duniamimpigie's Blog
August 18, 2021
[Cerpen] Teruntukmu, Pemberi Cokelat Hangat
Teruntukmu, Pemberi Cokelat Hangat
(Duniamimpigie)
Halo, apa kabarmu malam ini?
Aku sedang menyeduh cokelat instan kesukaanku, yang tiap kalinya mengingatkanku akanmu.
Ingatkah? Dulu kau yang mengenalkanku pada cokelat instan merek ini. Katamu kala itu, sebagai permintaan maaf sebab telah meninggalkanku sendiri dan pergi lebih dulu bersama teman-temanmu.
Padahal bagiku tak masalah. Lantaran aku sendiri yang datang tanpa diundang, tiba-tiba mengabarimu tengah hari aku sedang dalam perjalanan ke tempatmu, tanpa tahu-menahu kau sedang makan siang bersama rekan-rekan kerjamu.
Beruntung aku kenal beberapa di antara mereka dan—aku tahu kalian akan menyilakanku—kau membiarkanku bergabung. Aku tahu kau dan kawan-kawanmu akan menungguku hingga usai bersantap, maka aku sengaja memilih menu kecil. Toh, kau dan mereka harus segera kembali ke tempat kerja, bukan?
Petangnya, kau buru-buru menjemputku di restoran yang sama. Yang pertama kaulakukan, menyerahkan satu bingkisan berpita. Isinya: satu saset minuman cokelat instan, beberapa butir permen keras, satu bungkus biskuit cokelat, dan boneka penguin kecil yang bisa digunakan sebagai gantungan kunci. Mirip bingkisan ulang tahun anak-anak, pikirku kala itu.
Yang pertama kauucapkan, “Maaf, siang tadi aku meninggalkanmu buru-buru.”
Padahal sebetulnya kamu tidak salah. Dan kamu tidak perlu minta maaf. Apalagi sampai memberiku hadiah.
Kendati begitu, perasaan senang yang kautawarkan itu tetap kuterima sepenuh hati.
Aku terbayang-bayang, kau bingung mau memberi apa sebagai permintaan maaf untukku. Tapi tak ada tempat yang bisa disinggahi di kantormu selain koperasi karyawan yang alakadarnya.
Di situlah kau membeli minuman bubuk instan, biskuit, dan permen keras yang kauhadiahi kepadaku. Kutebak, sederhana alasannya: kamu pilih saja apa-apa yang kausendiri sukai.
Lantas, penguin berpitanya? Kutebak-tebak itu sampel produk buatanmu di kantor—barangkali yang ditolak, sebab aku tidak pernah melihat penguin itu sekali pun di pasaran—sebab pekerjaanmu memang itu, bukan? Mendesain mainan anak-anak? Aku tahu, kok.
Walau bukan hadiah yang rupawan pun mewah, bingkisan berpita sederhana nan murah itu menjadi kebahagiaan kecil yang kuingat senantiasa.
Kini, dua tahun berlalu, biskuit cokelatnya bukan penganan favoritku. Pun sejak kecil aku lebih menyukai permen empuk dibanding permen keras. Penguin beserta pitanya tersimpan rapi di kotak sepatu berwarna merah muda yang kualihfungsikan menjadi kotak-penyimpanan-barang-tak-berharga-yang-berharga.
Bagaimana dengan minuman cokelat instan tersebut?
Sedang kuminum di malam yang dingin ini. Membuatku terkenang akan kejadian hari itu yang membuatku terkenang akanmu.
Dulu kau memberiku dengan perasaan maaf.
Kini kuseduh dengan perasaan terima kasih.
Jadi, bagaimana kabarmu, malam ini? Masihkah cokelat instan ini minuman favoritmu?
Semoga kita bisa bertemu muka lagi di tahun ini, sebab rindu telah merajalela, kutahan-tahan hingga setahun penuh.
Dan, nanti, mari kita minum cokelat hangat bersama, lagi.
TAMAT
02.01.2021
— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —
Kisah mini ini saya tulis untuk salah seorang sahabat di kantor. Diambil dari kisah nyata (yang didramatisir, tentu saja). Orangnya sendiri sudah baca dan komennya cuma, “Eh? Aku gak ingat pernah kasih kamu minuman cokelat?” wkwkwkwk~
Dan, oh, saya kira-kiranya akan mulai membuka komisi menulis fiksi lagi dalam waktu dekat. Jika kalian tertarik, silakan hubungi saya saja. Trims!
April 2, 2021
[COMMISSION] Cinta di Kala Pertama - Long Live Asucaga
Fanfik Gundam SEED Athrun x Cagalli yang saya buat atas permintaan Long Live Asucaga, Februari 2021.
Baru kali ini Cagalli merasakan sesak yang begitu dalam, kelam, dan gelam. Pun baru kali ini ia tahu dirinya bisa berlari secepat itu, tanpa menatap jalan di hadapannya—atau tidak mampu, lantaran air mata telah membayang di pelupuk matanya.
Betapa ia ingin mengutuk hidupnya!
Baru sekali seumur hidup ada pemuda yang mengisi relung hatinya, walau tidak pernah lama ia berinteraksi dengannya, pemuda itu selalu ada di sudut-sudut hati dan pikirannya selama beberapa tahun belakangan.
Namun—tunangan!!
Dia ternyata sudah bertunangan!
Dengan seorang wanita berambut panjang indah, berparas cantik jelita, berpolah anggun, bergarisketurunan terpandang.
Mana mungkin Cagalli bisa mengungguli wanita sesempurna itu dan mendapatkan cinta pujaannya.
Athrun, Athrun, Athrun, Athrun—oh, sungguh nyeri ia rasakan tiap kali nama itu terucap di bibirnya! Kendati begitu, tak lepas nama tersebut dari bibir gadis itu, bak mantra yang menjadi satu-satunya tali penyelamat jiwanya. Cagalli tahu, jika ia berhenti merapalkan mantra itu, dirinya akan hancur, luluh lantak, hingga tak berbekas.
Setidaknya, biarkan bibirnya puas mengulang-ulang nama itu, hingga ia tiba di rumahnya, di kamarnya, di tengah kesendirian dan kegelapan; barulah ia boleh melepaskan seutas tali yang saat ini ia pegang erat-erat—yang gadis itu tahu jelas, akan membawanya kepada tangisan berderai.
*
“Hei,” seorang pemuda berambut biru gelap menepuk pundak Cagalli dari belakang, membuat Cagalli terkejut. Gadis itu mengernyitkan dahi, tidak mengenal pemuda tersebut.
“Dari tadi kulihat kau hanya mondar-mandir di sini terus. Perlu bantuan?” tanyanya lagi. Ucapannya langsung dan tanpa basa-basi, yang justru membuat gadis berambut pirang itu curiga.
Cagalli menepis tangan pemuda itu dari pundak, lantas menjawab dengan memalingkan wajah, “Tidak ada. Aku hanya sedang menunggu teman.”
“Menunggu teman yang sudah satu jam belum datang juga?” heran pemuda itu lagi.
Cagalli serta-merta menoleh ke arah pemuda itu, tatapannya tajam menantang, “Kamu mengawasiku atau apa? Kenapa bisa-bisanya tahu aku sudah di sini sejam?!”
Si pemuda mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah, “Oke, maaf. Bukan maksudku seperti itu. Aku hanya kebetulan lewat sekitar sejam yang lalu dan melihatmu di sini,” memutus ucapannya sesaat begitu melihat Cagalli yang semakin menyipitkan mata curiga, “kamu tahu Kota Februarius ini salah satu spot wisata utama di Plants. Mestinya tidak aneh jika banyak yang bolak-balik di sini, termasuk aku.”
Cagalli terdiam sejenak, berpikir. Sebenarnya masuk akal perkataan pemuda itu. Apalagi ini di hari libur besar, bukan hanya turis lokal yang berbondong-bondong ke Plants, bahkan turis asing seperti Cagalli saja liburan kemari.
“Aku terpisah dari teman-temanku,” ujar gadis itu, menghela napas panjang, lantas, “dan tersesat. Aku tidak tahu jalan pulang ke arah mana,” akunya akhirnya.
“Oh, anak tersesat?” balas pemuda itu, samar-samar terdengar nada geli di suaranya, kemudian bertanya, “Tidak dikontak saja?”
Cagalli yang menyadari nada mengejek itu, menjawab dengan agak kesal, “Aku tidak tahu di mana ponselku berada. Entah terjatuh di toko suvenir yang kudatangi sebelumnya atau tidak sengaja tertinggal di tas yang di bus atau kutitipkan ke kawan. Pokoknya, tidak ada padaku sekarang.”
Pemuda itu bersidekap, jari-jari tangan kanannya di bawah dagu, “Hmm… makanya kamu tidak bisa menghubungi dan dihubungi mereka.” Ia lalu merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebentuk ponsel pintar untuk kemudian diulurkan kepada Cagalli, “Pakai ponselku, hubungi seseorang.”
“Ah,” Cagalli merespons ragu, “ta, tapi… itu akan merepotkanmu.”
Pemuda itu meletakkan ponselnya ke telapak tangan Cagalli—dengan agak memaksa, “Hubungi seseorang,” ulangnya.
Cagalli mengangguk, “Terima kasih,” lantas menelepon kawannya.
Setelah bercakap-cakap sejenak, Cagalli memutus sambungan telepon dan mengembalikan ponsel itu ke empunya, “Mereka sudah kembali ke bus,” imbuhnya.
Pemuda itu mengangguk, “Akan ada yang menjemputmu?”
“Eeer…” gadis itu ragu-ragu, “iya, tapi katanya mereka masih belum berkumpul semua. Jadi, aku harus menunggu.”
“Lama?” tanya pemuda itu lagi. Suaranya yang bernada khawatir membuat Cagalli kontan menoleh kepadanya dan menatap wajahnya.
Oh, itulah pertama kalinya Cagalli dapat memandangi wajah penolongnya itu lekat-lekat—dan kalau boleh jujur, Cagalli tidak mungkin tidak tertarik dengan wajahnya yang tampan.
Urgh, Cagalli mendadak merasa jijik dengan pikirannya sendiri: tampan? Cowok yang baru ditemuinya beberapa menit lalu? Apalagi dia tadi sempat mengejeknya sebagai ‘anak tersesat’? Ayolah, yang benar saja, Cagalli Yula Athha!!
Buru-buru gadis itu menepuk wajahnya dengan agak keras. Berharap pikiran-pikiran aneh itu segera lenyap.
“Hei? Kamu kenapa?” tanya pemuda itu lagi, terheran-heran dengan sikap Cagalli.
Cagalli membalas cepat, “Bukan apa-apa. Aku hanya tiba-tiba merasa kantuk. Itu saja,” lalu teringat pertanyaan pemuda itu sebelumnya, “dan—iya, sepertinya akan lama. Apalagi jarak parkir busnya cukup jauh dari sini.”
“Oke,” imbuh pemuda berambut biru gelap itu lagi, sambil mengecek arlojinya sesaat. “Kebetulan aku masih ada waktu, mau kutemani sampai teman-temanmu datang?” tanya pemuda itu lagi, entah kenapa Cagalli merasa betul-betul sedang diperlakukan seperti anak kecil yang tersesat—dia memang sedang tersesat, tapi bukan anak kecil.
“Ta-tapi…” ragu Cagalli. Tetap saja, ia merasa tidak enak jika harus merepotkan orang yang baru ditemuinya lebih dari ini. Apalagi mereka sama-sama belum saling tahu nama.
“Tidak apa. Ayahku masih ada pertemuan dengan rekan bisnisnya. Aku yakin bakal lama. Dan aku lebih yakin lagi bakal bosan jika hanya menunggunya sendirian—ah! Mungkin lebih tepat kalau kubilang akulah yang minta ditemani olehmu.”
Cagalli tertegun sesaat. Ia menimbang-nimbang perkataan pemuda itu barusan. Lantas memutuskan, “Kamu baik hati, ya. Mencari-cari alasan hanya untuk menemaniku.”
Yang malah dibalas derai tawa singkat oleh si pemuda.
“Jadi?” tanya pemuda itu lagi, nada suaranya terdengar bersemangat.
“Oke, akan kutemani kau menunggu ayahmu,” balas Cagalli. “Supaya kau tidak bosan,” diiringi cengiran ceria khasnya.
Cagalli memang pada dasarnya gadis yang mudah akrab dengan siapa pun. Ia mudah berkenalan dengan orang baru, cepat beradaptasi dengan lingkungannya, dan senantiasa dikelilingi kawan.
“Tapi,” potong gadis itu saat si pemuda mengulurkan tangan ke arahnya—yang jelas membuat Cagalli terkejut, “kuharap aku tahu namamu sebelum kita berpetualang bersama di Plants.”
Lantas ia tanpa ragu menyambut uluran tangan si pemuda. Tangan pemuda itu dingin, sadar Cagalli; tetapi justru terasa menyejukkan dan nyaman. Gadis itu menyukai sensasi yang diberikan tangan tersebut.
“Panggil saja Athrun. Aku datang dari Orb.”
Athrun lantas menarik tangan Cagalli untuk bangkit dari bangku taman yang sedari tadi didudukinya.
“Salam kenal, Athrun. Aku Cagalli. Dan, ternyata kita sama-sama dari Orb,” balasnya diiringi senyum ceria, yang tampaknya menular juga ke Athrun sebab pemuda itu membalasnya dengan senyum pula.
“Oke, mau kita mulai dari mana petualangan hari ini?” canda Athrun, menimpali ucapan Cagalli sebelumnya, tentang ‘petualangan’ yang akan mereka lalui berdua. “Atau, jangan-jangan kamu tidak tahu ada apa saja di Plants? Baru pertama kali ke sini, ‘kan?”
Tak disangka, gadis itu malah menjawabnya dengan memberengut, “Hei! Meski baru pertama kali ke Plants, aku tahu lokasi-lokasi wisatanya! Jangan meremehkanku yang pandai menghafal peta!” ujarnya mantap, pipinya digembungkan sedikit tanda kesal.
Athrun tersenyum geli melihat sikap Cagalli yang tampak manis itu, “Pandai menghafal peta, tapi tersesat?” sebelum akhirnya berucap, “Baiklah, silakan Anda yang memimpin, Tuan Putri.”
Yang dibalas delikan tajam dari yang dipanggil ‘Tuan Putri’ barusan, “Sengaja ya!? Kamu sengaja memanggilku begitu untuk mengejekku!? Sebelumnya memperlakukanku kayak anak kecil, sekarang begini! Ingin membuatku kesal!?”
Lantaran, Cagalli sadar diri. Dilihat dari sisi mana pun, dia jelas bukan tipe gadis yang cocok dipanggil ‘Tuan Putri’: dengan fesyen favoritnya hanya terdiri dari kemeja flanel, celana jins yang sobek di beberapa tempat, sepatu kets, dan topi baret.
Cagalli gadis yang tomboi.
Hanya saja, Athrun malah membalas dengan tawa—tawa lepas yang membuat pipi pemuda itu berona cerah dan matanya menyipit di ujung-ujungnya; yang nyatanya menjadi tawa Athrun yang tak pernah dilupakan Cagalli selama bertahun-tahun setelahnya.
“Siapa bilang niatku ingin membuatmu jengkel? Aku serius memanggilmu Tuan Putri! Sebab, buatku setiap gadis itu layaknya tuan putri, tidak ada pengecualian. Apalagi buatmu, Cagalli.”
Semburat merah kemalu-maluan mewarnai wajah Cagalli dengan cepat. Gadis itu merasa Athrun benar-benar cowok yang pandai merebut hati wanita, “Pokoknya, hentikan panggilan memalukan itu, atau kau harus mentraktirku crepes!”
“Oke, aku pilih mentraktirmu crepes,” balas Athrun lagi, menyeringai. Oh, dia merasa menang kali ini. “Tuan Putri,” imbuhnya dengan sengaja, mengisengi Cagalli agar gadis itu makin kesal.
Dengan pipi menggembung kesal dan langkah yang dientak-entakkan, Cagalli menggiring Athrun menuju petualangan singkat mereka berdua di hari itu: tujuan pertama, kios crepes.
Beberapa jam setelahnya, begitu tiba di bus rombongan, Cagalli bercerita kepada teman-teman terbaiknya: bahwa ia barusan dipaksa menemani seorang pemuda yang baru dikenalnya untuk menghabiskan waktu menunggui ayahnya mengurusi bisnis.
Dan, mungkin—dengan wajah yang bersemu kemerahan—ia mengaku baru mengalami yang namanya jatuh cinta, untuk pertama kali dalam hidupnya.
*
Orang bilang, cinta pertama itu takkan berakhir bahagia. Mereka bilang, cinta pertama pasti pupus seiring berjalannya waktu. Perlahan-lahan memudar hingga akhirnya tidak bersisa.
Namun, permainan takdir tidak ada siapa pun yang dapat menduganya.
Lima tahun berlalu, Cagalli kini bekerja di suatu rumah sakit terbesar di ibukota Heliopolis. Semua berjalan sesuai rencananya: belajar ilmu kedokteran di universitas favorit, lalu mengabdi sebagai dokter untuk menolong banyak orang.
Hanya saja, ada satu yang tak berjalan sesuai rencana—yang tak pernah terbayangkan akan terjadi: Athrun juga bekerja di rumah sakit tersebut. Athrun—pemuda yang kebetulan ditemuinya di Plants lima tahun lalu dan membantu Cagalli yang tersesat di sana seorang diri. Sosok yang selama tahun-tahun belakangan ini memenuhi relung hatinya, berharap akan berjumpa kembali suatu saat nanti untuk membalas budi.
Cagalli pikir, ia tidak akan pernah bertemu lagi dengan pemuda yang menarik hatinya itu. Dipikirnya, seumur hidup dia takkan sempat membayar utang budinya waktu di Plants.
“Eeh…? Cagalli?” panggil Athrun, wajahnya tampak terkejut, tetapi dihiasi rona menyenangkan.
Saat itu, Cagalli hendak memperkenalkan diri bersama serombongan koas angkatan baru kepada seorang manajer yang bekerja langsung di bawah direktur utama rumah sakit tersebut.
Rasa-rasanya itu seperti mimpi saja.
Atau barangkali itu memang mimpi.
“A-Athrun?” ragu Cagalli. Ingin sekali gadis itu mencubit pipinya sendiri keras-keras. Ia meragukan pandangan serta pendengarannya. Benarkah yang ditatapnya itu Athrun? Benarkah suara yang memanggilnya itu Athrun?
Dan—oh! Dia masih mengingat nama Cagalli! Betapa kenyataan itu saja seolah mampu membuat hati Cagalli melonjak kegirangan.
Athrun masih mengingat Cagalli, mengingat namanya pula.
“Aku tidak menyangka kita bisa bertemu di tempat begini. Sudah berapa tahun sejak Plants, ya?” susulnya, diiringi senyum santun.
“Li, lima tahun,” jawab Cagalli cepat, lantas melanjutkan dengan agak malu-malu, “seingatku.”
Athrun lantas maju ke arahnya, mengulurkan tangan. “Aku senang kita bisa bertemu lagi, bahkan bekerja di tempat yang sama,” ujarnya diiringi senyum ramah.
Cagalli menyambut uluran tangannya—terkenang akan momen-momen perkenalan mereka lima tahun silam di Plants, “Aku juga. Mohon bantuanmu, Athrun.”
“Mohon bantuanmu juga. Kuharap aku bisa jadi rekan kerja yang sepadan denganmu.”
Gadis pirang itu menggeleng, “Oh, tidak. Justru mestinya aku yang bilang begitu, Tuan Manajer.”
Mendengar panggilan yang terlalu resmi itu, Athrun serta-merta mengerutkan kening dan menghela napas, “Sebelum menjadi seorang manajer, lima tahun lalu aku sudah lebih dulu menjadi temanmu. Sekarang pun tetap sama. Aku masih temanmu. Jadi, aku dengan tegas melarangmu memanggilku dengan jabatan seperti tadi. Panggil saja Athrun. Tanpa embel-embel.”
Melihat Athrun yang tidak mampu menyembunyikan kekesalan dan kebingungan dari gelagatnya membuat Cagalli pun tidak mampu menahan tawa. “Ahaha! Baiklah, baiklah, Athrun-Tanpa-Embel-Embel-Yang-Masih-Jadi-Temanku.”
“Hei! Maksudku bukan begitu juga!” protes Athrun.
Yang justru membawa tawa makin keras ke bibir Cagalli, membuat mereka berdua ditatap heran oleh orang-orang di ruangan yang sama.
Jika boleh jujur, sebetulnya saat itu Cagalli sempat lupa bahwa mereka berdua sedang di situasi resmi bersama para profesional lainnya. Bahwa mereka bukan sedang berdua saja, seperti halnya sewaktu di Plants. Namun, sikap Athrun yang entah kenapa langsung akrab dengannya membuat Cagalli turut mengabaikan suasana kaku dan resmi yang melingkupi mereka.
Sekaligus membuat perasaan hangat di hati Cagalli kian menguat. Dengan perlahan-lahan. Dan sembunyi-sembunyi.
Setidaknya—pikir Cagalli—kini dia sudah berjumpa kembali dengan Athrun; sesuatu yang bahkan tidak pernah terbayangkan akan terjadi olehnya selama ini.
Urusan hati, dibiarkan nanti saja.
Sebab, dia masih memiliki banyak waktu untuk dilalui bersama Athrun. Selama dia masih bekerja di rumah sakit tersebut.
Cagalli memutuskan akan menikmati momen-momen kebersamaannya dengan Athrun. Sebagai teman.
Jadi, urusan hati—lagi-lagi, dibiarkan nanti saja.
Nanti saja.
Sebab, dia masih memiliki banyak waktu.
*
Tidak banyak waktu yang dimiliki oleh Cagalli. Untuk dia segera pergi dari tempat itu.
Sebelum dirinya luluh-lantak. Memandangi pemuda yang sudah begitu akrab dengannya selama setahun belakangan ini, bercakap-cakap dengan seorang gadis berambut panjang merah muda nan indah, yang juga merupakan putri seorang konglomerat, yang sekaligus merupakan tunangan Athrun: Lacus.
“Ah, Cagalli!”
Suara yang terlampau familier di telinganya. Yang entah kenapa, tidak membuat Cagalli kuasa untuk mengabaikannya. Selalu seperti itu.
Maka, seperti yang sudah ditebak oleh dirinya sendiri, Cagalli menoleh—mengabaikan keinginannya untuk melarikan diri barusan, “Oh, ternyata kau, Athrun. Ada apa?”
Kabar mengenai pertunangan mereka tiba di telinga Cagalli baru dua hari yang lalu, yang membuat gadis itu berlari pulang di tengah janji bertemu mereka untuk makan bersama di restoran kaki lima favorit Athrun dan Cagalli.
“Hei, kamu sudah sehat? Dua hari yang lalu kamu tiba-tiba pulang duluan dengan wajah pucat,” imbuh Athrun dengan ekspresi cemas di wajahnya.
Cagalli meneguk ludah. Diliriknya Lacus yang sedang berdiri di samping Athrun. Mereka tampak sangat cocok satu sama lain. Dan membuat Cagalli ingin melarikan diri, lagi.
Gadis berambut pirang itu tertawa kaku, “A ha ha, maaf, malam itu aku merusak acara makan kita. Dan… yah, aku sudah baik-baik saja, Athrun.”
Mendengar kabar baik itu, Athrun menghela napas. Postur tubuhnya yang barusan tampak tegang, kini melembut seolah-olah ada beban yang baru lepas dari pundaknya.
“Kau bikin kami khawatir saja!” sergah pemuda itu.
Lacus di sampingnya langsung merespons, lengannya yang putih, mungil, dan tampak rapuh itu mengait di lengan tunangannya. “Athrun, jangan kasar begitu. Kaudengar tadi, Cagalli baru sembuh dari sakit.”
Cagalli otomatis memalingkan wajah, dari pemandangan yang mengiris hatinya. Barangkali Lacus bukannya sengaja berniat bermesra-mesraan dengan Athrun di depan mata Cagalli, hanya Cagalli saja yang berpikir begitu.
“Hei, kamu yakin baik-baik saja?” cemas Athrun lagi, dilepasnya genggaman Lacus dari lengannya begitu saja, hanya untuk melangkah mendekati Cagalli dan tanpa diduga-duga menempelkan dahinya ke dahi Cagalli.
“Hm, tidak demam,” putus Athrun diiringi senyum.
Tindakan pemuda yang tak disangka-sangka itu jelas membuat hati Cagalli pontang-panting mendadak. Dengan panik, gadis itu mendorong Athrun menjauh dan berbicara dengan nada kasar, “Aku bukan anak kecil! Begini-begini, aku juga dokter—meski masih koas!”
Athrun malah tertawa mendengarnya, “Oke, maaf, Calon Dokter Hebat!”—tawa biasa ditunjukkannya pada Cagalli tiap kali mereka adu mulut selayaknya sahabat.
Oh—sahabat.
Baru kali itu Cagalli merasa dirinya tertampar.
Sahabat.
Dia hanya sahabat Athrun, tidak lebih.
Mengapa selama ini Cagalli seolah tidak menyadarinya? Malah tenggelam dalam harapan-harapan kosong yang justru dipupuknya sendiri? Yang kini jelas-jelas akan menggiringnya ke patah hati?
Lacus terkikik di belakang mereka, “Dasar, kalian ini dari dulu tidak berubah. Selalu akrab, ya. Seandainya aku juga punya sahabat karib yang seperti kalian…” gumam Lacus. Suaranya terdengar manis dan bersahaja. Cocok dengan wajah memesonanya.
Tapi setidaknya kamu punya Athrun sebagai tunanganmu, batin Cagalli. Yang sekonyong-konyong membuatnya merasa bersalah dan membenci dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia berpikir demikian soal Lacus! Padahal Cagalli kenal Lacus, dia gadis yang baik hati dan beruntung—ya, beruntung sebab cintanya berbalas—berkebalikan dengan nasib Cagalli yang nahas.
Ya, bisa jadi ini hanya persoalan nasib. Yang tidak bisa diupayakan oleh tangan Cagalli sendiri.
Maka, Cagalli sebaiknya cepat-cepat menyerah.
Sebelum lukanya terlanjur terlalu dalam hingga tak dapat lagi disembuhkan.
Kemudian, tiba-tiba terdengar dering ponsel. Milik Lacus. Gadis itu segera mengeceknya, membaca nama yang tertera di layarnya, lantas tersenyum, “Oh! Dari Kira! Aku terima teleponnya dulu, ya!”
Setelah gadis berambut merah muda itu pergi menjauh, Athrun dengan lesu bersandar ke tembok terdekat, wajahnya tertunduk. Suaranya pelan saat dia berkata, “Kautahu, Cagalli? Kurasa Lacus dan Kira saling menyukai.”
“Eh?”
Kabar itu terlampau mengejutkan. Saking mengejutkannya, Cagalli sampai tidak percaya pada pendengarannya sendiri.
Cagalli kenal Kira. Ia sahabat karib Athrun sejak kecil, lalu mereka berkenalan dengan Lacus di universitas. Berbeda dengan Athrun dan Lacus yang berasal dari keluarga terpandang dan kaya-raya, Kira hanya anak biasa.
Cagalli sangka hubungan mereka bertiga tetap bertahan meski Athrun dan Lacus telah bertunangan; ternyata… cinta segitiga mereka serumit itu?
Ah, bukan. Bukan cinta segitiga, sebab Cagalli pun masuk ke dalamnya.
“Ta-tapi, bukannya Lacus itu tunanganmu? Bukannya kalian sudah bertunangan?” tanya Cagalli, tergagap-gagap. Entah dia terlampau senang mendengar kabar itu, atau hanya terlampau gugup.
Athrun hanya angkat bahu, tampak acuh tak acuh, tetapi Cagalli tahu dari wajahnya bahwa Athrun merasa sedih. “Yah, kukira tidak semua orang bisa begitu beruntung, mendapatkan orang yang mereka cintai. Banyak yang akhirnya harus merelakan orang yang dicintainya. Kurasa… mungkin begitu nasib Lacus, yang terpaksa harus menikah denganku.”
Sungguh tidak tahan Cagalli menatap ekspresi sedih di wajah Athrun!
Bagaimana mungkin pria sebaik hati, secerdas, setampan, seramah, sehebat Athrun malah kehilangan kepercayaan diri? Dan malah tertunduk lesu, berkata bahwa tunangan yang dicintainya ternyata tidak mencintainya balik? Bahwa tunangannya yang sempurna itu malah mencintai pria lain?
Tidak, tidak.
Biar Cagalli saja yang merasakan betapa pahit pengalaman cinta yang tak berbalas.
Jangan Athrun.
Tidak boleh Athrun.
Maka, sembari mengiris sepotong hatinya sendiri, Cagalli berkata dengan nada ceria yang ia tahu hanya dibuat-buat, “Jangan murung begitu, Athrun! Masih ada aku! Aku pasti akan mendukung cinta kalian berdua! Akan kubantu kau merebut kembali hati Lacus! Akan kujamin kau berbahagia, selamanya!”
Gadis itu mengepalkan tangan kanan, mengacungkannya ke arah Athrun, yang—diiringi senyum bahagia—dibalas Athrun dengan menubrukkan kepalan tangannya juga: tanda persahabatan yang sering mereka lakukan tiap kali ada salah satu di antara mereka berdua ada yang tertimpa masalah.
Meski sebetulnya Cagalli tahu, di dalam hatinya, bahwa yang tertimpa masalah lebih berat bukanlah Athrun, melainkan dirinya sendiri.
Ya, dirinya sendiri.
Sebab ia tidak tahu lagi, harus dikemanakan perasaan cintanya itu.
Harus dikemanakan….
*
Athrun membuangnya ke tumpukan sampah. Dokumen-dokumen itu. Baginya tidak berguna lagi.
Yang pasti, Cagalli telah pergi. Diam-diam. Tanpa berpamitan apa pun kepadanya.
Memang, siapalah Athrun?
Hanya sahabatnya.
Bukan, bukan.
Athrun memang belum pernah mengaku kepada gadis itu secara langsung—apalagi berhubung dia sudah punya Lacus sebagai tunangan—kepada Cagalli, bahwa ialah satu-satunya gadis yang mampu membuatnya nyaman berada di dekatnya. Apalagi sudah beberapa tahun belakangan mereka bekerja di tempat yang sama, di rumah sakit milik keluarga Zala, keluarga Athrun.
Namun, tiba-tiba Cagalli dimutasi!
Dan bukan atas permintaan rumah sakit, melainkan permintaannya sendiri!
Apa yang sebetulnya terjadi!?
Athrun tidak mengerti. Sungguh tidak mengerti lagi.
Apa yang salah? Apa yang telah dia lakukan hingga membuat Cagalli tidak ingin bersamanya lagi? Apa dia yang salah? Sikap ragu-ragu dan setengah hati yang selalu lekat dengan dirinya? Apa memang karena itu? Karena Athrun tidak berani mengambil keputusan? Baik soal ketidakberaniannya untuk menentang sang ayah mengenai statusnya sebagai penerus rumah sakit ini? Juga tentang ketidakberdayaannya untuk menolak pertunangannya dengan Lacus?
Ya—Athrun menyadari—selama ini ia selalu menunda-nunda, membuat ayahnya menunggu, Lacus menunggu, bahkan Cagalli menunggu; sebab dia enggan bergerak dan mengambil tindakan.
Padahal ia menyadarinya, beberapa bulan yang lalu, beberapa minggu usai dia memberitahu Cagalli bahwa ia merasa Lacus dan Kira saling mencintai; Cagalli tiba-tiba mengajak Athrun, Lacus, juga Kira untuk makan bersama di kedai ramen kaki lima langganan mereka berdua.
Padahal dulu Cagalli sendiri yang bilang ingin merahasiakan kedai ramen tersebut dari siapa-siapa. Gadis itu bilang, ingin menjadikan tempat itu sebagai semacam ‘markas rahasia’ antara dirinya dan Athrun. Hanya dengan Athrun.
Mestinya Athrun langsung menyadari ada yang tidak beres saat itu, ketika Cagalli mendadak mengajak orang lain ke kedai rahasia mereka berdua.
Selama pertemuan, Cagalli duduk di samping Kira, sementara Athrun dengan Lacus. Selama pertemuan, Cagalli hanya berbincang dengan Kira: dengan keceriaannya, Cagalli dengan mudah membuka hati Kira dan mengakrabkan diri dengannya, apalagi ternyata mereka sama-sama berhobi menonton film.
Sementara, Athrun dan Lacus yang diabaikan, terpaksa mencari bahan obrolan yang sebetulnya tidak begitu cocok. Athrun mengakui, semenjak mengenal Lacus, belum pernah sekali pun dia bercakap-cakap dengan gadis cantik itu lebih dari lima menit—kecuali jika ada Kira.
Maka, sungguh, perjamuan makan malam waktu itu bagaikan neraka bagi Athrun.
Namun, seperti biasa, Athrun menyembunyikannya.
Asalkan bisa bersama Cagalli. Asalkan Cagalli menginginkannya.
Kini, ia telah kehilangan Cagalli.
Ia tidak boleh lagi terlambat mengambil langkah dan bimbang lagi. Ia harus bergerak sekarang juga.
Maka, ia bangkit dari meja kerjanya, mengambil dokumen-dokumen yang tadi dibuangnya ke tempat sampah, lantas melangkah.
Untuk yang pertama, ia selesaikan masalah dengan ayahnya. Berbicara bahwa dia tidak ingin bertunangan dengan Lacus, bahwa ia dan Lacus hanya menganggap satu sama lain sebagai sahabat; tidak lebih dan tidak kurang.
Lalu, kedua, ia akan pergi menemui Lacus dan Kira. Barangkali sambil mengajak mereka makan malam bersama, di restoran kesukaan mereka, di ruangan yang privat. Untuk kemudian ia mengutarakan perasaan yang sesungguhnya—mereka berdua pasti akan mendukungnya, bukan? Sebab mereka adalah sahabat terbaik Athrun, setara dengan Cagalli—meski di beberapa sisi, Cagalli mungkin menempati posisi yang lebih penting dibanding mereka berdua: sebagai gadis yang dicintai Athrun.
Oh, ya.
Athrun mencintai Cagalli.
Itu, yang ketiga: dia harus melacak ke mana perginya Cagalli. Dari dokumen mutasi Cagalli yang diterima olehnya—yang barusan sempat dibuangnya ke tempat sampah saking kesal, marah, sedih, dan hampa dia rasakan; Cagalli dimutasi ke kota Kaguya.
Jauh.
Itu kota yang jauh dari Heliopolis.
Seseorang dari Heliopolis harus terbang dengan pesawat selama dua jam, disusul dengan perjalanan menggunakan kereta selama hampir delapan jam, barulah tiba di kota Kaguya.
Aaah… Betapa banyak yang harus dilakukannya. Betapa banyak yang harus dipersiapkannya.
Namun, tekadnya sudah bulat: ia tidak mau kehilangan Cagalli.
Apa pun caranya, ia akan menemui lagi sahabat—sekaligus gadis yang dicintainya itu.
“Cagalli, aku pasti akan menemukanmu.”
*
Sudah enam bulan Cagalli berada di desa terpencil ini, Kaguya. Dia merasa sudah lebih tenang, lebih berkepala dingin, dan lebih siap untuk menghadapi hatinya sendiri.
Tanpa kehadiran Athrun di sisi, ia bisa melihat ke dalam jiwanya sendiri: apakah yang sebetulnya dia inginkan, bagaimana akan dia alihkan perasaan yang selama ini disembunyikannya, apa yang bisa dilakukannya mulai sekarang untuk mencari kebahagiaan baru?
Benar kata orang, pikir Cagalli, menjauh dari cinta akan membantu menetralisirnya. Meski rasa kesepian merundungnya hingga tak tertahankan.
Di Kaguya, dia bisa fokus mengejar impiannya: menjadi dokter yang mengabdikan diri pada masyarakat.
Bukannya memikirkan Athrun dan cintanya yang tak berbalas.
“Dokter Cagalli,” panggil resepsionis di depan ruangan praktiknya.
Cagalli menaikkan alis, “Bukannya Anda bilang hari ini sudah tidak ada pasien?”
Suara wanita tua yang dipekerjakannya itu terdengar agak ragu-ragu, tetapi juga penuh ketertarikan, “Iya, tapi ada seseorang yang mencari Anda.”
Cagalli semakin menaikkan alis. Siapa yang mencarinya? Apa ibu-ibu desa yang ingin membagikan jagung hasil panen? Apa anak laki-laki yang kemarin membawa anjing peliharaannya—menyangka Cagalli bisa mengobati hewan juga? Atau remaja tanggung yang belakangan ini sering minta bantuan Cagalli untuk mengajarinya mengerjakan PR sekolah?
“Siapa?” tanya Cagalli.
Resepsionis itu makin ragu-ragu, “Eerm…”
Lantas, terdengar suara lain menyusul, “Biar saya langsung masuk ruangannya saja, terima kasih.”
Deg.
Jantung Cagalli mendadak berlompatan kegirangan.
Ia akrab sekali dengan suara itu.
Athrun.
Apa mungkin dia hanya bermimpi? Saking rindunya, dia dibayang-bayangi suara Athrun? Barangkali itu hanya suara seseorang yang mirip dia? Lagipula, jika itu memang Athrun, buat apa dia jauh-jauh ke Kaguya? Pastinya bukan hanya untuk mengunjungi Cagalli. Siapa tahu dia hanya mengantar ayahnya dinas lagi—seperti waktu mereka berjumpa pertama kali di Plants?
“Cagalli, ini aku. Boleh aku masuk?” tanya suara itu lagi.
Athrun atau bukan, Cagalli harus membukakan pintu baginya.
Meneguk ludah gugup, Cagalli berkata, lirih dan berat, “Silakan.”
Dan, di situlah dia: berdiri dengan tegapnya di ambang pintu, dengan jaket hitam dan buts yang menjadi ciri khasnya, dengan rambut biru gelap dan mata tajamnya.
Sama seperti dulu.
Sama seperti yang Cagalli cintai selama ini.
Hanya saja, Athrun di hadapannya kini tampak lelah—tapi ini wajar sebab dia baru datang dari perjalanan jauh.
Dan gugup.
“Hei,” sapanya, singkat.
“Hei,” balas Cagalli. Sama-sama tidak tahu harus bilang apa di situasi canggung tersebut.
Setelah beberapa menit berlalu dalam kesunyian, akhirnya Athrun angkat bicara, “Akhirnya aku menemukanmu, Cagalli.”
Cagalli mengangkat wajah, sebab mendengar suara Athrun yang penuh emosi. Dan menemukan Athrun berwajah bingung dan cemas.
“A, aku tidak tahu apa maksudmu,” balas Cagalli.
“Kau pergi, Cagalli. Tanpa bilang apa-apa. Lacus mencemaskanmu, Kira mencemaskanmu,” ujar Athrun, menghela napas panjang. “Terlebih aku.”
“Aku ada di sini, tidak ke mana-mana. Kalian saja yang berlebihan,” balas Cagalli lagi, diiringi tawa palsu—mengingatkan diri bahwa kecemasan Athrun bukan berarti dia spesial baginya.
Namun, Athrun tiba-tiba menangkap lengan Cagalli, suaranya mengeras ketika bicara, “Apanya yang tidak ke mana-mana? Apanya yang berlebihan? Kau tidak bilang apa-apa, tidak pamit, bahkan tidak membalas kontak dariku! Jangan bercanda, Cagalli!”
Athrun marah. Cagalli menyadarinya.
Tapi, kenapa dia berhak merasa marah? Padahal Cagalli bersusah-payah pergi jauh untuk sekedar melupakan cintanya?
“Aku hanya sibuk! Itu saja!” elak gadis itu.
“Bukan! Kau melarikan diri!” tukas pemuda itu.
Telak.
“Kau melarikan diri dariku, Cagalli! Aku tahu itu! Sebab yang kulakukan sama denganmu!”
Sama? Apanya yang sama? Jelas perasaan mereka tidak sama.
Cagalli menggeleng, “Tidak, tidak. Tidak ada yang samadi antara kita.”
Athrun sudah punya tunangan, mereka saling mencintai. Sementara Cagalli? Cintanya kepada Athrun bertepuk sebelah tangan, selalu.
Athrun mendecakkan lidah, lantas sekonyong-konyong menarik Cagalli. Ke dalam pelukannya. Membuat Cagalli tertegun sesaat, saking terkejutnya membuat dia tidak berdaya melawan. Dia bilang, “Kita sama-sama melarikan diri!”
Beberapa jenak lewat dalam sunyi. Hanya ada napas mereka yang berbenturan satu sama lain.
Namun, Athrun memecahkan kesunyian. Lagi.
“Aku sudah memutuskan pertunanganku dengan Lacus.”
Bagai disambar petir di siang bolong, Cagalli mendorong Athrun kuat-kuat. Mundur tertatih-tatih beberapa langkah. Lantas menunduk, dengan pundak merosot. Cagalli bersidekap, memeluk tubuhnya sendiri erat-erat. Kemudian berjalan mondar-mandir tak tentu arah. Bibirnya berkomat-kamit, seolah sedang bicara pada dirinya sendiri.
Meyakinkan dirinya sendiri.
“Tidak, tidak, tidak. Kau tidak mungkin memutuskan Lacus. Kalian pasangan yang serasi. Aku…” lirih Cagalli, suaranya tercekat, “aku sengaja pergi jauh-jauh agar tidak merusak hubungan kalian. Aku, a, aku… tidak… bukan inginku begini….”
Kacau rasanya.
Cagalli tidak tahu harus apa. Dia merasa bersalah. Meskipun dia tahu bahwa itu—
“Itu bukan salahmu, Cagalli. Itu keinginanku,” Athrun berkata, seolah membaca isi pikiran Cagalli. Ekspresi dan nada suaranya serius.
Pemuda itu perlahan melangkah, mendekati gadis impiannya. Dengan lembut, ia meraih jemari Cagalli, mengecupnya seraya berbisik lembut, “Sebab yang kucintai itu kamu. Kamulah yang kuinginkan. Selama ini.”
Cagalli menatap wajah pemuda di hadapannya itu. Sudah berapa tahun ia mengharap mendengar kata-kata itu dari bibir Athrun? Sudah berapa kali ia membayang-bayangkan situasi ini di kepalanya?
Dan kini, benar-benar terwujud?
Apa ini kenyataan?
“Aku? Bukan Lacus?” bingung Cagalli. Wajahnya terangkat, tetapi matanya seolah bertanya-tanya.
Athrun mengeratkan genggaman tangannya, “Buat apa aku membangkang kepada ayahku, mentraktir Lacus dan Kira makan malam mewah, menjodohkan mereka berdua, menyelesaikan semua pekerjaanku buru-buru, agar bisa kemari secepatnya? Kalau bukan demi menemuimu dan menyatakan perasaanku secara langsung?”
Disusul senyum kecil di bibirnya. Yang tampak manis.
Menghadirkan sedikit ketenangan di hati dan pikiran Cagalli. “Ta, tapi….”
Athrun menghela napas dalam-dalam, lantas bicara—dengan nada lembut namun tegas, “Aku mencintaimu Cagalli. Bersediakah kau memercayai perkataan dan perasaanku ini?”
Membuat segalanya tumpah-ruah.
Tidak sampai sekejap mata, wajah Cagalli memerah cerah, disusul air mata yang tidak bisa dibendungnya lagi. Emosi yang ditahannya berbulan-bulan di tengah kesendirian di kota terpencil ini, seolah membuncah keluar.
Bahwa ia kesepian.
Bahwa ia rindu.
Bahwa ia cinta.
Maka Cagalli mengangguk kecil, mengiyakan.
Dengan semburat merah di pipinya, Cagalli berkata, “Aku sudah tahu sejak pertama kali kita bertemu di Plants,” ia memberi jeda, menatap pemuda itu lekat-lekat, “bahwa kamu pandai merayu wanita, Athrun,” imbuhnya dihiasi cengiran lebar.
Air mata sudah dihapus, dengan bantuan jemari Athrun—Cagalli teringat sensasi jarinya yang terasa dingin, namun menyejukkan. Membuat perasaannya nyaman.
“Dan… eerm…” balas Athrun, kali ini entah kenapa tampak lebih gugup dibanding sebelumnya. Tangannya merogoh saku jaketnya, lantas mengeluarkan sebentuk kotak kecil yang kemudian dibuka: cincin perak dengan ukiran bunga bermata rubi merah delima.
Terlalu mewah, pikir Cagalli.
Barangkali kebimbangannya itu tersampaikan lewat ekspresi wajahnya—sebab Cagalli memang gadis yang ekspresif—sehingga Athrun terpaksa berbicara, nadanya iseng, “Pilihlah, ambil cincin ini atau mentraktirku crepes?”
Cagalli menghela napas, “Pembalasan sewaktu di Plants dulu?”
Athrun menyeringai, “Pembalasan sewaktu di Plants dulu.”
Cagalli tertawa kecil, “Aku baru tahu kau pendendam, Athrun. Masalahnya, di kota kecil ini tidak ada kios crepes.”
Athrun mengangkat alis, tahu kemenangan telah ada dalam genggamannya, “Kalau begitu, kau terpaksa mengambil cincin ini dan menerima lamaranku.”
Tawa Cagalli lepas, “Licik.”
Athrun mengangkat bahu, “Cerdik.”
Cagalli dengan senang hati mengulurkan tangan kirinya dan membiarkan Athrun menyelipkan cincin perak itu ke jari manisnya. Ukurannya pas. Ukiran bunga dengan mata rubi merahnya indah.
Orang bilang, cinta pertama itu takkan berakhir bahagia. Mereka bilang, cinta pertama pasti pupus seiring berjalannya waktu. Perlahan-lahan memudar hingga akhirnya tidak bersisa.
Namun, ternyata tidak demikian bagi Cagalli. Barangkali gadis itu hanya beruntung saja. Barangkali permainan takdir memihak padanya. Atau barangkali, lantaran Athrunlah cinta pertamanya.
Yang pasti, cinta pertama Cagalli bersemi.
Dengan indah, memenuhi hatinya.
Sementara crepes-nya? Cagalli berniat mentraktir Athrun nanti, di Heliopolis. Sebab, dia tahu, dirinya akan kembali ke kota itu, mendampingi Athrun.
TAMAT
February 14, 2021
[COMMISSION] Berdua Bersama - Tsukiha Tsukiharu
C erpen yang saya buat atas permintaan Tsukiha Tsukiharu, Januari 2021.
“Uwah~ kamarmu biasa banget, Yui. Terlampau rapi, malah!”
Itulah ucapan pertama yang keluar dari mulut cewek berambut pendek berwarna pucat itu, yang sekaligus adalah teman masa kecil Yuichi: Oozora Ui.
“Kamu cowok kan? Kenapa bisa serapi ini sih? Biasanya cowok nggak rapi kan?” lanjutnya lagi, mencerocos tanpa henti sembari menggeret koper besarnya masuk ke ruang utama apartemen Yuichi—yang mulai hari ini akan menjadi apartemen mereka berdua: Yuichi dan Ui.
Ya, Shigure Yuichi dan Oozora Ui akan tinggal di bawah atap yang sama mulai hari ini.
Tidak ada yang aneh dari itu, setidak-tidaknya begitulah isi pikiran Yuichi dan Ui. Meski sering kali, mereka dipandang aneh oleh teman-teman sebayanya sewaktu masih di desa sebab hubungan mereka yang terlalu akrab.
Yuichi menyelak, sembari tangannya merebut gagang koper Ui tiba-tiba dan menggantikan cewek itu menggeretnya, “Sejak masih di desa dulu, kamu sudah sering masuk kamarku! Yang selalu rapi! Mestinya kamu nggak perlu seheran itu, dasar berlebihan!”
Ui membalas dengan kalimat yang masih sama panjangnya, “Yaaah… kukira kamu sudah berubah di kota besar. Atau, siapa tahu kota besar mengubahmu. Kan biasanya begitu orang-orang!”
Yuichi menggeleng-geleng melihat Ui yang masih saja banyak tingkah, “Dari tadi biasanya begini, biasanya begitu. Biasa melulu!”
“Ehehehe~” balas Ui, cengengesan.
Cowok itu lalu mengarahkan kakinya ke kanan, ke satu-satunya kamar kosong di apartemen tersebut.
“Bawaanmu cuma ini?” tanya Yuichi lagi, menyingkir dari ambang pintu agar sahabatnya itu bisa masuk dan melihat langsung kamar barunya dengan jelas.
Ui mengangguk, “Sisanya dikirim pakai ekspedisi. Yang kubawa hanya satu koper itu. Isinya hanya pakaian, laptop, dan alat-alat menggambar. Mungkin besok atau lusa sampai.”
Yuichi mengangguk.
“Kamu lapar kan? Sudah kusiapkan makanan seadanya, kare. Kamu mau?”
Ui tersenyum lebar mendengarnya. Wajar, sebab sudah sejak di stasiun tadi perutnya keroncongan.
“Mau! Mau kare atau omurice atau ramen instan pun, pasti bakal kulahap dalam sekejap! Apa saja tidak masalah, yang penting perut bisa kenyang!” balas Ui riang.
Yuichi turut tersenyum juga. Sudah setahun mereka terpisahkan, semenjak Yuichi pergi ke Tokyo setelah diterima bekerja sebagai programmer di suatu studio gim yang baru beberapa tahun merintis bisnisnya.
“Oke, kutunggu di ruang tengah. Kamu bongkar-bongkar saja dulu,” jelas Yuichi, bermaksud menata makanan yang akan disajikannya terlebih dulu di meja agar kawan lamanya itu bisa segera bersantap.
Namun, Ui malah mematung, kepalanya ditelengkan ke kanan dan kiri sembari jari telunjuknya ditaruh di depan bibir. Yuichi selalu geli saat melihat tingkah Ui yang seperti itu, menurutnya Ui seperti burung perkutut saja.
Ui malah nyengir, “Nanti saja beres-beresnya, kalau aku nggak malas!”
Yuichi menghela napas, “Dasar! Kalau begitu, bantu aku menyiapkan meja.”
Ruang tengah menjadi satu-satunya ruangan serbaguna. Televisi menyala di depan meja. Menayangkan acara ulasan suatu maid café di bilangan Shibuya, yang sekaligus menjadi ajang promosi kafe yang ternyata sedang mengadakan event spesial dengan kostum kucing.
“Ah!” seru Ui, “ada maid café! Duh! Manis-manis banget para maid-nya! Pakai kostum kucing! Apalagi yang berambut kucir dua itu! Aku suka! Suka!” cerocos Ui, matanya yang fokus ke layar televisi, tampak berbinar-binar.
Yuichi menghela napas lelah, “Kesukaanmu terhadap yang beginian nggak berubah juga, ya.”
Mendengar respons kawannya itu, Ui kontan menggembungkan pipi. Kesal rupanya.
“Beginian apa maksudmu? Matamu masih normal kan? Nggak lihat itu maid lucu manis imut dan bikin pengin peluk-peluk? Pasti mereka itu empuk dan lembut semuanya!” serunya, lantas melanjutkan, “kayaknya kamu sudah perlu pakai kacamata, Yui!”
“Makan dulu, sana. Katanya sudah keroncongan kan?” balas Yuichi, kali ini malas meladeni Ui. “Lagipula, sudah kubilang berkali-kali, jangan panggil aku Yui! Kita jadi sering disangka pacaran karena pakai nama panggilan imut-imut begitu.”
Cewek yang diajaknya bicara ternyata sudah melahap sesendok besar nasi karenya. “Yui ya, Yui! Pokoknya Yui! Aku maunya panggil Yui! Yui melulu, selamanya!”
“Setop.”
“Aku mau setop asalkan Yui menemaniku ke maid café yang tadi!”
“Aku bakal memasakkanmu yang enak-enak asalkan kamu berhenti mengajakku ke tempat-tempat begituan.”
“Aku bakal terus memanggilmu Yui, di depan orang banyak, kalau kau terus bilang maid café itu ‘tempat begituan’. Dan jangan kira aku bisa dibujuk dengan makanan enak.”
“Aku bakal—ergh! Setop! Ini nggak ada habis-habisnya!!” seru Yuichi tiba-tiba.
Membuat Ui tertawa dan berkata bangga, “Aku menang! Skor 1-0 untuk Ui!”
Yuichi menghela napas lelah, menepukkan tangannya ke wajah.
“Dan aku terima tawaranmu untuk masak yang enak-enak! Y-U-I ♥”
Tidak tahan dengan sikap semena-mena cewek rambut pendek itu, Yuichi menyentil dahi Ui. Jelas-jelas karena gemas, bukan untuk menyakitinya sama sekali.
“Adaow!” jerit Ui, hiperbola. Lalu dengan ekspresi horor yang dilebih-lebihkan, ia berseru, “KDRT! Yui, suami yang menyiksa Ui, istrinya yang paling menggemaskan!”
Geregetan, akhirnya Yuichi mengalah. “Oke! Oke! Nanti kutemani ke maid café! Sekarang, makan!”
Ui cengir lebar, “Yessir!”
*
“Kamu serius bisa pergi sendiri? Yakin nggak bakal nyasar? Sudah tahu tempatnya? Peta di ponselmu sudah diatur? Tahu harus naik kereta di jalur mana? Nanti kalau ragu, tanya saja ke petugas stasiun, dan kalau tersesat di jalan, kamu cari saja pos pol—”
“Sejak kapan Yui jadi emakku, sih? Kalau kesasar, cari pos polisi. Kalau nggak tahu jalur kereta mana, tanya ke petugas stasiun. Blablablabla. Nggak sekalian tanya aku sudah bawa saputangan atau belum? Atau bekal makan siang sudah dimasukkan ke tas atau belum?”
“Oh iya! Bekal makan siangmu sudah dibawa, kan?”
Kalau biasanya Yuichi yang setengah mati berusaha menghentikan ucapan Ui yang tiada habisnya, kali ini Ui mengambil inisiatif duluan—soalnya kalau tidak, bisa-bisa mereka tidak berangkat juga ke kantor!
Maka Ui menepukkan kedua tangannya di depan wajah Yuichi. Plok!
“Yui! Semua sudah siap. Paham?”
Yuichi mengedip-edipkan matanya sesaat, terkejut dengan tepukan tangan Ui tepat di depan wajahnya, seolah-olah dia baru tersadar.
“O, ooh… Baiklah.”
Ui mengangguk puas, bibirnya terangkat dengan senyum, “Sip! Ayo, kita berangkat!”
Hari ini hari pertama Ui bekerja. Gadis yang sejak kecil bercita-cita menjadi ilustrator itu akhirnya berhasil mewujudkan impiannya dan diterima sebagai ilustrator tetap di suatu studio desain. Tugas utama studio tersebut mendesain dan menggambar karakter untuk produk-produk komersial, namun sesekali mereka dapat pekerjaan membuat latar belakang untuk anime atau gim juga.
Makanya, wajar jika Ui begitu bersemangat di hari pertamanya bekerja ini. Wajahnya berseri-seri, pipinya merah merona, matanya berbinar-binar. Yang paling penting, senyum cerah tidak pernah lepas dari bibirnya.
Yuichi yang melihat kawan baiknya sebahagia itu, tidak tahan untuk tidak menepuk-nepuk puncak kepalanya, maka dilakukanlah itu.
“A-apaan sih, Yui?” ujar Ui, kaget karena tiba-tiba ada sebentuk tangan hangat di atas kepalanya. Padahal gadis itu sudah berpenampilan terbaik dengan mengenakan topi baret merah muda persik favoritnya. “Topiku! Topiku nanti jatuh! Nanti rusak!”
Namun malah dibalas Yuichi dengan tawa, “Memangnya topimu semurahan apa sampai bisa rusak hanya karena kutepuk-tepuk sedikit?”
“Hei! Tidak sopan!” protes Ui, “ini kubeli pas lulus SMA, sebagai bentuk keseriusanku mau menjadi ilustrator profesional, tahu!” imbuhnya, sambil mendorong Yuichi keluar pintu. “Buruan berangkat, kalau nggak nanti aku bisa telat! Meski aku nggak peduli kalau kamu masih mau di depan pintu begini sampai siang nanti dan diomeli atasanmu sampai dipecat, Yui!”
Mendengar itu, Yuichi melirik arlojinya di tangan kiri: sudah menunjukkan pukul setengah 8 pagi. Gawat.
“Ayo!” aba-abanya sembari menarik lengan Ui di belakangnya. Mereka berlari secepatnya, menuruni tangga apartemennya.
Kira-kira 10 menit kemudian mereka sudah tiba di stasiun terdekat. Yuichi terpaksa menunggu kereta berikutnya di jalur 2—kereta yang biasa ia naiki sudah keburu berangkat 2 menit lalu, sementara kereta Ui tidak lama lagi akan tiba di jalur 4.
“Yui? Jalur keretamu di seberang tuh.”
Yuichi hanya mengangguk dan bergumam lirih, “Hmm.”
“Sudah telat, bukan?”
Yuichi balas dengan menghela napas, “Sudah kukabari rekan kerjaku.”
Ui tersenyum, lalu menowel pinggang Yuichi jahil, “Nggak usah ditemani. Aku sudah dewasa, kautahu!”
Yuichi menahan jari-jemari Ui yang tidak bisa diam itu dengan menggenggamnya, lalu menatap mata gadis lekat-lekat, rasa khawatir kentara jelas tergambar di wajah pemuda itu. “Tapi kamu baru kali ini tinggal di Tokyo. Mesti kuberitahu kau, kota besar itu tidak semuanya berisi yang baik-baik. Apalagi di jam-jam sibuk begini, aku khawatir kamu terjepit di kereta.”
Ui mengerucutkan bibir, “Tapi bukan berarti kamu mengantarku sampai depan kantor! Aku bukan anak TK, tahu!”
Yuichi membalas, wajahnya memerah sedikit, “Siapa bilang aku mau mengantarmu sampai kantor? Aku hanya ingin memastikan kamu naik kereta dengan benar dan nggak terjepit di pintu!”
“Aku sudah mengecek jadwal keretanya berkali-kali: kamu yang cerewet menyuruhku sejak kemarin malam! Jadi, mana mungkin salah lagi! Kalau salah, ya berarti itu salahmu! Kalau gara-gara itu aku telat dan dipecat dari perusahaan impianku, ya berarti kamu harus bertanggung jawab dan menikahiku!” balas sang gadis mungil dengan suara lantang, membuat orang-orang di sekitar mereka kontan menoleh.
Yuichi dan Ui mendadak jadi pusat perhatian di peron tersebut.
Ui mendadak menutup mulutnya, baru sadar ucapan apa yang baru saja dilontarkannya. Sungguh, dia hanya kelepasan bicara tadi.
Yuichi mendadak malu hingga rasa-rasanya cowok itu ingin masuk lubang saja jika bisa.
Dan mendadak, wajah mereka berdua terasa begitu panas hingga terona merah seperti kepiting rebus.
Beberapa detik lewat dalam kesunyian—parahnya, bukan hanya mereka berdua tapi bahkan orang-orang sekitar di peron pun turut diam. Hanya terdengar bunyi pengumuman kedatangan dan keberangkatan kereta dari pengeras suara stasiun. Selain itu, semua orang mendadak sunyi, kehilangan suara.
Beberapa detik lagi kereta Ui akan tiba.
Yuichi memberanikan diri bersuara duluan, lebih karena dia tidak tahan melihat Ui menundukkan wajahnya karena malu. “A… aku ke peron seberang ya. Keretamu sebentar lagi tiba, ‘kan?”
Gadis itu mengangguk singkat. Hanya itu jawaban yang Yuichi dapatkan dan cowok itu harus puas dengan itu.
“Ha… hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari aku kalau sudah tiba di kantormu.”
Lagi-lagi dibalas hanya dengan anggukan sunyi. Petugas stasiun sudah mengumumkan kereta di jalur 4 akan tiba. Dari kejauhan pun sudah terdengar suara kereta yang menderu.
“Bye,” tukas Yuichi, mengakhiri percakapan mereka di pagi itu, lantas berlari tunggang-langgang layaknya buronan yang baru saja melakukan kejahatan. Meninggalkan sahabat baiknya sejak kecil, yang masih tertunduk dengan wajah merah di pinggir rel.
*
“Halo! Selamat datang kembali! Panggil saja aku Subaru, Oniisan!”
Tahu-tahu saja ada gadis maid berambut hitam pendek yang tak dikenal di apartemen Yuichi dan Ui hari ini. Maid tersebut menyapa Yuichi yang baru saja pulang bekerja dan masih berdiri di ambang pintu. Cowok itu hanya bisa mematung di tempat saking kagetnya.
Hari itu tepat seminggu setelah kejadian perpisahan yang canggung antara dirinya dan Ui di stasiun pada hari pertama Ui masuk kerja. Belum kelar rasa canggung waktu itu, kini sudah ada kejadian yang berpotensi membuat panas otaknya lagi.
“Ha-haaah??”
Maid itu kembali menyapa, dengan suara cempreng yang agak menyakitkan telinga, “Oniisan mau makan dulu? Mandi dulu? Atau—”
Mendengar dialog yang terlalu pasaran di komik-komik dewasa yang dulu sering dibawa ke sekolah oleh kawan-kawannya, Yuichi kontan mengangkat kedua tangannya dan berkata gelagapan, “Se-sebentar! Aku nggak paham!”
Beruntung pada detik itu, Ui muncul dari ruang tengah, “Ah! Yui! Kamu sudah pulang?” seolah-olah menjadi penyelamat Yuichi yang dalam sekejap merasa akan tenggelam dalam kepanikannya sendiri.
Barulah setelah melihat kemunculan Ui yang masih membawa pentab di tangannya, Yuichi menyadari apa yang sesungguhnya sedang terjadi di apartemennya.
“Maidini kenalanmu, Ui?” tembak Yuichi. Tangannya menunjuk dengan tidak sopan ke arah maid yang kini perhatiannya teralihkan kepada Ui.
Ui mengangguk, senyum riang terkembang di wajahnya. Tampak bangga sekali ia saat berbicara, “Iya! Subaru bukan sekedar kenalan lho! Dia itu sudah menjadi adikku! Bahkan nama keluarga kami sama: Oozora! ‘Kan, Subaru?” tanyanya, memalingkan wajah ke arah si maid.
Si maidmengangguk mengiyakan, lantas membalas, “Subaru dan Ui-neesan satu kantor, nama keluarganya pun sama. Terus, Ui-neesan bilang tinggal seatap dengan teman masa kecilnya. Subaru penasaran, makanya ingin berkunjung. Nggak Subaru sangka, teman yang dimaksud ternyata cowok! Dan namanya mirip pula: Ui dan Yui! Sudah seperti berjodoh~”
“Hei, hei, Subaru! Sudah berkali-kali kubilang kalau Yui itu teman biasa. Yaah, setara kakak cowok, lah. Kamu nggak perlu membesar-besarkan,” jelas Ui. Kata-katanya begitu lugas.
Gadis itu kemudian berpaling, “Yui, kenapa malah bengong di situ? Ayo, masuk! Atau, kamu terpesona dengan betapa imutnya maid-ku? Kuperingatkan lho, Subaru hanya milikku!”
Yuichi menghela napas, “Aku baru pulang kerja, sudah disambut aneh-aneh begini. Kenapa hidupku nggak bisa normal kalau ada kamu, Ui?”
Ui serta-merta menggembungkan pipinya, memeluk Subaru dari belakang, “Apa maksudnya itu? Mestinya kamu turut senang kalau aku senang! Aku baru dapat maid, lho! Sungguhan, lho! Maid yang bisa disentuh, dipeluk, diendus, diraba-raba! Ini surga dunia, lho!”
Pletak!
Yuichi menyentil dahi Ui, “Jaga mulutmu! Perkataanmu tadi sudah kayak om-om mesum saja, Ui!”
“Jadi om-om mesum nggak masalah kok! Bwek!” balas si gadis, menjulurkan lidah. Ia lalu beralih lagi ke Subaru, “Subaru, ayo lanjutkan pekerjaan kita! Abaikan saja oniisanmembosankan itu!” lantas menggenggam tangan maidtersebut dan menariknya ke kamar.
Yuichi menebak, paling-paling dia memaksa Subaru mengenakan baju maid hanya karena ingin menggambar maid. Pemuda itu menggeleng-geleng, “Aku ingin mengasihani Subaru, tapi tampaknya dia juga cukup menikmati cosplay-nya itu.”
Tidak lama kemudian, omelet sosis sudah tersaji dengan nasi putih di atas meja di ruang tengah. Setidaknya, hanya itu yang bisa Yuichi sajikan dengan bahan-bahan terbatas di lemari pendingin.
Yuichi mengetuk pintu kamar Ui dan memanggil, “Hei, kalian berdua, cepat keluar. Kita makan dulu.”
Yang lebih dulu membuka pintu ternyata Subaru, masih belum juga melepas kostum maid-nya. Yuichi bertanya-tanya dalam hati, mau sampai kapan kedua gadis itu melakukan hal yang sia-sia.
“Oh, Yui-niisan!” sapa Subaru, yang melangkah keluar dengan langkah yang agak melompat-lompat. Girang sekali tampaknya dia.
“Makan malam?” kali ini Ui yang berkata, dia masih duduk di depan meja kerjanya. Yuichi balas mengangguk. Ui melanjutkan, “Menunya?”
“Omelet sosis,” balas Yuichi singkat.
Yang dibalas cengiran lebar dari Ui, sebab itu salah satu menu favoritnya.
Makan malam mereka berlangsung ribut, setidaknya begitu menurut pendapat Yuichi. Makan berdua Ui saja sudah ribut, apalagi ditambah Subaru yang ceriwisnya minta ampun. Obrolannya pun masih seputar maid melulu.
Ui mengeluh, “Haaah… Aku kekurangan asupan maid, nih. Yui nggak mau menemaniku ke maid café, sih.”
Subaru menanggapi secepat kilat, membuat Yuichi kehilangan momentum untuk membela diri, “Eeeh?? Kenapa nggak mau?”
Baru Yuichi membuka mulut, sudah keburu disalip Ui lagi, “Soalnya Niisan-mu yang membosankan itu berpendapat kalau maidhobi om-om mesum.”
Yuichi ingin memotong, tapi keburu Subaru duluan, “Eeeh?? Yui-niisan memangnya bukan om-om mesum?”
“Aku bukan—” baru Yuichi bersuara, sudah keburu teredam suara Ui yang membalas menggebu-gebu.
“Seandainya ada satu maid lagi di sini, aku nggak akan menagih-nagih Yui melulu untuk menemaniku ke maid café. Aku akan puas hanya dengan memiliki Subaru dan satu maidlagi. Haaaah… Padahal di sana Yui bisa makan dan minum yang enak-enak dan dilayani pelayan cantik. Dasar Yui jahat, pelit, membosankan, berpikiran sempit, nggak bisa diajak kompromi, tukang ngibul, janji-janji palsu—”
“SETOP!!” Yuichi menggebrak meja. “Oke, oke! Sini, biar aku yang pakai kostum maid-nya! Biar kamu puas dan berhenti menjelek-jelekkanku di depan orang yang baru kukenal hari ini!”
Serta-merta wajah Ui berbinar, cengir mewarna. “Sekarang juga? Detik ini juga?”
Yuichi menghela napas keras-keras, “Terserah kamu mau sekarang atau besok! Yang penting percakapan ini selesai! Aku hanya mau makan dengan tenang!”
“Yeaaay~” seru Ui riang, segera ia beranjak dari ruang itu untuk pergi ke kamarnya, dan kembali tidak sampai semenit kemudian—sambil menenteng kostum maidmerah muda dengan motif bunga matahari kecil-kecil di celemeknya. “Kurasa yang ini ukurannya pas buat Yui!”
Komentar terakhirnya itu membuat Yuichi bertanya-tanya sebenarnya berapa banyak dan beragamnya koleksi kostum maid Ui. Tapi, otaknya menyadari ada masalah yang lebih besar dibanding itu, masalah yang dicarinya sendiri.
Meneguk ludah gugup, Yuichi menerima pakaian yang disodorkan.
“Nggak usah tegang begitu, Niisan! Dijamin Niisan bakal tampil memesona!” ujar Subaru sambil menepuk-nepuk pundak Yuichi.
“Percaya diri dong, Yui! Meski kamu sama sekali nggak populer, begitu pakai kostum maidpasti populer! Memang begitu keajaiban kostum maid!” imbuh Ui, sambil mendorong Yuichi ke pintu kamarnya.
“Mana ada keajaiban kayak gitu!” geram Yuichi.
“Sudah, sudah!” angguk Subaru, sambil membantu mendorong Yuichi pula bersama Ui. “Ayo, segera ganti pakaian, Yui-niisan! Kami menunggu~”
Sebelum menutup pintu kamarnya, Yuichi mengultimatum mereka berdua, “Awas saja kalau ada yang mual-mual dan muntah begitu melihatku mengenakan kostum maidmerah muda begini! Nggak akan kumaafkan kalian!”
Dari luar pintu kamarnya, Yuichi bisa mendengar cekikik dua gadis itu.
Yuichi menarik napas dalam-dalam dan mengepalkan tangannya: cowok sejati nggak akan menjilat ludahnya sendiri!
Pemuda itu pun mulai mengganti pakaiannya dengan tekad baja seolah ia akan bertempur di medan perang, yang sama sekali tidak cocok dengan kostum maid yang manis dan lucu.
“Aku pasti bakal jadi bahan tertawaan.”
*
Sore itu, tiba-tiba masuk pesan tak diduga ke ponsel Yuichi. Dari Subaru.
“Yui-niichan! Hari ini bakal ada berita bagus lho! Dari Ui-neechan lho! Nantikan dengan tidak sabar di rumah, ya~!”
Yuichi membacanya sambil mengerutkan kening. Sejak ‘insiden’ kostum maid beberapa minggu lalu yang ternyata berakhir—sesuai dugaan—tawa terbahak-bahak Subaru, kebingungan Ui, dan perasaan kacau-balau Yuichi, cowok itu jadi agak curigaan tiap kali Subaru bilang akan ada ‘kejutan’, apalagi kalau sudah kongkalikong dengan Ui.
Kombinasi keisengan mereka berdua tidak terkalahkan.
“Oh iya! Sekalian Subaru kirim foto kita berdua pakai kostum maid waktu itu! Yui-niichan belum punya kan?”
Membaca pesan kedua dari Subaru, Yuichi buru-buru membalas singkat, “Nggak usah!”
Yuichi masih ingat benar insiden tersebut, melekat jelas di otaknya dan selalu berhasil membuatnya menggertakkan gigi tiap kali ingat.
Malam itu, begitu keluar kamar dengan kostum maid merah muda motif bunga matahari, kedua gadis tersebut menyambutnya dengan respons yang bertolak belakang: Subaru dengan tawa keras membahana, Ui dengan kepala ditelengkan ke samping dan bertanya dengan nada terheran-heran.
“Kok, sepertinya ada yang kurang, ya? Kayak ada yang salaaaah, gitu? Kenapa, ya? Apanya yang beda, ya?” bingung Ui.
“Bwahaha… Ya iyalah, nggak pas! Ya iyalah ada yang salah! Bwahahaha~ Yui-niichanimut bangeeeet! Subaru kalah!”
Mendengar serta melihat respons keduanya membuat perasaan Yuichi campur-aduk: malu, kesal, sedih, bahkan jijik dengan dirinya sendiri bercampur jadi satu.
“Ya iyalah, nggak pas! Aku cowok!” balas Yuichi sambil mengentakkan kakinya keras-keras menuju Ui. Lantas mencubit pipinya gemas, “Kamu kan yang menyuruhku! Kamu sendiri kan! Ayo, tanggung jawab!”
Dengan pipi masih dicubit, Ui membela diri, “Heshinya hoshum myaid hisa hihin syiha syaja hadi hanis!”
“Manis apanya? Kamu saja nggak suka!” kesal Yuichi, lalu berpaling ke Subaru, “Hei, yang di sana! Berhenti tertawa!”
Subaru buru-buru menutup mulutnya, setidaknya dia sudah berusaha menahan tawanya, meski tetap saja gagal.
Alih-alih berhenti tertawa, Subaru justru mengeluarkan ponsel pintarnya dan berkata seolah ia baru mendapat ide brilian, “Yuk, foto bareng, Yui-niichan!”
“Ogah ba—”
Mata Ui segera berbinar mendengarnya, “Hihe hagus!” lantas meloloskan dari cubitan Yuichi, mengambil ponsel Subaru dan berkata pada gadis itu, “Sana, berdiri bersebelahan dengan Yui! Biar aku yang memotret kalian! Ini bakal jadi kenang-kenangan indah dan bakal kusimpan baik-baik!”
Yuichi mendengus sambil bergumam lirih, “… Indah apanya…. Nggak usah disimpan segala….” namun cowok itu—seperti biasa—menurut saja diperintah Ui meski sambil mengeluh tiada henti.
Lamunan Yuichi terusik dengan bunyi ponselnya: Subaru mengirimkan foto mereka berkostum maid waktu itu. “Sudah dibilang, nggak usah dikirim…. Dasar Oozora Kuadrat menyusahkan.”
Ui pulang tepat setelah Yuichi selesai mandi. Ia memergoki gadis itu tengah mengintip lauk makan malam yang sudah Yuichi sajikan di atas meja.
“Ah, Yui! Malam ini menunya rebusan lobak?” tanyanya dengan nada kecewa. Ui tukang pilih-pilih makanan. Lobak termasuk yang tidak disukainya.
Yuichi menghela napas, “Makan sayur, supaya sehat! Lagian, ada ayam kecap juga, tuh.”
“Aku nggak makan sayur pun, tetap sehat kok! Pupku juga selalu lancar kok! Yui saja yang terlampau kayak emak-emak, mengurusiku lebih parah dibanding ibuku sendiri!”
Yuichi menyilangkan tangan, “Kalau tidak mau, nanti kupaksa makan! Dan sudah kubilang berkali-kali, cewek nggak boleh nyebut ‘pup pup’ sembarangan!”
Alih-alih berhenti, Ui semakin menjadi, “Suka-suka aku mau ngomong apa! Suka-suka aku juga mau makan apa! Pokoknya aku cuma mau makan ayam kecap! Yui habisin lobaknya sampai puas, sana!” cerocosnya tanpa henti, lalu kabur secepat kilat ke kamarnya.
Namun, beberapa detik setelahnya, gadis itu kembali melongokkan kepala dari pintu kamarnya, memanggil, “Ah, aku jadi lupa bilang. Perusahaan game developer-mu sudah resmi akan bekerja sama dengan kantorku, Yui. Subaru ditunjuk jadi penanggungjawabnya dan aku jadi stafnya.”
Sekonyong-konyong Yuichi mempertanyakan pendengarannya, “Haaah?”
“Artinya, kita bakal buat gim bareng, Yui. Senang ya! Hehe~”
Lantas gadis itu menutup pintu kamarnya. Membuat Yuichi yang belum mencerna kabar mengejutkan tersebut dengan baik, semakin bertanya-tanya apa dia tidak salah dengar.
Buru-buru Yuichi menghampiri pintu kamar Ui dan berbicara dari luar, “Aku… nggak salah dengar kan? Kamu… serius?”
Suara Ui terdengar sedikit teredam dari balik pintu kamar, “Iya. Impian kita dari kecil akhirnya bisa terwujud, Yui,” ada sedikit aksen haru dari nada suara Ui. Gadis itu pasti menganggap kerja sama perusahaan mereka bagai takdir khusus. Sesuatu yang sakral, yang barangkali akan mengubah sesuatu dalam hubungan mereka berdua.
Namun, Yui yang masih terkejut, tidak mampu merespons apa-apa.
“Ini, sih… bukannya sekedar ‘berita bagus’, Subaru,” lirihnya ke udara kosong.
*
Yuichi tiba di maid café tujuan sedikit lebih cepat dibanding waktu janjian. Cowok itu melongok ke sana-sini, mencari rambut pucat yang ditemuinya setiap hari. Seorang maid menghampirinya, bertanya apa dia sudah bikin janji? Jika sudah, atas nama siapa?
Maka, dengan kegugupan yang kentara—mestinya Ui yang mengurus beginian! Malu sekali rasanya Yuichi bercakap-cakap dengan maid sungguhan!—Yuichi menjawab, “Eerm… atas nama Oozora Ui?”
Wajah maidberkuncir ekor kuda itu tampak paham, “Oh! Nona yang sudah memesan jauh-jauh hari! Aku mengingatnya karena dia begitu antusias!”
Di kepala Yuichi langsung terbayang wajah dan gestur Ui yang penuh semangat saat memesan tempat untuk hari ini, membuat Yuichi tidak bisa menahan senyum.
“Dia baru mendapat proyek besar pertamanya. Aku ingin mendukungnya sekuat tenaga, makanya aku menemaninya ke sini,” ujar Yuichi lagi kepada maid yang hendak mengantarnya ke meja di sisi jendela, agak ke belakang kafe. Maid tersebut membalasnya dengan senyum.
Ui mengajak Yuichi ke maid café sebagai perayaan dimulainya kolaborasi kedua perusahaan mereka. Padahal Yuichi awalnya enggan, sebab dimulainya kolaborasi berarti mereka berdua baru akan mulai bekerja keras. Harusnya perayaan dilakukan setelahbekerja keras.
Namun, dasar Ui, dia malah memaksa, mengungkit-ungkit janji Yuichi untuk mengajaknya ke maid café. Berhubung sudah janji, terpaksa Yuichi menurut.
“Aku harus menjadikan hari ini lebih spesial lagi demi dia,” ujar Yuichi, penuh maksud. Tiba-tiba muncul ide bagus di kepalanya, yang ia harap akan membuat Ui senang.
Namun, di tengah perjalanan ke mejanya, sekonyong-konyong ada dua lengan mungil melingkar di pinggang, memeluknya dari belakang. Suara bernada riang terdengar menyusul, “Yui! Curang! Kamu sudah sama maid duluan!”
Sang maidtampak sama terkejutnya dengan Yuichi.
“Hei! Jangan main peluk-peluk orang sembarangan!” protes Yuichi, wajahnya memanas, sementara maid di sampingnya terkikik tertahan.
Alih-alih melepas, Ui malah makin mengeratkan pelukannya. Gadis itu bahkan menggesek-gesekkan pipinya ke punggung Yuichi, “Nggak mau! Dingin tahu! Di luar gerimis, tahu! Aku butuh kehangatan, Yui!”
Yui melepas jari-jemari Ui yang mungil dari tubuhnya dengan paksa, lantas menunjuk maidyang jadi salah tingkah di dekat mereka, “Itu! Ada maid! Yang kamu puja-puja! Peluk maid saja, sana! Cewek nggak boleh peluk cowok sembarangan! Kalau itu cowok jahat gimana?”
Ui mengerucutkan bibirnya kesal, “Tapi ini Yui! Yui nggak jahat! Lagian, kita teman sejak kecil, tinggal seatap pula! Nggak masalah!” protes Ui, lantas beralih ke maid yang melayani mereka, “Oh, wahai maid cantik berkuncir kuda! Boleh kupeluk? Berhubung teman sejak kecilku ini pelit banget dipeluk.”
Maid tersebut memandang bingung Yuichi, yang dibalas pemuda itu dengan tatapan mohon maaf. Lantas, dengan agak mengalah, ia membiarkan Ui memeluknya erat-erat.
“Ui! Ayo, ke meja dulu! Kalau berlama-lama, sisa waktu kita terbuang percuma!”
Ui berbalik menoleh Yuichi, “Uuh… Kenapa waktu kunjungan maid café dibatasi per jam, sih?” lantas menuruti perkataan Yuichi dan berjalan dengan patuh menuju meja pesanan mereka.
Di luar hujan menderas walau tidak berpetir. Meja mereka yang bersisian dengan jendela membuat Yuichi dan Ui dapat melihat betapa derasnya hujan sore itu. Yuichi melirik Ui dan berkata, “Kuharap tidak ada petir. Kalau nanti kamu takut, kita pulang saja.”
Ui berpaling dari jendela dan menatap Yuichi. Suaranya lirih, “Yui, kamu ingat? Waktu SD dulu aku pernah numpang main gim di rumahmu saat hujan deras dan tahu-tahu padam listrik?”
Yuichi mengerutkan kening, mana mungkin dia melupakan kejadian itu. Yuichi terjebak di sekolah karena hujan dan Ui bermain gim konsol sendirian di rumahnya. “Ya, mana mungkin aku lupa. Listrik padam satu desa gara-gara tersambar petir.”
Ui mengangguk samar, “Sejak saat itu, aku takut petir.”
“Ya, kamu pasti trauma. Sendirian di rumah orang dan dikelilingi kegelapan. Aku menyesal waktu itu tidak nekat saja menerobos hujan untuk menyusulmu cepat-cepat. Wajar kamu takut petir sejak saat itu.”
Kali ini, Ui justru menggeleng, “Bukan. Bukan itu,” suaranya makin lirih, “aku takut petir karena… aku merasa bersalah telah menghilangkan save-an gim milikmu. Gara-gara listrik padam mendadak. Mestinya… aku nggak main gim di rumahmu.”
Yuichi tertegun. Ia baru dengar soal itu. Selama ini dia mengira Ui takut petir hanya karena trauma biasa, yang tidak ada hubungan dengan dirinya. “A-aku… baru tahu. Kamu nggak pernah ngomong soal itu.”
Sebagai balasan, Ui tersenyum sendu, “Itu karena aku takut kamu marah. Aku tahu kamu mati-matian menamatkan gim itu, tapi malah kuhilangkan datanya,” gadis itu lantas mendadak sunyi beberapa jenak, “maafkan aku.”
Baru Yuichi ingin membalas, namun seorang maid terlanjur menginterupsi dengan mengantarkan makanan penutup mereka: parfaitcrepes dengan dua ceri merah sebagai topping untuk Ui dan limun soda untuk Yuichi.
Dengan cekatan, Yuichi mengambil kedua ceri itu sebelum sang maid meletakkannya di atas meja. Ui kontan menjerit, “Hei! Itu milikku!!” yang hanya dibalas Yuichi singkat, “Tunggu, aku hanya pinjam sebentar.”
Ui menggembungkan pipinya sambil bilang terima kasih kepada maid, “Pinjam? Buat apa? Seenaknya merebut ceri orang!”
“Sudah, kamu diam dulu, ya?” tukas Yuichi. Tangannya dengan canggung mengikatkan kedua tangkai ceri itu menjadi satu, membuat lingkaran yang seukuran cincin. “Kemarikan tanganmu.”
Masih dengan pipi menggembung kesal dan ekspresi bingung, gadis itu menurut saja dan menengadahkan tangan kanannya ke arah Yuichi, mengira akan diberikan kembali cerinya.
Namun, bukannya diletakkan begitu saja, Yuichi malah meraih tangan Ui dan—betapa mata Ui terbelalak heran di momen itu—melingkarkan ceri itu di jari manis Ui. Sebagai cincin.
“Eh? Lho? Sebentar…” Ui tergagap-gagap. “Kok? Ini kayak cincin saja, Yui? Lucu sih, tapi… Aku nggak paham?”
Yuichi tersenyum, “Memang cincin. Untuk sementara.” Yang dibalas dengan raut bingung dan alis terangkat di wajah Ui.
Maka, Yuichi berkata lagi, “Ui, aku bisa minta keluargaku mengirim konsol lamaku di desa dan main ulang gim waktu itu sampai tamat. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi soal itu.”
Ui mengangguk lemah.
“Lalu, mulai sekarang kita bisa main gim bareng banyak-banyak. Bahkan mewujudkan impian kita dulu untuk membuat gim bersama. Itu… kalau kamu bersedia untuk tetap bersamaku di masa depan.”
Kontan wajah Ui memerah. Sekujur tubuhnya panas. Tangannya yang mungil menutup di depan bibirnya. Matanya berkaca-kaca. Ia tidak mampu berkata apa-apa.
Yuichi segera merasa ingin kabur saja dari tempat itu, sebab momen-momen sunyi itu membuatnya takut. Masalahnya, ia belum mendapat jawaban dari Ui. Maka, pemuda itu melirik kawannya itu ragu-ragu.
Menanti jawaban.
Ui, di sisi lain, tersenyum bahagia. Senyuman yang jarang diperlihatkannya—bukan cengiran iseng atau tawa riang, melainkan senyum tulus yang tampak dewasa.
Lantas, gadis itu berkata, “Terima kasih, Yui. Aku dengan senang hati ingin terus bersamamu, selamanya.”
Tepuk tangan dan siulan meriah yang mendadak dari seisi kafe menyadarkan Yuichi dan Ui bahwa bukan mereka berdua saja yang memperhatikan momen-momen berharga tersebut.
Maid berkuncir kuda memanggil kawan-kawannya yang segera berbondong memberikan selamat kepada mereka berdua.
“Wah, selamat! Semoga berbahagia!”
“Semua menu yang Anda berdua makan hari ini digratiskan!”
“Baru kali ini sepanjang karierku, aku melihat ada yang melamar di maid café!”
“Sebaiknya kita ambil foto buat kenang-kenangan!”
Mendengar yang terakhir itu, Yuichi kontan menolak, “Oh, tidak usah, terima kasih.”
Ui, di sisi lain meja, sudah berdiri duluan. “Oke! Ayo, kita berfoto, Yui! Sebelum cerinya keburu kumakan!” sambil menarik lengan Yuichi.
Yuichi, salah fokus saking paniknya, malah bertanya, “Cerinya masih mau kamu makan?”
Yang dibalas dengan cengiran—kali ini yang biasa terlihat, cengiran usil, “Tentu saja mau!” dari Ui yang kini telah resmi menjadi tunangannya.
TAMAT
January 8, 2021
[Cerpen] Bunga di Ujung Hidung Anjingku
Bunga di Ujung Hidung Anjingku
(Duniamimpigie)
Tumbuh bunga di ujung hidung anjingku.
Kelopaknya mungil berwarna kuning keemasan serupa bulunya. Serupa dedaunan pohon ginkgo di luar jendela apartemenku di musim kering. Aku menyukainya. Kurasa bunga kecil itu cocok untuk anjing lemon beagle-ku.
Aku suka anjing.
Aku suka bunga.
Kini, kumiliki anjing berbunga.
Hidupku sempurna.
… Sampai detik ini aku masih bertanya-tanya kapan ia lahir, saking inginnya aku merayakan ulang tahunnya. Namun, tiap kali kutanya, anjing berbungaku hanya mengguguk saja.
*
Pengidap pertama penyakit Parasit Bunga—bukan nama ilmiah yang dikeluarkan para peneliti secara resmi, tapi aku dan masyarakat awam lainnya lebih suka menyebutnya demikian—ditemukan kira-kira dua bulan yang lalu. Setidaknya, itu yang kompak dilaporkan oleh media massa di negara-negara besar di seluruh penjuru dunia. Meskipun, banyak orang berspekulasi bahwa sebetulnya pandemi ini sudah berlangsung lebih lama dari itu.
Masyarakat dunia gempar seketika. Ramai menyalahkan sekelompok pendaki Gunung Lamayahi yang telah memetik dan membawa pulang rumput Bunga Dewies. Padahal warga setempat sudah memperingatkan bahwa jenis rumput itu dilarang dibawa pergi dari puncak gunung tersebut, sebab, mereka percaya itu bunga piaraan dewa-dewi yang bersemayam di sana. Jika dibawa turun, tentu saja dewa-dewi penguasa jagat itu akan marah besar dan menimpakan azab kepada umat manusia.
Aku tidak memercayainya.
Maksudku, aku tidak memercayai dewa-dewi itu. Baik keberadaan mereka maupun kelihaian mereka perihal mengurus bunga ataupun umat manusia—mengingat situasi keduanya kacau-balau. Omong kosong saja.
Setelahnya, para peneliti gabungan dari universitas-universitas terkemuka di dunia berlomba mencari tahu penyebab munculnya penyakit tersebut dan kecurigaan pertama mereka terarah pada Bunga Dewies. Lantaran pasien pertama yang tercatat—yang adalah pendaki berkebangsaan Achni—mengaku telah memetik bunga sakral yang membeku sepanjang tahun tersebut, membawanya turun ke kaki gunung hingga meleleh, lantas menyeduhnya sebagai teh.
Segera setelah meminum tehnya, muncul dua kuntum bunga berwarna bangbang di pelipis kanan sang pendaki.
Aku jadi teringat Maleek.
Pria itu dulu pernah berangan-angan muncul penyakit yang indah di dunia ini. Aku mengangguk saja sambil lalu waktu itu, tak begitu peduli. Toh, itu bukan kali pertama—dan aku yakin bukan pula kali terakhirnya—dia mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal.
Maleek memang pria yang pikirannya penuh dengan ide-ide tidak masuk akal.
Menurutku, ‘penyakit yang indah’ bukan ide terliarnya. Jauh dari itu, malah. Aku tidak mau menjabarkan apa-apa saja imajinasi liar Maleek lainnya, aku tidak seluang itu dan jelas aku tidak ingin terlampau sering mengungkit-ungkit pria itu lagi.
Hanya saja, tiap kali aku melihat orang dengan bunga beragam warna dan bentuk tumbuh di kepala, wajah, lengan, dan kaki di televisi atau internet (bagian dada dan perut jarang kulihat, karena jelas itu bukan bagian-bagian yang bisa diekspos sembarangan), aku langsung teringat Maleek dan ide anehnya itu.
Barangkali detik ini dia sedang menulis kerangka novel baru berkat Pandemi Parasit Bunga ini.
Barangkali cerita mengenai ‘penyakit yang indah’ yang sejak lama didamba-dambakannya untuk ditulis, akan terwujud berkat pandemi ini.
Guk.
Ah, Anjing memanggilku.
Ya, anjingku bernama Anjing. Aku terlampau malas—meski alasan yang sering kuutarakan ke orang lain adalah: aku bukan orang yang kreatif—untuk memberinya nama lain.
Anjing bernama Anjing. Itu sudah cukup bagus buatku.
“Hei, kau tak ingin ulang tahunmu dirayakan?”
Aku ingat hari pertama menyaksikan sekuntum bunga kuning keemasan berkelopak empat tumbuh di ujung hidung Anjing. Aku sampai mengerjap-erjapkan mata, tak percaya. Merasa bak kembali ke masa beberapa tahun silam, saat membaca buku cerita anak bergambar di ruang kerja Maleek—ada salah satunya tentang seekor anjing yang menanam bunga dengan penuh kasih-sayang dan keuletan, namun sang bunga menolak mekar bertahun-tahun hingga akhirnya si anjing keburu mati sebelum melihatnya mekar. Kisah yang terlalu tragis untuk cerita anak, sebetulnya.
Di hari pertama itu, saking tak percayanya aku hanya bisa terbengong-bengong sepanjang pagi, menatap bunga mungil di hidung Anjing.
Baru pada tengah harinya tubuhku mau diajak bekerja sama dan bisa bergerak untuk pergi ke rumah sakit terdekat. Begitu berdiri di depan meja resepsionis, barulah kusadar kalau itu rumah sakit untuk manusia, bukan hewan. Pantas saja orang-orang menatapku aneh.
Seorang perawat berbusana bagaikan astronot segera menghampiri, memasangkan masker bulat yang menyesakkan ke wajahku—tanpa meminta izin!—dan mengambil Anjing dari pelukanku—ya, aku juga baru sadar kalau aku menggendongnya begitu saja di tangan, tanpa kurungan, tanpa setidaknya kain selimut.
Perawat itu bilang dengan nada tinggi, “Anda harus segera dicek juga,” seolah-olah menyalahkanku yang panik membawa anjingku yang kemungkinan besar terpapar Parasit Bunga tanpa pengaman apa pun ke ruang publik.
Tapi aku sedang panik.
Apa boleh buat, ‘kan?
Mana ada orang yang bisa berpikir jernih di kala panik.
Maka aku menurut saja waktu itu. Diantar—dengan agak didorong-dorong paksa—ke ruang periksa. Lalu aku diini-itukan dengan berbagai peralatan kedokteran yang sama sekali tak kupahami. Lantas ditanyai ini-itu pula oleh banyak orang yang berpakaian seperti astronot, aku bahkan tidak bisa mengenali lagi yang mana dokter, yang mana perawat, yang mana pegawai kebersihan, dan yang mana penjual susu di kantin rumah sakit.
Saat itu inginnya aku cepat-cepat pulang saja.
Mengambil Anjing dari entah ruang periksa mana, lalu memanggil taksi dan pulang ke apartemen kami berdua. Masa bodoh dengan dunia sekitar yang ikut terpapar dan sekarat akibat penyakit kami—penyakit Anjing, maksudku, karena aku belum ketahuan positif atau tidaknya terjangkit Parasit Bunga.
Aku jadi teringat Maleek.
Kali pertama aku bertegur sapa dengan pria itu adalah di hari ulang tahunnya. Katanya, dia sedang mencari makan siang di jalanan sekitar rumah—padahal seingatku kala itu pukul 6 petang, karena aku baru keluar kantor—lalu tahu-tahu dia melihat kucing berbulu hitam yang menatapnya lekat-lekat. Dia bilang kucing itu menyuruhnya untuk mengikuti. Usai berjalan jauh-jauh mengekor kucing itu, sampailah ia ke hadapanku.
Ucapan pertama yang keluar dari bibirnya untukku:
“Seekor kucing hitam mengantarku kepadamu. Apa kau sebetulnya penyihir yang sedang menyamar dan kucing hitam tadi pesuruhmu?”
‘Mau menggombal pun ada batasnya!’, begitulah pikirku kala itu.
Aku dalam kondisi lelah fisik dan mental setelah seharian mencoba melobi klien untuk menyewa jasa perusahaanku untuk proyek konstruksinya, di perjalanan pulang malah dicegat seorang pria tak dikenal yang tahu-tahu meracau tanpa juntrungan!
Dia bahkan menuduhku penyihir! Memangnya dia kira ini abad ke-15, apa? Aku bakal dieksekusi setelah dituduh penyihir tanpa dasar, begitu!?
Geram aku!
Baru aku ingin menjawab, “Maaf, saya sedang buru-buru. Tak ada waktu untuk meladeni apa pun urusan Anda”, tapi Maleek sudah keburu melanjutkan ocehannya.
“Kebetulan hari ini aku berulang tahun. Mau kutraktir sesuatu? Belum makan, ‘kan?”
Ketika aku ingin menjawab—untuk kesekian kalinya—lagi-lagi Maleek menyalip, “Sebagai gantinya, aku ingin kau mengajariku mantra pemanggil barang. Aku selalu kesusahan mencari sesuatu di saat kuperlukan dan itu bikin aku frustrasi. Kautahu ‘kan?”
Kukira dia sinting.
Ralat. Kuyakindia sinting.
Hanya saja, aku malah turut dengannya. Bak kerbau yang dicocok hidung. Bak ikan yang dijala pelet lezat.
Terpancing. Terpancing. Ah.
Barangkali aku begitu kesepian saat itu.
Dan lelah.
Beberapa jam usai perkenalan—kalau memang fenomena ajaib itu bisa disebut perkenalan—dan makan siang yang-bagiku-makan-malam, dia akhirnya sadar kalau aku bukan penyihir. Tetapi, sebagai gantinya, aku menawarkan diri untuk mencarikan barang-barang yang diperlukannya meski tanpa mantra, sejak hari itu.
*
Guk.
Anjing menyambut kepulanganku, tepat di balik pintu apartemen.
Ia kini memiliki mahkota bunga yang melingkari kepala. Ia jadi tampak manis sekali, seolah hendak diikutkan kontes.
Aku baru dari rumah sakit, mengambil hasil laboratorium milikku dan Anjing—akhirnya rumah sakit manusia yang kudatangi dalam keadaan panik pekan lalu bersedia bekerja sama dengan klinik hewan terdekat untuk mengurus kasus Anjing.
Konon, hasilnya Anjing positif terjangkit Parasit Bunga. Sementara aku tidak.
Bagaimana bisa begitu?
Tapi, aku memang bukan majikan yang penuh kasih sayang, kuakui.
Aku tidak pernah memeluk atau menciumi Anjing tiap kali akan berangkat maupun sepulang kerja. Biasa saja. Pun tidak pernah kupanggil-panggil ia dengan sayang atau bersikap gemas padanya.
Meski begitu, aku tetap merasa sangat amat tersinggung ketika salah satu dokter rumah sakit menahan lima detik kepulanganku hanya untuk memberiku nasihat-yang-ingin-kuludahkan-kembali-padanya, “Ma’am, tolong jangan lempar anjing peliharaan Anda begitu saja dari jendela apartemen. Bagaimanapun, dia hewan peliharaan yang bernyawa, yang telah menemani hidup Anda selama ini. Jangan mengakhiri hidupnya dengan cara kejam. Jika Anda berkenan, boleh datang lagi untuk melaksanakan eutanasia terhadapnya. Jangan lupa terapkan pola hidup sehat jika Anda bersikeras ingin tetap memeliharanya.”
Sungguh, seandainya ludah bisa berupa kata-kata, ingin kuludahi balik dia dengan kata-kata serupa!!
Tapi sebagai wanita dewasa bermartabat, aku hanya membalas sopan selayak yang kulakukan saat berhadapan dengan klien atau atasan, “Baik, terima kasih atas saran Anda, Dok.”
Kutatap Anjing di depanku. Ekornya bergerak-gerak.
Setiap bunga yang melingkari kepalanya memiliki warna dan bentuk yang seragam: kuning lemon yang sesekali diselingi putih—dari berita-berita yang kudengar, para peneliti berhasil mengetahui bahwa Parasit Bunga mengambil warna dari pigmen tubuh inangnya.
Jadi, kalau aku tertular Parasit Bunga, bunganya akan sewarna gading dengan bercak hitam atau kadru, mungkin?
Kalau Maleek, pasti kelopaknya berwarna sawo matang dengan aksen hitam. Seperti warna rambut dan kulitnya. Atau mungkin sedikit campuran biru langit, seperti warna matanya.
Ah, aku jadi teringat Maleek lagi.
Maleek alergi bulu hewan. Padahal aku suka anjing, tapi tak bisa kupelihara sementara aku tinggal seatap dengannya.
Hampir sepuluh tahun lamanya kami hidup bersama. Tidak menikah, sebab aku maupun Maleek sama-sama tidak berniat ke arah sana. Apalagi memiliki anak.
Makanya, setidaknya aku ingin memelihara hewan berbulu—anjing, kalau boleh.
Pria itu sebetulnya membolehkanku memelihara apa pun—“Dengan catatan bukan naga atau dinosaurus atau paus yang besarnya melebihi rumah kita,” ucapnya dengan mimik serius, seolah seorang waras benar-benar mungkin memelihara ketiga makhluk yang dilontarkannya barusan—juga asalkan hewan itu ditempatkan di ruangan pojok yang tidak perlu dimasukinya dalam kondisi apa pun.
Tapi aku urung waktu itu, memikirkan kesehatan Maleek, apalagi mengingat kesibukannya sebagai penulis.
Tapi tak masalah, toh kini aku punya Anjing. Keinginanku sudah terkabul.
Anjing datang begitu saja saat aku baru pindah ke apartemen ini. Tepat di hari ulang tahunku tiga tahun silam. Yang sekaligus menjadi hari perpisahanku dengan Maleek.
Takdir memang aneh. Aku berjumpa Maleek di hari ulang tahunnya, hanya untuk berpisah kemudian di hari ulang tahunku.
Aku lupa apa yang jadi penyebab perpisahan kami. Yang pasti, kami berpisah begitu saja. Tak ada drama, pertumpahan air mata, pecahnya barang, atau adu mulut lantang-lantang.
Aku bilang, “Ingin pergi.”
Lalu Maleek bilang, “Silakan.”
Begitu saja.
Selesai.
Tanpa kelanjutan apa-apa.
“Hei, kapan kamu berulang tahun? Apa akan terjadi sesuatu yang memutarbalikkan hidupku lagi di hari ulang tahunmu, Anjing?”
Namun, lagi-lagi, anjing berbungaku hanya mengguguk.
*
Sepanjang pekan ini Anjing semakin sulit berjalan akibat bunga-bunga yang tumbuh lebat di kaki-kakinya.
Meski begitu, aku tidak menemukan kesulitan berarti untuk merapikan seluruh penjuru apartemen agar Anjing bisa bergerak dengan nyaman, meski harus terseok-seok.
Pasti lain halnya andai aku masih hidup bersama Maleek.
Tidur seranjang dengan Maleek berarti tidur di atas tumpukan buku, dalam artian sebenarnya.
Di kolong ranjang Maleek terdapat ‘hutan ajaib’—setidaknya dia menyebutnya demikian—yang saking penuhnya dengan buku, aku merasa takkan sanggup kalau harus membongkar dan merapikan semua. Untung saja Maleek tidak pernah meminta bantuanku untuk mencari buku, tak peduli yang di kolong ranjang maupun yang berserakan di rak-rak, laci-laci, bahkan di lantai ruang televisi, ruang makan, dan dapur rumah kami.
Ralat, rumahnya.
Sementara, apartemen mungil ini rumahku. Bersama Anjing.
Yang tidak berserakan buku.
Apartemenku minimalis, rapi dan tertata. Aku sampai heran bagaimana bisa aku tahan bertahun-tahun tinggal bersama orang yang kerjanya menaruh buku di sembarang tempat.
Omong-omong, yang terkonfirmasi terjangkit Parasit Bunga di seluruh dunia pada pekan ini sudah mencapai 1 juta jiwa, hanya tiga bulan semenjak penyakit tersebut ditemukan. Dan angka itu belum termasuk makhluk hidup selain manusia.
Sedangkan kematian sudah mencapai 50 ribu jiwa—lagi-lagi angkanya hanya untuk manusia—termasuk di dalamnya si Pendaki yang memetik Bunga Dewies dari puncak Gunung Lamayahi.
Panik melanda seisi dunia, mengingat persebaran serta tingkat kematian yang begitu tinggi. Namun, tampaknya masing-masing orang memiliki cara mengatasi paniknya: ada yang berdoa sepanjang hari—berlutut dan bersujud di tempat ibadah, mengharap ampunan Tuhan dan Dewa-Dewi; ada yang memborong barang-barang kebutuhan pokok serta obat-obatan, hanya untuk dibiarkan terbengkalai hingga akhirnya tersia-siakan sementara orang yang betul-betul memerlukannya justru tidak bisa mendapatkannya; ada yang menyikut sana-sini untuk mendapatkan fasilitas kesehatan terbaik meski pakai cara culas; ada yang acuh tak acuh, tetap bepergian sekehendak hati seolah sedang tidak berada di puncak masa pandemi; ada yang—kalau yang ini aku tidak mengerti isi pikiran mereka—berdemo besar-besaran menuntut pemerintah negaranya mundur dari tampuk kekuasaan hanya karena gagal menyediakan tisu toilet selama tiga bulan masa pandemi untuk setiap warga negaranya.
Yang pasti, tiap kali keluar rumah, semua orang disarankan—dan dipaksa—mengenakan masker pernapasan yang bentuknya bulat, seperti cangkang telur, yang dipasang menutupi seluruh wajah. Itu karena para peneliti memastikan penyebaran pandemi ini melalui serbuk yang terdapat di kelopak-kelopak bunga parasit hidup yang masuk melalui saluran pernapasan.
Oh.
Ini berarti, sudah hampir sebulan aku hidup berdampingan dengan Anjing yang telah dinyatakan positif terjangkit Parasit Bunga, namun sampai detik ini belum ada bunga berwarna-warni yang tumbuh di tubuhku.
Tak ada yang tahu—dan tak perlu ada yang tahu—bahwa aku sedikit mengharapkannya.
Mengharapkan tumbuhnya bunga-bunga kecil yang indah di tubuhku.
Lantaran baru kemarin ini di apartemen seberang, aku melihat sosok wanita dengan Parasit Bunga berukuran besar di kepalanya, warnanya putih bercorak nila. Ia tampak anggun sekali, bagai mengenakan topi lebar wanita bangsawan zaman dulu, sedang berjalan di karpet merah di suatu peragaan busana internasional. Aku tidak peduli bahwa pada kenyataannya ia sedang dibaringkan di usungan untuk dibawa masuk ambulans untuk dikirim entah ke rumah sakit khusus karantina Parasit Bunga mana.
Aku tidak peduli.
Rasanya kini kumengerti maksud Maleek dengan ‘penyakit yang indah’, lantaran aku sendiri sudah terpincut oleh Parasit Bunga ini.
Dan berharap memilikinya.
Aku mengelus kepala Anjing yang bermahkotakan bunga, sementara kaki-kakinya bak mengenakan kaus kaki bunga, “Hei, apa kau bahagia hidup bersamaku tiga tahun ini? Meskipun aku belum pernah merayakan ulang tahunmu?”
*
Subuh ini Anjing telah pergi. Meninggalkanku.
Tubuhnya diselubungi bunga-bunga.
Hingga tanpa sisa.
Ia tampak begitu indah.
Beberapa hari sebelumnya, pihak rumah sakit menghubungiku agar mereka dibiarkan menjemput Anjing—mengingat kondisinya sudah sangat parah. Mereka juga mengingatkanku agar menghubungi balik jika Anjing telah mengembuskan napas terakhirnya untuk dikuburkan jauh-jauh dari peradaban, atau dibakar hingga menjadi abu, atau dilarungkan ke laut yang luas dan dalam.
Namun, tidak.
Aku tidak mengabari siapa-siapa apa-apa.
Sekadar menguburkan jasad Anjing di pekarangan kecil di balkon apartemenku. Hanya ditemani cahaya matahari fajar yang redup di awal musim dingin.
Upacara pemakaman yang begitu khidmat, bagiku.
Dan kuharap, bagi Anjing juga.
Bohong jika kubilang aku tidak menitikkan air mata barang satu-dua kali, sebab setegar apa pun, aku tetaplah manusia. Maka, buru-buru aku mengambil ponsel, mencari-cari nama yang sudah tiga tahun tak kuacuhkan. Mengetik dan mengirimkan satu kalimat saja, pendek—sebab rasanya aku bisa hancur jika tidak:
“Selamat ulang tahun, Maleek.”
Aku lantas memungut beberapa kuntum bunga yang terserak di tanah makam yang masih basah, bekas Parasit Bunga yang berguguran dari tubuh hewan peliharaan kesayanganku.
Bunga-bunga itu semuanya layu.
Sementara dari kejauhan, sayup-sayup terdengar iringan lagu yang belakangan ini mendadak banyak diputar:
It’s time to go
You are infected
I guess you are a different kind of human
This world you live in is not a place for someone like you
Mothership will take you home, higher higher
Come on let us take you home (*)
Mungkin sembari menunggu balasan dari Maleek, aku akan menyeduh teh.
Itu andai dia membalas.
Semoga.
*
<Dari: Maleek. 34 minggu yang lalu>
Ah, Sonya? Terima kasih, aku bahkan lupa kalau berulang tahun. Urgh, berapa umurku sekarang? Yang pasti, bukan lagi usia yang cocok untuk berburu unicorn. Dan… eeer… apa pengelanaanmu selama tiga tahun ini menarik? Maksudku, apa kau berhasil menemukan apa yang kaucari?
<Dari: Maleek. 33 minggu yang lalu>
Anjingmu? Terjangkit Parasit Bunga? Oh, aku turut berduka cita. Jadi, kau ditemani pendamping setia sepanjang perjalananmu, mengetahuinya aku jadi tenang. Mungkin kau sendiri tidak sadar, tapi kamu tipe manusia yang gampang kesepian, kautahu?
<Dari: Maleek. 33 minggu yang lalu>
Maksudku, aku mengkhawatirkanmu, Sonya.
<Dari: Maleek. 33 minggu yang lalu>
Gerbang kastelku senantiasa terbuka lebar untukmu. Kembalilah. Aku membutuhkanmu (bukan untuk mencari barang yang kuperlukan, tentu).
<Dari: Maleek. 28 minggu yang lalu>
Kau tidak membalas pesanku selama berminggu-minggu. Aku takut aku salah bicara. Kalau iya, maafkan aku. Aku tidak bermaksud memaksamu untuk kembali.
<Dari: Maleek. 28 minggu yang lalu>
Bunga tumbuh di makam anjingmu!? Ah, menakjubkan! Berarti benar yang diberitakan! Sudah tahu? Tumbuh bunga di setiap lokasi pemakaman pasien Parasit Bunga!! Di musim salju yang lebat begini! Dan bunga-bunganya tidak menularkan penyakit!! Ini keajaiban!!
<Dari: Maleek. 20 minggu yang lalu>
Mereka bilang mungkin vaksin bisa dibuat dari bunga-bunga yang tumbuh di makam pasien Parasit Bunga. Ini berita yang luar biasa.
<Dari: Maleek. 15 minggu yang lalu>
Hei, ada apa? Mimpi buruk? Tidak bisa tidur? Telepon saja aku. Kamu enggan karena tahu aku tidak suka bertelepon ‘kan? Dari dulu kau selalu begitu, terlampau mengenalku sampai-sampai tidak mengenali dirimu sendiri. Kau perlu tahu, aku membiarkanmu pergi tiga tahun lalu karena ingin menghargai keinginanmu. Kalau ternyata itu keputusan bodoh, maafkan aku.
<Dari: Maleek. 15 minggu yang lalu>
Kamu tidak perlu menjadi penyihir untuk menghuni kastel ini. Pilih saja profesi yang disuka. Boleh menjadi tabib, penjaga menara, pelatih panahan, atau bahkan pengurus banshee di danau belakang (itu kalau kau tahan dengan jeritan mereka).
<Dari: Maleek. 15 minggu yang lalu>
.... Singgasana permaisuri di sisiku selalu kosong, tersedia khusus untukmu. Supaya kautahu saja.
<Dari: Maleek. 15 minggu yang lalu>
Kalau boleh jujur, aku tidak terlalu suka jabatanku sebagai Raja. Aku lebih suka pekerjaan sambilanku sebagai koki. Ah, kau harus mencicipi beberapa resep terbaruku (kuyakin lidahmu sudah kangen cita rasa masakanku!): Sup Jamur Menjerit, Steik Panggang Api Naga, Keik Lembar Mantra, Jus Lava Meletup!
<Telepon masuk: Maleek. 15 minggu yang lalu>
<Dari: Maleek. 8 minggu yang lalu>
Hei? Hari ini ‘kan? Pukul 11? Jadwalmu untuk vaksin Parasit Bunga? Kamu bisa pergi sendiri?
<Telepon masuk: Maleek. 8 minggu yang lalu>
<Dari: Maleek. 5 minggu yang lalu>
Barang-barangmu sudah tiba di sini. Sedikit sekali, ya.
<Dari: Maleek. 3 minggu yang lalu>
Aaaah… Aku gugup sekali. Ini hari bersejarah buatku. Aku bakal bertatap muka langsung denganmu lagi setelah hampir empat tahun. Oke, maaf, aku berlebihan.
<Dari: Maleek. 3 minggu yang lalu>
Perlu kubawakan buket bunga? Aku tahu kau suka bunga. Tenang saja, kujamin bukan bunga yang kupetik dari tubuhku sendiri.
<Dari: Maleek. 3 minggu yang lalu>
Oh! Ini hari ulang tahun Anjing? Sip, nanti kita rayakan di kastel kita! Atau rumah kita, terserah kau mau menyebutnya apa. Duh, aku gugup sekali. Doakan supaya aku bisa menyetir dengan selamat untuk menjemputmu di apartemenmu. Di saat seperti ini, aku menyesal tidak belajar menunggang Pegasus.
<Dari: Maleek. 3 minggu yang lalu>
Maksudku, menjemputmu dan “anjing”-mu.
<Telepon masuk: Maleek. 3 minggu yang lalu>
<Dari: Maleek. Hari ini>
Hei, jangan pulang telat hari ini. Aku sudah bikin Keik Bunga Pelangi. Bentuknya anjing. Jangan tanya kenapa namanya ‘Bunga Pelangi’ tapi bentuknya anjing. Oh, jangan bilang kamu lupa kalau berulang tahun hari ini.
<Dari: Maleek. Hari ini>
Dan, selamat ulang tahun.
TAMAT
03.07.2020
Untuk kita yang masih berjuang menghadapi pandemi ini.
Untuk mereka yang telah usai berjuang dan menjadi bunga-bunga yang mekar di tanah.
Untuk para Sonya lain di luar sana, yang saking tegarnya tidak menyadari kesendiriannya. Semoga bertemu Maleek atau Anjing yang setia menemani.
(*) A Different Kind of Human – AURORA (2019)
*Telah diikutsertakan di suatu event ulang tahun di Facebook.
December 29, 2020
[COMMISSION] Nohan dan Ferdinand - Istiana
Cerpen yang saya buat atas permintaan Istiana, November 2020. Fantasy, isekai, romance, magic.
Barangkali nasibnya takkan jadi seperti ini seandainya ia tidak menyentuh cermin indah di toko antik yang kebetulan dilewatinya di kota kecil itu—yang kemudian secara ajaib mengisapnya dan membawanya ke negeri antah-berantah yang aneh ini.
Barangkali kedua tangannya takkan dirantai dan tubuhnya diseret-seret seandainya ia punya hati dingin yang tak mudah tersentuh kala melihat seorang anak kecil kelaparan, bahkan meski ia tidak kenal siapa anak itu.
Barangkali… barangkali….
Seandainya… seandainya….
Ah, lelah sudah Nohan Tara, gadis berusia 17 tahun itu, berandai-andai. Yang ia harus lakukan sesegera mungkin adalah membebaskan diri. Jika dia tidak sudi dijadikan budak di negara aneh yang asing baginya.
Itu saja.
Biasanya Nohan tidak selengah itu, apalagi jika hanya untuk mencuri sekerat roti gandum keras yang sudah berjamur dari suatu kedai gubuk di pasar tradisional pertama yang ia temui di tempat asing ini.
Tak disangka, paman gembrot penjaga kedai roti itu memiliki suatu kekuatan ajaib yang tidak masuk akal! Secercah sinar meletup di pergelangan tangan Nohan saat jemarinya menyentuh sekerat roti murahan itu, lalu api membara sekonyong-konyong.
Kaget bukan kepalang—kekagetannya bahkan membuatnya tak menyadari nyeri terbakar di pergelangan tangannya—Nohan hanya bisa termangu saat si paman gembrot itu meneriakinya maling lantas menyiulkan melodi singkat nan nyaring yang kemudian disusul kedatangan serombongan orang berjubah merah darah dengan topi kerucut.
Yang kemudian merantai kedua tangan Nohan.
“Sihir”, gadis itu mendengar mereka berkata. Tidak dibisik-bisikkan seolah itu rahasia, seperti halnya di negara—atau “dunia”—asalnya. Tampaknya kekuatan-kekuatan ajaib yang disebut “sihir” itu memang sesuatu yang lazim di tempat ini.
Sungguh, Nohan tak pernah menyangka, dirinya yang seorang pencuri profesional—ya, dia bangga akan profesi itu yang bikin orang-orang mencemoohnya—yang selama sepuluh tahun ditekuninya itu, ditaklukkan dengan mudah hanya dengan “sihir”! Keterlaluan!
Maka, Nohan hanya bisa menggertakkan gigi: perpaduan rasa teror, putus asa, dan amarah, bercampur baur hingga rasanya tubuh mungil gadis itu kaku bak batu.
Akankah ia berakhir menjadi budak di negara—“dunia”, berengsek! Nohan sudah tahu ini tidak lagi “dunia”-nya yang dia kenal!—asing yang dipenuhi hal-hal tak masuk akal?
Setidaknya, ia bisa bernapas lega melihat anak perempuan yang kelaparan itu berhasil memperoleh roti gandum ampasnya, meski dengan mata berlinang air mata dan ekspresi bersalah yang ditujukan kepadanya.
‘Tidak apa,’ batin Nohan, ‘ini bukan salahmu.’
Semoga saja ucapan hatinya itu tersampaikan kepada anak itu. Dengan demikian, mungkin Nohan bisa fokus ke kondisinya yang di ujung tanduk ini. Ia tahu, manusia normal yang buta akan “sihir” takkan mampu berbuat banyak. Namun, tak ada salahnya mencoba.
Ya, mencoba kabur dan bertaruh nyawa jauh lebih baik dibanding pasrah menjadi budak di dunia sihir.
Maka, Nohan menggeram, menarik sekuat tenaga tangannya yang dirantai hingga lepas dari genggaman musuh. Dan lari pontang-panting secepat kakinya sanggup—setidaknya ia percaya diri dengan kemampuan lari dan bersembunyinya, sebagai seorang pencuri ulung.
Hanya saja, lagi-lagi, sesuatu yang tak kasatmata membuat kakinya terantuk hebat, keseimbangannya hilang, dan Nohan pun jatuh berdebam ke tanah.
‘Habis sudah…’ pikir Nohan, memandangi sesosok berjubah merah darah itu mengacungkan sebatang tongkat kecil ke arahnya. ‘Aku tidak berdaya di hadapan sihir keparat itu! Secepat dan secerdik apa pun aku, aku tak bisa menandingi sihir di dunia ini!’
Gadis itu pun memejamkan mata erat-erat. Yakin bahwa itulah momen terakhir hidupnya.
Bibirnya bergetar saat memohon lirih, “To… long….”
Bak menjawab doanya, tiba-tiba sepercik sinar melesat melewati dirinya dari belakang, lantas masuk ke sela-sela rantai dan berpendar terang.
Kemudian rantainya pecah berkeping-keping.
“A, apa—”
“Cepat, lari!!” sebuah suara menyusul terdengar, dilatarbelakangi seruan-seruan panik gerombolan berjubah merah itu.
Nohan menoleh ke arah sumber suara pertama: pemuda berambut putih tulang. Ia tampak tengah menggerakkan sebelah tangannya bak menuliskan sesuatu di udara, yang disusul gelegar halilintar berkali-kali lantas asap mengepul tebal.
Beruntung Nohan gadis yang cepat bertindak. Ia tahu bahwa ini kesempatan emas untuknya melarikan diri. Di ekor matanya ia melihat sekelebat bayangan pemuda—ya, pemuda yang menolongnya barusan—menyusul di sisinya. Sempat kaget sesaat Nohan saat pemuda itu menggaet lengannya dan menariknya agar berlari lebih cepat.
Nohan tidak sadar berapa lama mereka lari bergandengan tangan. Yang pasti, mereka berhenti tepat di saat napasnya terasa tercekat dan paru-parunya memberontak perlu udara.
Pemuda itu bicara, suaranya tak terdengar kehabisan napas sama sekali, “Hei, jangan bilang kau belum menguasai Sihir Gelembung Udara? Parah! Itu sihir dasar, tahu!”
Kini, Nohan memiliki waktu yang cukup untuk memandangi sosok penyelamatnya dengan lekat. Ia pemuda bertubuh tinggi dan cenderung ramping, rambut putih tulangnya memang yang paling mencolok, namun bola mata peraknya justru yang paling menawan hingga membuat Nohan tak mampu berkata-kata selama beberapa jenak—terpana.
“…. A-aku tidak tahu apa itu Sihir Gelembung Udara! Ralat—aku tidak tahu apa-apa soal sihir!” balas Nohan, putus asa dan kebingungan. “A-aku bahkan tidak tahu di mana ini!”
Si Pemuda membalas dengan decakan lidah, yang jelas membikin jengkel Nohan menjadi-jadi. Tapi gadis itu sadar, berkat pemuda itulah ia bisa bebas, ia harus berterima kasih.
Maka, dengan senyum yang agak dipaksakan, Nohan berkata halus, “Terima kasih telah menyelamatkanku.”
“Aku tahu kau mencuri demi anak gelandangan di pasar. Itulah yang mendorongku menyelamatkanmu. Tapi… jangan salah paham.”
Nohan hanya angkat bahu acuh tak acuh.
Pemuda bermata indah itu berkata lagi, kali ini nadanya terheran-heran, “Kaubilang tidak tahu-menahu perihal sihir. Aneh,” telunjuknya diletakkan di bawah dagu, tampak berpikir keras.
Nohan menjawab, dengan kebingungan yang tak luntur pula, “Apanya yang aneh? Justru kalian yang bisa sihir itu yang aneh! Kukira sihir-sihir seperti itu hanya ada di buku dongeng! Aku jelas-jelas nggak bisa sihir!”
Bola mata perak pemuda itu menyipit, keningnya berkerut tanda heran. Ia berkata dengan nada tinggi, “Haaah!? Kamu nggak waras, ya!? Mana ada yang begitu? Anak kecil yang baru belajar berjalan pun sudah pasti tahu Sihir Balon Benturan supaya tidak luka saat terjatuh. Ada sekrup lepas di otakmu atau bagaimana!?”
Nohan mengerucutkan bibir, “Sembarangan kalau bicara! Aku waras! Otakku masih berfungsi!”
Meski masih dengan ekspresi yang menunjukkan kamu-pasti-sudah-gila, sang pemuda akhirnya mengalah. “Sudahlah. Yang penting, sekarang kamu mau ke mana? Kita tidak mungkin di sini melulu.”
Rasanya ingin betul Nohan terduduk lemas di tanah, memohon-mohon agar diberitahu jalan menuju dunianya kembali. Namun, Nohan tersadar: tak ada yang menanti kepulangannya di dunia asal pula.
Jadi… untuk apa dia kembali ke sana?
Kendati demikian… apa yang bisa ia lakukan untuk hidup di sini?
Entah sebab wajah Nohan menampakkan kecemasannya, pemuda yang belum membeberkan namanya itu berkata, nada bicaranya yang selalu tajam kini ia lembutkan sedikit, “Aku punya seorang kawan yang memerlukan gadis seusiamu sebagai penjaga toko manisannya di ibukota Hasone. Itu seandainya kau masih bingung ingin ke mana, tentu.”
Bagai terselamatkan dari jurang keputusasaan, Nohan serta-merta mengangguk yakin. “Aku mau!”
“Kalau begitu, mari berangkat,” ajak si Pemuda, mengulurkan tangannya dengan ekspresi wajah ogah-ogahan.
Nohan menyambut ulurannya, namun bertanya, “Boleh kutahu namamu? Kukira karena akan jadi teman seperjalanan, sebaiknya saling tahu nama.”
“Panggil saja Ferdinand,” balasnya singkat, lantas, “sebaiknya kita obati dulu luka bakar di tanganmu itu.”
Begitulah perjalanan mereka berdua dimulai.
Yang ternyata hanya berlangsung singkat.
Sebab, masa lalu Ferdinand semakin gencar mengejar hingga membahayakan nyawanya. Juga nyawa Nohan. Segalanya dimulai sekitar dua minggu setelah mereka memulai perjalanan bersama, tepatnya di kota kecil Esma.
Nohan yang pertama menyadari ada seseorang yang membuntuti mereka, ia sudah terbiasa mengawasi sekitar sejak menjadi maling: seorang pria berpostur besar berpakaian compang-camping seperti pengemis, namun gerak-geriknya tampak halus bak orang terlatih.
“Apa pria besar itu kenalanmu? Dari tadi dia mengikuti kita,” bisik Nohan kepada Ferdinand.
Ferdinand melirik ke arah mata Nohan, lantas balas berbisik, “Kamu yakin?” yang dijawab anggukan oleh gadis itu. Ferdinand menghela napas, berat, “Aku sudah lelah dikejar terus-menerus.”
Pemuda itu lantas berbalik badan, menatap langsung ke arah pria yang dimaksud, “Ada perlu apa denganku?”
Pria yang ditatap agaknya terkejut sejenak, namun ia dengan sigap memperbaiki sikapnya, “Tuan Muda, saya datang untuk menjemput Anda pulang ke Kerajaan Shepina. Yang Mulia Raja menanti Anda meminang putri semata wayangnya untuk dijadikan istri.”
“Bukannya dari dulu sudah kubilang tidak mau!?”
Pria di hadapannya menggeleng, ekspresinya menyesal, “Sayang sekali, Tuan Muda. Saya terpaksa menggunakan kekerasan. Termasuk… menyakiti gadis di samping Anda.”
Sementara Nohan tak mampu menyembunyikan keterkejutannya mendengar percakapan tersebut, musuh dengan cekatan melempar sebilah belati ke arah Nohan, menggores pipi kirinya hingga meneteskan darah. Barulah saat itu Nohan sadar bahwa musuh mereka terlatih, bahkan dia yang pencuri hebat saja tidak mampu menghalau belatinya.
Melihat luka Nohan, ekspresi Ferdinand sekonyong-konyong kelam. Ia dengan panik melemparkan percikan-percikan api sihir hingga membuat letupan besar. Musuh yang tak menduga, terkejut dan kehilangan keseimbangan.
Ferdinand memanfaatkan kesempatan tersebut, menarik tangan Nohan dan mengaba-aba, “Ayo, lari!!”
Esma hanyalah kota kecil, tak ada pasar atau kerumunan yang bisa membantu mereka berdua melebur di tengah hingga pengejar kehilangan jejak. Ferdinand mendecakkan lidah, tampak putus asa. Ia tahu situasinya sekarang sangat buruk—bukan bagi dia sendiri, melainkan bagi Nohan pula.
“A, apa maksudnya?” Nohan bertanya dengan napas terengah di tengah pelarian mereka yang mendesak, “dia memanggilmu Tuan Muda!”
Ferdinand hanya bungkam, menoleh ke sana-sini beberapa jenak, lantas menggaet lengan Nohan ke arah bangunan di kiri. Bangunan itu kecil, dan kosong. Pas untuk persembunyian mereka, untuk sementara waktu.
Sengaja Nohan menunggu hingga napasnya tak tersengal-sengal lagi. Gadis itu berharap Ferdinand secara sukarela memberinya penjelasan.
Namun, tidak ada.
Ferdinand tidak memberi penjelasan apa-apa.
Dan itu membuat Nohan jengkel sekaligus putus asa. Apa gadis itu segitu tidak dipercayai oleh Ferdinand?
“Hei, jawab aku!” paksanya, menuntut.
Alih-alih menjawab, Ferdinand malah mendekati sang gadis, dengan tangan terulur. Ujung-ujung jemarinya menyentuh pipi Nohan yang terluka: membuatnya terkesiap sesaat, dengan betapa dingin sentuhannya. Dan, betapa lembut.
Ferdinand menghela napas, “Maaf,” ujarnya lirih.
Memandang pemuda itu saat ini membuat Nohan terheran, mestinya dia yang sekarang sedang terluka namun mengapa wajah Ferdinand justru tampak lebih sakit dibanding lukanya sendiri?
“Sudahlah,” sergah Nohan, tetapi tidak menepis tangan Ferdinand yang malah semakin melekat di wajahnya. “Toh, aku pencuri, sudah terbiasa terluka. Ini bukan apa-apa. Kau tak perlu cemas.”
Ferdinand menggeleng, “Tidak. Luka gores oleh benda tajam tetap akan meninggalkan bekas. Bahkan meski disembuhkan dengan sihir,” ujarnya, dengan volume suara yang semakin lirih, bak berbisik.
Lantas, Nohan merasakan sensasi sejuk di luka goresnya, perlahan namun pasti rasa sakitnya mereda: Ferdinand tengah memulihkannya dengan sihir.
Ferdinand tumben-tumbenan diam. Ia tak bicara sepatah kata pun. Bahkan tak ada sindiran tajam khasnya yang kerap membuat Nohan jengkel. Jika pemuda itu tidak berbicara, rasanya waktu berjalan lambat sekali bagi Nohan. Gadis itu merasakan firasat yang tak enak.
Suaranya berat saat Ferdinand akhirnya berkata, “Hei, aku tahu aku sudah berjanji akan mengantarmu ke Hasone agar kau bisa bekerja di sana, tapi…” ia memutus ucapannya, menghela napas berat—dan tiba-tiba saja menyentuhkan dahinya ke dahi Nohan.
Sontak gadis itu merasa jantungnya seolah hendak lepas. Wajah mereka begitu dekat!
“Ta… tapi apa?” gagap Nohan. Masih tidak tahu harus menatap ke mana, lantaran mata perak Ferdinand membuatnya tak mampu berpaling. Setidaknya, jika tidak menatapnya, mungkin debaran jantung Nohan akan berkurang.
Kendati pun, seolah membaca isi hatinya, Ferdinand berujar, kali ini tegas, “Tatap mataku, Nohan.”
Baru kali itu.
Baru kali itu Si Pemuda menyebut nama Si Gadis.
Nohan menurut, ia menatap mata perak Ferdinand. Meneguk ludah terpapar pesonanya.
“Aku ras Sharlier. Ras dengan kedudukan tertinggi di kerajaan ini. Kami bisa memunculkan sayap dan diberkahi kekuatan sihir di atas rata-rata. Kami hidup di suatu daratan yang mengapung di udara, hanya sedikit orang luar yang mampu bertandang ke sana.”
Mata Nohan terbelalak, “Sa-sayap!?”
Ferdinand mengangguk, tersenyum, tetapi tampak sendu. Hati Nohan entah kenapa sakit melihatnya. “Aku dipaksa menikah dengan putri kerajaan, makanya aku kabur dan berkelana sendirian—hingga bertemu kamu.”
Lantas, tangannya kembali menyentuh luka gores Nohan. “Kurasa, ini saatnya kita berpisah. Aku tak ingin kau terseret dalam bahaya akibat aku lari dari masalahku sendiri.”
Nohan buru-buru menggeleng, “Aku pencuri, sudah kubilang berkali-kali. Aku nggak selemah wanita di luaran sana! Aku… aku bisa menemanimu!”
Terdengar bunyi pintu didobrak.
Pengejar mereka tiba.
Ferdinand mengecup kening Nohan—begitu sekejap, sampai-sampai Nohan meragukan apakah itu nyata terjadi.
“Kuharap kita bisa berjumpa lagi, Nohan,” lirihnya, sebelum mendorong punggung Nohan kuat-kuat disusul sensasi berputar-putar yang membuat gadis itu pusing.
Hingga ia pun terjatuh.
Di tempat yang sama sekali berbeda dari reruntuhan bangunan tempatnya bersama Ferdinand bersembunyi detik sebelumnya.
“Si… sihir?” bingung Nohan, yang hanya mampu terduduk lemas—ia berada di tanah lapang berumput, “Ferdinand, dia… memindahkanku dengan sihir?”
Gadis itu menyentuh keningnya.
Masih terasa hangat.
Bekas kecupan pemuda tersebut.
Dan terasa hangat pula.
Air mata yang mengalir di pipinya.
Gadis itu tak pernah berharap dan berdoa, tetapi kali ini berbeda. Ia berharap dan berdoa, “Semoga aku bisa bertemu dengannya lagi.”
Lantas berdiri tegak. Menyeka sebulir-dua bulir air matanya.
“Aku tahu namanya. Aku tahu wajahnya. Aku tahu ke mana dia akan pergi. Kami berjalan menuju kota yang sama” angguknya. “Jika ke ibukota Hasone, aku pasti bisa bertemu dengannya lagi.”
Gadis itu pun melangkah. Ia tidak lagi bingung harus ke mana, sebab ada tempat—sosok—yang menjadi tujuannya.
TAMAT
November 25, 2020
[COMMISSION] Tertundanya Cinta - Gisha
Cerpen yang saya buat atas permintaan Gisha, September 2020. Drama, school-life, romance.
Tak pernah terlintas satu kali pun dalam benak Della, bahwa ia akan berjumpa kembali dengan pria yang menjadi cinta pertamanya dulu:
Hadrian Lyn.
Tak pernah pula wanita itu lupa akan hari-hari kala ia mengejar sosok pria itu dari sudut matanya: di lorong kelas, di depan mading, di kantin, di perpustakaan, di klinik sekolah, maupun momen-momen berpapasan di ruang guru ketika hendak menyerahkan tugas.
Ia kira masa-masa mengejar cowok itu telah lama lewat dan Hadrian akan selalu menjadi sejarah di kehidupannya, yang perlahan-lahan akan menjadi samar hingga pupus ditelan arus waktu.
Sembilan tahun.
Segitu lamanya Hadrian bersemayam di dalam hatinya, tersembunyi dari siapa-siapa, bagaikan kotak kenangan rahasia di masa kanak-kanak: disimpan di tempat terbaik yang tak terjangkau orang lain, ditutup rapat-rapat, namun tak pernah dikunci selama-lamanya… yang sesekali diintip sedikit demi melegakan hati bahwa ia—kenangan itu—masih ada di sana.
Kendati demikian, sosok yang berdiri tepat di depan matanya, bukan lagi sekadar masa lalu. Ia nyata. Ia masa kini.
Ia Hadrian Lyn.
“… Della? Della kan? Chelsea Della Franziska?”
Ah, suaranya pun masih sama persis dengan yang diingat Della di zaman SMA dahulu: antara tenor dan bariton, nyaring, dan renyah; yang selalu membuat Della terheran-heran dengan dirinya sendiri sebab semua penyanyi pria yang digemarinya selama ini selalu memiliki suara rendah bass. Namun, suara cowok yang disukainya selama sembilan tahun ini malah berkebalikan.
Suara yang dulu senantiasa membuat dadanya berdegup kencang tiap kali mendengarnya.
Entah karena Della tidak langsung menjawab atau karena melihat tampang kebingungan wanita itu, sang pria mengulangi kembali pertanyaannya, “Masih ingat aku? Yang dulu sekolah di SMA Seiby Dreiza?”
Bak ditampar untuk kembali ke kenyataan, Della yang disapa hanya bisa menjawab dengan terbata-bata, kikuk, “A-aah… Iya, ini aku, Della. Dan… iya, a-a-aku masih ingat kamu, Hadrian.”
Mana mungkin aku lupa, batin Della, namun kata-kata itu akhirnya tersangkut saja di tenggorokannya yang mendadak terasa tercekat.
Hadrian mengangguk, “Kamu pemilik butik batik tulis ini?” tanyanya lagi. Matanya mengitari sekeliling butik, memandangi tiap kain yang dilipat rapi di etalase maupun yang digantung di dinding-dinding.
Della, yang masih seolah berada di awang-awang, hanya bisa mengangguk canggung.
“Waktu SMA enggak pernah kusangka kamu punya minat di bidang fesyen, Del, tahu-tahu sekarang sudah sehebat ini,” imbuhnya, penuh pujian yang tulus yang—sama tak disangkanya—masih memberikan efek debaran keras di hati Della.
Hadrian bukan cowok yang sering memuji, seingat Della. Ia bahkan bukan tipe cowok yang banyak bicara, hanya membuka mulut seperlunya. Tipe-tipe yang sering kali dianggap dingin, cuek, bergaul sekenanya saja.
Meski pada kenyataannya, Della tahu, cowok itu baik hati dan lembut di saat diperlukan.
“Aaah… Iya, karena di SMA dulu kerjaanku hanya belajar dan baca buku,” balas Della, merendahkan diri.
“Ya, makanya kau selalu juara,” ujar Hadrian lagi, kali ini diiringi senyum tipis.
Della serta-merta panik, khawatir wajahnya akan mendadak berubah semerah kepiting rebus di hadapan Hadrian yang baru ditemuinya lagi setelah jeda sembilan tahun.
Tidak boleh, tidak boleh, Della menguatkan diri. Ia tidak boleh bersikap memalukan. Hadrian hadir saat ini sebagai calon pelanggan barunya. Ini bisnis. Ini hubungan profesional.
Maka, Della menarik napas dalam-dalam, menata perasaannya kembali, lalu akhirnya berkata, “Hari ini mau beli kain apa? Untuk keperluan apa?” selayaknya yang ia selalu lakukan kepada pelanggan-pelanggannya yang datang ke butik Candra Batik Tulis miliknya ini.
“Aaah… aku perlu batik untuk seragam acara keluarga,” jelas pria berpenampilan kasual dengan kemeja lengan pendek dan celana jins di hadapannya itu.
Jantung Della kontan serasa terhenti. Apakah untuk acara lamaran? Pertunangan? Atau lebih parahnya lagi…
“Untuk acara pernikahanmu?” tanya Della. Ia sendiri kaget bukan kepalang, tak sadar isi pikirannya justru terlontar dari mulutnya.
Hadrian menggeleng, “Bukan, bukan. Untuk sekadar acara makan siang keluarga besar saja, kok,” ujarnya dengan nada sedikit malu-malu. Barangkali tak menyangka akan ditanya soal pernikahan oleh teman semasa SMA yang baru ditemuinya lagi.
Diam-diam Della menghela napas lega.
Tanpa memberi jeda bagi hati sang wanita untuk beristirahat, Hadrian melanjutkan, “Lagipula, aku punya calon pengantin saja belum.”
“O-oooh… Ha ha…”
Della hanya bisa meremas-remas tangannya dengan gugup. Tak bosan-bosannya ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia sedang bekerja. Ia sedang menghadapi pelanggan. Hadrian hanya pelanggan. Ia harusnya melayaninya sebagai pemilik butik.
Bukannya malah meliriknya berkali-kali dari sudut mata, atau membicarakan hal-hal pribadi semisal pernikahan. Lagipula, apa kaitannya Della—yang notabene hanya teman sekelasnya di masa SMA—dengan cowok itu akan bertunangan atau lamaran atau bahkan menikah?
Tidak ada, tegas Della pada dirinya sendiri.
Antara dirinya dan Hadrian tidak ada apa-apa. Baik dulu, maupun sekarang. Tidak pernah, tidak ada, dan… tidak akan pernah ada.
“Tapi aku tidak banyak tahu soal batik. Aku beruntung ternyata kamu pemiliknya, jadi aku bisa bertanya-tanya tanpa sungkan. Kalau menurutmu, batik apa yang cocok untuk acara makan siang? Aku perlu yang tidak terlalu tampak formal tapi cocok untuk dikenakan seluruh anggota keluargaku. Ah, terutama untuk ibuku. Beliau orangnya agak pemilih kalau soal busana.”
Della tersenyum. Senyuman bisnis yang senantiasa ia perlihatkan kepada para pembeli. Senyuman netral. Tanpa maksud apa-apa. Tanpa menggambarkan emosi apa-apa.
Tidak boleh, tidak boleh, Della membatin.
“Oke, kemarilah. Akan kutunjukkan beberapa model batik rekomendasiku.”
Tidak boleh.
Ia bukan siapa-siapa bagi Hadrian.
Begitu pula Hadrian bagi dirinya. Saat ini.
*
Rizky Saputra berjalan keluar dari ruangan OSIS, tiap langkahnya dijejakkan kuat-kuat pertanda jengkel. Baru saja ia selesai memimpin rapat yang berujung tele-tele dan akhirnya ngaret setengah jam dari jadwal selesai. Bahkan, meski telah mengorbankan istirahat pagi, mereka bahkan belum menemukan solusi soal klub-klub ekstrakurikuler olahraga yang bentrok jadwal latihannya: topik utama yang dibahas dalam rapat rutin mingguan kali ini.
Sebagai Ketua OSIS, Rizky tahu sebaiknya ia memberikan saran, masukan, atau bahkan lebih baik lagi—solusi nyata, secepat-cepatnya. Sebab, kalau tidak, klub sepak bola dan basket akan selalu rebutan lapangan olahraga utama sekolah tiap Selasa sore; sementara lapangan tengah akan selalu diperebutkan klub karate dan taekwondo tiap hari Sabtu pagi.
Sekolah ini memiliki terlalu banyak kegiatan ekstrakurikuler, pikir Rizky.
Ini permasalahan yang sudah berlarut-larut warisan dari beberapa generasi OSIS sebelumnya. Yang juga belum diketemukan solusinya.
Namun, biasanya Rizky tidak sejengkel dan semarah ini meskipun terkadang dia merasa rapat OSIS hanya membuang-buang waktunya. Bukan, bukan sekadar itu. Ada suatu hal yang memantik amarahnya: kehadiran Hadrian sebagai wakil klub sepak bola di rapat OSIS tadi.
Ya, Hadrian.
Sesungguhnya Rizky tidak punya dendam pribadi kepada teman seangkatannya itu. Hanya saja, seorang gadis yang selama ini menarik hatinya selalu dan selalu cuma memandang Hadrian.
Ah, apa yang kurang dari dirinya di mata Della?
Rizky ketua OSIS, pintar—nilainya selalu berbalap-balapan dengan Della, mudah bergaul dan disukai semua orang termasuk guru-guru di sekolah, murah senyum, sikapnya baik, apalagi dia juga tampan dan berasal dari keluarga kaya-raya.
Bukannya bermaksud memuji diri sendiri, tapi Rizky merasa tidak ada yang kurang dari dirinya sebagai cowok.
… Atau, yaah, mungkin ada.
Sifat jeleknya yang tak ingin dia akui terang-terangan, namun telah menjadi buah bibir di seluruh penjuru sekolah—dibisik-bisikkan dari mulut ke mulut, menjadi rumor dan akhirnya menjadi rahasia umum: bahwa ia cowok playboy.
Ia tak bisa menyanggah rumor itu, merasa dirinya akan berbohong jika menyanggahnya. Tapi, ia juga tidak mau mengakuinya.
Ia hanya tidak bisa bertahan hanya dengan satu cewek. Apalagi jika cewek itu membosankan. Tipe-tipe cewek yang selalu menuruti apa katanya, memperlakukannya bak raja yang paling berkuasa, tak punya nyali untuk melawan apa pun keburukan yang telah Rizky lakukan kepada mereka.
Seperti… ya, seperti Puput Septiani.
Kekasihnya yang kasihan. Pacarnya yang sengsara.
Puput sebetulnya bukan cewek jahat, hanya saja, cara gadis itu mempertahankan hubungan mereka yang sebetulnya rapuh—serapuh tangan mungil Puput yang hanya tulang berbalut kulit itu—sungguh menggelikan bagi Rizky. Dan tampak memalukan terkadang, di matanya.
Makanya, belakangan ini dia jadi makin kerap merasa kesal tiap kali berada di dekat Puput. Padahal gadis itu tidak melakukan apa-apa. Hanya hadir di depan matanya dan sesekali berbicara.
“Riz? Kamu baru selesai rapat?”
Itu dia. Suara yang selalu ada walau Rizky tidak pernah mengharapkannya.
Rizky menoleh, memandang gadis kurus di hadapannya dengan senyum, lantas menjawab, “Ya, rapatnya baru selesai, Put,” dengan nada lembut.
“Bukan gara-gara kamu mampir ke kelas si Della itu lagi kan?” tuduh Puput dengan nada tinggi meski suaranya tetap terdengar kecil seperti biasanya—bak tikus yang mencericit.
Rasa-rasanya Rizky langsung naik pitam mendengar cara bicara Puput yang menuduh begitu. Kalau saja pemuda itu tidak ingin menjaga pamor baiknya di sekolah, mungkin ia sudah minta putus gadis menyebalkan itu sesegera ia bisa. Bahkan, kalau perlu, dengan paksaan.
“Aku enggak ada waktu buat ke tempat Della, meski ingin. Rapatnya molor lama dan aku capek, waktu istirahat pagi sudah keburu habis pula!” balasnya, dengan nada tajam—meski sebetulnya ia tidak berniat begitu. “Sori, tapi sudah bel. Aku mau balik ke kelas.”
Buru-buru Rizky melangkahkan kakinya. Kelasnya sudah tidak jauh di depan. Ia tidak peduli meski meninggalkan Puput begitu saja di tengah lorong di jam istirahat yang ramai. Cowok itu jelas sedang tidak mood meladeni rengekan Puput.
Puput, meski tampak ringkih, sebenarnya gadis terkeras kepala yang pernah Rizky kenal. Sudah berkali-kali Rizky mengirim “sinyal” pada Puput bahwa ia ingin putus, namun tak pernah direspons baik oleh gadis itu.
Lagipula, yang lebih menjengkelkan adalah, Puput tetap tidak ingin putus meski Rizky sudah selingkuh di sana-sini.
Dulu, Rizky selingkuh secara sembunyi-sembunyi, tidak ingin menyakiti hati Puput yang begitu setia kepadanya dan rela melakukan apa saja demi dirinya; tidak peduli walau harus berkorban waktu, uang, tenaga, bahkan pikiran hanya untuk Rizky.
Namun, tahun lalu, saat Rizky kepergok Puput sedang mencium kakak kelasnya di sudut tersepi perpustakaan sekolah, alih-alih minta putus, Puput bahkan tidak marah kepadanya.
Puput hanya bilang, “Aku akan melupakan kejadian itu, jadi jangan pernah lagi kau berkata ingin putus denganku.”
Rizky sungguh tidak habis pikir dengan pacarnya itu. Segitu cintanyakah Puput kepadanya sampai-sampai menutup mata dari segala tindak jahatnya? Dari pengkhianatan cintanya? Tidak pedulikah gadis itu meski hatinya hancur berkali-kali diselingkuhi pacarnya sendiri?
Rizky ingat, sering ia mendengar pepatah ‘cinta itu buta’ dan baru setelah mengenal Puput inilah pemuda itu akhirnya paham maknanya. Menggelikan memang. Tapi, seperti itulah Puput.
Yang pasti, Rizky tidak berniat berlarut-larut pacaran dengan Puput.
Begitu mendapat jalan keluar yang bagus, ia akan langsung memutuskan hubungannya dengan Puput, dengan segera.
Dan ia melihat Della—satu-satunya gadis yang menawan hatinya—sebagai orang yang mampu memberinya jalan keluar dari hubungan menyesakkan nan rapuh bersama Puput Septiani.
Ya, Della.
Ia harus mendapatkannya.
Dan Hadrian, harus disingkirkan.
*
Hadrian tidak tahu punya salah apa dia kepada Rizky. Yang pasti, ketua OSIS itu selalu berlagak menantangnya tiap ada kesempatan. Seolah-olah Hadrian adalah musuh bebuyutannya sejak zaman nenek moyang.
Entah apa yang dipikirkannya, pada rapat mingguan OSIS pagi tadi tahu-tahu Rizky menyalahkan klub sepak bola karena dianggap terlampau mendominasi lapangan olahraga utama tiap Selasa sore dan tidak memberi ruang yang memadai bagi klub basket berlatih.
Hadrian, sebagai perwakilan dari klub sepak bola, jelas tidak terima tuduhan tak berdasar itu. Kalau boleh jujur, Hadrian curiga dua anggota klub ekskul basket yang turut hadir di rapat pun tampak tidak setuju dengan pernyataan sang Ketua OSIS.
Masalahnya, kedua anggota tim basket itu tidak berani mengutarakan pendapatnya.
Hadrian mengenal baik ketua klub basket. Mereka berteman akrab sebagai sesama penyuka olahraga dan atlet sekolah.
Akhirnya, setelah Rizky Sang Ketua OSIS menyarankan bahwa klub sepak bola “sebaiknya” merombak jadwal latihan supaya tidak bentrok dengan klub basket di hari Selasa sore, Hadrian memberanikan diri bicara, “Saya mewakili ketua klub sepak bola, tidak bisa setuju dengan keputusan tersebut. Seperti yang kalian ketahui, klub-klub bidang olahraga hanya boleh menggunakan lapangan utama, padahal di hari-hari lain lapangan tersebut masih harus dipakai bergilir bersama klub voli, klub bisbol, dan klub badminton. Hari Jumat dan Sabtu lapangan tersebut harus dikosongkan untuk acara-acara resmi sekolah. Lalu hari Minggu sudah penuh oleh ekskul marching band dan paskibra yang memerlukan kedua lapangan sekolah sekaligus.”
“Lalu, apa maumu?” tanya Rizky lagi, kali ini dengan nada mengancam.
Hadrian, yang pada dasarnya tidak suka perdebatan yang tidak perlu, berusaha menenangkan suasana dengan mengangkat kedua tangannya.
“Yang kami mau sederhana, berikan izin kepada salah satu dari klub kami untuk menggunakan lapangan tengah di Selasa sore. Toh, di hari itu tak ada klub non-olahraga yang punya jadwal latihan di lapangan tengah.”
Sebagian besar anggota rapat pagi itu tampak mengangguk-angguk setuju—bahkan kedua anggota klub basket yang hadir tampak tersenyum, menganggap itu solusi terbaik.
Wajah Rizky tampak mulai memerah akibat amarah, namun akhirnya dia memutuskan, “Oke, saran itu masuk akal. Tapi yang pasti, Hadrian, aku tidak mau mengurusi perizinannya ke pihak sekolah. Kau dan klubmu yang harus mengurusnya sendiri.”
Lantas Rizky bangkit dari duduknya dan berkata, tajam, “Rapat selesai. Silakan bubar.”
*
Della punya hobi yang baru ditemukannya tidak lama sejak dia masuk SMA hampir tiga tahun yang lalu: bolak-balik ruang guru.
Awalnya, sebagai gadis cerdas yang langsung menarik perhatian guru sebagai murid baru, Della kerap dimintai tolong para guru untuk membawakan buku tugas atau bahkan sekadar menemani wali kelasnya mengurus administrasi sebagai perwakilan kelasnya, ke ruang guru.
Awalnya, tidak ada yang spesial. Segalanya terasa biasa-biasa saja. Sekadar melangkahkan kaki dari kelasnya di ujung lorong ke ujung lorong paling kiri gedung sekolahnya. Kira-kira 500 meter jaraknya. Della sendiri pun tidak pernah keberatan melakukannya. Ia senang membantu sesama, apalagi orang yang lebih tua darinya, apalagi guru—yang konon disebut-sebut sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.
Ya, Della tipe murid teladan. Baik di dalam sekolah maupun di luar.
Namun, pada suatu hari, ketika ia membantu guru geografinya untuk membawa kembali gulungan peta dunia yang digunakan untuk pelajaran sebelumnya, Della melihat sesosok pemuda—dari badge yang dijahitkan di lengan seragam putih abu-abunya—kelas X. Seangkatan dengan Della.
Pemuda itu dengan sikap berani dan suara yang jelas terdengar, berkata, “Maaf, Pak Guru, tapi saya tidak berminat jadi ketua kelas. Silakan cari murid lain saja yang berminat.”
“Tapi kamu anak paling pintar di kelasmu! Bahkan di seluruh murid kelas X, nilai ujian masukmu paling tinggi!” jelas sang guru, nadanya agak memaksa.
Pemuda itu menggeleng lagi, “Pintar bukan berarti paling pantas jadi pemimpin. Saya yakin masih ada di antara teman-teman di kelas yang memiliki jiwa pemimpin melebihi saya.”
“Biasanya yang paling pintar itu yang jadi ketua kelas!” balas sang guru lagi, masih belum mau menyerah.
“Saya sungguh mohon maaf,” ujar si pemuda sambil sedikit menundukkan kepala, tanda penyesalan yang sangat sopan.
Sang guru menghela napas keras-keras, “Ya sudah, tapi tolong kamu yang carikan siapa kandidat ketua kelas dan jajarannya dari kelasmu.”
Pemuda itu tersenyum, hanya sekadar sopan-santun, “Baik, Pak. Terima kasih. Saya permisi dulu kalau begitu,” imbuhnya sembari berbalik badan dan berjalan menuju pintu.
Di lorong antara meja-meja guru yang sempit itu, ujung bahu Della dan ujung bahu pemuda yang namanya masih belum Della ketahui itu; bergesekan. Singkat. Sesaat.
Namun, pada detik itu pulalah jantung Della terasa berdetak lebih cepat dari normalnya. Apa sebenarnya itu?
Yang membuat gadis itu merasa semakin aneh adalah, pandangannya yang seolah-olah tidak mau lepas dari sosok pemuda itu. Ekor matanya terus saja mengikuti sosoknya hingga keluar dari pintu dan menghilang di lorong depan.
Siapa dia? Della bertanya-tanya.
Pemuda tampan dengan tulang rahang tinggi yang tegas. Rambutnya hitam legam bak dipoles arang terbaik. Kulitnya sawo matang yang tampak sehat. Proporsi tubuhnya pun enak dipandang dan tampak bugar, barangkali ia rutin berolahraga.
“Della?” suara guru geografinya kontan mengagetkan Della. Gadis itu tersentak kaget. Gulungan peta dunia yang didekapnya di kedua belah tangan serta-merta jatuh dan menggelinding di lantai.
“Aduh.”
Della buru-buru mengalihkan pandangannya dari ambang pintu yang telah kosong itu. Sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, gadis tersebut bergegas memungut kembali peta dunia dari lantai dan menyerahkannya pada sang guru.
“Kamu kenapa bengong dari tadi?” tanya sang guru lagi.
Della tersenyum santun, “Tidak ada apa-apa, Bu. Maaf, petanya jadi jatuh.”
“Baik, kamu sudah boleh pergi sekarang,” izin sang guru.
Della berpamitan singkat, lantas agak berlari-lari kecil ke pintu keluar: berharap masih dapat melihat sosok pemuda misterius tadi.
“…. Sudah enggak ada orangnya…” lirih Della, kecewa.
Namun, beruntungnya, mencari siapa sebenarnya pemuda itu bukanlah perkara sulit. Sebab Della sudah tahu kata kunci yang menjadi petunjuk utama untuk mencarinya: dia murid paling pintar di seluruh angkatan kelas X.
Baiklah, pikir Della.
Tekad gadis itu sudah bulat: ia harus mengenal siapa pemuda misterius tersebut.
Gadis itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama di tahun pertamanya di bangku SMA.
*
Tiga tahun berlalu dan kini Hadrian berdiri di ambang pintu kelas Della, kelas XII-B.
“Del!” panggil pemuda itu, tangannya melambai ke arah Della yang masih duduk di bangkunya.
Della tidak langsung melihat, tetapi teman sebelahnya menyadari kehadiran Hadrian yang memanggil-manggil Della, maka temannya itu segera menyikut Della dibarengi cekikik kecil.
Hadrian melihat, Della merespons tindakan temannya itu dengan menyentuhkan jari telunjuknya ke depan bibir, pertanda menyuruhnya untuk diam.
Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tapi yang pasti masih menyangkut Hadrian.
“Hai, Hadrian. Ada urusan apa?”
Gadis itu berdiri di hadapan Hadrian, kepalanya hanya setara dengan sikut Hadrian. Selama ini pemuda itu selalu bertanya-tanya, entah dirinya yang terlalu tinggi atau Della yang terlalu mungil sehingga jika mereka berdiri berhadap-hadapan begini terlalu lama, leher Hadrian serasa kaku karena kelamaan menunduk ke bawah.
Tapi, pemuda itu tidak akan pernah mengeluh soal itu di hadapan Della.
Karena, sebetulnya ia tidak keberatan dengan betapa mungilnya sosok Della. Sama sekali.
Meski rasanya dia juga tidak akan mengutarakannya kepada Della secara langsung.
Bahwa ia tertarik dengan gadis itu.
“Aku perlu bantuanmu nih, Del.”
“Silakan, apa saja, asalkan aku mampu, Hadrian,” balas gadis itu lagi, diiringi semburat merah muda di wajahnya.
Ah, betapa manisnya Della, pikir Hadrian.
“Aku harus mengurus surat izin penggunaan lapangan tengah untuk klub sepak bolaku. Kamu kan sekretaris kelas, sering jadi juru tulis acara-acara sekolah pula. Kupikir, siapa tahu kamu punya template untuk surat izin yang kuperlukan. Aku mau minta.”
Serta-merta senyum merekah di wajah Della. Hadrian menyadari, jarang sekali Della tersenyum—ia gadis yang sangat pendiam dan agak pemalu, tetapi sekalinya ia tersenyum akan terasa begitu emosional dan signifikan. Setidaknya, bagi diri Hadrian.
“Oke, itu persoalan gampang. Kapan kamu perlu?”
“Kalau bisa sih—”
Namun, belum sempat Hadrian menyelesaikan kalimatnya, ucapannya sudah dipotong suara Della yang terdengar bersemangat seolah baru menemukan ide bagus.
“Ah! Bagaimana kalau sekalian aku saja yang mengetiknya? Jadi, kamu tinggal terima jadi saja!”
Hadrian serta-merta mengangkat tangannya, “Tidak, tidak usah. Aku bukannya mau menyusahkanmu, Della. Cukup template saja, nanti kuketik dan kucetak sendiri.”
“Sudahlah!” balas Della, masih dengan nada girang seolah membantu Hadrian membuat hatinya gembira, “sama sekali enggak merepotkan, kok!”
Rasanya tidak sopan jika menolak tawaran yang dilontarkan dengan nada seriang itu, apalagi itu berasal dari gadis yang disukainya. Maka, mau tak mau Hadrian mengangguk, “Oke, terima kasih sebelumnya. Besok aku akan ke kelasmu lagi untuk mengambilnya.”
Namun, saat Hadrian mengunjungi kelas Della keesokan harinya, justru Rizky yang menyambutnya di sana. Hadrian sama sekali tidak menduganya, dan tak tahu-menahu apa sebenarnya urusan sang ketua OSIS berada di sana saat itu.
“Hadrian, kudengar kau meminta tolong Della untuk membuatkan surat izinmu? Bukannya sudah kubilang saat rapat OSIS kemarin, kalau kau dan klub sepak bolamu sendiri yang harus mengurusnya!?”
Hadrian yang masih terkaget-kaget, belum bisa mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Untung saja pada waktu itu Della dengan sigap menghampiri mereka.
“Rizky! Bukan begitu maksudnya. Tadi sudah kubilang kan, kalau aku sendiri yang menawarkan bantuan kepadanya. Lagipula, apa hubunganmu kalau aku ingin membantu Hadrian? Toh, hanya membantu membuat suratnya, bukan aku yang maju ke pihak sekolah.”
Rizky mendecakkan lidah, jengkel.
Tiba-tiba jari telunjuknya mengarah lurus ke wajah Hadrian, menuding. Suaranya kasar saat ia berkata, “Kamu itu! Berani-beraninya merebut cewek orang lain!”
Kontan Della tersentak. Apa maksudnya? Apa maksud pernyataan Rizky barusan?
Belum sempat lolos dari syoknya, Hadrian tiba-tiba merasa tubuhnya ditarik begitu kuat ke depan: kerah baju seragamnya dalam renggutan kasar kedua tangan Rizky. Disusul hantaman keras pada wajahnya.
Ujung bibirnya robek. Darah mengalir. Rasa sakit menyeruak. Setidaknya, itu yang disadari Hadrian pertama kali di tengah otaknya yang berputar terlampau cepat untuk mencerna setiap kejadian.
Hadrian menepis sebelah tangan Rizky yang masih menempel erat di kerah kemejanya.
Sekeliling mereka sudah ramai. Murid-murid lain berkumpul dan bersuara ribut. Beberapa di antara mereka tampak terburu-buru pergi, mungkin ke ruang guru, untuk memanggil bantuan. Beberapa yang lain—mereka yang lebih berani dan bertubuh besar—mencoba melerai Rizky dan Hadrian.
Namun, tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa akan ada sesosok gadis berperawakan kurus dan berambut panjang yang menyeruak di antara kerumunan hingga akhirnya berada tepat di antara Hadrian dan Rizky—tanpa ada seorang pun yang menyadari kedatangannya.
“… Puput?” heran Rizky, suaranya masih bergetar karena amarah.
Telapak tangan Puput sekonyong-konyong melayang cepat, lantas mendarat tepat di pipi kanan Rizky.
Tamparan yang sangat keras. Bunyinya bergaung di lorong, menyamarkan riuh-rendah suara murid-murid yang berkumpul. Sekaligus mendiamkan semuanya.
Gadis itu kemudian berkata, dengan suara tinggi melengking yang memecah atmosfer berat di tempat itu, “Kita putus, Riz!!”
Della, yang semakin syok melihat keributan yang sudah tak bisa dikontrol itu lagi, menyaksikan sekilas: tak ada air mata di wajah Puput, hanya ada penyesalan dan putus asa tersirat di raut wajahnya.
Gadis itu pasti sakit hati, pikir Della.
Namun, Rizky, entah karena emosinya sudah meledak-ledak hingga tak tertahankan lagi, justru membalas dengan nada tinggi yang sama, dengan amarah yang serupa, “Oke! Sudah sejak bertahun-tahun lalu aku mau putus denganmu, tapi kau terlalu keras kepala, Put! Enyah dari hadapanku sekarang!”
Yang membuat Puput segera berjalan pergi, langkahnya terdengar dientak-entakkan keras.
Namun, sebelum ia keluar dari kerumunan, Puput berbalik, matanya mengarah ke Della, membuat Della melihat sekilas bahwa mata Puput agak basah.
“Dasar cewek enggak tahu diri!” tudingnya kepada Della, sebelum akhirnya Puput menjauh dari keramaian diiringi seruan tak setuju dari murid-murid yang berkumpul.
Hadrian dengan refleks melangkah maju, mendekati Della. Seolah berusaha melindunginya dari kata-kata jahat yang menerjang dan hendak menyakiti hati gadis itu pula.
Namun, tampaknya tindakan Hadrian yang protektif terhadap Della membuat amarah Rizky yang belum padam itu, tersulut lagi. Cowok itu pun bersuara lantang, “Kau juga! Enyah, Hadrian!”
Hadrian, sebagai cowok yang tidak menyukai keributan, melangkah pergi tanpa keberatan. Namun, sebelum ia menerobos kerumunan, pemuda itu sempat memandang Della penuh makna.
Hadrian dan Della saling berpandangan, lama-lama, dalam kesunyian.
Inginnya ia berkata sesuatu kepada gadis itu, tetapi tak ada kata-kata yang sempat terucap.
Maka Hadrian pun menyingkir.
Dan meninggalkan Della.
*
“Untuk acara makan keluarga, kusarankan batik sekar jagad,” lirih Della.
Wanita itu melebarkan kain batik sekar jagad di atas etalase butiknya. Dengan warna dasar hitam diselingi bebungaan kecil berwarna biru kehijauan dan putih yang cantik. Della ingat, dulu orangtuanya pernah berkata jika batik sekar jagad ini memiliki makna filosofis keindahan dan keanekaragaman. Konon, orang-orang yang memandangnya akan terpesona seketika, tersihir oleh bunga-bunga yang beragam bentuk dan warna tersebut.
Ah, seketika itu pula terbayangkan akan betapa menawannya sosok Hadrian yang mengenakan batik sekar jagad.
Seandainya ia berkesempatan memandang sosok Hadrian saat mengenakannya….
“Della, kamu masih ingat insiden saat kita duduk di bangku kelas XII SMA?”
Rasanya jantung Della berhenti berdetak. Ia masih ingat jelas, tidak mungkin dilupakan.
“Kasus klub ekstrakurikuler dengan OSIS itu?” Della membalas pertanyaannya dengan pertanyaan, untuk memastikan. Jari-jemari gadis itu menyentuh kain batik sekar jagad butiknya tanpa sadar sebab pikirannya melayang kembali ke masa-masa SMA dulu.
Hadrian mengangguk singkat.
Meski sebetulnya dalam otaknya, Hadrian merasa akan lebih tepat menyebutnya sebagai kasus antara dirinya dan Rizky, sang Ketua OSIS pada waktu itu, alih-alih sekadar selisih paham klub ekstrakurikuler dengan OSIS.
Betul, Hadrian masih ingat jelas bahwa apa yang Rizky lakukan kepadanya waktu itu semata-mata didorong amarah pribadi, bukan antarkelompok. Tapi, yah… jika bagi wanita yang dicintainya ini, kasus waktu itu bukanlah didorong masalah pribadi… sudahlah.
“Ya, sebetulnya…” pria itu menarik napas dalam-dalam, seolah ucapannya setelah itu akan menjadi sesuatu yang penting—dan memang iya. “Sebetulnya… sudah sejak dulu aku ingin minta maaf kepadamu soal kasus itu.”
Della membalasnya dengan senyuman kecil, yang membuat wajah Hadrian tampak semakin tidak enak. Pria itu pun dengan nada sedikit panik buru-buru melanjutkan, “Aku sebetulnya tidak ingin merusak hubunganmu dengan Rizky, tapi gara-gara aku, kalian—”
Della membalasnya dengan tegas, “Aku dan Rizky tidak ada hubungan apa-apa waktu itu. Sama sekali.”
Mendengarnya, Hadrian kontan menaikkan kedua alisnya, bingung yang tergambarkan.
“Tapi, kenapa waktu Rizky sampai menuduhku merebutmu? Kalau kalian memang tidak berpacaran?”
Kali ini, giliran Della yang menghela napas. Lantas mengangkat bahu tanda tidak paham, “Yang pasti, setelah itu Rizky langsung menembakku. Dia bilang, dia sudah tertarik kepadaku sejak lama, tapi masalahnya Puput tidak mau putus dengannya.”
“Puput…?” tanya Hadrian lagi. Tidak akrab nama itu di telinganya.
Della menunduk lagi, jemarinya bergerak menelusuri pola bunga-bunga di kain batiknya. “Dia… gadis yang berpacaran dengan Rizky waktu itu. Kudengar, mereka berpacaran sudah cukup lama.”
Sunyi menguar beberapa jenak di antara mereka.
“…. Lalu, apa pernyataan cintanya kamu terima?” sergah Hadrian, mengisi kesunyian dengan kata-kata.
Canggung kembali.
Della menggeleng sebagai jawaban, “Sebab waktu itu… aku sudah punya cowok yang kusukai…” lirihnya, suaranya semakin lama terdengar semakin tipis, seolah dia tidak ingin ucapannya terdengar oleh dunia.
Oleh Hadrian.
“…. Apakah orang itu aku?”
Kepala Della yang hanya tertunduk sedari tadi, sekonyong-konyong mendongak—memandang Hadrian begitu lekat. Wanita itu merasa kepalanya kosong, tak mampu berpikir. Bertanya-tanya kepada dirinya sendiri apakah dia sedang bermimpi? Apakah telinganya salah dengar? Apakah Hadrian salah ucap? Apakah seisi dunia sedang bersama-sama mengelabuinya? Apakah ia akan ditertawakan semua orang?
Namun, suasana butik yang mendadak gagap tersebut, tersapu lagi oleh pernyataan Hadrian—yang lagi-lagi membuat Della tidak percaya, “Kutanya, apakah cowok yang kamu sukai waktu SMA dulu itu aku?”
Della serta-merta menarik gulungan kain batik sekar jagad yang masih terggenggam erat di tangannya yang entah kenapa mendadak basah oleh keringat dingin, lantas menutupi wajahnya dengan kain batik itu.
Jawab Della, dengan suara terbata-bata dan suara terhalang kain, “I… iya, Hadrian. Kamu.”
Della tidak melihat momen itu, saat Hadrian tersenyum begitu lembut ke arahnya.
“Kalau sekarang?” tanya pria itu lagi. Jarang-jarang ia memancing seperti ini, apalagi kepada wanita. Makanya, ada satu bagian di dalam dirinya yang merasa kalau dia kini tengah menipu Della, mempermainkannya perlahan-lahan agar wanita idamannya sejak SMA itu jatuh ke tangannya dengan pasti.
Hadrian tak bisa mengenyahkan pikiran bahwa barangkali perjumpaan kembali dirinya dengan Della saat ini bukan sekadar kebetulan. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semuanya sudah tergariskan takdir.
Oleh karena itulah, Hadrian yakin, dia dan Della kini terikat takdir.
“Pfft,” dengus Hadrian. Rasa-rasanya pikiran seperti itu tidak cocok dengan karakternya. Hadrian jelas bukan cowok romantis yang jadi idaman para wanita. Yang mampun menyusun puisi indah bak pujangga. Atau mengajak wanita terkasihnya menyusuri pantai dengan tangan tergandeng romantis.
Sungguh, ia bukanlah pria yang demikian.
Hadrian Lyn cuek, dingin, bersikap apa adanya, berbicara apa adanya, tanpa dimanis-maniskan. Mungkin itu pulalah selama ini dia selalu gagal dalam usahanya menjalin hubungan kasih dengan wanita.
Atau mungkin… karena selama ini hanya ada Chelsea Della Franziska di hatinya.
Tapi, mungkin saja—mungkin saja—ini benar-benar kesempatan langka yang tidak boleh dilewatkan pria itu.
“Ka-kalau sekarang…” Della balas berkata-kata, “ka-kalau kamu memang sedang tidak bersama siapa-siapa… dan masih sendiri…”
Hadrian segera mengangguk—meski tidak tampak oleh Della sebab wanita itu masih sibuk menutupi wajahnya yang bersemburat merah dengan kain batik. “Ya, aku masih sendiri.”
Lalu Della balas mengangguk, samar.
Hadrian melanjutkan, tidak mau melewatkan kesempatan untuk mendapatkan wanita pujaannya, “Kalau bulan depan kau ada waktu, mau ikut makan siang?”
Dengan wajah tidak percaya, Della mengangkat wajah dan menurunkan kain batiknya, “Eh? Maksudmu acara makan siang keluargamu?”
Namun, senyum Hadrian yang secerah mentari di hari Minggu pagi tepat di depan matanya membuat dunia wanita itu seketika oleng. Buru-buru ia memegang erat etalase kaca di dekatnya, memastikan tubuhnya berdiri dengan tegap.
“Ya, acara yang kuminta tolong padamu untuk menjahitkan batik itu.”
“A-aku…” ragu Della.
“… Tentu itu kalau kau tidak keberatan.”
Belum ada pernyataan cinta di antara mereka.
Belum ada pernyataan apa-apa.
Sekadar ajakan makan siang.
Yang Della dan Hadrian sama-sama yakin, akan menjadi langkah pertama yang signifikan dalam hidup mereka. Membuka lembaran baru bagi hubungan mereka berdua, yang tertunda hingga sembilan tahun lamanya.
Semoga.
“A-aku tidak keberatan. Aku mau ikut,” jawab Della, diiringi senyum tersipu-sipu malu.
Hadrian mengangguk. Wajahnya menyiratkan kebahagiaan yang terpancar jelas. “Kalau begitu, boleh kuminta nomor ponselmu? Yang untuk urusan pribadi, bukan nomor untuk pelanggan butikmu.”
“Tentu saja.”
Dan kini, sesuai harapan Della di awal pertemuan mereka sekitar satu jam yang lalu, dia barangkali berkesempatan melihat sosok Hadrian yang mengenakan busana batik sekar jagadnya.
Ah, dia harus menjahitkan batiknya dengan penuh cinta nanti.
TAMAT
[COMMISSION] Reforged Relationship - Tsukiha Tsukiharu
Cerpen yang saya buat atas permintaan Tsukiha Tsukiharu, Agustus 2020. Ditulis dengan gaya light novel jepang. Drama, school-life, romance, siblings.
Saat Hisakawa Tsukasa masuk ke kelas 2-2, ia merasa ada antusiasme yang berbeda dari biasanya di kelasnya. Tsukasa segera menuju bangkunya dan meletakkan tasnya. Dua kawan baiknya, Seshomaru dan Mikio, segera bergabung dengannya dan menginformasikan hal menarik.
“Katanya akan ada murid baru,” Sesho, lelaki bertubuh besar dan jagoan tim basket, memulai topik sembari duduk di kursi kosong di depan Tsukasa.
“Ho~ tak heran kenapa kelas berasa lebih antusias,” Tsukasa mengangguk, “cewek?” pemuda itu bertanya.
“Yeps,” Mikio, cowok paling pendek di kelas yang terkenal sebagai gentleman playboy, mengangguk, “dan dengar ini: katanya dia pindahan dari Himegasaki, lho!”
Himegasaki? Tsukasa merasa familiar dengan nama itu. Ah, tentu saja. Sekolah khusus perempuan yang konon hanya berisi ojou-sama, anak orang kaya dan genius. Sekolah khusus tuan putri. Sekolah itu ada di kota sebelah jadi banyak juga siswi di kota ini yang bersekolah di sana.
“Kenapa ada anak Himegasaki ke sekolah mediocre begini?” Tsukasa bertanya balik.
“Mediocre, katanya,” Seshomaru tertawa. “Meski ini sekolah negeri, jangan remehkan reputasi kita gitu dong. Kamu sendiri baru saja memenangkan turnamen prefektur kendo.”
“Nggak, lah! Dibandingkan Himegasaki, kita ini memang sekolah biasa, kan?” Mikio mengelak. “Sekolah ini terkenal cuma karena menang turnamen. Himegasaki, dari sejak dibangun, itu sekolah untuk orang elite.”
Himegasaki, eh? Tsukasa menghela napas. Ia tahu seseorang yang bersekolah di sana. Lamunan Tsukasa dan obrolan ketiga laki-laki muda itu kemudian terinterupsi bel sekolah dan beberapa menit kemudian, wali kelas mereka, Keichirou-sensei, memasuki kelas.
“Oke, sudah duduk semuanya?”
Keichirou-senseimenatap seisi kelas, kemudian mengangguk, “Sebelum aku melakukan absensi, akan kuperkenalkan murid baru di kelas ini. Masuklah, Oosaki-san.”
Seorang gadis memasuki kelas penuh percaya diri. Rambut panjang hitamnya tergerai indah dan gerakannya anggun. Entah kenapa ia masih mengenakan seragam Himegasaki, blazer biru muda dan rok selutut hitam.
“Nama saya Oosaki Tsukuyo. Salam kenal, semuanya.”
Ia membungkukkan badan. Saat berdiri kembali, kedua matanya yang terlapisi kacamata, mengecek seisi kelas.
“Kalian bisa berkenalan lebih lanjut nanti saat homeroomselesai,” Keichirou-senseimelanjutkan, “Oosaki-san, kau bisa duduk di sebelah Tsukasa,” ujarnya, menunjuk bangku kosong di sebelah Tsukasa.
Sang murid baru menatap bangku kosong itu lalu matanya bertemu dengan Tsukasa. Wajah gadis itu tampak terkejut sejenak, namun kemudian tersenyum lebar. Tsukasa sendiri juga terkejut, namun ia hanya diam, berusaha tidak menunjukkan ekspresi. Saat akhirnya Tsukuyo duduk di bangku di sebelah Tsukasa, Keichirou-sensei mulai memanggil nama-nama muridnya, mengecek siapa yang hari ini hadir.
“Lama tak jumpa, Nii-san,” Tsukuyo berbisik, cukup keras untuk didengar Tsukasa namun tak terlalu keras sampai orang lain mendengarnya.
Tsukasa melirik ke arahnya dan memberikan senyuman kecil, “Sejak SD, kan ya? Aku dengar dari Ayah kau masuk Himegasaki, tapi aku tak tahu kau pindah ke sini.”
“Ah, ada alasan kenapa aku harus meninggalkan Himegasaki,” wajah Tsukuyo tampak suram.
Tsukasa merasa telah menginjak ranjau jadi ia segera mengganti topik, “Kulihat kau sudah semakin besar,” ujarnya sembari tersenyum kecil.
“Nii-san, itu sekuhara lho,” Tsukuyo membalas dengan cekikik.
“Hoi, Tsukasa! Jangan coba menggoda anak baru di tengah homeroom,” Keichirou-sensei berteriak marah.
“Hahaha, maaf, Sensei,” balas Tsukasa ringan. Ia kemudian menatap gadis di sebelahnya, “Aku masih perlu tahu kenapa kamu bisa ada di sini.”
Tsukuyo hanya mengangguk dengan wajah masam.
*
Tsukasa dan Tsukuyo lahir di hari yang sama. Sampai kelas enam SD, keduanya selalu bersama dan memiliki nama keluarga yang sama. Tsukasa ingat benar betapa tomboinya adik kembarnya itu dulu. Gadis yang dulunya berambut pendek dengan kuncir samping itu selalu menyeret Tsukasa ke berbagai masalah hingga tersesat di berbagai tempat.
Namun setelah orangtua mereka bercerai, keduanya harus berpisah.
Melihat anak kecil itu tumbuh menjadi gadis dengan pesona yang mencengangkan ini membuat Tsukasa tak percaya bahwa ialah Tsukuyo. Namun senyuman tengilnya masih hadir setiap Tsukuyo membuat candaan di tengah obrolan perkenalan dirinya dengan siswi-siswi di kelas 2-2.
“Kau tampak akrab dengan anak baru itu, Tsukasa,” Sesho bertanya, tertarik.
Bel istirahat berdentang. Sementara Tsukasa dan kedua sobat karibnya mulai membuka bekal masing-masing mengelilingi meja Tsukasa, segerombolan murid perempuan segera mengerumuni si anak baru sehingga Tsukasa tak ada kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya.
Jagoan tim kendo itu hanya mendesah dan mengeluarkan kotak bekalnya.
Pertanyaan Sesho mungkin adalah hal wajar mengingat ia dan Tsukuyo tadi sempat berbincang sejenak. Memang tak ada yang dengar isi pembicaraan mereka, namun Keichirou-sensei sempat menegur, membuat teman-teman sekelas kontan mencurigai sesuatu.
Tsukasa berpikir sejenak dalam diam, sebelum menjawab, “Aku ini kakaknya.”
“Hahahaha. Ya, oke, tentu saja,” gelak Mikio.
“Sudahlah, jangan bercanda kamu. Mana mungkin ada adik muncul tiba-tiba dan jadi teman sekelasmu. Kamu ini bukan protagonis novel,” kali ini Seshomaru menyahut.
Melihat kedua kawannya tak percaya dengan jawaban yang ia berikan, Tsukasa hanya tersenyum, lalu melanjutkan, “Aku kagum dengan bagaimana cepatnya dia beradaptasi.”
Sembari melahap tamagoyakiterakhirnya, Tsukasa melirik kerumunan murid perempuan di bangku sebelah. Tsukuyo tampak ahli dalam meladeni banyak orang sekaligus. Saat sibuk curi dengar, Tsukasa terkejut mengetahui Tsukuyo sudah mengingat nama-nama orang yang mengerumuninya.
“Oosaki-san ini bibit cewek populer sih,” Seshomaru menurunkan suaranya, “seperti si Nanami dari kelas 2-1. Tipe cewek yang bisa membuat kebanyakan orang terpesona.”
“Selain cantik, Oosaki-sanjuga ramah. Siapa sih yang tak mau dekat dengannya? Aku juga mau,” Mikio tertawa kecil, “kamu pikir aku bisa?”
“Gentleman Playboy sepetimu bisa dekat dengan semua cewek di sini. Jadi sepertinya itu bukan hal yang tidak mungkin,” Sesho menjawab.
Tsukasa tertawa kecil sembari membereskan kotak bekalnya. Ia kemudian menarik dua buku dari tas dan bangkit dari bangkunya.
“Aku mau ke perpustakaan dulu,” Tsukasa memberi senyum kecil, “Dan, Mikio, kenapa kau tidak coba saja?”
Mikio hanya menyeringai sembari melambaikan tangan pada Tsukasa yang hendak keluar kelas.
Namun tiba-tiba Tsukuyo berdiri, “Ah, Hisakawa-san! Bisa tunggu sebentar...”
Tsukasa menghentikan langkahnya dan melihat gadis itu berpamitan pada kerumunan kawan barunya. Tsukuyo kemudian menghampiri Tsukasa, “Sensei bilang aku bisa meminta bantuanmu kalau butuh bantuan. Bisa tidak kamu pandu aku ke perpustakaan? Aku juga ingin melihat koleksi sekolah ini.”
“Eh, tentu saja. Aku juga mau ke perpustakaan,” Tsukasa mengangguk, keduanya pun meninggalkan kelas.
Seisi kelas 2-2 tampak terkejut dengan interaksi mereka. Mereka saling kenal? Ah, mana mungkin? Beberapa murid perempuan mulai berspekulasi, namun mereka tahu tak mungkin dua orang yang baru pertama kali bertemu hari ini punya hubungan.
“Menurutmu yang dibilang oleh Tsukasa tadi sungguhan?” Mikio bertanya pada Sesho. Sesho hanya mengedikkan bahu.
*
Saat berjalan menuju perpustakaan, Tsukasa dan Tsukuyo sama-sama menyadari bahwa mereka menarik perhatian murid-murid lain. Beberapa di antaranya, bisikan dan tatapan kagum.
“Kau sudah terkenal bahkan sebelum memasuki kelasku, lho,” Tsukasa memulai. “Tampaknya kecantikanmu menarik perhatian banyak orang.”
Tsukuyo tersenyum, “Mereka cuma melihatku karena masih memakai seragam Himegasaki.” Ia melanjutkan, “Besok kalau aku sudah dapat seragam sekolah ini, mereka pasti lupa padaku.”
“Mana mungkin. Kamu pindah dari Himegasaki saja sudah bikin orang penasaran,” Tsukasa membalas, “sampai si Sesho bilang kamu ini bibit cewek populer.”
“Di sekolah ini, Nii-sanjuga populer, kan?” Tsukuyo menatap Tsukasa dengan tatapan iseng. Senyuman jahil gadis itu masih sama seperti saat mereka kecil.
“Aku cuma menang turnamen kendo tingkat prefektur,” jawab Tsukasa ringan.
“Itu hebat lho,” Tsukuyo memuji, “Tadi Kumahara-san sampai bilang aku kudu hati-hati sama tiga cowok playboy di kelas ini.”
Tsukasa tertawa. Mikio dan Seshomaru terkenal sering gonta-ganti pacar di kelas. Namun ia masih tak percaya kalau dirinya dianggap termasuk grup ‘Trio Playboy’ tersebut padahal belum pernah punya pacar.
“Ngomong-ngomong,” si kakak mencoba mengubah arah pembicaraan, “aku tadi bilang ke Sesho dan Mikio kalau aku kakakmu,” Tsukasa memulai, “tapi kedua kawanku itu tidak percaya dan menganggapku bercanda.”
“Hm.... Wajar sih,” Tsukuyo mengangguk, “tapi kayaknya itu ide bagus. Bisa nggak kita rahasiakan hubungan kita ini?”
“Kenapa?” Tsukasa tampak terkejut.
“Aku ingin Nii-sanjadi bodyguard rahasia,” jawab Tsukuyo.
Tsukasa menaikkan alisnya. Apa yang terjadi dan kenapa ia butuh bodyguardrahasia? Namun Tsukuyo tidak lagi melanjutkan percakapan tersebut dan tanpa disadari, keduanya sudah sampai perpustakaan.
*
Perpustakaan tampak sesepi biasanya, hanya ada dua pustakawan yang sedang berjaga dan empat pengunjung. Saat Tsukasa dan Tsukuyo memasuki ruangan, pustakawan yang sedang bertugas menurunkan buku, berbalik badan dan memberikan senyumnya pada Tsukasa.
“Kau sudah menyelesaikan buku itu?” sang pustakawan, gadis berkacamata dari kelas 1-1, bertanya pada Tsukasa.
Tsukasa meletakkan buku pinjamannya di meja dan dengan cepat sang pustakawan memproses pengembaliannya.
“Halo, Tamaki. Sepertinya aku harus berhenti meminjam dulu,” Tsukasa membalas. “Ngomong-ngomong, kau ingat Tsukuyo?”
Nanami Tamaki memiringkan kepalanya, “Adikmu? Bukannya dia pindah setelah orangtua kalian bercerai?”
Tsukasa dan Tamaki sudah berteman sejak kecil dan karena itu, tentu saja ia kenal Tsukuyo. Gadis berkacamata itu lalu menatap gadis di sebelah Tsukasa dan menatapnya terkejut.
“Kamu Tsukuyo-chan?” Tamaki memastikan.
Yang dipanggil tampak bingung. Namun Tsukasa menepuk bahu adiknya, “Kau tak ingat teman kecilmu, Tsukuyo?”
Tsukuyo menatap kakaknya sebelum menatap balik gadis berkacamata itu. Tamaki tertawa kecil sebelum ia melepaskan kacamatanya, “Dulu aku tidak berkacamata, sih.”
“Ah, ini Tama-chan?”
Ia menatap kakaknya lagi, “Woah, maaf! aku tak mengenalimu. Sudah tiga tahun, sih.”
“Hahaha, kalau Tsukasa tidak membawa namamu lebih dahulu aku mungkin juga tak ingat,” Tamaki tertawa kecil, “jadi anak Himegasaki yang pindah ke sini itu kamu.”
“Aku mau cek buku dulu ya? Ada buku yang aku cari,” Tsukasa meninggalkan kedua perempuan itu sembari melambaikan tangan.
“Aku tak menyangka Tama-chanmasih dekat dengan Nii-san,” Tsukuyo berbisik, “Masih naksir kakak juga?”
Wajah memerah Tamaki menjadi jawaban yang cukup untuk Tsukuyo.
*
Saat Tsukasa akhirnya tiba di rumah, ia melihat dua orang familiar di ruang tamu. Miyako sepertinya sedang di dapur sebab ia dapat mendengar suara siulan ibu tirinya dari sana.
“Kaa-san, lama tak jumpa,” Tsukasa menyapa.
Wanita muda dengan busana kantoran yang duduk di ruang tamu adalah ibu kandung Tsukasa dan Tsukuyo. Ia tampak sebal namun tersenyum saat melihat sosok putranya. Di sebelahnya, duduk Tsukuyo.
“Kamu makin tinggi saja, Tsukasa-kun,” wanita muda itu memulai, “benar kata Tsukuyo, kamu makin tampan. Sudah punya pacar?”
Tsukasa tertawa kecil, “Belum sama sekali. Ngomong-ngomong, kenapa ada di sini? Apa ada kaitannya dengan pindahan Tsukuyo ke sekolahku?”
“Hm.... Begitulah. Aku berharap dapat menjelaskan ini lebih dulu ke ayahmu, tapi tampaknya ia akan pulang terlambat lagi,” ibunya mendengus kesal, “Miyako-san menawarkan makan malam sih, tapi aku tak bisa ikut. Jadi sepertinya aku jelaskan saja padamu.”
Tsukasa mengangguk dan duduk bersama ibu kandung dan adik kembarnya.
“Ah, Tsu-chan, selamat datang,” Miyako muncul dari dapur membawa nampan berisi teh dan donat, lantas meletakkannya di atas meja. “Maaf ya, Hanami-san. Shou-chan nampaknya tidak bisa pulang cepat.”
“Aku tahu kok betapa payahnya laki-laki itu soal waktu,” sang ibu kandung mendengus kesal, namun nadanya tidaklah marah.
Bagi Hanami, ibu si kembar, mantan suaminya serupa sahabat karib. Tsukasa sering dengar cerita bagaimana ayahnya sering menolong sang ibu seburuk apa pun situasinya. Termasuk saat ia hamil si kembar oleh laki-laki lain. Hanami tampak mengingat mantan suaminya itu dan tersenyum.
“Miyako-san, aku akan cerita apa keperluanku di sini jadi tolong sampaikan ini ke Shouji, ya?” Hanami menatap Miyako serius. Ibu tiri Tsukasa membalasnya dengan anggukan.
“Uhm.... Boleh aku saja yang cerita?” Tsukuyo menyela, “soalnya ini kan tentang aku.”
Hanami menepuk bahu anak perempuannya, lalu mengangguk.
“Ada orang yang stalking aku di Himegasaki,” Tsukuyo memulai, “Awalnya sih cuma mengikuti. Tapi beberapa minggu yang lalu stalker ini mulai membuatku tidak nyaman. Ia mulai mengirim surat kaleng dan foto-foto aneh. Bahkan barang-barangku mulai menghilang. Saat Mama melaporkannya ke pihak sekolah, mereka bilang tak akan melakukan apa-apa.”
“Eh? kenapa?” Tsukasa tampak terkejut.
“Mereka tak mau reputasi Himegasaki jatuh karena membiarkan muridnya terkait skandal, kan?” Miyako menyela.
“Miyako-san tahu soal ini?” Ibu Tsukuyo tampak terkejut.
“Aku dulu bersekolah di Himegasaki,” jawab Miyako sambil tersenyum kecil.
“Iya. Mereka bilang tak akan melakukan apa-apa. Bahkan mereka memaksaku untuk merahasiakan masalah ini,” Tsukuyo menghela napas.
“Karena aku merasa sekolah itu tidak aman lagi, aku membawanya ke sini,” Hanami mendesah. “Aku dan suamiku sedang mencari rumah di sekitar sini. Namun suamiku malah dapat pekerjaan di Kyoto selama satu bulan. Karena kami tidak bisa meninggalkan Tsukuyo sendirian dalam masalah ini, aku berharap dapat menitipkan Tsukuyo padamu.”
“Shou-chan mungkin tak bisa diandalkan, tapi Tsu-chan itu atlet kendo. Dia pasti bisa menghajar stalker itu,” Miyako tertawa kecil. “Aku akan menyiapkan kamar di atas. Ayo, Tsukuyo-chan.”
Miyako bangkit dari duduknya, lalu tiba-tiba menarik tangan Tsukuyo. Tsukuyo yang tak menyangka akan mendapat respons seperti itu hanya bisa pasrah diseret ibu tiri Tsukasa. Tsukasa tertawa kecil melihat keduanya.
“Bagaimana kabarmu, Tsukasa-kun?” tiba-tiba Hanami bertanya.
“Hm...? Aku baik-baik saja. Kenapa bertanya begitu?” Tsukasa tampak bingung.
“Aku masih menyesal harus memisahkan kalian berdua,” Hanami berkata.
“Kaa-san, aku tidak apa-apa,” Tsukasa menjawab enteng, “Tou-sanmenceritakan soal kalian berdua saat aku masuk SMP. Ayah bilang meski kalian sahabat dari kecil, ia sadar bahwa kalian tidak saling mencintai. Aku sudah ikhlas menerima keputusan kalian.”
Hanami tertawa kecil. Wanita muda itu lalu mengambil sepotong donat di meja, “Tsukuyo sempat tak terima saat aku menikah dengan suami baruku. Tapi sama sepertimu, ia kemudian mengerti. Aku benar-benar bahagia diberkati anak-anak baik seperti kalian.”
Usai memasukkan donatnya ke mulut dan mengunyahnya, ia berkomentar, “Masakan Miyako-san enak juga. Sepertinya aku akan tetap di sini sampai makan malam.”
Tsukasa bangkit, “Kalau begitu aku ke kamarku dulu, ya?”
Namun Hanami ikut bangkit, “Aku ingin tahu seperti apa kamarmu.”
Tsukasa nampak terkejut tapi hanya tersenyum, “Ayo kalau begitu. Aku ingin tahu apa benar anak cowok akan berdebar-debar saat seorang ibu memasuki kamarnya.”
Keduanya tertawa sambil meninggalkan ruang tamu.
*
Seminggu berlalu semenjak Tsukuyo tinggal bersama keluarga Tsukasa. Melihat kakak kembarnya baru bangun dengan rambut berantakan menjadi rutinitas sehari-hari yang gadis itu sukai. Sambil menyantap sup miso buatan Miyako, ia menatap kakaknya berusaha menata rambutnya.
“Kau sudah terbiasa dengan sekolahmu, Tsukuyo?”
Di hadapan Tsukuyo, laki-laki yang rambutnya sama liarnya dengan Tsukasa bertanya dari balik koran yang ia baca. Shouji Hisakawa, ayah mereka. Ia ingat benar keramahan dan kebaikan sang ayah.
“Menyenangkan,” jawab Tsukuyo, “lebih santai daripada sekolah lamaku.”
“Aku tak paham kenapa Hanami-chanmemaksamu masuk ke sekolah seketat itu,” Shou-san menggaruk kepalanya yang tak gatal, kemudian meminum segelas kopi yang disediakan istrinya.
“Shou-chan, sudah kubilang tata rambutmu sebelum berangkat kerja!” Miyako muncul dari dapur dan dengan sigap mulai berusaha menjinakkan rambut suaminya. Tsukuyo menatap pasangan suami-istri itu dengan senyuman. Ibu Tsukuyo mungkin tak akan mau melakukan itu baik pada dirinya maupun Shou-san.
“Yang paling penting sekarang kamu bisa bersenang-senang. Masa muda cuma datang sekali. Kalau bukan karena ibumu, mungkin aku sudah memecahkan rekor punya 108 pacar,” Shou tertawa keras namun tawa itu terhenti berkat tangan Miyako yang menarik-narik rambut suaminya begitu keras.
“Tapi berkat ibu juga kau bisa dapat pekerjaan sebagai editor,” Tsukasa mengingatkan.
Cerita itu sudah didengar oleh si kembar berkali-kali. Cerita masa muda orangtua mereka dengan dua versi berbeda. Kedua orangtua mereka suka menceritakan masa lalu, memandang masa itu sebagai masa terbaik sekaligus terburuk.
“Aku sudah terlambat,” Tsukasa terburu-buru menyelesaikan sarapannya dan bangkit dari meja makan. “Aku berangkat dulu~!”
“Hati-hati di jalan!” Miyako melambaikan tangan.
“Tunggu, Nii-san, aku ikut!” Tsukuyo menghabiskan makanannya namun sang kakak malah menatap Tsukuyo aneh.
“Kamu biasanya tidak berangkat sepagi ini, kan?” tanyanya heran.
“Aku ada keperluan pagi ini jadi tidak bisa mengantar Tsukuyo,” Shou menyela, “jadi kau berangkatlah bersamanya. Lebih aman, kan?”
Tsukasa mengacungkan jempol. Kalau dipikir-pikir, sepertinya ini kali pertama keduanya berangkat sekolah bersama. Sejak Tsukuyo tinggal di sini, Shou selalu mengantar Tsukuyo ke sekolah setiap hari. Gadis berambut panjang itu masih belum berani berangkat sendirian meskipun untuk sementara waktu ancaman stalker masih belum kembali.
Setelah berpamitan, keduanya melangkah keluar, menembus dinginnya pagi. Di jam segini, biasanya hanya orang-orang yang punya jadwal latihan klub pagi yang tampak di jalanan menuju sekolah. Namun, Tsukuyo tetap menyadari dengan rasa tidak nyaman bahwa banyak orang memperhatikan mereka berdua.
“Nii-san,” Tsukuyo berbisik, “sepertinya hari ini akan ada gosip baru….”
Tsukasa yang mengerti maksud adiknya, kontan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, tanda pasrah.
*
Tsukasa sadar dirinya tak berhak berpikiran begini, tapi tetap saja, ketika istirahat siang itu Tsukuyo tiba-tiba didekati beberapa anak perempuan yang ia tahu adalah anggota-anggota fanclub-nya, ia mendadak ingin melarang adik kembarnya itu perg.
“Nii-san, aku pergi dulu sama mereka ya,” pamit Tsukuyo.
“Oke,” balas pemuda itu, mengalah karena tahu melarangnya justru akan memperkuat kecurigaan orang-orang.
Tsukasa tahu, gadis-gadis di fanclub-nya tidak ada yang berniat jahat. Mereka memang ingin memonopoli Tsukasa, semacam idola-idola di teve, tapi tidak sampai akan menjahati orang lain.
Setidaknya, itu yang diyakini Tsukasa.
Dengan pikiran berkecamuk, Tsukasa meneruskan makan siangnya sendirian. Tak lupa ia menutup kotak bentoadiknya yang tergeletak ditinggalkan begitu saja.
Ternyata tidak perlu lama ia menunggu, Tsukuyo sudah kembali saja. Tidak perlu ditanya, Tsukuyo juga langsung berbicara, “Mereka bertanya apa aku pacar Nii-san atau bukan.”
Benar tebakan Tsukasa, meski rasanya kaget juga mengetahui tebakannya itu tepat.
“Lalu…?”
“Kujawab bukan.”
Sungguh jawaban yang tanpa basa-basi, pikir Tsukasa.
“… Oke,” balas Tsukasa singkat.
Tsukuyo melanjutkan, tangannya membuka kotak bento yang tadi dirapikan Tsukasa, hendak melanjutkan makan siangnya yang tertunda, “Aku sampai ingin tertawa tadi. Bisa-bisanya ada yang menyangka kita berpacaran. Kubilang saja kita bersaudara. Kembar, malah.”
Tsukasa kontan terkekeh membayangkan seperti apa reaksi para siswi tadi.
Tsukuyo menyusul terkikik, “Lucu kan, Nii-san? Kita segitu tidak miripnya?”
Kakaknya hanya angkat bahu, “Mungkin. Sesho dan Mikio saja langsung nggak percaya pas kubilang soal itu. Katanya aku membual. Kurasa mereka nggak bakal percaya selama-lamanya kalau kau nggak ikut angkat bicara juga ke mereka,” imbuhnya.
“Tapi mereka menarik juga ya,” lanjut Tsukuyo.
Alis Tsukasa naik, “Siapa?”
“Teman-temanmu itu, Seshomaru-sandan Mikio-san, bukan?”
“Oooh…” angguk Tsukasa, lalu teringat, “Mikio menargetkanmu, kautahu? Kau harus waspada, pendekatan Mikio nggak setengah-setengah.”
Adiknya yang sedang menyuap, terhenti di tengah jalan. Mulutnya masih menganga dengan sendok berisi telur dadar manis terhenti di udara. “Nii-san tidak suka?”
Tsukasa mengerutkan kening, tidak menyukai pertanyaan adiknya itu karena tak bisa menebak mau dibawa ke arah mana pembicaraan mereka. “Bukannya tidak suka, Mikio cowok baik-baik kok. Meski kuakui, kelakuan playboy gentleman-nya itu agak… berlebihan.”
Tsukuyo memasukkan sendoknya ke mulut, akhirnya. Sunyi sebentar selama gadis itu mengunyah dan Tsukasa menatapnya.
“Kalau Nii-san bilang dia cowok baik-baik, berarti tidak masalah.”
Ya, Tsukasa jelas-jelas tidak menyukai ini.
“Aku hanya memperingatkanmu. Belum selesai masalah satu stalker, jangan sampai menambah stalker lain. Meski kuyakin Mikio nggak akan jadi stalker, tapi cowok lainnya mungkin.”
Adiknya mengangkat wajah, menatap kakaknya. Sembari tersenyum kecil, ia bilang, “Iya, tapi kurasa aku akan baik-baik saja, selama ada Nii-san.”
Tsukasa ingin mengutuk kepercayaan adiknya yang terang-terangan itu.
*
“Hei, hei,” Mikio mendadak berkata, nadanya darurat.
Tsukasa dan anak-anak cowok sekelasnya sedang menikmati jam olahraga bebas dengan bermain basket di gedung olahraga. Sementara, guru mereka mengawasi para siswi yang sedang lari jarak pendek di lapangan luar.
Ia dan Sesho menoleh saat Mikio terburu-buru menghampiri mereka.
Mikio melanjutkan, “Tadi sebelum jam olahraga dimulai, aku melihat Oosaki-san dicegat cowok kelas 3, lho!”
Yang tadinya Tsukasa ogah-ogahan, kini segera memfokuskan pikirannya ke ucapan Mikio. “Haah?” herannya.
“Apa maksudmu?” tanya Sesho, yang tampaknya lebih berhasil dalam mengutarakan rasa penasarannya dibanding Tsukasa yang hanya mampu mengucapkan satu silabel.
Wajah Mikio berubah penuh semangat sekaligus patah hati, “Berarti ini sudah dua hari berturut-turut! Oosaki-san ditembak sama cowok!”
Mendengar itu, wajah Sesho yang justru berubah ogah-ogahan. “Ooh… soal itu. Kukira apa…” lalu berjalan menjauh ke pinggir lapangan, ingin minum.
Mikio mengejarnya, masih dengan langkah yang sama menggebu, “Masa’ kamu nggak peduli, sih? Di mana kejantananmu, Sesho? Kau nggak merasa ingin melindunginya dari kejaran cowok-cowok serigala yang haus akan keimutan paras dan kelembutan sikapnya?”
Tsukasa menyelak, “Memang siapa yang menembaknya?”
Ketiganya duduk di pinggir, bergantian menguasai lapangan dengan siswa lain. Bukan hanya Sesho yang memang jagoan tim basket, kalau ada trio itu sekaligus, yang lain jadi tidak punya kesempatan unjuk gigi, apalagi menang.
Mikio menjawab dengan ekspresi yang dilebih-lebihkan, “Mantan Ketua OSIS!”
Sesho menyahut sekenanya, “Oh, kalau begitu, dia serigala yang jauuuh lebih jinak dibanding kau. Oosaki-sanpastinya merasa lega,” yang dibalas delikan tajam dari Mikio.
Namun, Tsukasa hanya diam, membiarkan suara pertengkaran kedua sahabatnya itu di luar kepala, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Mantan ketua OSIS…. Kemarin si juara umum angkatan… Ini jelas bukan situasi yang bagus. Tsukuyo terlalu menarik perhatian.
Lamunan Tsukasa buyar berkat dorongan keras di pundaknya: Sesho.
“Hei! Khawatir ‘adikmu’ direbut cowok lain?” kekehnya.
“Masih bersikeras dengan khayalan tak kesampaianmu itu, Tsukasa?” sahut Mikio.
Jengkel, Tsukasa menepis tangan Sesho dari pundaknya dan mengabaikan Mikio. Jika Tsukuyo ingin hubungan mereka dirahasiakan, maka ia akan menurutinya. Biar Tsukuyo sendiri yang membeberkannya kepada kedua sahabat keras kepalanya ini saat ada kesempatan.
Tapi ia penasaran, maka ia tidak pergi dan tetap duduk di tempatnya di antara Sesho dan Mikio. Mendengarkan.
“Terus?” tanya Sesho, “apa jawabannya?”
Mikio hanya angkat bahu lalu melirik Tsukasa, “Coba saja tanya Tsukasa. Dia kan ‘kakaknya’. Siapa tahu dia lebih tahu,” candanya. Disusul tawa Sesho.
Mereka memang teman yang menyebalkan, pikir Tsukasa.
Tapi, tampaknya dia memang harus menanyakannya langsung pada Tsukuyo. Dia mengkhawatirkan adik kembarnya yang terlalu mencolok perhatian. Bisa-bisa stalker-nya menyadari gadis itu telah pindah ke sekolah ini dan mulai membuntutinya lagi. Gawat.
Oleh karena itu, Tsukasa menghampiri Tsukuyo begitu pelajaran olahraga usai. Pemuda itu berlari menghampiri lapangan luar tepat saat bel pergantian jam pelajaran.
Dilihatnya saudari kembarnya sedang ngobrol bersama beberapa siswi lain, sembari membereskan barang-barang di lapangan. Tsukasa pun mendekatinya.
“Tsuku… bukan, maksudku Oosaki-san, boleh bicara sebentar? Sekalian kembali ke kelas?”
Tsukuyo yang tidak menyangka akan didekati kakaknya di depan umum, terbengong-bengong sesaat sebelum mengangguk.
Begitu mereka berdua berjalan bersama menjauhi lapangan, segera para siswi di belakang berbisik-bisik. Suara beberapanya terdengar hingga telinga Tsukasa, “Gosipnya, mereka berdua bersaudara lho! Kalian bisa percaya? Aku sih, nggak!”
Yang lain menyahut, “Tapi aku dengar langsung dari anak kelas sebelah, Oosaki-san bilang sendiri padanya soal mereka bersaudara!”
Yang lain menyusul, “Jadi, gosip itu sungguhan? Aku bisa tenang kalau begitu.”
“Tenang mengejar Hisakawa-san? Padahal jelas dia terlampau sulit didekati kita-kita.”
“Aku sih, lebih demen Mikio-kun. Fufu~”
“Si playboy itu? Mending Seshomaru-san ke mana-mana. Meski lebih cuek, sebetulnya dia lebih lembut sama perempuan.”
“Kalau buatku sih, paling pas Sesho-kun pacaran sama Mikio-kunsaja. Hehe~” mendadak satu suara nyaring menyahut. Serempak teman-temannya ber-ooh dan aah meresponsnya, seolah-olah itu ide terbrilian yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Kontan Tsukasa terbatuk-batuk, “Uhuk! Uhuk!”, saking kagetnya ia mendengar ucapan siswi barusan.
Tsukuyo menoleh ke arahnya dengan raut wajah cemas, “Nii-san kenapa? Perlu minum?” yang dibalas gelengan oleh kakaknya, tanpa berkata apa-apa—tidak bisa berkata, lebih tepatnya.
Tsukasa menggeleng-gelengkan kepalanya, memutuskan untuk menyudahi kegiatan mengupingnya. Perempuan kalau sudah bergosip seolah tiada ujungnya. Dan tiada batasannya.
Mikio dengan Sesho? Betul-betul imajinasi yang terlalu liar. Perempuan terkadang bisa lebih menakutkan, batin Tsukasa.
“Jadi, ada apa, Nii-san? Tidak biasanya Nii-san duluan yang menghampiriku,” ujar Tsukuyo, suaranya menyadarkan Tsukasa ke kenyataan.
Tsukasa menarik napas dalam-dalam, ini akan sulit dibicarakan tanpa menyinggung perasaan Tsukuyo.
“Kudengar, kau ditembak cowok lagi hari ini,” mulainya.
“…. Aah, soal itu,” jawab sang adik, “iya, mantan ketua OSIS.”
Tsukasa membalas, “Dengar—”
“—Tapi kutolak dia. Cowok yang sebelum-sebelumnya juga,” potong Tsukuyo. “Memangnya Nii-san dengar dari siapa sih? Kok, tahu?”
Tsukasa mengembuskan napas keras-keras, “Mikio.”
“Oh, pantas. Mikio-sanselalu gerak cepat soal gosip,” cekikik Tsukuyo.
“Apalagi kalau sudah menyangkut kamu,” balas kakaknya serius, yang malah disusul tawa lepas Tsukuyo.
Begitu tawanya mereda, Tsukuyo gantian bertanya, “Jadi, Nii-san menghampiriku hanya untuk menanyakan ini?”
Tsukasa menggeleng, “Bukan hanya itu. Ada yang lebih penting: kurasa kau terlampau menarik perhatian, maksudku, kau memang menarik perhatian tapi ini sudah di tahap berbahaya.”
“Berbahaya? Maksudnya?”
Mereka tiba di depan pintu kelas. Tsukuyo hendak mengambil seragam gantinya di meja sebelum pergi ke ruang ganti. Begitu pula Tsukasa. Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti begitu melihat situasi meja Tsukuyo: di atasnya tergeletak beberapa kuntum bunga mawar merah.
Beserta surat tanpa nama pengirim.
Tsukasa menatap lekat-lekat kedua benda itu, “Ini yang kumaksud.”
*
Surat tersebut hanya berisi satu kalimat:
“Aku bahagia kamu berada di tempat yang sama denganku sekarang. Aku bahagia cowok itu ternyata bukan pacarmu.”
Di tempat yang sama… apa itu artinya si stalker juga murid sekolah ini? Tsukasa bertanya-tanya, sementara di tangannya tergenggam shinai—pedang bambu. Ia sedang latihan sore di dojosekolah bersama klubnya, sehari setelah kejadian surat kaleng itu.
Hanya di saat memegang shinai-lah Tsukasa merasa dapat berpikir dengan jernih. Seolah segala-gala yang di luar, menyusut dan menghilang. Otaknya bisa berputar lebih cepat dan terarah, seperti menyusun ashisabaki—teknik melangkah—dengan tepat untuk menentukan menyerang atau bertahan; untuk menarget kote, dou, atau malah men; atau sekedar mengukur kekuatan lawan yang dihadapinya.
Seringkali adik-adik kelas di klubnya mengeluh jika disuruh latihan suburi, dianggapnya hanya mengayun-ayunkan pedang yang monoton. Membosankan, mereka bilang. Tapi, justru itulah dasarnya: mengayun, berkali-kali. Hingga kedua tangannya terbiasa, bergerak tanpa dipikir, menjadi refleks tubuhnya.
Usai 100 kali melakukan suburi, disambung ashisabaki dan mengasah kuda-kuda. Lalu, yang terakhir, latih tanding.
Semuanya menjadi rutinan Tsukasa tiap harinya. Saking terbiasanya, tubuh pemuda itu justru terasa kaku jika latihan kendo dilewati begitu saja.
Makanya, kalau soal melindungi Tsukuyo dari orang berbahaya, Tsukasa cukup percaya diri. Dia merasa takkan kalah dari siapa pun asalkan ada shinai di tangannya.
Setelah melepas mendan seluruh bogu—baju pelindung—yang dikenakan, Tsukasa duduk bersimpuh di pinggir. Shinai diletakkan di sampingnya. Giliran ia menonton latih tanding anggota klubnya yang lain.
Sementara itu, riuh-rendah sorakan penggemarnya terdengar dari luar pintu. Semuanya wajah-wajah familiar yang sering dilihatnya saat latihan.
“Hisakawa-san! Kamu keren banget!!”
“Kyaaa~ pakai boguatau nggak, tetap paling tampan!”
“Kami selalu mendukungmu, Hisakawa-kun!”
Tsukasa menghela napas, berusaha mengambil kembali konsentrasinya yang terpecah.
Anak-anak perempuan itu selalu berisik, tapi ia tak setega itu sampai mengusir mereka. Paling-paling ketua serta wakilnya yang selalu kerepotan memperingatkan para siswi itu untuk mengecilkan suara dan tidak mengganggu konsentrasi anggota yang latihan.
Hanya saja, di sudut matanya, hari ini Tsukasa melihat satu sosok berdiri jauh di belakang para penggemarnya. Ia tidak mengenali siapa itu. Yang pasti, jarang-jarang ada cowok yang menonton latihan kendonya.
“Mungkin dia baru tertarik masuk klub kendo?” saran Sesho saat istirahat siang keesokan harinya.
“Masalahnya, aku merasa nggak nyaman dengan kehadirannya di dojo. Entah kenapa.”
“Apa nih? ‘Insting’-mu yang kamu bangga-banggakan itu yang berbicara?” sambung Mikio. “Sudahlah, jadi orang jangan curigaan begitu, Tsukasa!”
Tsukasa menghela napas, “Enak saja kalau bicara. Instingku ini sudah menyelamatkanku dari bahaya berkali-kali, asal kautahu.”
Sesho menengahi, “Ya, ya. Instingmu yang keren itu. Daripada bertengkar melulu, mending kalian buruan sudahi makan siangnya. Sebentar lagi bel.”
Mikio berseru panik, “Waduh! Sudah jam segini! Aku ada urusan!”
Kontan Tsukasa dan Sesho menatapnya heran. Mikio langsung menjawab pertanyaan mereka yang belum sempat terlontar, “Sama si Penjaga Perpus. Itu lho, cewek yang berkacamata.”
Tsukasa mengangkat alisnya, “Tamaki?”
Sesho mengangguk, teringat, “Oh iya, kamu dan dia berteman sejak kecil ya, Tsukasa,” lalu menoleh ke arah Mikio, “jadi, dia cewek yang kamu dekati sekarang, Gentleman Playboy-kun? Sudah menyerah soal Oosaki-san?”
Mikio bangkit dari kursinya, menepuk-nepuk celana seragamnya yang berserakan remah-remah roti—makan siangnya melonpan dari kantin. Nyengir, dia bilang, “Oosaki-san punya bodyguard jagoan kendo sekolah sih. Aku nggak berani macam-macam sama dia.” Lalu, ia menoleh pada Sesho, “Nggak usah cemburu gitu, Sesho. Kau tetap yang paling pertama di hatiku!” balasnya, disusul kerlingan mata genit dan gelak tawa.
Tsukasa menyahut, “Jangan bicara sembarangan. Belum lama ini aku mendengar beberapa siswi punya hobi mengkhayal kau berpacaran dengan Sesho, Mikio.”
Seshomaru sekonyong-konyong tersedak hebat. Dipukul-pukulnya dadanya dengan panik.
Mikio, yang spontan membantu menepuk-nepuk punggung Sesho, berujar heran, “Seriusan!??” yang setelah dibalas anggukan oleh Tsukasa, langsung berkata lagi, “Celaka. Kalau begitu, aku harus cepat-cepat dapat cewek baru nih, supaya nggak dipacarin sama Sesho! Doakan aku supaya berhasil mendapatkan Penjaga Perpus, yak!”
Lalu, pemuda itu enyah begitu saja.
Sementara Sesho sibuk meneguk air banyak-banyak, Tsukasa berkata, “Kurasa Mikio bakal gagal. Dia bukan tipe cowok yang disukai Tamaki.”
Sesho mengangguk setuju, “Ya, soalnya jelas-jelas si Penjaga Perpus itu sudah punya cowok yang disukainya sejak lama.”
Tsukasa menatap Sesho bertanya-tanya, “Siapa?”
Sesho hanya menjawab dengan helaan napas panjang. “Kamu tahu, dengan sifat yang sangat bertolak belakang, kamu dan Mikio sebenarnya punya satu persamaan?”
Tsukasa mengerutkan kening.
“Kalian sama-sama payah soal percintaan,” tukas Sesho, mengakhiri pembicaraan.
*
Bunga mawar, pernak-pernik kecil semacam jepit rambut, bros, anting-anting, dan kini… blus terusan. Ditemani setumpuk kertas berisi surat dan puisi cinta yang saking banyaknya mesti dijejalkan ke dalam loker. Dan semuanya ditulis dengan tulisan tangan yang sama.
Tubuh Tsukuyo bergetar hebat di samping kakaknya, menatap nanar loker sepatunya yang mendadak penuh.
Saat itu sudah petang, sekolah sepi. Karena beberapa minggu belakangan ini tindakan si stalkerbereskalasi makin parah, orangtua Tsukasa bersikeras agar putranya terus menemani Tsukuyo, baik pergi maupun pulang sekolah. Bahkan di jam makan siang, gadis itu tidak boleh lepas dari pengawasan.
Tsukasa mengangkat baju terusan tanpa lengan bercorak bunga-bunga matahari itu dengan kedua tangan. Ukurannya pas dengan Tsukuyo.
“Nii-san…” lirih Tsukuyo. Jari-jemarinya merenggut erat kemeja seragam kakaknya.
Rahang Tsukasa mengeras. Marah yang tertahan.
“Ini sudah kelewatan. Sebaiknya kita serius mencari siapa dalangnya. Supaya kau bisa bersekolah dengan tenang juga, Tsukuyo,” jelas Tsukasa, meraup semua pemberian si stalkerdari loker sepatu adiknya, merobek-robek setiap surat dan puisinya, dan membuangnya ke tempat sampah terdekat bersama blus terusan itu.
Tsukuyo bahkan sudah tidak kuat memandang benda-benda itu. Tubuhnya akan langsung meringkuk ketakutan tiap kali melihat tulisan tangan yang kini sudah dikenalinya.
“Maaf, latihan kendoku kelamaan. Kita jadi pulang kesorean,” ujar Tsukasa. Tangannya menepuk-nepuk puncak kepala Tsukuyo, menenangkannya.
Tsukuyo menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. “Aku sudah tidak apa-apa, Nii-san. Mari, sebaiknya kita segera pulang sebelum gelap.”
Mereka berjalan bersisian. Cuaca cerah petang itu, meski musim gugur telah mendekati akhir.
Tangan Tsukasa tidak pernah lepas dari shinai yang digendong di sebelah bahunya. Instingnya seharian ini berisik tanpa henti, seperti alarm yang menyala akibat bahaya.
“Sesho dan Mikio bilang instingku ini mengada-ada,” ujar Tsukasa sambil mengedikkan bahu, berusaha membuat adiknya tertawa.
Berhasil, Tsukuyo tertawa tiap kali kedua nama sahabat karibnya itu disebut. Gadis itu sering bilang kalau Sesho dan Mikio mirip tim lawak. “Terkadang aku iri dengan persahabatan Nii-sanbersama Seshomaru-san dan Mikio-san. Kalian terlampau akrab. Seandainya aku juga punya sahabat seperti mereka.”
Tsukasa langsung menegaskan, “Jangan, jangan. Sahabat seperti mereka cuma bakal menyusahkan hidupmu. Kujamin!”
“Tuh kan, itu yang kumaksud ‘terlampau akrab’, Nii-san,” cekikik Tsukuyo.
Jalanan di rute pulang mereka sepi. Tak terlihat siapa pun di sekitar.
Namun, Tsukasa mendengar ada langkah-langkah tak jauh di belakang. Lagi-lagi instingnya berdering memperingatkan. Pemuda itu segera menggenggam shinai-nya erat.
“Hraaaaaahh!! Mati kau!!”
Pekikan marah terdengar, membuat Tsukuyo terkejut seketika. Namun, Tsukasa sudah siap sedia. Ditariknya shinaidari pundak, diayunkan keras-keras tanpa dilepas dari kain penutupnya, dan mengenai sesuatu—seseorang.
Bunyi benda logam terjatuh menyadarkan Tsukasa bahwa penyerang itu, cowok yang mengenakan seragam sama dengan mereka itu, serius berusaha membunuh Tsukasa dengan pisau lipat.
“Nii… Nii-san…” lirih Tsukuyo terbata-bata.
Tidak salah lagi, dia memang si stalker.
Tsukasa menendang jauh-jauh pisau lipat si stalker, lalu mengajaknya bicara dengan shinai yang masih teracung mengancam, “Apa maumu sebetulnya? Berani-beraninya kau membuat adikku ketakutan!”
Cowok yang masih tertelungkup di aspal jalanan itu tampak gemetar hebat. Perawakannya kecil, kurus, wajahnya pucat dengan kacamata tebal yang retak di pinggiran melapisi matanya yang sayu.
Namun, tak disangka oleh kedua bersaudara itu, sang stalker malah tertawa kecil, “Ternyata kakaknya, toh. Ooh… hanya kakak, toh. Aku sungguh senang,” ujarnya sambil menengadah: wajahnya berurai air mata dan keringat dingin.
Tsukasa segera mengenalinya, “Kau… cowok yang menonton latihanku di dojo waktu itu!”
Namun, tiba-tiba ia berteriak histeris, “Aku hanya menyukainya!! Aku sangat, sangat, sangat menyukai Oosaki-san! Apa salahnya dengan itu!? Tapi, aku seperti ini: bertampang jelek, berkacamata, menyedihkan! Mana pantas aku mendekati perempuan seanggun Oosaki-san!?”
Tsukasa beringsut sedikit demi sedikit, dengan sikap waspada yang tanpa celah, berdiri di depan Tsukuyo, merentangkan tangannya yang bebas di hadapan gadis itu untuk melindunginya.
Tanpa melihat sosoknya pun, Tsukasa tahu adik kembarnya itu gemetar ketakutan.
“Tapi mestinya tidak begitu caranya, Nak,” sahut sebuah suara baru. Suara yang teramat dikenal oleh Tsukasa maupun Tsukuyo.
“Tou-san!!” serempak Tsukasa dan Tsukuyo.
Yang dipanggil malah cengar-cengir, “Halo, Anak-Anak. Aku cemas kalian belum pulang sesore ini, makanya ingin jemput. Malah bertemu pemandangan kacau begini.”
Ayah si kembar memungut pisau lipat yang terpental jauh, hampir tercebur ke lubang selokan. Pria itu kemudian berjalan perlahan-lahan, menghampiri si stalker.
Merasa terancam dengan kehadiran orang dewasa, si stalker mendadak merangkak mundur. Tubuhnya gemetar hebat. Ia meringkuk dalam-dalam, seolah ingin menyatu dengan aspal.
“Ti-ti-ti-tidak… Ja-ja-jangan mende-de-kat…” gagapnya saat Shou, ayah si kembar, mendekatinya dengan tangan terulur.
Tepat ketika jemari Shou menyentuh kepalanya, ia langsung menjerit keras. Suaranya melengking. Wajahnya berurai air mata dan keringat. Tsukasa yang melihat pemandangan itu berpikir kalau cowok yang belum diketahui namanya itu teramat sangat menyedihkan.
“Aku tidak akan menyakitimu, Nak,” ujar sang ayah, menenangkan. Namun, tampaknya ucapan tersebut tidak didengar. Suara yang berasal darinya hanya sesenggukan tangis dan kata-kata tanpa arti.
Tsukuyo yang melihat pemandangan itu, merasa iba. Gadis itu berbicara pada si stalker, masih dengan tetap menjaga jarak. “Maaf, tapi yang kamu lakukan itu membuatku takut. Bisa kauhentikan itu?”
Si stalker mengangkat wajahnya sedikit, histerianya berhenti sesaat kala memandang wajah Tsukuyo. Namun, dengan segera ia menunduk lagi. Dan gemetaran lagi.
Ayahnya menghela napas, lalu berkata pada Tsukasa, “Tsu, bisa gendong dia? Kuat ‘kan?”
Bukannya menjawab, Tsukasa malah bertanya balik, “Mau dibawa ke mana?”. Tidak mungkin ayahnya berpikiran membawanya ke polisi kan?
Ayahnya tersenyum, “Ke rumah kita. Aku ingin memberinya nasihat cinta.”
“Haaahh!!?” heran Tsukasa. “Putramu sendiri saja tidak pernah diberi nasihat cinta, kenapa malah orang nggak dikenal begini?”
Namun sang ayah hanya tertawa santai, “Salah kamu sendiri nggak pernah meminta nasihatku. Haha~”
Tsukasa hanya membalasnya dengan helaan napas panjang, lalu berjalan menghampiri si stalker yang masih sesenggukan, “Jangan berontak lho, nanti kujatuhkan.”
Mendengar ancaman dari kakaknya, Tsukuyo berkata khawatir, “Jangan kasar-kasar padanya, Nii-san.”
“Aku takkan kasar asalkan dia juga tidak kasar. Masalahnya, dia sudah kasar kepadamu. Itu yang lebih tidak bisa kuampuni,” lalu mengangkat tubuh ringkih si stalker itu dengan mudahnya, ke sebelah pundak, seolah-olah satu tubuh manusia tambahan tidak menjadi beban apa-apa.
Ayahnya menyahut, “Sudah, sudah. Berantemnya dilanjutkan di rumah saja nanti,” yang disusul tawa santai.
Tsukuyo yang membalas, panik, “Tou-san! Jangan memperburuk suasana!”
Lalu, mereka berjalan beriringan.
*
Saat itu latihan klub pagi. Tsukasa sudah bersiap-siap di dojo, mengenakan bogu lengkap dengan nama keluarganya.
Di hadapannya, sesosok pemuda ringkih mengenakan bogu cadangan sekolah. Tangannya gemetaran saat memegang shinai.
Tiba-tiba terlintas di pikiran Tsukasa, bahwa ini ide bagus: latih tanding sebagai pelampiasan emosi si stalker.
Malam itu, di rumah keluarga Hisakawa, ayahnya dengan santai berkata, “Kalau kamu butuh pelampiasan, jangan ke perempuan. Kan ada putraku. Kamu bisa menantangnya latih tanding kendo. Atau sekalian minta diajari.”
Tsukasa serta-merta tidak setuju, “Kenapa harus aku? Dan kenapa harus kendo?”
Ayahnya menatapnya, “Bukannya kamu sering bilang kendo membuatmu tenang? Kenapa tidak kamu coba menularkannya ke orang lain?”
Dan Tsukasa hanya menghela napas, “Oke. Datang saja ke dojo sekolah kapan pun kamu mau,” bilangnya, kepada si stalker yang meski sudah tidak menangis dan gemetaran, tetap masih menunduk melulu tiap diajak bicara.
Latih tanding dimulai, dengan Tsukuyo duduk di pinggir dojo, menonton dalam kesunyian. Gadis itu merasa harus melihat baik-baik pertandingan ini.
“Baik, mari kita mulai,” ujar Tsukasa, lirih tapi tegas hingga terdengar jelas ke seluruh penjuru dojo.
Teman satu klubnya yang bertindak sebagai wasit, mengumumkan, “Latih tanding antara Hisakawa melawan—”
Ah ya, pikir Tsukasa. Dia bukan stalker lagi. Dia bukan penjahat yang mesti diwaspadai lagi. Dia sudah menjadi lawan di dojo, yang mungkin akan menjadi kawan di luar. Namanya….
TAMAT
August 23, 2020
Fanfic SabiGiyuu - Limun Soda
Di hari yang terik sebelum memasuki libur musim panas itu, Sabito jarang-jarang berkesempatan menghabiskan istirahat makan siang bersama dua sahabat terbaiknya, Makomo dan Giyuu. Kali ini, mereka memilih duduk di bawah bayang-bayang di atap sekolah yang berangin.
Biasanya, kalau tidak ada kegiatan di Klub Musik Tiup, Makomo sibuk dengan kawan-kawan perempuannya, makan bekal bersama di kelas atau di bawah pohon rindang di halaman sekolah sambil membicarakan apa-apa yang biasa dibicarakan di kalangan siswi SMA.
Sementara Giyuu, biasanya sibuk dengan tugasnya di OSIS atau dipanggil guru untuk membantu segala macam rupa yang seolah tiada habisnya. Ia sampai dijuluki Seksi Sibuk saking sulitnya ditemui saat istirahat siang.
Sementara Sabito sendiri—sebagai yang paling luang di antara trio sahabat itu—pemuda berambut sewarna persik ini yang paling fleksibel di jam istirahat. Bisa jadi dia makan berat di kantin bersama gerombolannya, melangsungkan diskusi panas soal gim terbaru sambil mengunyah roti isi di kelas, atau sekadar luntang-lantung di koridor: menyapa balik siapa pun yang menyapanya. Ia juga diminta melatih adik kelasnya di Klub Kendo, sesekali.
Namun, hari itu berbeda. Ketiganya berkumpul.
Makomo dengan bekal buatan ibunya: dua nasi kepal kecil, telur dadar manis, udang goreng tepung, tomat mini dan wortel berbentuk bunga, sosis gurita lengkap dengan bendera dari tusuk gigi, dan sedikit saus tomat di wadah terpisah. Minumnya susu cokelat, beli di mesin penjual yang paling ramai di kantin.
Giyuu dengan bekal seadanya: roti isi daging rangkap dua, beli di Bibi Kantin langganan. Minumnya limun soda—favoritnya sepanjang waktu—beli di mesin penjual di pelataran parkir sepeda sekolah, karena memang hanya ada di situ.
Sabito dengan bekal buatan sendiri: nasi putih bertabur wijen di kotak paling besar, beberapa potong ayam kecap tanpa tulang, telur mata sapi, dan salad berisi irisan daun selada, wortel, dan brokoli yang dituang mayones. Minumnya limun soda—favoritnya di musim panas—belinya bersama Giyuu.
Rasa limun soda di mesin penjual di pelataran parkir sepeda sekolah itu unik: sedikit manis, sedikit masam, dengan aksen meletup-letup di dalam mulut.
Paduannya sangat pas. Favorit.
Sabito pernah mencoba beli limun soda di kios dan mesin penjual yang berada di sekitar rumahnya—karena waktu itu sekolah libur panjang dan dia tiba-tiba ingin sekali minum limun soda, tapi tak pernah ia temukan yang serupa dengan yang dijual di mesin penjual di pelataran parkir sepeda sekolahnya.
Makanya, limun soda di pelataran parkir sepeda sekolahnya—yang dikemas dalam botol plastik transparan dan label kuning terang dan tutup putarnya—itu terkesan bagai rahasia yang tak boleh diketahui sembarang orang.
Saking panasnya siang itu, Sabito menangkupkan kedua tangan di botol limun sodanya yang masih setengah penuh, membasahi keduanya.
Dingin.
Tiba-tiba satu pikiran iseng terlintas di benaknya.
Cengar-cengir, ia sekonyong-konyong menempelkan sebelah telapak tangannya yang sedingin es ke pipi Giyuu.
“!!!” Pemuda berambut gelap itu langsung terlonjak kaget.
Botol limun soda Giyuu yang ditaruh di samping kakinya, tertendang, lantas terlempar, menabrak botol limun soda Sabito, dan menggelinding bersama-sama ke ujung pagar pembatas.
“Pffft!” kekeh Sabito saat melihat Giyuu—dengan tampang datar yang ikonik darinya—bangkit dari duduk untuk memungut kedua limun soda mereka.
“Bocah,” respons Makomo seraya menggeleng-gelengkan kepala. Dan, “Setop, Sabito,” sergahnya, sebelum telapak tangan Sabito yang masih basah sempat menyentuh pipi gadis itu. Sabito mengangkat kedua tangannya tanda menyerah, tawa masih mewarnai wajahnya.
“…” Giyuu menghela napas, terus melempar salah satu botol di tangannya secara sembarang ke arah Sabito yang dengan cekatan menangkapnya.
Satu botol sisa di tangannya, ia buka dan teguk, masih sambil bersandar di pagar pembatas.
Sebelum tiba-tiba terdengar suara Sabito berseru, “Yang ini bukan punyaku lho, Giyuu!”
Giyuu mengangkat sebelah alisnya.
“Punyaku masih setengah penuh,” jelas Sabito lagi.
Giyuu melirik botol yang masih tergigit di mulutnya: masih setengah penuh. “Punyaku mestinya sudah hampir habis,” ingatnya, baru saja.
Sabito mengangguk.
Giyuu melepas botol limun soda itu dari bibirnya—masih tercecap rasa masam dan manis di lidah, memutar tutupnya rapat-rapat, lalu, “Tukar lagi?” tawarnya kepada Sabito.
Belum sempat Sabito merespons, Makomo keburu berseru, “Kalian serius?? Eugh, tukar-tukaran minum, jijik!” sambil bergidik kecil.
Sabito tidak langsung menjawab. Menimbang-nimbang perkataan Makomo barusan:
Jijik.
Jijik?
Heran. Bingung.
Bukan hanya ‘jijik’, bahkan perasaan ‘canggung’ saja tidak kepikiran. Toh, hanya bertukar minum sama Giyuu. Tidak masalah. Sama sekali.
Ia menolak membayangkan jika bertukar minuman dengan Makomo. Rasa ‘canggung’ setidak-tidaknya akan muncul. Berbeda halnya dengan Giyuu.
Berbeda?
Apanya yang berbeda?
Sabito melirik Giyuu, yang hanya balas menatapnya dalam diam. Menanti jawaban darinya.
Sabito mengambil jalan tengah, “Ambil saja yang itu, Giyuu,” balasnya sambil mengangkat bahu acuh tak acuh.
Giyuu mengangguk.
Namun, lantas bertanya, polos, “Tapi kamu baru minum sedikit dan yang punyaku itu sudah hampir habis.”
Kontan Sabito ingin membalasnya panik, “Bukan itu masalah yang mestinya kamu pikirkan!” tapi karena tampaknya mukanya akan semerah kepiting rebus lebih dulu sebelum kalimat itu tuntas terucap, Sabito terpaksa hanya membalas singkat, “Tidak apa, tinggal beli lagi.”
Makomo menusuk kotak susu cokelatnya dengan sedotan, kemudian bergumam, “Untung minuman favoritku beda dengan kalian. Lagian, apa enaknya limun soda yang itu? Merek itu jarang dijual karena enggak banyak yang suka.”
Terlintas di benak Sabito, sekejap: untung minuman favoritku sama dengan Giyuu.
Makomo melirik Sabito, matanya memicing, “Dasar, selera kalian aneh.”
Buru-buru pemuda itu memutar tutup botol limun sodanya, berharap pikiran-pikiran kacau itu hilang dari benaknya.
Lalu menempelkan bibirnya di ujung botol.
Dan meneguknya. Sedikit.
Rasa limun yang sedikit manis, sedikit masam, menguar di lidahnya; dan soda menambah aksen meletup-letup di dalam mulutnya—
—atau di dalam dadanya?
- TAMAT -
Awalnya ditulis sebagai entry fanfic untuk zine SabiGiyuu Indonesia: Breath of Water, tapi yang ini sudah resmi ditolak panitia jadi boleh disebar. Si Gie ngajuin dua fanfic sebetulnya, panitia lebih memilih yang satu lagi, yang genre fantasi historikal--zaman Om Oda Nobunaga, tapi si Om batal muncul gegara gak cukup batasan kata lol. Terus, si Gie pikir yang ini sayang banget disimpan gitu aja, soalnya secara pribadi si Gie sukaaaa banget sama yang ini: simpel tapi manis. Lumayan buat materi promosi zine (makanya beli nanti kalo udah mulai dijual yaaaakkk!! Si Gie bikin BL gitu lho! Dipublikasi gitu lho! Si Gie udah lebih dewasa sekarang!! /gak/). Btw, ini fanfic pertama si Gie setelah... eeer... 8 tahun? 9 tahun? Belum sampai 10 tahun sih yang pasti. Yeaaaayyy~~~ ini patut dirayakan!!
Btw, buat kalian yang penasaran dengan zine-nya, bisa langsung ke page-nya.
FB: Breath of Water - SabiGiyuu Zine (Facebook)
Twitter: Breath of Water - SabiGiyuu Zine (Twitter)
October 9, 2017
[Cerpen] Kucing Abu, Bocah Merah, dan Tali Rafia
Kakek Abu adalah seekor kucing berwarna abu yang sudah sangat tua. Suatu ketika ia mendapati ekornya telah diikat oleh anak-anak manusia dengan tali rafia berwarna merah—yang di matanya tampak usang, lusuh, kumal, dan penuh keburukan. Kakek Abu sangat benci tali rafia di ekornya itu. Sejak ia memiliki tali itu di ekornya, ia jadi sangat mencolok perhatian dan tampak konyol. Manusia dewasa memang awamnya hanya lirik dan abai, namun anak-anak kerap menunjuk-nunjuknya dengan heboh dan bising, yang lantas mengajak orang dewasa memperhatikannya dan turut menunjuk-nunjuknya pula. Yang lebih membuatnya tak tahan, justru seringai mencemooh dari sesama kucing dan para anjing yang jadi musuh bebuyutannya.Sudah sekian minggu ia mencoba melepas tuntas tali rafia di ekornya itu dengan beragam cara: digigit, dicakar, dibenturkan ke dinding, dikaitkan ke paku, dan sebagainya; namun semua itu hanya berakhir dengan kegagalan.Alih-alih, ia malah merasa tali rafia merah yang kusut, kotor, dan jelek itu seolah semakin terikat erat di ekornya. Kakek Abu benci. Benci sekali. Terhadap tali rafia merah buruk rupa sekaligus sekelompok anak kecil bandel yang mengikatkan tali itu di ujung ekornya tempo lalu.Tak habis pikir, apa tujuan mereka melakukannya? Apakah mengikat tali di ekor kucing itu sesuatu yang menghibur buat manusia? Untuk lantas ditertawakan bersama-sama? Heran. Heran. Heran. Marah. Sedih.
Tuhan, tolong lepaskan tali rafia merah yang warnanya pudar dan buruk rupa ini dari ekorku, batin Kakek Abu.
***
Bocah Merah gemar warna merah. Merah warna favoritnya. Merah membuatnya riang dan hatinya diliputi kebahagiaan yang teramat sangat. Oleh karena itu, bola matanya segera awas begitu sekejap menangkap warna merah dari tali rafia di ekor Kakek Abu. Seolah ada radar di otaknya yang memerintah matanya untuk tak lepas pandang dari tali rafia tersebut.Sekonyong-konyong Bocah Merah berseru kepada Kakek Abu, rona matanya riang dan polos, “Wah, cantik sekali pita merah di ekormu itu, Pus! Aku juga mau punya pita cantik begitu!”Kakek Abu terkejut bukan kepalang mendengarnya. Sejak kapan tali rafia kumal, lusuh, usang, dan kotor itu berubah menjadi pita merah cantik?Kakek Abu menoleh untuk memeriksa ekor (dan tali rafianya). Tidak, tidak. Tali rafia itu tetap tali rafia, bukan pita—apalagi pita cantik. Memang merah, tapi warnanya tidak sedap dipandang dan pudar. Bingung, Kakek Abu berbalik memandang Bocah Merah, yang masih memandangnya dengan kedua bola matanya yang berkilau cerah bak mentari pagi.Kakek Abu lantas menggoyangkan ekornya sedikit di hadapan wajah Bocah Merah, berharap gesturnya itu dipahami si Bocah.“Oh, kau mau memberikan pita merah cantik itu untukku?”Kakek Abu mengeong, yang di mata anak itu berubah menjadi anggukan dan kata-kata tak kasatmata: Kalau kau mau dan senang dengan tali (atau pita) ini, silakan ambil.Dengan penuh kehati-hatian, jari-jemari mungil Bocah Merah melepas ikatan tali rafia itu dengan lemah-lembut—yang anehnya mendadak mudah saja dilepas, seakan tali itu menyerah dan takluk di bawah jemari mungil Bocah.“Cantik sekali! Kau baik hati sekali mau memberikan pita secantik ini kepadaku.”Bocah Merah lantas pergi usai berterima kasih kepada Kakek Abu sang Kucing.Di mata Bocah yang kekanakan dan tulus itu, tali rafia tersebut berubah menjadi seutas pita merah cantik—berkat kebaikan, ketulusan, serta imajinasi di dalam hatinya yang sayangnya tak dimiliki oleh makhluk-makhluk lain yang selama ini berpapasan dengan Kakek Abu dalam perjalanannya.Sementara itu, Kakek Abu melangkah bahagia, tapak-tapak kakinya terasa begitu ringan—mungkin karena tertular dari Bocah Merah. Ya, kebahagiaan akan menular, pikirnya. Ia ingat baik-baik, berjanji kepada diri sendiri untuk suatu saat nanti membawakan sesuatu berwarna merah sebagai hadiah atas kebaikan hati sang Bocah.Kali ini, di mata Kakek Abu, tali rafia yang kini ada dalam genggaman Bocah Merah bukan lagi sekadar tali rafia buruk rupa, melainkan seuntai pita indah dengan warna merah cantik—selaras dengan yang ada dalam pandangan sang Bocah.Ia serta-merta merasa dapat pergi dengan tenang, melanjutkan perjalanannya yang masih begitu panjang.
~Fin10.10.2017
Ditulis sebagai hadiah(?) dari saya untuk saya sendiri (lol) atas terpilihnya saya sebagai peserta Kelas Penulisan Cerita Anak DKJ 2017. Semoga cerpen ini bisa jadi langkah awal saya untuk kembali menekuni dunia literasi yang sudah lama saya tinggalkan. Terus, juga untuk mengenang Kakek Abu, kucing tua yang sering berkeliaran di sekitar rumah, yang dulu--sebelum beliau berpulang tanpa pamit kepada siapa-siapa--sempat dijahili anak-anak yang mengikatkan tali rafia di ekornya.
Kucing Abu, Bocah Merah, dan Tali Rafia
Kakek Abu adalah seekor kucing berwarna abu yang sudah sangat tua. Suatu ketika ia mendapati ekornya telah diikat oleh anak-anak manusia dengan tali rafia berwarna merah—yang di matanya tampak usang, lusuh, kumal, dan penuh keburukan. Kakek Abu sangat benci tali rafia di ekornya itu. Sejak ia memiliki tali itu di ekornya, ia jadi sangat mencolok perhatian dan tampak konyol. Manusia dewasa memang awamnya hanya lirik dan abai, namun anak-anak kerap menunjuk-nunjuknya dengan heboh dan bising, yang lantas mengajak orang dewasa memperhatikannya dan turut menunjuk-nunjuknya pula. Yang lebih membuatnya tak tahan, justru seringai mencemooh dari sesama kucing dan para anjing yang jadi musuh bebuyutannya.Sudah sekian minggu ia mencoba melepas tuntas tali rafia di ekornya itu dengan beragam cara: digigit, dicakar, dibenturkan ke dinding, dikaitkan ke paku, dan sebagainya; namun semua itu hanya berakhir dengan kegagalan.Alih-alih, ia malah merasa tali rafia merah yang kusut, kotor, dan jelek itu seolah semakin terikat erat di ekornya. Kakek Abu benci. Benci sekali. Terhadap tali rafia merah buruk rupa sekaligus sekelompok anak kecil bandel yang mengikatkan tali itu di ujung ekornya tempo lalu.Tak habis pikir, apa tujuan mereka melakukannya? Apakah mengikat tali di ekor kucing itu sesuatu yang menghibur buat manusia? Untuk lantas ditertawakan bersama-sama? Heran. Heran. Heran. Marah. Sedih.
Tuhan, tolong lepaskan tali rafia merah yang warnanya pudar dan buruk rupa ini dari ekorku, batin Kakek Abu.
***
Bocah Merah gemar warna merah. Merah warna favoritnya. Merah membuatnya riang dan hatinya diliputi kebahagiaan yang teramat sangat. Oleh karena itu, bola matanya segera awas begitu sekejap menangkap warna merah dari tali rafia di ekor Kakek Abu. Seolah ada radar di otaknya yang memerintah matanya untuk tak lepas pandang dari tali rafia tersebut.Sekonyong-konyong Bocah Merah berseru kepada Kakek Abu, rona matanya riang dan polos, “Wah, cantik sekali pita merah di ekormu itu, Pus! Aku juga mau punya pita cantik begitu!”Kakek Abu terkejut bukan kepalang mendengarnya. Sejak kapan tali rafia kumal, lusuh, usang, dan kotor itu berubah menjadi pita merah cantik?Kakek Abu menoleh untuk memeriksa ekor (dan tali rafianya). Tidak, tidak. Tali rafia itu tetap tali rafia, bukan pita—apalagi pita cantik. Memang merah, tapi warnanya tidak sedap dipandang dan pudar. Bingung, Kakek Abu berbalik memandang Bocah Merah, yang masih memandangnya dengan kedua bola matanya yang berkilau cerah bak mentari pagi.Kakek Abu lantas menggoyangkan ekornya sedikit di hadapan wajah Bocah Merah, berharap gesturnya itu dipahami si Bocah.“Oh, kau mau memberikan pita merah cantik itu untukku?”Kakek Abu mengeong, yang di mata anak itu berubah menjadi anggukan dan kata-kata tak kasatmata: Kalau kau mau dan senang dengan tali (atau pita) ini, silakan ambil.Dengan penuh kehati-hatian, jari-jemari mungil Bocah Merah melepas ikatan tali rafia itu dengan lemah-lembut—yang anehnya mendadak mudah saja dilepas, seakan tali itu menyerah dan takluk di bawah jemari mungil Bocah.“Cantik sekali! Kau baik hati sekali mau memberikan pita secantik ini kepadaku.”Bocah Merah lantas pergi usai berterima kasih kepada Kakek Abu sang Kucing.Di mata Bocah yang kekanakan dan tulus itu, tali rafia tersebut berubah menjadi seutas pita merah cantik—berkat kebaikan, ketulusan, serta imajinasi di dalam hatinya yang sayangnya tak dimiliki oleh makhluk-makhluk lain yang selama ini berpapasan dengan Kakek Abu dalam perjalanannya.Sementara itu, Kakek Abu melangkah bahagia, tapak-tapak kakinya terasa begitu ringan—mungkin karena tertular dari Bocah Merah. Ya, kebahagiaan akan menular, pikirnya. Ia ingat baik-baik, berjanji kepada diri sendiri untuk suatu saat nanti membawakan sesuatu berwarna merah sebagai hadiah atas kebaikan hati sang Bocah.Kali ini, di mata Kakek Abu, tali rafia yang kini ada dalam genggaman Bocah Merah bukan lagi sekadar tali rafia buruk rupa, melainkan seuntai pita indah dengan warna merah cantik—selaras dengan yang ada dalam pandangan sang Bocah.Ia serta-merta merasa dapat pergi dengan tenang, melanjutkan perjalanannya yang masih begitu panjang.
~Fin10.10.2017
Ditulis sebagai hadiah(?) dari saya untuk saya sendiri (lol) atas terpilihnya saya sebagai peserta Kelas Penulisan Cerita Anak DKJ 2017. Semoga cerpen ini bisa jadi langkah awal saya untuk kembali menekuni dunia literasi yang sudah lama saya tinggalkan. Terus, juga untuk mengenang Kakek Abu, kucing tua yang sering berkeliaran di sekitar rumah, yang dulu--sebelum beliau berpulang tanpa pamit kepada siapa-siapa--sempat dijahili anak-anak yang mengikatkan tali rafia di ekornya.



