Menyusu Celeng Quotes
Menyusu Celeng
by
Sindhunata100 ratings, 3.52 average rating, 19 reviews
Menyusu Celeng Quotes
Showing 1-12 of 12
“Insan-insan celeng atau celeng-celeng itu sekarang ada di mana-mana. Malah sekarang, untuk menjadi celeng, mereka tidak perlu lagi datang berguru pada raja celeng. Insan-insan celeng sudah diperanakkan dan berkembang biak dengan sendirinya. Maklum, udara sudah kotor dengan udara celeng. Dan nafsu tinggal diturut, dalam sekejap celelng-celeng sudah diperanakkan. Maka dalam waktu singkat, jumlah mereka meledak dengan amat banyak. Lembaga-lembaga pemerintahan dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat dipenuhi dengan insan-insan celeng. Di lembaga-lembaga itu apa saja bisa dicelengkan. Jabatan diperjualbelikan secara celeng, anggaran dirancang dengan perhitungan celeng, proyek-proyek pembangunan diselewengkan dengan transaksi celeng. Bahkan politik pun diuangkan dengan celeng.
Sebenarnya sudah tersedia kata atau istilah untuk para pelaku semacam itu, yakni koruptor dan politikus kotor. Sedang istilah untuk praktik mereka adalah korupsi dan politik uang. Namun rakyat kebanyakan menyebut mereka celeng. Mungkin karena bagi rakyat kebanyakan, sebutan celeng lebih mudah ditangkap, dan lebih menggambarkan kejahatan dan keserakahan mereka daripada istilah koruptor atau politikus kotor. Mungkin juga karena rakyat ingin mengatakan tentang mereka sebagai apa adanya. Koruptor atau politikus kotor itu biar bagaimana masih manusia atau ada manusiawinya. Sedangkan celeng ya celeng, binatang yang memang tidak mengenal harga diri, rasa malu dan tidak mempunyai nurani. Tapi lebih daripada itu semua, sebutan celeng bisa menerangkan apa yang tidak bisa mereka terangkan.”
― Menyusu Celeng
Sebenarnya sudah tersedia kata atau istilah untuk para pelaku semacam itu, yakni koruptor dan politikus kotor. Sedang istilah untuk praktik mereka adalah korupsi dan politik uang. Namun rakyat kebanyakan menyebut mereka celeng. Mungkin karena bagi rakyat kebanyakan, sebutan celeng lebih mudah ditangkap, dan lebih menggambarkan kejahatan dan keserakahan mereka daripada istilah koruptor atau politikus kotor. Mungkin juga karena rakyat ingin mengatakan tentang mereka sebagai apa adanya. Koruptor atau politikus kotor itu biar bagaimana masih manusia atau ada manusiawinya. Sedangkan celeng ya celeng, binatang yang memang tidak mengenal harga diri, rasa malu dan tidak mempunyai nurani. Tapi lebih daripada itu semua, sebutan celeng bisa menerangkan apa yang tidak bisa mereka terangkan.”
― Menyusu Celeng
“Syarat memperoleh ilmu celeng adalah si penuntut ilmu harus rela memutus urat malunya. Ia harus mengorbankan rasa malunya sebagai manusia. Jadi ia harus rela belajar kehilangan martabatnya. Syarat selanjutnya, ia harus mengorbankan diri dan harga dirinya. Artinya, ia harus belajar menjadi munafik, menjadi yang lain dari keaslian dirinya. Ia harus bisa menutupi ambisi yang jelek dengan kebaikan yang palsu. Syarat selanjutnya lagi, ia harus pintar berbohong. Artinya, ia harus berani melawan nuraninya, dan menganggap nuraninya tak ada. Syarat-syarat ini sesungguhnya jauh lebih berat dari syarat pesugihan celeng. Pesugihan celeng menuntut korban pihak lain. Ilmu raja celeng menuntut korban dirinya sendirinya, mulai dari martabat, pribadi, dan nurani. Komplit sudah ia dirusak oleh ilmu itu. Ia akan menjadi bukan insani lagi, tapi benar-benar celeng. Tak ada lagi bedanya ia dengan celeng.”
― Menyusu Celeng
― Menyusu Celeng
“Ia tahu bahwa manusia harus berjalan di antara kehidupan dan kematian. Tapi sering manusia terlalu serius menjalankan kehidupan, sampai lalai akan kematian. Di pihak lain sering juga manusia sembarangan menjalankan kehidupan karena memutlakkan kematian.”
― Menyusu Celeng
― Menyusu Celeng
“Sekarang si pelukis telah meninggalkan gagasan itu. Setelah bergulat demikian lama melawan celeng yang justru membuat celengnya salah kedaden, ia berusaha untuk tidak mengaitkan celengnya dengan orang yang menyebabkan banyak orang menderita itu. Ia ingin tetap melukis celengnya yang terakhir, tapi ia tak ingin menghubungkan celengnya itu dengan dendamnya lagi. Setelah ia menemukan makna teka-teki hidupnya "bertanyalah pada celeng jika kamu ingin membebaskan diri dari celeng", ia merasa celeng itu tidak hanya satu tapi banyak, dan celeng-celeng itu ada dalam diri setiap orang. Kendati celeng yang satu itu telah tiada, celeng-celeng lain masih akan tetap ada. Tidak tepat jika celeng yang hendak dilukiskan hanya mengenai seorang saja, celeng-celeng itu harus mengenai banyak orang lainnya, termasuk dirinya juga.
Tapi mengapa ia mesti masih melawan celeng, padahal ia merasa telah dibebaskan dari celeng? Memang, dendamnya terhadap celeng telah hilang. Tapi itu tidak berarti bahwa perlawanannya terhadap celeng harus diakhiri. Baginya, celeng itu tetap harus dilawan, justru karena ia adalah celeng. Ia tidak boleh menyerah terhadap celeng. Bila ia menyerah, ia sendiri akan ditiadakan oleh celeng. Tapi bila ia melawan celeng, perlawanannya itu tidaklah berarti bahwa ia meniadakan celeng. Sebab jika celeng itu ditiadakannya, itu berarti ia meniadakan dirinya sendiri juga. Perlawanannya berarti, ia harus hidup dalam ketegangan antara celeng dan dirinya. Bila celengnya menang, janganlah ia menyerah. Bila dirinya menang, jangan menganggap celengnya telah kalah.”
― Menyusu Celeng
Tapi mengapa ia mesti masih melawan celeng, padahal ia merasa telah dibebaskan dari celeng? Memang, dendamnya terhadap celeng telah hilang. Tapi itu tidak berarti bahwa perlawanannya terhadap celeng harus diakhiri. Baginya, celeng itu tetap harus dilawan, justru karena ia adalah celeng. Ia tidak boleh menyerah terhadap celeng. Bila ia menyerah, ia sendiri akan ditiadakan oleh celeng. Tapi bila ia melawan celeng, perlawanannya itu tidaklah berarti bahwa ia meniadakan celeng. Sebab jika celeng itu ditiadakannya, itu berarti ia meniadakan dirinya sendiri juga. Perlawanannya berarti, ia harus hidup dalam ketegangan antara celeng dan dirinya. Bila celengnya menang, janganlah ia menyerah. Bila dirinya menang, jangan menganggap celengnya telah kalah.”
― Menyusu Celeng
“Sekarang aku tahu, mengapa, untuk membebaskan diriku dari celeng yang salah kedaden, aku harus bertanya kepada celeng. Aku menciptakan celeng yang salah kedaden, karena aku memisahkan kejahatan dari kebaikan dalam diriku. Aku menganggap celeng itu jahat, dan diriku baik. jadi bukan karena kejahatan sendiri yang membuat celeng itu salah kedaden. Tapi karena aku yang memisahkan kejahatan dari kebaikan itulah yang membuat celeng itu salah kedaden.
Celengku salah kedaden karena ia adalah kejahatan yang kubiarkan sendiri, terlepas dari kebaikan dalam diriku. Celengku takkan salah kedaden jika ia kujadikan bagian dari diriku, kurengkuh dalam kebaikanku. Tapi itu berarti, aku pun harus berani menerima diriku sebagai celeng.”
― Menyusu Celeng
Celengku salah kedaden karena ia adalah kejahatan yang kubiarkan sendiri, terlepas dari kebaikan dalam diriku. Celengku takkan salah kedaden jika ia kujadikan bagian dari diriku, kurengkuh dalam kebaikanku. Tapi itu berarti, aku pun harus berani menerima diriku sebagai celeng.”
― Menyusu Celeng
“Ia teringat dulu saat ia mau melamar sekolah tinggi melukis. Dengan penuh gaya dan kebangaan, ia datang ke kota di mana sekolah tinggi itu berada. Begitu sampai, ia memesan becak, dan bilang, "Antarkan saya ke hotel yang termahal di sekitar sini."
Tukang becak mempersilakannya naik. Si pelukis heran karena tukang becak tidak mengayuh, tapi hanya mendorong becaknya menyeberang jalan. "Mpun tekan," kata tukang becak. Ternyata hotel yang ia cari hanya terletak di seberang tempat becak tadi mangkal. Pelajaran pertama bagi sikap sombongnya.”
― Menyusu Celeng
Tukang becak mempersilakannya naik. Si pelukis heran karena tukang becak tidak mengayuh, tapi hanya mendorong becaknya menyeberang jalan. "Mpun tekan," kata tukang becak. Ternyata hotel yang ia cari hanya terletak di seberang tempat becak tadi mangkal. Pelajaran pertama bagi sikap sombongnya.”
― Menyusu Celeng
“Namun dendam itu tak berakal, karenanya juga cenderung menyederhanakan persoalan. Dendam itu enggan mencari sebab yang dalam. Dendam lebih suka menyasar pada seseorang yang pada hematnya paling jelas menjadi biang keladi penderitaan.”
― Menyusu Celeng
― Menyusu Celeng
“Perubahan politik memang membuat kesenimanannya hancur. Ia disingkirkan dan dikucilkan. Namanya menjadi tidak terhormat karena dianggap terlibat pada apa yang terlarang. Ia melukis, tapi di mata khalayak, lukisannya adalah tak dianggap terlarang. Adakah kepedihan yang lebih besar bagi seorang seniman, daripada bila ia tidak boleh lagi mencipta, atau ciptaannya sama sekali tidak dihargai karena alasan politik semata-mata.”
― Menyusu Celeng
― Menyusu Celeng
“Masak Saudara-saudara tidak tahu? Celeng-celeng itu adalah pejabat-pejabat yang melahap uang rakyat. Mereka adalah penguasa yang membuat rakyet melarat. Celeng-celeng itu telah menyebabkan kita sekarat. Sungguh mereka adalah kaum yang laknat. Sudah tidak dikehendaki rakyat, tapi mereka berulah seperti pimpinan yang sah memperoleh mandat. Kejahatan mereka sudah terkuak, tapi mereka malah menjadi makin nekad. Akal busuk mereka sudah tersingkap, tapi mereka malah menjadi mata gelap. Untuk mempertahankan kekuasannya, mereka menggelapkan uang rakyat, Zaman sudah berubah, seharusnya mereka mundur, karena merekalah yang membuat hidup kita susah. Tapi mereka tak mau mundur. Mereka pandai mengulur-ulur, dengan mudahnya janji mereka diundur-undur. Mereka menyeruduk sana, menyeruduk sini, menyusup sana, menyusup sini.”
― Menyusu Celeng
― Menyusu Celeng
“Di mana-mana orang-orang menyanyi, zaman baru sudah tiba, tapi masih sajalah orang-orang hidup seperti di zaman lama. Banyak orang resah dan gelisah. Kebingungan dan ketidakpastian ada di mana-mana. Orang-orang melampiaskan ketidakpuasannya dengan membuat onar dan kerusuhan. Ancam-mengancam dan kekerasan menjadi lumrah. Nyawa hilang menjadi biasa.”
― Menyusu Celeng
― Menyusu Celeng
“Memang rakyat patut diperingatkan. Rakyat lebih bertindak dengan emosinya, lain dengan para cerdik pandai, yang berpikir dengan akalnya. Kendati memiliki kekurangan, rakyat juga mempunyai kelebihan. Emosi mereka memperdalam kegembiraan dan memperluas harapan, setelah celeng tertangkap. Kegembiraan mereka menghancurkan kemuraman dan harapan mereka menenggelamkan ketakutan.
Muram, khawatir, sinis dan skeptis memang perlu, tapi jika keterlaluan, apa hasil dari semuanya itu. Toh zaman sudah berubah, apa salahnya menatap masa depan dengan lebih gembira, cerah dan penuh harapan. Harapan, kegembiraan dan optimisme adalah endapan yang sedang dipunyai rakyat, setelah sekian lama menderita, dan kini boleh berlega karena celeng sudah tertangkap. Orang akan kehilangan moment sejarah, jika harapan, kegembiraan, dan optimisme itu dilindas dengan kekhawatiran, ketakutan, sinisme, dan skeptisme.
Karena itu, si pelukis mengajak, janganlah perubahan itu dilihat hanya dengan akal belaka. Nikmatilah perubahan itu dengan rasa berkesenian. Rasa berkesenian akan mengajak manusia masuk ke dalam pengalaman, bahwa, kendari dan justru karena penderitaan, manusia sesungguhnya selalu mempunyai optimisme dan harapan. Kalkulasi politik, rasio ekonomi mungkin kurang bisa meraba optimisme itu. Tapi rasa berkesenian tak mungkin membatasi keberadaannya. Jika kebebasan itu sudah menyentuh kegembiraan, harapan, dan optimisme yang dipunyai mereka-mereka yang pernah menderita, ia akan terbang sejauh-jauhnya, menari-nari seperti tak ingat diri, persis penthul, tembem, pemain jathilan yang kerasukan itu.”
― Menyusu Celeng
Muram, khawatir, sinis dan skeptis memang perlu, tapi jika keterlaluan, apa hasil dari semuanya itu. Toh zaman sudah berubah, apa salahnya menatap masa depan dengan lebih gembira, cerah dan penuh harapan. Harapan, kegembiraan dan optimisme adalah endapan yang sedang dipunyai rakyat, setelah sekian lama menderita, dan kini boleh berlega karena celeng sudah tertangkap. Orang akan kehilangan moment sejarah, jika harapan, kegembiraan, dan optimisme itu dilindas dengan kekhawatiran, ketakutan, sinisme, dan skeptisme.
Karena itu, si pelukis mengajak, janganlah perubahan itu dilihat hanya dengan akal belaka. Nikmatilah perubahan itu dengan rasa berkesenian. Rasa berkesenian akan mengajak manusia masuk ke dalam pengalaman, bahwa, kendari dan justru karena penderitaan, manusia sesungguhnya selalu mempunyai optimisme dan harapan. Kalkulasi politik, rasio ekonomi mungkin kurang bisa meraba optimisme itu. Tapi rasa berkesenian tak mungkin membatasi keberadaannya. Jika kebebasan itu sudah menyentuh kegembiraan, harapan, dan optimisme yang dipunyai mereka-mereka yang pernah menderita, ia akan terbang sejauh-jauhnya, menari-nari seperti tak ingat diri, persis penthul, tembem, pemain jathilan yang kerasukan itu.”
― Menyusu Celeng
“Harapan memang bukanlah optimisme. Dalam harapan ada yang jauh lebih dalam daripada sekadar optimisme. Sulitnya meraba dan menyatakan harapan macam ini akan terasa, bila harapan itu dialami bukan secara individual dan eksistensial tapi secara sosial. Secarasosial, sulitlah orang meromantisasikan harapan. Dalam konteksnya yang sosial, harapan berarti perjuangan, perlawanan dan pergulatan melawan penindasan dan kesewenang-wenangan. Di sinilah harapan menjadi perjuangan melawan kekuasaan, yang biasanya cenderung menindas dan sewenang-wenang.”
― Menyusu Celeng
― Menyusu Celeng
