3Suka! Menyentuh hati!Transisi BGM menuju ke sebuah adegan penting juga terasa sangaaaat halus! Penonton jadi turut merasakan “Ah, ini adegan penting”, hanya dengan mendengarkan latar musiknya saja...Saya kasih nilai penuuuuh untuk ini! 100, dengan setulus hati xD Opening & Ending theme song: Hmm... ini dia masalah Usagi Drop, bagi saya. Opening song-nya lagu ceria mengenai anak perempuan yang berjudul “Sweet Drop” oleh PUFFY. Kurang sreg, karena liriknya bukan untuk anak-anak (well, mungkin bagi sebagian orang ini soal remeh). Memang ear-catchy sih, tapi entah kenapa... Saya juga kurang suka dengan jenis vokal penyanyinya yang terlalu cempreng #selerapribadiBerbeda lagi untuk ending song “High High High” oleh band Kasarinchu. SUKA. Manis dan bikin saya ingin ikut loncat-loncat sama Rin dan para kelincinya~ もうハイハイハイ,はしゃぎ出す気持ちに~*nyanyi*Walau begitu saya tetep sukaaaaaa klip / artwork untuk masing-masing song theme-nya. Terasa begitu kanak-kanak~ :3
Nilai eeerrr... 85, かな?
Cover album High High High limited pressingCharacter Development: Kedua tokoh utama tak perlu dipertanyakan lagi. Sangat berkarakter! Tidak mudah dilupakan orang. Walau Daikichi sekadar pegawai kantoran biasa(会社員), begitu sederhana dengan kehidupannya yang biasa-biasa saja. Dia berpikir akan terus hidup biasa-biasa saja sampai akhirnya Rin datang. Oom ini benar-benar berkembang seiring cerita berjalan~Sementara Rin pun berkembang sangat pesat. Kehidupan barunya dengan Daikichi membuatnya sering tertawa dan ceria selaiknya anak biasa.Karakter lainnya juga sama sederhananya: Kouki-kun dan Mama, Reina-chan dan Mama.Perkembangan karakter tidak berkesan terburu-buru namun juga tidak lambat kayak siput. Sip! Nilai 80!
Seiyuu (dubber): Last but not least. Seiyuu adalah unsur penting sebuah anime! \(>o<)/Pantas saya merasa seiyuu Rin “mentah”. Ternyata mereka menggunakan anak kecil ASELI! Bukan perempuan dewasa yang disengaja bersuara anak-anak. Sepertinya semua tokoh anak di seri ini disuarai oleh anak-anak juga. Dan kealamian akting suara mereka menjadi daya tarik tersendiri untuk anime ini. (Dan saya suka suara Kouki-kun!)Suara Oom Daikichi pun terdengar sesuai. Saya enggak ada masalah dengan seiyuu lainnya. Hmm... nilai 90 untuk kekreatifan staf menggunakan anak kecil asli sebagai seiyuu.
Dan ya, saya gatel untuk mengaitkan kisah Usagi Drop dengan keadaan sosial masyarakat Jepang kontemporer. (WARNING: mulai dari sini akan jadi sedikit ilmiah dan membosankan xD)
Sepanjang saya menonton anime ini, saya otomatis teringat dengan komposisi populasi penduduk Jepang dewasa ini. Piramida penduduknya berbentuk nisan yang berarti jumlah anak sudah semakin sedikit. Dan sudah jadi pengetahuan umum di antara peneliti Jepang bahwa dalam kurun 50 tahun lagi, populasi penduduk Jepang akan menyerupai piramida terbalik: anak kecil sangat jarang, sementara orang tua renta akan membanjiri negeri.
Hal ini dikarenakan orang Jepang sudah kehilangan minat untuk memiliki anak. Mereka sudah terlalu letih dengan pekerjaan mereka. Apalagi ada diskriminasi terhadap pekerja perempuan, dimana jika mereka cuti hamil, maka saat kembali masuk ke perusahaan, perempuan-perempuan itu tidak bisa kembali ke jabatannya semula melainkan kembali ke posisi paling bawah seolah mereka pekerja baru.
Seperti yang diungkapkan oleh tokoh adik perempuan Daikichi dimana ia menolak mentah-mentah rayuan orang tuanya untuk menikah dan punya anak. Dengan ketus ia berkata bahwa ia masih ingin berkarir, minum sake setiap malam di luar, dsb dll.
Hal yang sama pun diungkapkan oleh karakter senpai Daikichi yang bernama Goto. Oleh karena ia ingin mengurusi anaknya dengan baik, akhirnya perempuan itu rela melepaskan jabatannya dan kembali ke bagian pekerja kasar di perusahaannya sendiri.
Aaaah... sebenarnya masih bisa dijabarkan lebih detil dan mendalam. Tapi nanti malah jadi karangan ilmiah, bukannya review anime xD
Mungkin setelah saya selesai menonton seluruh episode, saya akan merevisi review Usagi Drop saya ini~
Published on October 19, 2011 22:52
October 18, 2011
Kolak Pisang Hanifa
“Pokoknya ini punya Hani buat buka puasa!” tandas Hanifa pada sang adik, Ihsan. Di hadapan mereka tampak kolak pisang buatan Bunda, hanya tinggal semangkuk di pagi itu. Kolak pisang buatan Bunda teramat sedap hingga kedua bersaudara itu tidak ada yang rela membagi jatah masing-masing. “Tapi Ihsan juga mau, Kak Hani!” balas sang adik, tak mau kalah. Wajahnya masam, bibirnya menekuk ke bawah karena ia tidak mendapat bagian lagi.Hanifa menghiraukannya, dengan langkah-langkah menghentak, ia menyambar mangkuk itu dan membawanya. “Kau sudah makan jatah Hani waktu sahur tadi!”“Kak Hani pelit!!!” jerit Ihsan, ia tampak kecewa. Sedangkan Hanifa, sekilas mendengus lalu melengang menuju kamar untuk menyembunyikan kolak pisangnya.Tak boleh ada orang lain yang memakan kolaknya, pikir Hanifa saat itu.***
Hanifa adalah anak perempuan yang duduk di kelas tiga SD sementara Ihsan, adik laki-lakinya, lebih muda dua tahun darinya. Mereka sering memperebutkan milik saudaranya sendiri, saling iri jika ada barang yang hanya dimiliki saudaranya. Sore hari di bulan Ramadhan saat biasanya anak-anak bermain di luar, Hanifa malah tengah mengomel-ngomeli sang adik di rumah. Anak perempuan itu bertolak pinggang, dengan wajah memerah karena kesal ia menuding sang adik telah mencuri kolak yang disembunyikannya tadi pagi.Ya, kolak pisangnya lenyap.“Padahal sudah Hani sembunyikan! Kamu yang makan, kan? Ngaku deh!” tandasnya.Ihsan menggeleng kuat, “Bukan Ihsan, Kak! Bahkan Ihsan enggak tau Kak Hani taruh dimana!” raut wajahnya serius.Namun Hanifa tetap tidak terima. Siapa lagi orang di rumah ini yang memiliki kemungkinan untuk menemukannya selain sang adik? Tidak ada, pikirnya. Apalagi Ihsan sering puasa setengah hari.“Mama sama Papa kan puasa, enggak mungkin makan kolak pisang Hani!”“Tapi Ihsan juga puasa!” bela Ihsan.“Bohong! Paling-paling kamu puasa setengah hari, kan?” tudingnya lagi, berburuk sangka.“Ihsan enggak puasa setengah hari!” ujarnya sambil menggelengkan kepala, tanda serius.Ketika Hanifa hendak mendesak adiknya lagi, sebuah suara memotong, “Hayo, ada apa ini anak-anak Bunda kok berantem?” Sosoknya yang berjilbab biru langit melangkah masuk dari arah dapur.“Ihsan tuh Bunda, dia makan kolak pisang Hani!” adu Hanifa yang kontan membuat sang Bunda kini menoleh pada Ihsan. Ia masih jengkel pada sang adik rupanya.“Bukannya kamu puasa, Ihsan?” tanya Bunda, lembut seraya menepuk puncak kepala anak laki-laki itu penuh kasih sayang.Ihsan langsung mengangguk. “Ihsan puasa, Bunda.”Bunda tampak tersenyum, “Alhamdulillah, Bunda bangga!” pujinya seraya mencubit pipi Ihsan, gemas.Ihsan segera membusungkan dada seolah baru saja mencetak gol di pertandingan sepakbola. “Ihsan enggak bohong, Kak!” pamernya lagi yang kontan membuat Hanifa cemberut.Bunda yang segera memahami situasinya lantas menggandeng kedua anak itu menuju ruang depan. Seraya duduk santai bersama di sofa, Bunda memastikan, “Hanifa, bukannya kamu menyimpannya sendiri?”Masih dengan wajah cemberutnya, Hanifa mengangguk. “Hani taruh di kamar, di meja.”Bunda sontak terbelalak, “Astagfirullah, kamu sampai menyembunyikannya, Sayang? Supaya enggak diambil Ihsan?” Bunda tampak memandang Hanifa lekat-lekat, “Bunda selalu mengajari kalian untuk saling memberi, enggak boleh saling iri. Paham itu, Hanifa? Ihsan?” Hanifa mengangguk lemah, mendadak merasa jika tindakannya tersebut salah di bawah tatapan sang Bunda. Ihsan pun sama, ia merasa bersalah karena telah memakan jatah kolak pisang kakaknya saat sahur.“Allah enggak suka sama orang kikir, juga yang selalu iri hati pada saudaranya. Kalian berdua, anak-anak kesayangan Bunda, enggak mau dibenci Allah, kan?” tegur sang Bunda. Tangan hangatnya perlahan merangkul Hanifa dan Ihsan sekaligus.Di dalam pelukan sang Bunda, Hanifa bertanya dengan nada cemas, “Kalau begitu, Bunda, Allah benci Hani? Soalnya Hani pelit sama Ihsan dan suka iri.”Ihsan menyusul, “Ihsan juga sering pelit sama Kak Hani, Bunda,” akunya.“Nah, Hanifa sama Ihsan mau janji enggak akan saling iri dan pelit lagi sama siapapun?” Bunda melepas rangkulannya sambil menatap kedua anak tersayangnya itu. Hanifa dan Ihsan segera mengangguk mantap, mata mereka basah karena air mata.“Anak Bunda emang pintar!” puji Bunda sambil menghapus air mata Hanifa dan Ihsan dengan tisu.Tak lama kemudian terdengar suara berat Ayah dari luar. “Assalammualaikum!”“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh!” serempak Hanifa, Ihsan dan Bunda menjawab salam. Ihsan langsung berlari menyongsong Ayah. Tampak anak laki-laki itu menggelayut manja di gendongan sang Ayah.“Ada apa ini? Kok pada muram?” heran Ayah yang baru pulang dari masjid, membantu persiapan buka bersama. “Padahal sebentar lagi buka puasa,” tambahnya dengan nada menggoda.“Kapan? Kapan maghrib, Ayah?” celetuk Ihsan sambil memegangi perutnya yang mendadak keroncongan. Sudah tak tahan ingin diisi rupanya.Ayah tersenyum bangga, “Ihsan puasa sampai maghrib hari ini?”Anak laki-laki itu menangguk bangga, sekali lagi ia busungkan dada.“Terus, kenapa Hanifa dan Ihsan kayak habis nangis?” ulang Ayah tak mengerti.Disertai senyum menenangkan, Bunda tampak menjelaskan, “Ayah tau kolak pisang Hanifa sisakan sahur tadi?”Tampak Ayah mengerutkan dahi sebelum akhirnya menjawab, “Kolak pisang yang di kamar Hanifa?”Hanifa dan Ihsan sekali lagi mengangguk serempak. “Iya! Ada yang mencurinya, Ayah!”“Pencuri?” Sekali lagi Ayah tampak mengerutkan dahi. “Ah, kalau itu baru saja Ayah beri ke Pak Hari, pengurus masjid!” lanjut Ayah enteng.Hanifa kontan terbelalak, tak menyangka bahwa ayahlah sang pencuri.“Sebenarnya kolak pisang itu untuk anak perempuannya Pak Hari yang namanya Siti. Katanya ia ingin sekali kolak pisang,” lanjut sang Ayah. “Memang kenapa Bunda-nya enggak masakin kolak buat dia?” mendadak Ihsan bertanya, bingung karena selama ini ia hanya pernah memakan kolak buatan sang Bunda.Ayah lantas melempar pandang dengan Bunda sesaat. “Karena dia sudah tidak punya Bunda, Ihsan,” jawabnya lembut.Mendengar hal tersebut, Hanifa kontan terkejut lalu mulai memilin-milin bagian depan jilbabnya―yang selalu ia lakukan jika gugup atau malu. Ia makin merasa bersalah dengan sifatnya yang pelit.“Hitung-hitung beramal kan, Nak?” bujuk Ayah yang kini berjongkok di hadapan Hanifa.Hanifa mengangguk setuju lantas ia menghadap Bunda, “Bunda, besok bikin kolak pisang lagi, ya?” pintanya.Bunda tersenyum lembut, “Tentu, Sayang. Kali ini Bunda masak yang banyak buat kalian berdua.”“Asiiiiiik!!!” Ihsan bersorak riang sesaat yang segera berhenti ketika kakak perempuannya angkat bicara.“Buat yang banyak, Bunda, untuk dimakan bareng Siti.”Ucapan Hanifa mengundang senyum dari Ayah dan Bunda.“Ini baru anak Bunda dan Ayah!” puji mereka sambil memeluk Hanifa dan Ihsan. Beberapa saat kemudian azan maghrib pun berkumandang.Saatnya berbuka!
Published on October 18, 2011 02:57


