duniamimpigie's Blog, page 2

March 3, 2017

[Cerpen] Pagi / Untaian Jemari

Pagi / Untaian Jemari(Duniamimpigie)

Sekonyong-konyong ia berbalik. Matanya menemukanku.

“Kok bisa tahu?”tanyaku, polos, penasaran.

Ia mengedikkan dagu, mengarah ke balik punggungku, lalu menelusurkan jari telunjuknya yang panjang dan berbonggol kokoh dari langit hingga membentuk garis diagonal imajiner yang berakhir di aspal di sampingnya.

“Sinar mataharinya. Bikin bayanganmu kelihatan sampai ke depanku, meski kau berusaha sembunyi di belakang.”

Aku melenguh. Kecewa rencanaku mengagetkannya gagal hanya karena matahari.

“Gagal nih?” balasnya. Bukan pertanyaan, sekadar ejekan yang disertai seringai jahil penuh kemenangan. “Lain kali kalau mau iseng, tunggu sampai matahari juga mendukungmu.” Kali ini diiringi derai tawa singkat—yang kusuka.

Lalu sunyi mendadak saja kembali mengalun di jalan setapak itu, yang sisi-sisinya dijajari pohon rindang. Pagi itu sepi, namun hangatnya menyelimuti hingga ke hatiku.

Aku terlambat terkekeh geli. Lalu berlari kecil menyusul dirinya yang sengaja menungguku tak jauh di depan.

Begitu langkah kami sejajar, ia turunkan sebelah tangannya yang sedari tadi erat menggenggam tas selempangnya, untuk kemudian ditelusukkan ke sela-sela jemariku yang senggang. Seolah, memang di situlah tempatnya. Seolah, kesepuluh jemari yang saling bertaut itu merupakan kepingan-kepingan puzzle; yang kini membentuk utuh, sempurna.

Lantas kami kembali menyusuri jalan itu; dengan tangan bertaut.

21-02-2017
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 03, 2017 18:02

Pagi

Sekonyong-konyong ia berbalik. Matanya menemukanku.

“Kok bisa tahu?”tanyaku, polos, penasaran.

Ia mengedikkan dagu, mengarah ke balik punggungku, lalu menelusurkan jari telunjuknya yang panjang dan berbonggol kokoh dari langit hingga membentuk garis diagonal imajiner yang berakhir di aspal di sampingnya.

“Sinar mataharinya. Bikin bayanganmu kelihatan sampai ke depanku, meski kau berusaha sembunyi di belakang.”

Aku melenguh. Kecewa rencanaku mengagetkannya gagal hanya karena matahari.

“Gagal nih?” balasnya. Bukan pertanyaan, sekadar ejekan yang disertai seringai jahil penuh kemenangan. “Lain kali kalau mau iseng, tunggu sampai matahari juga mendukungmu.” Kali ini diiringi derai tawa singkat—yang kusuka.

Lalu sunyi mendadak saja kembali mengalun di jalan setapak itu, yang sisi-sisinya dijajari pohon rindang. Pagi itu sepi, namun hangatnya menyelimuti hingga ke hatiku.

Aku terlambat terkekeh geli. Lalu berlari kecil menyusul dirinya yang sengaja menungguku tak jauh di depan.

Begitu langkah kami sejajar, ia turunkan sebelah tangannya yang sedari tadi erat menggenggam tas selempangnya, untuk kemudian ditelusukkan ke sela-sela jemariku yang senggang. Seolah, memang di situlah tempatnya. Seolah, kesepuluh jemari yang saling bertaut itu merupakan kepingan-kepingan puzzle; yang kini membentuk utuh, sempurna.

Lantas kami kembali menyusuri jalan itu; dengan tangan bertaut.

21-02-2017
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 03, 2017 18:02

January 12, 2017

[Fantranslation] Peacemaker Kurogane Vol. 10 Ch. 45 - Nanae Chrono


Sumber: amazon.jp
Copyright manga: Nanae Chrono (2016)
Book & photo(s): Personal
Copyright Translation Japanese - Indonesian: Anggi. V.



01
Hlm 1
1. tugas baru yang dibebankan kepada shinsengumi adalah “merebut benteng koufu”
2. demi menahan shinseifugun (pasukan pemerintah baru) yang hendak menyerang masuk edo
3. sekitar 200 prajurit, termasuk para prajurit yang kembali bertempur dan prajurit tambahan, beranjak dari edo sebagai “kouyou chinbutai” (pasukan pasifikasi kouyou)



02-03
Hlm 2
4. jika aku tidak bergerak...


Hlm 3
5. bab 45: tampak



04-05
Hlm 4
6. “souji... apa kau ingin dibutuhkan orang?”
7. “iya...!”
8. “jika demikian, angkat pedangmu, asah tebasanmu, dan jangan pernah lagi menangis di hadapan kami”
9. dengan begitu, suatu saat nanti kau pasti akan jadi yang terkuat
10. dan aku pasti akan membutuhkan dirimu
11. jika kondou-san adalah “pelindung”-ku
12. maka hijikata-san adalah “pembimbing”-ku
13. “angkat pedangmu”, “asah tebasanmu”, “jangan menangis di hadapan siapa pun”
14. begitu aku menuruti bimbingan pertama darinya...


Hlm 5
15. “kekuatan” yang merupakan kutukan bagiku
16. beralih membawa kebahagiaan bagi banyak orang
17. bagus sekali!!
18. hari ini pun ayunan pedangmu luar biasa, soujirou!
19. benar-benar anak ajaib!
20. shieikan dipenuhi ahli pedang andal!
21. kyaa ♡♡ soujirou-kun ♡
22. padahal semanis itu, tapi kuat sekali!
23. luar biasa...!
24. okita-kun... bukan! “okita-sensei”! biarkan kami memanggil anda begitu!
25. ti, tidak usah... sampai seperti itu...



06-07
Hlm 6
26. punggung yang tak berkata-kata itu...
27. membuatku merasa bahwa aku tengah “dipuji” dengan caranya sendiri


Hlm 7
28. hei...
29. hei, shinpachi...
30. ou
31. souji makin lambat saja...
32. nggak boleh kita sembunyi-sembunyi menggendongnya?
33. tidak boleh
34. ketua sudah memperingatkan kita supaya tidak membantunya, ‘kan?
35. sial...
36. jangan sembarangan bicara!!
37. dengan tubuh sepayah itu... mana mungkin dia bisa pergi sampai koufu!?
38. ...hei, sano
39. masalah kali ini
40. bukan itu
41. semua orang juga sudah paham...
42. bahwa dia takkan sanggup ke koufu



08-09
Hlm 8
43. terus... buat apa ada perjalanan ini?
44. benar...
45. ini pasti...
46. ritual yang diperlukan
47. agar semua anggota, termasuk aku sendiri sadar...
48. bahwa “ahli pedang okita souji” telah tiada


Hlm 9
49. hatago di naitou shinjuku
50. okita-sensei telah tiba!!
51. okita-san, bertahanlah!
52. uhuk uhuk uhuk
53. ...souji



10-11
Hlm 10
54. uhuk uhuk
55. ...tuh?
56. sudah kubilang
57. aku masih bisa jalan...
58. souji!!
59. ranjangnya sudah disiapkan
60. biar aku yang mengge...
61. tidak
62. biar aku yang menggendongnya


Hlm 11
63. ...kamu itu...
64. dengan tubuh...
65. dengan tubuh sekurus ini...
66. masih belum, ya...
67. besok pun dia pasti bersikeras untuk berjalan kaki...
68. yamaguchi-kun
69. siap



12-13
Hlm 12
70. ada apa?
71. mengenai besok...
72. ada satu hal
73. yang ingin kumintai tolong padamu
74. semasa kanak-kanak...


Hlm 13
75. mereka mengajarkanku bahwa ada kelebihan pada kekuatan
76. yang selama ini kuanggap sebagai kelemahan
77. karena itulah, aku semakin suka bermain pedang
78. setiap teknik yang dipelajari di shieikan dapat langsung kupraktikkan hanya dalam sekali lihat
79. tiap kali aku bertanya, “apanya yang sulit?” pasti semua menjawab, “itu karena kau genius”
80. di saat-saat aku akhirnya paham maksud perkataan tersebut
81. aku sudah jatuh cinta pada seni bermain pedang
82. meski itu berarti
83. aku harus membunuh



14-15
Hlm 14
84. asalkan diperintah, aku mampu membunuh siapa saja
85. tentu hati nuraniku tetap merasa terluka
86. tetapi, mengubah perasaan ternyata tidak sesulit yang kubayangkan
87. sebab...
88. kau luar biasa, souji!
89. kita dipuji habis-habisan oleh petinggi, lho! katanya, “rounin mencurigakan yang sering berkerumun, berkurang drastis karena takut akan shinsengumi”!
90. ini semua berkat kerja kerasmu, souji


Hlm 15
91. aku akan dipuji
92. dan dibutuhkan
93. aku diselimuti perasaan bahagia bahwa aku dilahirkan demi saat-saat itu
94. semakin banyak aku membunuh, semakin aku ditakuti orang-orang...
95. dan bunga impian kondou-san dan hijikata-san yang berwujud “shinsengumi” akan mekar
96. saat aku mulai dijuluki sebagai “anak iblis”...
97. aku sudah terbiasa...
98. membunuh
99. okita-san!
100. berpeganglah padaku!
101. ...tidak usah, tetsu-kun...
102. tidak perlu... membantuku...
103. tetapi...!


16-17
Hlm 16

104. shimada
105. siap
106. sebisa mungkin... perlambat laju baris pasukan
107. sampaikan ini padanya
108. uhuk
109. uhuk
110. ohok ohok
111. ukh...
112. haah
113. haah


Hlm 17
114. te, tetsu-kun!?
115. jangan! turunkan...
116. ini tidak ada hubungannya
117. ini tidak ada hubungannya dengan perintah ketua
118. aku pasti akan menggendong anda
119. karena, ini memang tak ada hubungannya...
120. entah anda tidak mampu lagi berjalan atau bertarung...
121. okita-san tetaplah guru terbaikku!



18-19
Hlm 18
122. ...jika kau masih menganggapku gurumu
123. pergilah lebih dulu
124. pergilah dan jadilah "iblis"


Hlm 19
125. aah...
126. tuh, lagi-lagi
127. lagi-lagi aku
128. hanya bermanis mulut
129. pendusta
130. aku baik-baik saja
131. mana mungkin aku baik-baik saja
132. jika kau masih menganggapku gurumu
133. aku guru yang baik, bukan?
134. pergilah lebih dulu
135. makanya, jangan tinggalkan aku



20-21
Hlm 20
136. ohok ohok
137. uhuk
138. sesuatu yang menjijikkan ini...
139. keluar dari tubuhku
140. meluap
141. dari hatiku yang hina
142. cemaskan aku
143. perlakukan aku dengan berharga
144. jaga aku tanpa henti
145. kasihani aku
146. menangislah, bilang kalian tak bisa apa-apa tanpaku


Hlm 21
147. jika aku tidak bergerak...
148. jika aku tidak bergerak
149. aku bahkan tak bisa menjadi air untuk memekarkan bunga
150. ukh
151. uuuh...
152. aku yang tak mampu bertarung
153. ku...mohon...
154. sudah tidak kalian perlukan lagi?



22-23
Hlm 22
155. tunggu...
156. jangan tinggalkan aku...

Hlm 23
157. akhirnya kau mengucapkannya



24-25
Hlm 24
158. ...eh
159. hijika...sa...
160. kenapa bisa...
161. tidak kusangka, kau bisa mengikuti kami sampai sini
162. padahal kukira kau takkan sanggup berjalan satu ri pun
*1 ri: kira-kira 2,44 mil
163. kau mau mati, hah?

Hlm 25
164. dengan tubuh begitu, malah bertindak sembrono...
165. bukankah lebih baik kalau kau langsung bilang, “ini mustahil”!
166. apa kalau tidak diperlakukan sampai sekejam ini, kau tidak bisa mengungkapkan isi hatimu!?
167. kau benar-benar bodoh!!
168. soalnya...
169. anda berdua yang memerintahkan ini kepadaku...
170. anda berdua yang menyuruhku untuk terus ikut...
171. anda pula yang memintaku tidak menangis, maka aku berusaha untuk tidak menangis


26-27
Hlm 26
172. jika anda memerintahkanku membunuh, maka aku akan membunuh
173. namun, mengapa...?
174. mengapa anda...
175. selalu seperti itu?
176. anda selalu menatapku
177. souji...
178. dengan pandangan pilu
179. ukh...
180. uhuk
181. hik
182. aah... tidak bisa
183. hei
184. hijikata-san
185. hik
186. tak bisa dihentikan lagi

Hlm 27
187. siapa lagi yang mesti kubunuh?
188. jika memang aku sudah pasti akan dibuang
189. akan kupertaruhkan segalanya
190. berapa banyak yang mesti kubunuh agar anda senang?
191. bagaimana caranya agar aku...
192. tetap anda butuhkan!?



28
Hlm 28
193. sssh
194. ...bernapaslah
195. souji
196. sssh
197. tetaplah bernapas
198. cukup itu saja


29
Hlm 29
199. kau cukup tetap bernapas
200. dan...
201. jangan tinggalkan aku...



30
Hlm 30
202. ...aku akan hidup
203. meski bibirku mengucapkan ikrar itu
204. aku akan hidup dan menunggu anda
205. mohon tetaplah bertahan hidup
206. aku tidak peduli jika harus mati saat itu juga
207. hijikata-san


31
Hlm 31
208. bahkan
209. okita-san
210. sampai menangis
211. tanggal 2 bulan maret tahun 4 keiou (1868)
212. di tanah kelahiran hino
213. okita souji mengundurkan diri dari shinsengumi


================================================
Fantranslation selalu asik dibikin, soalnya saya gak perlu mikirin apa-apa saat nerjemahin kecuali diri sendiri.
Gak perlu mikirin pendapat pembaca, mempertimbangkan selera tiap-tiap editor, peraturan (tertulis atau tak tertulis) perusahaan, besaran honor, bahkan terkadang gak perlu musingin kaidah penerjemahan dan penulisan bahasa indonesia yang baik dan benar (meski saya tetap menggunakannya dengan baik sesuai konteks).

Rasanya tuh, semacam "Bebaaaassss~~~". Saya bisa jadi egois seegois-egoisnya di fantranslation hohohoho~~~

Meskipun saya bilang nerjemahin ini demi temen saya, tetep aja sebenernya saya juga "gatel" kepengen. Habisnya, ini momen terbaik(?) antara Pak Hijikata dan Okita Souji!! Wuhuuuuuu~~~

Btw, saya gak pakai kapital di terjemahan ini karena kebawa-bawa kebiasaan nerjemahin untuk kantor yang emang gak memerlukan kapital. Buat yang gak terbiasa, mohon maaf.
Juga kemunculan jari-jari saya di foto (lol), semoga gak terlalu mengganggu. Susah motret tanpa keliatan jarinya, saya menjaga supaya bukunya gak terlalu ditekuk pas difoto, khawatir rusak ||orz

Nah, nah, semoga kapan-kapan saya bisa fantranslation buku-buku lain lagi.
1 like ·   •  4 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 12, 2017 23:50

May 26, 2016

[Puisi] Nir-


Terkadang, rasa-rasaku bukan manusia.
Barangkali sesekali hewan buas, yang tak mengaum. Bukan tak mampu, hanya saja tak jemawa, tanpa taring berbesi.

Kecut, tak ingin dipecut.
Hingga hanya sanggup terpaku, tanpa hati berbaja.

Tanpa, tanpa.

Apalah, tak seorang manusia sudi kujadikan karib. Bisa jadi sebab aku buas, sesekali, manusia, sesekali?
Bilamanakah kuperoleh kembali aumanku tatkala aku mewujud membuas?
Lalu, bilamanakah kuperoleh kembali hatiku tatkala aku mewujud manusia?
Adakah diri 'kan memberi?

Nir-, Nir-.
Sebab aku hanya Nir-.


26-05-2016
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 26, 2016 07:27

Nir-


Terkadang, rasa-rasaku bukan manusia.
Barangkali sesekali hewan buas, yang tak mengaum. Bukan tak mampu, hanya saja tak jemawa, tanpa taring berbesi.

Kecut, tak ingin dipecut.
Hingga hanya sanggup terpaku, tanpa hati berbaja.

Tanpa, tanpa.

Apalah, tak seorang manusia sudi kujadikan karib. Bisa jadi sebab aku buas, sesekali, manusia, sesekali?
Bilamanakah kuperoleh kembali aumanku tatkala aku mewujud membuas?
Lalu, bilamanakah kuperoleh kembali hatiku tatkala aku mewujud manusia?
Adakah diri 'kan memberi?

Nir-, Nir-.
Sebab aku hanya Nir-.


26-05-2016
1 like ·   •  3 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 26, 2016 07:27

January 13, 2016

[Fantranslation] Joan Aiken: “A Necklace of Raindrops”

Seuntai Kalung Rintik-HujanPenerjemah: Anggi Virgianti

Seorang pria bernama Pak Jones hidup di dekat laut dengan sang istri. Pada suatu malam berbadai Pak Jones sedang di kebunnya saat ia melihat pohon holly di samping gerbang mulai bergoyang dan berempasan.

Sewujud suara melolong, “Tolong aku! Aku tersangkut di pohon ini! Tolong aku, kalau tidak badai akan menerpa sepanjang malam.”

Terkejut bukan kepalang, Pak Jones berjalan menghampiri pohon tersebut. Di tengah-tengahnya tampak sesosok kakek tinggi dengan jubah kelabu panjang dan janggut yang juga kelabu panjang serta mata tecemerlang yang pernah kaulihat.

“Siapa engkau?” Pak Jones berujar. “Apa yang kaulakukan di pohon holly-ku?”


“Aku tersangkut di sini, kamu tidak lihat? Bantu keluarkan aku, atau badai akan menerpa sepanjang malam. Akulah Sang Angin Utara, sudah tugasku meniup badai pergi.”

Lantas Pak Jones menolong Sang Angin Utara lepas dari pohon holly-nya. Tangan Sang Angin Utara begitu membekukan bak es.

“Terima kasih,” ujar Angin Utara. “Jubahku memang koyak, namun sudahlah. Kau telah menolongku, jadi kini aku yang akan melakukan sesuatu untukmu.”

“Aku tak perlu apa pun,” balas Pak Jones. “Aku dan istriku dikaruniai seorang bayi perempuan yang baru saja lahir, dan kami sangat berbahagia laiknya dua kekasih di dunia ini.”

“Jikalau memang demikian,” lanjut Angin Utara, “aku akan menjadi wali bagi bayimu. Kado kelahiran dariku untuknya ialah kalung rintik-hujan ini.”

Dari balik jubah kelabunya, ia mengeluarkan seuntai rantai perak yang begitu memesona. Di rantainya terdapat tiga rintik air yang bersinar menyilaukan.

“Kau mesti mengalungkannya di leher bayimu,” jelasnya. “Rintik-rintik hujan ini takkan membasahinya, takkan pula mereka terlepas. Tiap tahun, pada hari ulang tahunnya, aku akan menambah rintiknya. Ketika ia memiliki empat rintik, ia takkan basah meski di tengah hujan terderas sekalipun. Lalu ketika ia memiliki lima rintik, takkan ada petir maupun halilintar yang mampu melukainya. Lalu ketika ia memiliki enam rintik, ia takkan terbawa angin walau oleh topan terkuat sekalipun. Lalu ketika ia memiliki tujuh rintik, ia mampu berenang di sungai terdalam. Lalu ketika ia memiliki delapan rintik, ia mampu berenang di samudera terluas. Lalu ketika ia memiliki sembilan rintik, ia mampu menghentikan hujan hanya dengan menepukkan tangan. Lalu ketika ia memiliki sepuluh rintik, ia mampu mendatangkan hujan hanya dengan membersit hidung.”

“Berhenti, berhenti!” jerit Pak Jones. “Itu terlalu berlebihan bagi seorang gadis kecil!”

“Aku memang sudah mau berhenti,” balas Sang Angin Utara. “Namun camkan, jangan sampai ia lepaskan rantainya atau nasib buruk akan melanda. Aku harus lekas pergi sekarang, supaya badainya menjauh. Aku akan datang lagi di ulang tahun berikutnya sambil membawa rintik keempat.”

Ia lantas terbang ke angkasa tinggi, mendorong awan-awan di hadapannya agar bulan dan gemintang bisa bersinar cerah.

Pak Jones kembali ke rumahnya lalu mengalungkan rantai dengan tiga rintik hujan tadi ke leher bayinya, yang dinamainya Laura.

Setahun berlalu begitu cepat, dan ketika Angin Utara menyambangi kediaman kecil di dekat laut itu lagi, Laura sudah bisa merangkak dan memainkan ketiga rintik hujannya yang bercahaya dan gemerlapan. Kendati ia tak pernah melepas rantai kalungnya.

Setelah Sang Angin Utara memberi Laura rintik hujan keempatnya, ia takkan basah meski berada di tengah hujan terderas sekalipun. Ibunya kerap menimangnya di kereta bayi di kebunnya, dan orang-orang yang lewat di jalan akan berkata, “Lihat bayi kecil itu, dibiarkan di tengah hujan begini. Dia pasti akan demam!”

Namun demikian Laura kecil tetap kering, bahkan tampak gembira, bermain dengan rintik-rintik hujan dan melambai pada ayah walinya, Sang Angin Utara, ketika ia terbang melewatinya.

Tahun berikutnya Angin Utara membawakannya rintik hujan kelima. Lalu tahun berikutnya lagi, yang keenam. Lalu tahun berikutnya lagi, yang ketujuh. Kini Laura takkan celaka di tengah badai terganas sekalipun, dan bila ia terjatuh di kolam atau sungai ia akan mengambang bagaikan selembar bulu. Lantas ketika ia mendapatkan rintik hujan kedelapan, ia mampu berenang mengarungi samudera terluas—namun ia merasa bahagia di rumah hingga tak pernah mencobanya.

Kemudian ketika ia mendapatkan rintik hujan kesembilan, Laura tahu dia mampu menghentikan hujan, hanya dengan menepukkan kedua belah tangannya. Hingga membuat banyak, banyak sekali hari cerah di tepi laut. Tetapi Laura tidak melulu menepukkan tangan sewaktu hujan, lantaran ia sungguh menyukai tetes-tetes perak yang meluncur turun dari langit.

Kini sudah saatnya Laura bersekolah. Kau bisa membayangkan betapa ia disayang kawan-kawannya! Mereka akan memanggil-manggilnya, “Laura, Laura, tolong buat hujannya berhenti, supaya kita bisa main di luar.”

Lalu Laura selalu membuat hujannya berhenti untuk mereka.

Namun ada seorang gadis kecil bernama Meg yang berkata pada dirinya sendiri, “Ini tidak adil. Mengapa Laura bisa memiliki kalung cantik itu dan mampu menghentikan hujan? Sedang aku tidak memilikinya?”

Maka Meg mendatangi guru dan mengadu, “ Laura mengenakan kalung.”

Maka sang guru berkata pada Laura, “Kamu harus melepas kalungmu di sekolah, Sayang. Itu sudah peraturannya.”

“Tapi itu akan membawa bencana buruk jika aku melepasnya,” sahut Laura.

“Tentu saja itu takkan membawa bencana buruk. Aku akan menyimpannya di kotak untukmu dan menjaganya tetap aman sampai sekolah usai.”

Dengan demikian sang guru menyimpan kalungnya di sebuah kotak.

Namun Meg melihat di mana gurunya menyimpannya. Dan ketika murid-murid lain tengah bermain di luar, sementara sang guru sedang menyantap makanannya, Meg lekas-lekas mencuri kalung tersebut dan menyimpannya di dalam sakunya.

Begitu guru mengetahui bahwa kalungnya telah hilang, dia merasa sangat amat marah sekaligus sedih.

“Siapa yang telah mengambil kalung milik Laura?” ia bertanya.

Namun tak seorang anak pun menjawab.

Meg memasukkan tangannya dalam-dalam ke saku untuk memegangi kalungnya.

Laura yang malang hanya bisa menangis sepanjang perjalanannya pulang ke rumah. Air matanya menetes menuruni kedua pipinya laiknya hujan ketika ia berjalan melintasi sisi laut.

“Oh,” isaknya, “apa yang akan terjadi bila aku memberitahu ayah waliku bahwa aku telah menghilangkan hadiahnya?”

Seekor ikan menengadahkan kepalanya dari bawah air lantas berkata, “Jangan menangis, Laura Sayang. Kaulah yang telah mengembalikanku ke laut ketika ombak menerpaku ke daratan berpasir. Aku akan membantumu mencari kalungmu itu.”

Lalu seekor burung terbang rendah dan menyapanya, “Jangan menangis, Laura Sayang. Kaulah yang telah menolongku ketika badai menerpaku ke atap rumahmu hingga sayapku terluka. Aku akan membantumu mencari kalungmu itu.”

Lalu seekor tikus melongokkan kepalanya dari sebuah lubang dan berujar, “Jangan menangis, Laura Sayang. Kaulah yang telah menyelamatkanku ketika aku tercebur ke sungai. Aku akan membantumu mencari kalungmu itu.”

Laura pun mengusap air matanya. “Bagaimana kalian akan menolongku?” tanyanya.

“Aku akan mencarinya di bawah laut,” jawab si ikan. “Aku juga akan meminta bantuan dari saudara-saudaraku.”

“Aku akan terbang tinggi dan mengamati tiap ladang dan hutan dan jalan,” jawab si burung. “Aku juga akan meminta bantuan dari saudara-saudaraku.”

“Aku akan mengitari bagian dalam rumah,” jawab si tikus. “Aku juga akan meminta bantuan dari saudara-saudaraku untuk mengecek tiap sudut dan lemari di setiap rumah di dunia.”

Kemudian mereka pun mulai bekerja.

Sementara Laura tengah bercakap-cakap dengan ketiga kawannya, apa yang sedang Meg lakukan?

Ia mengenakan kalung tersebut dan berjalan di tengah badai hebat. Namun hujannya tetap saja membuatnya basah! Lalu ketika ia menepukkan kedua tangannya untuk menghentikan hujan, hujan tidak mengacuhkannya. Ia bahkan turun makin lebat.

Kalung itu hanya bekerja untuk pemiliknya yang sejati.

Maka Meg naik pitam. Namun ia masih tetap mengenakan kalung itu hingga ayahnya memergokinya mengenakannya.

“Dari mana kau mendapatkan kalung itu?” tanya sang ayah.

“Aku menemukannya di tengah jalan,” jawab Meg. Yang tentu saja bohong!

“Kalung itu terlalu mewah untuk anak-anak,” kata ayahnya. Kemudian ia pun mengambilnya dari anaknya. Meg dan ayahnya tidak menyadari bahwa ada seekor tikus kecil mengamati mereka dari sebuah lubang di dinding.

Tikus itu berlari kencang untuk menyampaikan pada kawan-kawannya bahwa kalung tersebut ada di rumah Meg. Kemudian sekitar sepuluh ekor tikus kembali bersamanya untuk membawa kalung itu pergi. Namun ketika mereka tiba di sana, kalungnya sudah tak ada. Ayah Meg telah menjualnya, demi memperoleh uang dalam jumlah besar, kepada seorang pengrajin perak. Dua hari kemudian, seekor tikus kecil melihatnya di sebuah toko pengrajin perak, lalu berlari untuk menyampaikan pada kawan-kawannya. Namun belum sempat para tikus itu merebutnya kembali, sang pengrajin telah menjualnya kepada seorang pedagang yang tengah berburu barang mewah dan langka sebagai hadiah ulang tahun Putri Arab.

Lalu seekor burung melihat kalung itu dan terbang untuk memberitahu Laura.

“Kalungmu ada di sebuah kapal, yang tengah berlayar mengarungi lautan menuju Arab.”

“Kami akan mengikuti kapal itu,” kali ini para ikan berkata. “Kami akan memberitahumu ke arah mana kapal itu berlayar. Ikuti kami!”

Namun Laura hanya berdiri mematung saja di pinggir laut.

“Bagaimana aku bisa berenang sejauh itu tanpa kalungku?” ujarnya putus asa.

“Aku akan menggendongmu di punggungku,” sahut seekor lumba-lumba. “Kamu sering melemparkan makanan enak untukku ketika aku lapar.”

Jadilah sang lumba-lumba membawa gadis kecil itu di punggungnya, sementara para ikan berenang di depan, dan para burung terbang di atas, dan setelah beberapa lama waktu berlalu mereka pun tiba di Arab.

“Sekarang di mana kalungnya?” tanya para ikan kepada para burung.

“Raja Arab yang memilikinya. Ia akan memberikannya pada Sang Putri sebagai hadiah ulang tahunnya esok.”

“Esok juga hari ulang tahunku,” sahut Laura. “Oh, apa yang akan ayah waliku katakan jika dia datang untuk memberikanku rintik kesepuluh dan mengetahui aku tidak memiliki kalung itu lagi?”

Para burung menuntun Laura masuk ke taman Sang Raja. Gadis kecil itu pun terlelap sepanjang malam di bawah sebuah pohon palem. Rerumputan di sana kering kerontang, bunga-bunganya pun berwarna kecokelatan, sebab udara di sana sangat panas tanpa hujan sepanjang tahun.

Pagi berikutnya Sang Putri mengunjungi taman untuk membuka kado-kadonya. Ia mendapatkan berbagai barang cantik: setangkai bunga yang bisa bernyanyi, serta sesangkar penuh burung yang berbulu hijau dan perak; sebuah buku yang bisa ia baca selama-lamanya sebab tak ada halaman terakhir di dalam buku itu, dan seekor kucing yang bisa bermain ayunan; gaun perak dari sarang laba-laba dan gaun emas dari sisik ikan mas; sebentuk jam dengan burung kukuk hidup yang memberitahukan waktu, juga seonggok kapal yang terbuat dari kerang merah muda raksasa. Dan di antara semuanya, ada satu hadiah yang merupakan kalung Laura.

Ketika Laura melihat kalungnya, ia berlari dari bawah pohon palem dan terisak, “Oh, kumohon, kalung itu milikku!”

Sang Raja Arab serta-merta naik darah. “Siapa gadis kecil ini?” teriaknya. “Siapa yang mengizinkannya memasuki tamanku? Bawa dia keluar dan ceburkan dia ke laut!”

Namun Sang Putri, yang mungil dan berparas jelita, berkata, “Tunggu sebentar, Papa,” lalu kepada Laura ia berkata, “Bagaimana kau bisa tahu ini kalungmu?”

“Karena ayah waliku yang memberikannya kepadaku! Jika aku mengenakannya, aku takkan basah meski di tengah hujan, takkan ada badai yang mampu melukaiku, aku bisa berenang di sungai dan samudera mana saja, dan aku bahkan mampu menghentikan hujan.”

“Tetapi apakah kau bisa menurunkan hujan?” tanya Raja.

“Belum bisa,” aku Laura. “Belum, sampai ayah waliku itu memberikanku rintik yang kesepuluh.”

“Apabila kau mampu menurunkan hujan, akan kukembalikan kalung ini kepadamu,” tambah Sang Raja. “Sebab kami sangat memerlukan hujan untuk negeri kami.”

Laura menjadi sangat sedih karena ia belum bisa menurunkan hujan sebelum mendapatkan rintik kesepuluhnya.

Sesaat kemudian Angin Utara terbang memasuki taman Sang Raja.

“Ternyata kau ada di sini, Putriku!” katanya. “Aku sudah mencari-carimu ke segala tempat di dunia demi memberikanmu kado ulang tahunmu. Di mana kalungmu?”

“Putri itu mengambilnya,” jawab Laura yang bersedih.

Sekonyong-konyong Sang Angin Utara marah. “Kamu seharusnya tidak melepaskannya!” bentaknya. Ia menjatuhkan rintik hujannya ke rerumputan yang kering kerontang dan langsung menghilang. Ia pun lantas terbang pergi. Laura mulai sesenggukan.

“Jangan menangis,” hibur putri kecil yang baik hati. “Kau boleh mendapatkan kalungmu kembali sebab aku sudah tahu bahwa ini memang milikmu.” Ia lantas mengalungkan rantainya melewati kepala Laura. Segera setelah itu, setetes air mata Laura jatuh dan tersangkut di kalung itu bersebelahan dengan kesembilan rintik hujan, membuatnya menjadi sepuluh rintik. Laura kembali tersenyum, ia menghapus air matanya dan membersit hidungnya. Dan, tebak apa! Segera setelah ia membersit hidung, hujan serta-merta turun! Hujan turun dan terus turun, membuat tiap pepohonan menguncupkan dedaunan, serta tiap bunga memekarkan kelopaknya, mereka sangat bahagia bisa mendapatkan minum.

Akhirnya Laura menepukkan tangannya untuk menghentikan hujan.

Raja Arab itu menjadi sangat senang. “Itu kalung terbaik yang pernah kulihat,” lanjutnya. “Sudikah kau datang dan menginap bersama kami setiap tahunnya, sehingga kami bisa mendapatkan cukup hujan?” Laura segera menyetujui permohonannya tersebut.

Mereka mengantarkan Laura pulang menggunakan perahu Sang Putri, yang terbuat dari kerang merah muda raksasa. Para burung terbang di atas, semenara para ikan berenang di depan.

“Aku senang bisa mendapatkan kembali kalungku,” ucap Laura. “Tetapi aku lebih senang karena bisa mendapatkan banyak teman baru.”


Apa yang terjadi pada Meg? Seekor tikus mengadu pada Angin Utara bahwa dialah yang mencuri kalung Laura. Angin Utara pun datang dan meniup keras-keras atap rumahnya hingga lepas dan menurunkan hujan, jadi sekarang ia sangat kebasahan!

Tamat.


Catatan Gie: Sebenernya ini bukan cerita terfavorit saya di dalam kumpulan cerpen Bu Aiken ini, tapi karena cerita ini yang dijadikan judul kumcernya, saya putuskan untuk diterjemahkan pertama kali. Begitulah. Selanjutnya saya akan menerjemahkan yang saya suka (yang tentu aja lebih menarik dan seru) lebih dulu~

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 13, 2016 00:01

December 13, 2015

[Terjemahan] 法術 = Gramarye (from "Evil Eater" by Issei Eifuku & Kojino)

Pada bulan Desember ini, saya (alhamdulillah) kebanjiran order terjemahan naskah komik dari bahasa jepang ke bahasa indonesia.
Salah satunya komik yang berjudul "Evil Eater" yang dikarang Issei Eifuku dan digambar oleh Kojino (yang juga menggambar "Prizona 6")

Evil Eater 01 & 02 di pojok kanan bawah
Jujur, saya sangat-amat ngeri(?) dengan Evil Eater dibanding buku-buku lainnya. Kengerian itu dipicu selain karena genre Evil Eater yang termasuk sci-fi--yang jelas-jelas bukan genre bacaan favorit saya--juga karena banyaknya istilah dan kanji yang menyulitkan.


Jadi, manga Evil Eater ini mengangkat latar belakang "sihir" yang sudah berkesinambungan dengan sains dan tidak dianggap kuno lagi. "Sihir" di komik tersebut sudah diubah namanya menjadi 法術 (houjutsu) dan bukan lagi disebut 魔法 (mahou) dan menjadi salah satu bidang ilmu pengetahuan yang diteliti dan dikembangkan dengan teknologi mutakhir.

Masalahnya, saya langsung panik dengan penggunaan istilah 法術 (houjutsu) yang langsung didiferensiasikan dari 魔法 (mahou) sejak awal buku; padahal di kamus-kamus keduanya sama-sama berarti "magic" atau "spell".
Lah, mau pakai apa saya tiap kali 法術 (houjutsu) disebut-sebut sementara di kalimat yang sama juga ada penggunaan istilah 魔法 (mahou)? Mustahil saya menggunakan kata "sihir" untuk keduanya, bukan?

Makanya, saya memutuskan pakai istilah "hukum sihir" untuk sementara waktu, sampai saya mendapatkan istilah lain yang lebih "nyaman". Kenapa "hukum sihir" saya pilih? Itu mengingat dua kanji yang menyusun kata tersebut, kanji "hou" 法 (law, rule, principle) dan "jutsu" 術 (art, technique, skill) dan mempertimbangkan kanji "hou" 法 yang juga menyusun kata 魔法 (mahou) yang sudah "dipatok" (baca: distandarisasi) sebagai "magic" jika diterjemahkan ke dalam bahasa inggris.

Jadi, saya rasa "hukum sihir" cukup mumpuni sebagai terjemahan 法術 (houjutsu) ini.

Tapi begitu sampai pertengahan buku, pengarangnya--entah saya harus mengutuk mereka atau berterima kasih hahahaha--memberikan "petunjuk" dengan menuliskan istilah "Gramarye" di latar belakang satu panelnya.

Saya yang penasaran dengan kosakata itu--jujur, saya belum pernah mendengar kosakata inggris "Gramarye" dan saya akui ini kelemahan saya yang memang kurang mendalami bahasa inggris--langsung mencari info mengenai makna kata itu.

Berikut rangkuman dari penelusuran saya mengenai "Gramarye":

* Gramarye (or gramary) ARCHAIC magic; the occult (Webster's New World College Dictionary). Cek tautannya sini.
* Gramarye (archaic) magic, necromancy, or occult learning (Collins English Dictionary - Complete & Unabridged). Cek tautannya di sini.
* Word origin: Middle English gramery, grammar, magic ; from Old French gramaire, grammar
* Contoh pemakaian: It is the life and soul of all poetry—the lusus—the make-believe—the glamour and the gramarye. (Blackwood's Edinburgh Magazine, Vol. 66, No 409, November 1849). Cek tautannya di sini.

Sampai saat saya menulis artikel ini, saya bersikeras tetap menggunakan istilah "Gramarye" mentah-mentah tanpa dialihbahasakan ke bahasa indonesia.
Ada kemungkinan saya akan mengalihbahasakannya jika saya sudah merasa ada kata yang "sreg" sebagai padanan "Gramarye" tersebut.

Selain masalah "Gramarye" tersebut, saya juga tidak mengalihbahasakan beberapa istilah inggris--yang memang sejak awal kedua pengarangnya menggunakan pelafalan inggris di bukunya, alih-alih dilafalkan dalam bahasa jepang--semisal: returner, skill, searcher, bug, debugger, memory laundering, personal dowsing, dan sebagainya.

Tetapi, untuk beberapa kosakata yang pengarangnya gabungkan antara bahasa inggris dan jepang, seperti "bug  core" saya alih bahasakan menjadi "inti bug".

Selanjutnya saya serahkan kepada editornya, apakah akan mengubah istilah yang saya gunakan atau tidak.

Aw, saya jadi ngoceh panjang lebar gini cuma untuk membahas satu kosakata ahahaha....
Seenggaknya, saya seneng kalau nemu naskah yang "menantang" begini--meski bikin keder duluan :p
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 13, 2015 23:42

December 4, 2015

Review: Jip, His Story

Jip, His Story Jip, His Story by Katherine Paterson
My rating: 3 of 5 stars

Ternyata ini ceritanya mengenai isu perbudakan orang-orang Negro (keturunan Afrika) yang berada di Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-19. Jip, si tokoh utama, awalnya dikira anak kaum gipsi yang terjatuh dari kereta kuda di daerah sebuah pertanian miskin. Namanya, Jip, pun diambil dari kata "gipsi".
Dari penyebutan-penyebutan diri Jip sebagai "anak gipsi" oleh orang-orang di sekitarnya, bisa ditarik kesimpulan kalau sebenarnya ada diskriminasi orang-orang kulit putih terhadap kaum ini juga, meski di novel ini gak dijabarkan dengan detail kenapa.
Masalahnya, ketika terungkap bahwa Jip ternyata bukan kaum gipsi melainkan anak budak Afrika, perlakuan yang didapatnya jauuuuuh lebih kejam. Gak peduli posisi Jip yang udah tinggal bersama-sama mereka dan bekerja keras sebagai anak pertanian miskin selama bertahun-tahun, pada akhirnya ketika terungkap dia anak budak, perlakuan orang-orang dewasa di sekitarnya jadi berubah drastis. Seorang ibu yang pada musim dingin lalu berani menitipkan anak perempuannya ke Jip untuk diurus, malah langsung menganggap Jip barang buruan begitu ketahuan dia anak budak Negro. Bener-bener gak masuk akal, tapi diskriminasi seperti ini masih sangat kuat di negara adidaya itu hingga saat ini, kita gak bisa menutup mata. Saya jadi teringat "To Kill a Mockingbird" karya Harper Lee yang juga membahas diskriminasi kulit putih dan hitam di sana.

Btw, saya sedih banget pas Put mati. Saya jadi sempet marah sama Jip karena dia keras kepala pengen membawa Put dalam pelariannya, padahal selain pesakit, Put juga udah tua dan gila. Mana bisa seorang anak tanggung kayak Jip bisa menjaganya sendirian.
Agak kesel juga kenapa si Luke Stevens gak datang tepat waktu untuk mengecek Jip saat bersembunyi di pondok tua di deket pertaniannya. Malah Jip keburu kabur nemuin Put dan melanjutkan perjalanan berdua--yang berujung pada kematian Put.
Adegan kematian Sheldon maupun Put, menurut saya, kurang klimaks. Tapi, justru, di situlah jadi berasa bahwa tokoh-tokoh yang sejak awal kehadirannya penting itu, bisa mati begitu saja. Dadakan. Gak pakai adegan pertarungan yang keren maupun perputaran kehidupan yang menyenangkan terlebih dulu. Efek yang saya terima pas baca jadi "berbeda".

Gitu deh.
Ini novel yang menarik.
Tapi... terjemahan dan editannya agak-agak bikin kliyengan yak ahahaha.... Kurang nikmat bacanya jadinya ||orz

Btw, ini buku dikasih temen saya yang tahu kalau saya selama ini nyari-nyari novel Paterson yang satu lagi: Bridge to Terabithia--yang sampai sekarang belum kesampaian juga untuk saya baca.

View all my reviews
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 04, 2015 20:51

Review: Pride and Prejudice

Pride and Prejudice Pride and Prejudice by Jane Austen
My rating: 3 of 5 stars

Hmmmmmmmmmm... Sementara teman-teman saya yang lain tergila-gila dengan buku ini dan menyodorkannya pada saya karena kata mereka, "BAGUS BANGET, GIE!!!"; saya malah acapkali merasa bosan saat membaca novel ini. Terlalu banyak basa-basi, mungkin, adalah faktor utamanya. Yah, memang mungkin berbasa-basi adalah suatu bentuk kesopanan dan keanggunan tersendiri pada zaman novel ini ditulis, tetapi... yah... bagi saya, itu menghambat saya dalam membaca dan membuat saya cenderung eeer... cepat bosan.

Padahal di sisi lain, saya sangaaaaat menyukai The Prince and the Pauper-nya Mark Twain, yang juga mendalami kehidupan masyarakat dan politik Inggris zaman dahulu.
Mungkin karena saya lebih menyukai cerita-cerita yang penuh petualangan semacam itu? Dibandingkan dengan Pride and Prejudice yang tokoh-tokohnya bangsawan melulu dan kerjaan mereka hanya saling berkunjung dan menyelenggarakan pesta dansa untuk mencari jodoh (yang bagi saya itu terdengar sangat konyol dan gak berarti--maafkan saya). Konfliknya pun melulu soal "siapa jodoh saya nanti?", "berapa banyak harta dan warisan bangsawan itu?", "seberapa tinggi derajatnya di kalangannya?", "seberapa cantik rupa nona keluarga itu?", "wanita buruk rupa tidak pantas bersanding dengan pria bermartabat itu, bukan?" dan lain-lain sebagainya.
Yah, bagi saya sih, itu konyol.


Tetapi, sekitar 100 halaman terakhir membuat saya mulai "melek" dan gak mudah ketiduran lagi pas membaca. Mungkin karena konfliknya mulai memanas dengan masalah Wickham dan Lydia, dengan CLBK-nya Bingley dan Jane, dan sudah adanya hubungan yang jelas antara Darcy dan Elizabeth.

Begitu deh.
Mungkin saya tipe-tipe yang lebih demen cerita-cerita yang mengutamakan konflik masyarakat kelas bawah seperti pada The Prince and the Pauper dibanding ngeliatin bangsawan kelas atas musingin warisan dan jodoh.
Iya, jadi ini masalah selera saja.


View all my reviews
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 04, 2015 20:48

November 23, 2015

[Review] Love Sign (Usami Maki)

Love Sign Vol. 2 Love Sign 1-5 by Maki Usami
My rating: 2 of 5 stars

Tokoh ceweknya gak manusiawiiiii!!! Dia terlampau seperti malaikat yang suci dan gak berdosa dan bernoda, yang seolah segala kebaikan umat manusia tuh ada di dia dan keburukan umat manusia tuh nihil dari dia!!!
Sungguh gak manusiawiiiiiii!!! Uwooooooorghhhh ngebaca cerita dengan tokoh utama sesuci malaikat tuh bikin saya geli dengan diri saya sendiri yang tampak seolah-olah begitu bejat jika dibandingkan si tokoh utama iniiiiii!!! Apalagi dia super ceroboooooh!!! Duh, saya paling gak demen kalau ada tokoh cewek yang ceroboh (apalagi jika bonus begok juga!) malah dianggap manis sama cowoknya!! Plis lah, cewek ceroboh itu mananya yang manis? Kalo boleh saya bilang, ceroboh itu bahasa halusnya "gak berguna". Gitu deh.
F-R-U-S-T-R-A-S-I.

Oke, oke, cukup menyindir-nyindir si cewek tokoh utama.
Eh? Iya, emang paragraf awal saya di atas itu "sindiran" kok. Saya gak bener-bener memandang diri saya sendiri bejat kok. Tapi kalau merasa "frustrasi" setelah baca ini, emang kenyataan :v

Hmmm... yah, bukan selera saya kali yak, cerita dengan tokoh utama se-"malaikat" ini ||orz
Apalagi tokoh utama cowoknya juga sebelas-duabelas sama ceweknya. Tipikal komik shoujo gitu deh. (Terus kenapa lo masih juga baca komik shoujo???) Soalnya kadang ada komik shoujo yang "manusiawi" yang bisa bikin saya demen sedemen-demennya, jadi yah... saya masih akan terus membaca-baca genre ini, tampaknya.

Duh, bukannya fangirling tokoh utama cowoknya, saya malahan fangirling bapaknya si tokoh utama cewek <3 *dasar si Gie* *ojikon is always be ojikon*
Padahal saya lumayan suka Taiga di jilid 1, tapi kenapa di jilid 2 ini si Taiga jadi berasa "drama" banget??? Uh, yeah, emang komik ini tuh drama, drama everywhere!!!




Jilid 3

Seenggaknya di jilid ini ada perkembangan yang cukup berarti. Seenggaknya si tokoh utama ceweknya mulai mengerti bahwa hidup ini gak melulu diisi hal yang indah-indah. Juga perkembangan karakternya jadi gak terlalu malaikatiwi (Apa coba? Sandingan "manusiawi" *plak*).
Meski tetep banyaaaaaaaaaaak drama!!! UGH.

Ah, seenggaknya si Taiga juga udah gak senyebelin di jilid 2, meski masih lebih suka dia di jilid 1. Duh, beneran deh, yang bikin saya tetep bertahan baca ini tuh cuman Taiga (dan bapaknya si cewek tokoh utama). Kehadiran tokoh baru, ibunya Taiga pun berhasil menambah warna pada cerita ini. Saya langsung merasa lebih suka komik ini hanya karena kehadiran si ibu <3

Yang bikin saya gak tahan di jilid ini adalah............ KENAPA FOTO-FOTO IBUNYA SI TOKOH UTAMA COWOK (saya lupa namanya, sori--nama tokoh utama ceweknya juga, gak penting soalnya bagi saya, maap) BISA-BISANYA ADA DI SEBUAH KOPER DI KAPAL PESIAR (meski itu kapal pesiar keluarga)!!!?????????????
WAHAI WANKAWAN, BETAPA GAK MASUK AKALNYA!!!

Di antara seluruh tempat tersembunyi yang ada di muka bumi ini, WHYYYYYY DI KOPER DI KAPAL PESIAR KELUARGA!???
Masih jauuuuuuh lebih mending kalo misalnya disembunyiin di lemari rumah keluarga Taiga yang kuncinya dipegang cuma sama ibunya Taiga. Atau di gudang rumah keluarga. Di mana pun!! ASAL BUKAN DI KOPER DI KAPAL PESIAR, PLIS!
Saya gak ngerti apa ini pengarangnya saking "kreatif"-nya atau saking keabisan idenya :v :v :v

Well, jadilah saya (lagi-lagi) cuma ngasih dua bintang. Haha!


Jilid 4

Masih tetap DRAMA! DRAMA DI MANA-MANAAAAAAAAAAAA!!!
Setelah adegan foto-foto ibu si tokoh utama cowok yang entah-gimana-malah-ada-di-kapal-pesiar terjatuh secara tidak sengaja hanya-karena-angin-malam-mengguncang-kapal-pesiar-tersebut, mendadak ibunya muncul lagi ||orzzz
Drama banget lah.
Duh.

Btw, seandainya ini saya baca pas saya zaman-zaman SMP, mungkin saya bakal sukaaaaaaaaaa banget!! Suka yang banget-banget-banget gitu deh! Yah, itu zaman-zaman awal saya mengenal bacaan selain buku-buku anak sih, wajar lah.
Saya juga dulu menggemari tokoh-tokoh utama cewek yang supeeeeer baik hati, ramah, rada-rada telmi, manja, ceroboh, gak berguna, dll dsb kayak si tokoh utama di sini kok. Malahan kayaknya kebanyakan baca komik dengan tokoh utama cewek yang kayak gitu bikin secara sadar gak sadar menanamkan konsep "cewek yang bakal disukai cowok" tuh adalah yang seperti itu, yang bego dan ceroboh. Begitu di umur segini saya baca-baca lagi komik-komik shoujo yang kayak begini, rasanya saya pengen getokin diri saya yang masih SMP dan ngomel, "Alay banget sih lo, demennya cerita-cerita beginian!" gitu deh.

Btw, jilid ini (tampaknya) dimaksudkan agar nuansa-nuansa angst dan dark dan getir-getir menyakitkannya terasa kuat, dengan memfokuskan pada masa lalu si tokoh utama cowok yang kelam. Masalahnya, saya yang udah kebanyakan mengonsumsi manga-manga Ogawa Chise dan Nakamura Asumiko jadi udah "kebal" dengan angst yang hanya "selevel ini". Bener-bener jadi gak berasa apa-apa ke saya. Hambar. Angst yang kurang tergali. Mungkin akibat tokoh utama ceweknya yang terlalu manis (baca: naif begok), jadi sangaaaaaat mengurangi kesan getir di cerita ini. Weeeeeelll, komik remaja sih yaaaa... Inti komik remaja cewek kan memberikan fantasi-fantasi percintaan monyet yang jauh dari realitasnya.
Mungkin kalau tokoh utama ceweknya gak segitu naifnya, suasana angst-nya bisa mulai masuk ke saya.
Sayang sekali.

Emang shoujo manga yang saya suka itu tipe-tipe yang tokoh utama ceweknya kuat dan dominan. Gak naif dan begok dan ceroboh dan manja--yang malah dibilang "manis" sama cowoknya.

Udah ah, ngoceh muluan saya cuma gegara overdosis shoujo manga.
Tamat di jilid 5 kan? Habis namatin, langsung beralih ke bacaan yang rada dewasa--dan realistis, ah.
Jilid 5
Aaaaaah... beneran nyebelin nih cerita ||orz
Dramanya kebanyakan!! Overdosis! Uwoooooorrghhhh!!!

Saya pribadi sih lebih menyukai kalau ceritanya diudahin gitu aja pas mereka jadian (mungkin juga karena saya udah capek ngikutin couple utama yang penuh drama itu), tapi ternyata dipanjang-panjangin dengan masalah ibunya Kouki yang sekonyong-konyong dikabarkan masih hidup ||orz
Dimulailah drama baru............. *bertahanlah, Anggi!*

Intinya, gitu deh.
Drama baru yang diselesaiin terburu-buru. Mestinya bisa dielaborasi lagi supaya drama barunya itu sedikit punya makna, malah tamat gak sampai setengah buku. WTH.... Mending dikau (baca: mangaka) gak usah bawa-bawa masalah ibunya Kouki masih hidup deh kalau pada akhirnya cuma buat "diicip-icip" tanpa pembaca "dihidangkan" sesuatu yang full-course =_______= Kesan terburu-burunya jadi kentara banget kan. Huh. Huh.

Tapi, saya emang sukaaaaaaaa Taiga!! Wuhuuuuu!! Seenggaknya dialah yang membuat saya merasa membaca komik ini bukan suatu kesia-siaan belaka >w<

Btw, cerita-cerita tambahannya sangaaaaat menghibur! Terutama saya paling suka yang judulnya "Cute Trap" <3
Tokoh utama ceweknya gigih, tokoh utama cowoknya taktis! Keren! Premis ceritanya pun gak klise-klise banget (*uhuk*kayak cerita utamanya*uhuk*). Saya suka perpaduan karakter kedua tokohnya, atmosfer ceritanya jadi sangaaaat manis <3

Ya, ya. Seenggaknya saya dapat hiburan lah dari komik ini.
Dan tampaknya saya udah overdosis bacaan romance, saya mesti move on ke genre lain dulu untuk sementara waktu.


View all my reviews
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 23, 2015 04:56