Goodreads Indonesia discussion
Klub Buku GRI
>
Baca Bareng Buku Puisi: "Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung" by Joko Pinurbo

Tuhan Datang Malam Ini
untuk GM
Tuhan datang malam ini
di gudang gulita yang cuma dihuni cericit tikus
dan celoteh sepi.
Ia datang dengan sebuah headline yang megah:
“Telah kubredel ketakutan dan kegemetaranmu.
Kini bisa kaurayakan kesepian dan kesendirianmu
dengan lebih meriah.”
Dengar, Tuhan melangkah lewat dengan sangat gemulai
di atas halaman-halaman yang hilang
dan rubrik-rubrik terbengkelai.
Malam menebar debar.
Di sebuah kolom yang rindang, kolom yang teduh
ia kumpulkan huruf-huruf yang cerai-berai
dan merangkainya menjadi sebuah komposisi kedamaian.
Namun masih juga ia cabar:
“Kenapa ya aku masih kesepian.
Seakan tak bisa damai tanpa suara-suara riuh
dan kata-kata gaduh.”
“Mungkin karena kau terlampau terikat
pada makna yang berkelebat sesaat,”
demikian seperti telah ia temukan jawaban.
Begitulah, ia hikmati malam yang cerau
dan mencoba menghalau galau dan risau.
Dibetulkannya rambut ranggas yang menjuntai
di atas dahi nan pasai.
Dibelainya kumis kusut dan cambang capai
yang menjalar di selingkar sangsai.
Sementara di luar hujan dan angin berkejaran
menggelar konvoi kemurungan.
Lalu diambilnya pena, dicelupkannya pada luka
dan ditulisnya:
Saya ini apalah Tuhan.
Saya ini cuma jejak-jejak kaki musafir
pada serial catatan pinggir;
sisa aroma pada seonggok beha;
dan bau kecut pada sisa cinta.
Saya ini cuma cuwilan cemas kok Tuhan.
Saya ini cuma seratus hektar halaman suratkabar
yang habis terbakar;
sekeping puisi yang terpental
dilabrak batalion iklan.
Dan Tuhan datang malam ini
di gudang gelap, di bawah tanah, yang cuma dihuni
cericit tikus dan celoteh sepi.
Ia datang bersama empat ribu pasukan,
lengkap dengan borgol dan senapan.
Dengar, mereka menggedor-gedor pintu dan berseru:
“Jangan halangi kami. Jangan lari dan sembunyi.
Kami cuma orang-orang kesepian.
Kami ingin bergabung bersama Anda
di sebuah kolom yang teduh, kolom yang rindang.
Kami akan kumpulkan senjata
dan menyusunnya jadi sebuah komposisi kebimbangan.
Sesudah itu perkenankan kami sita dan kami bawa
semua yang Anda punya, sungguhpun cuma
berkas-berkas tua dan halaman-halaman kosong semata.”
Tuhan, mereka sangat ketakutan.
Antarkan mereka ke sebuah rubrik yang tenang.
(1997)

Dari Raden Ajeng Kartini
untuk Maria Magdalena Pariyem
untuk Linus Suryadi AG
Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Demam mulai merambat ke leher,
encok menyayat-nyayat punggung dan pinggang.
Dan angin pantai Jepara yang kering
berjingkat pelan di alis yang tenang;
di pelupuknya anak-anak kesunyian
ingin lelap berbaring, ingin teduh dan tenteram.
“Terimalah salam damaiku
lewat angin laut yang kencang, dinda.
Resah tengah kucoba.
Sepi kuasah dengan pena.
Kaudengarkah suara gamelan
tak putus-putusnya dilantunkan
di pendapa agung yang dijaga
tiang-tiang perkasa
hanya untuk mengalunkan
tembang-tembang lara?
Kaudengarkah juga
derap kereta di jauhan
datang melaju ke arah jantungku.”
Kereta api hitam berderap membelah malam,
melintasi hamparan kelabu perkebunan tebu.
Kesedihan diangkut ke pabrik-pabrik gula,
di belakangnya perempuan-perempuan pemberani
berduyun-duyun mengusung matahari.
“Perahu-perahu kembara, dinda,
telah kulepas dari pantai Jepara.
Berlayarlah tahun-tahunku, mimpi-mimpiku
ke gugusan hijau pulau-pulau Nusantara.
Berlayarlah ke negeri-negeri jauh,
ke Nederland sana.
Seperti kukatakan pada Ny. Abendanon
dan Stella: ingin rasanya aku
menembus gerbang cakrawala.”
Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Tangan masih menyurat di atas kertas.
Hati melemas pada berkas-berkas cemas.
Angin merambat lewat kain dan kebaya.
Dingin merayap hingga sanggulnya.
Dan anak-anak kesunyian bergelayutan
pada bulu matanya yang sayup,
yang mengungkai cahaya redup.
“Sering kubayangkan, dinda,
perempuan-perempuan perkasa
berbondong-bondong menyunggi matahari,
menggendong bukit-bukit tandus
di gugusan pegunungan seribu
menuju hingar-bingar pasar palawija
di keheningan langit Jogja.
Kubayangkan pula
ladang-ladang karang
dirambah, disiangi
kaki-kaki telanjang
dengan darah sepanjang zaman.”
Kereta api hitan berderap membelah malam,
membangunkan si lelap dari tidur panjang.
Jari masih menulis bersama gerimis,
bersama angin dan kenangan.
Di telapak tangannya perahu-perahu dilayarkan
ke daratan-daratan hijau, negeri-negeri jauh
tak terjangkau.
“Badai, dinda,
badai menyerbu ke atas ranjang.
Kaudengarkah kini biduk mimpiku
sebentar lagi karam
di laut Rembang?”
Raden Ajeng Kartini terkantuk-kantuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Demam membara, encok meruyak pula.
Dan sepasang alap-alap melesat
dari ujung pena yang luka.
(1997)

Tuhan Datang Malam Ini
untuk GM
Tuhan datang malam ini
di gudang gulita yang cuma dihuni cericit tikus
dan celoteh sepi.
Ia datang dengan sebuah headline yang megah:
“Telah ..."
wah salah satu puisi paporit neehh..
di sebuah kolom yang teduh, kolom yang rindang.
Kami akan kumpulkan senjata
dan menyusunnya jadi sebuah komposisi kebimbangan.
Sesudah itu perkenankan kami sita dan kami bawa
semua yang Anda punya, sungguhpun cuma
berkas-berkas tua dan halaman-halaman kosong semata.

Puisi #41 (hal. 79)
Goyang
Ranjang bergoyang sepanjang malam.
Mungkin sepasang nyawa, sepasang singa
sedang tempur.
Atau sepasang maut sedang perang.
Ranjang bergoyang sepanjang malam.
Padahal cuma ada sepasang celana
teronggok putih di bantal hitam.
(1998)

Puisi #42 (hal.80)
Taman
Pada suatu petang ia datang ke taman
yang terhampar hijau di atas ranjang.
Ia mencopot baju, menyalakan lampu
kemudian membaca buku di atas makam.
"Ini tempat suci. Dilarang membaca buku porno
di sini," kata seseorang dari balik nisan.
Ia lari tunggang langgang sebelum sempat
mengenakan kembali pakaian.
Ia perempuan gila, dulu pernah memperkosa Adam
dan menghabisinya di atas ranjang.
(1998)

Daerah Terlarang
Tiba di ranjang, setelah lama menggelandang,
ia memasuki daerah terlarang.
Ranjang telah dikelilingi pagar kawat berduri
dan ada anjing galak siap menghalau pencuri.
"Kawasan Bebas Seks," bunyi sebuah papan peringatan.
Tak terdengar lagi cinta. Tak terdengar lagi ajal
yang meronta pada tubuh yang digelinjang nafsu
dalam nafas yang mendesah ah, melenguh uh.
Memang ada yang masih bermukim di ranjang:
merawat ketiak, mengurus lemak, dan dengan membelalak
ia membentak: "Pergi! Tak ada seks di sini!"
"Kau kalah," katanya. "Dulu kautinggalkan ranjang,
sekarang hendak kaurampas sisa cinta yang kuawetkan."
"Tunggu pembalasanku," timpalnya.
"Suatu saat aku akan datang lagi."
"Kutunggu kau di sini," ia menantang,
"dan akan kukubur jasadmu di bawah ranjang."
Ia pun pergi meninggalkan daerah terlarang
dengan langkah seorang pecundang.
"Tunggu!" teriak seseorang dari dalam ranjang.
Tapi ia hanya menoleh sambil mengepalkan tangan.
(1998)

Kalvari
Hari sudah petang ketika maut tiba di ranjang.
Orang-orang partai yang mengantarnya ke situ
sudah bubar, bubar bersama para serdadu
yang mengalungkan kawat berduri di lehernya
dan membuang tubuhnya tadi siang.
Hanya ada seorang perempuan sedang sembahyang
berkerudung kain kafan
dan menggelarnya bagi raga yang capai.
"Bapa, belum selesai. Entah kapan saya sampai."
Hanya ia yang tawakal
menemani ajal,
menyiapkan pembaringan
buat tidur seorang pecundang:
warga tanpa negara, tanpa agama.
Hanya ia yang mendengar sekaratnya.
"Telah kuminum anggur
dari darah yang mancur.
Telah kucecap luka
pada lambung yang lapa.
Di tubuh Tuhan kuziarahi
peta negeri yang hancur."
Maut sudah kosong
ketika mereka hendak menculik mayatnya.
Hanya ada seorang perempuan
sedang membersihkan salib di sudut ranjang.
"Ia sudah pergi ke kota," katanya,
"dan kalian tak akan bisa lagi menangkapnya."
(1998)

Ketika Pulang
Ketika pulang, yang kutemu di dalam rumah
hanyalah ranjang bobrok, onggokan popok, bau ompol,
jerit tangis berkepanjangan, dan tumpukan mainan
yang tinggal rongsokan.
Di sudut kamar kulihat Ibu masih suntuk berjaga
menjahit sarung dan selimut yang makin meruyak koyaknya
oleh gesekan-gesekan cinta dan usia.
"Di mana Ayah?" aku menyapa dalam hening suara.
"Biasanya Ayah khusyuk membaca di bawah jendela."
"Ayah pergi mencari kamu," sahutnya.
"Sudah tiga puluh tahun ia meninggalkan Ibu."
"Baiklah, akan saya cari Ayah sampai ketemu.
Selamat menjahit ya, Bu."
Di depan pintu aku berjumpa lelaki tua
dengan baju usang, celana congklang.
"Kok tergesa," ia menyapa.
"Kita mabuk-mabuk dululah."
"Kok baru pulang," aku berkata.
"Dari mana saja? Main judi ya?"
"Saya habis berjuang mencari anak saya,
tiga puluh tahun lamanya.
Sampeyan sendiri hendak ngeluyur ke mana?"
"Saya hendak berjuang mencari ayah saya.
Sudah tiga puluh tahun saya tak mendengar dengkurnya."
Ia menatapku, aku menatapnya.
"Selamat minggat," ujarnya sambil mencubit pipiku.
"Selamat ngorok," timpalku sambil kucubit janggutnya.
Ia siap melangkah ke dalam rumah,
aku siap berangkat meninggalkan rumah.
Dan dari dalam rumah Ibu berseru: "Duel sajalah!"
(1998)

Pasar Sentir
Pasar sentir. Tempatnya di bawah pohon beringin
di alun-alun kota kami yang kecil dan tenang.
Saya suka iseng main ke sana
mengamati tingkah seorang lelaki yang sering datang
menemui perempuan gembrot yang tawanya ngakak
dan mata-kucingnya selalu tampak membelalak
di antara kerumunan nyala lampu, jerit radio,
dan gemeremang suara orang-orang kesurupan.
Ia lelaki misterius. Kadang mengaku paranormal.
Kadang menyebut dirinya pelukis besar.
Tapi banyak yang bilang ia penyair yang gagal.
Ia suka minum, meracau, dan kalau mabuk
tubuhnya yang tambun terhuyung-huyung
kemudian ambruk di pangkuan perempuan gembrot
yang selalu sabar mendengarkan
bualan-bualannya yang gombal.
Malam itu ia bawa uang lima ribu buat beli jas merah
sebab ia akan pesiar ke tempat yang indah.
"Jas ini memang pas untukmu.
Cocok buat membajul atau cari gandengan,"
kata perempuan antik itu setengah menggoda,
tapi lelaki nyentrik itu pura-pura tak tergoda.
Terang bulan. Dengan jas bekas dan celana kolor hitam
ia bersiap pergi jalan-jalan cari hiburan.
"Malam sangat dingin, Pangeran. Mau melancong ke mana?"
"Aku mau cari jangkrik di kuburan."
Sampai keesokan paginya lelaki itu masih tertidur pulas
di antara batu-batu nisan dengan bir di tangan
sambil mendengarkan bunyi jangkrik yang krakkrik-krakkrik
dalam celananya yang kedodoran.
Di lain tempat perempuan itu masih terbaring nyenyak
di atas tumpukan barang-barang dagangannya,
sementara lampu sentirnya masih menyala.
Malamnya ia sudah mangkal lagi di sana.
Dan perempuan bawel yang sangat kemayu itu
menyambutnya dengan senyum rahasia.
"Bunyi jangkrikmu terdengar juga dalam tidurku."
Pasar sentir. Saya selalu kangen untuk mampir.
Saya anak jadah, calon penyair.
Saya tidak bilang bahwa lelaki tambun itu mungkin ayahku
dan perempuan gembrot itu mungkin ibuku.
(1998)

Minggu Pagi di Sebuah Puisi
Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah
ketika hari masih remang dan hujan, hujan
yang gundah sepanjang malam
menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi, pergi
berbasah-basah ke sebuah ziarah.
Bercak-bercak darah bercipratan di rerumpun aksara
di sepanjang via dolorosa.
Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.
Sepasang perempuan (panggil: sepasang kehilangan)
berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata.
"Ibu hendak ke mana?" Perempuan muda itu menyapa.
"Aku akan cari dia di Golgota, yang artinya:
tempat penculikan," jawab ibu yang pemberani itu
sambil menunjukkan potret anaknya.
"Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:
surga para perusuh," kata gadis itu sambil bersimpuh.
Gadis itu Maria Magdalena, artinya: yang terperkosa.
Lalu katanya: "Ia telah menciumku sebelum diseret
ke ruang eksekusi. Padahal Ia cuma bersaksi
bahwa agama dan senjata telah menjarah
perempuan lemah ini.
Sungguh Ia telah menciumku dan mencelupkan jariNya
pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina;
pada dinding gua yang retak-retak, yang lapuk;
pada liang luka, pada ceruk yang remuk."
Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah
ketika hari mulai terang, kata-kata telah pulang
dari makam, iring-iringan demonstran
makin panjang, para serdadu
berebutan kain kafan, dan dua perempuan
mengucapkan salam: Siapa masih berani menemani Tuhan?
(1998)

ikutan baca bareng aaah, abis belom punya bukunya.ada yang mau sedekahin buku ini kepada sayah? *wink*

Patroli
Iring-iringan panser mondar-mandir di jalur-jalur rawan
di seantero sajakku. Di sebuah sudut yang agak gelap
komandan melihat kelebat seorang demonstran
yang gerak-geriknya dianggap mencurigakan.
Pasukan disiagakan dan diperintahkan untuk memblokir
setiap jalan. Semua mendadak panik. Kata-kata kocar-kacir
dan tiarap seketika. Komandan berteriak: "Kalian sembunyikan
di mana penyair kurus yang tubuhnya seperti jerangkong itu?
Pena yang baru diasahnya sangat tajam dan berbahaya."
Seorang peronda memberanikan diri angkat bicara:
"Dia sakit perut, Komandan, lantas terbirit-birit
ke dalam kakus. Mungkin dia lagi bikin aksi di sana."
"Sialan!" umpat komandan geram sekali, lalu memerintahkan
pasukan melanjutkan patroli. Di huruf terakhir sajakku
si jerangkong itu tiba-tiba muncul dari dalam kakus
sambil menepuk-nepuk perutnya. "Lega," katanya.
Maka kata-kata yang tadi gemetaran serempak bersorak
dan merapatkan diri ke posisi semula.
Di kejauhan terdengar letusan, api sedang melahap
dan menghanguskan mayat-mayat korban.
(1998)

sajak-sajak 1986-1998
Puisi #49 (hal.92)
Kurcaci
Kata-kata adalah kurcaci yang muncul tengah malam
dan ia bukan pertapa suci yang kebal terhadap godaan.
Kurcaci merubung tubuhnya yang berlumuran darah
sementara pena yang dihunusnya belum mau patah.
(1998)

"Aku mau cari jangkrik di kuburan."
ternyata pangeran kerjaannya nyari jangkrik..
hahahah

Puisi #41 (hal. 79)
Goyang
Ranjang bergoyang sepanjang malam.
Mungkin sepasang nyawa, sepasang singa
sedang tempur.
Atau sepasang maut sedang perang.
..."
mari bergoyang :))

@skype'ers: makam buat jokpin seperti alam bebas yah?hehehe.."
alam bebas versi serem :))


Utang
Orang miskin itu memberanikan diri bertamu ke sahabatnya
yang dulu miskin tapi sekarang kaya raya.
Tak ada jeleknya menghibur orang kaya, pikirnya.
Orang kaya toh sering kesepian juga.
Baru saja melangkah ke ambang pintu,
tuan rumah langsung menyergapnya: “Kau ke sini cuma mau
menagih utang kan? Utang lama kan? Waktu aku masih miskin kan?
Aku akan lunasi sekarang, sekian lipat dari yang kupinjam. Paham?”
Sambil menepuk-nepuk bahu tuan rumah yang pemberang
tamu itu menjelaskan: “Jangan berburuk sangka. Saya ke sini
cuma mau bilang bahwa utang itu sudah saya ikhlaskan.
Besok saya mungkin sudah mati. Paham?”
Tuan rumah terpana dan merasa utangnya makin bertambah saja.
Tamu miskin itu sekarang berdiri di dalam cermin di hadapan saya.
Ia mengucapkan hallo, dan saya merasa tertusuk oleh senyumnya.
(1999)

Uban
Pasukan uban telah datang memasuki wilayah hitam.
Hitam merasa terancam dan segera merapatkan barisan.
“Putih lambang kematangan, hitam harus kita lumpuhkan.”
“Hitam lambang kesuburan, putih harus kita enyahkan.”
Tiap malam pasukan putih dan pasukan hitam bertempur
memperebutkan daerah kekuasaan sampai akhirnya
seluruh dataran kepala berhasil dikuasai masyarakat uban.
“Hore, kita menang. Kita penguasa masa depan.”
Tapi uban jelek di lubang hidungmu memperingatkan:
“Jangan salah paham. Putih adalah hitam yang telah luluh
dalam derita dan lebur dalam pertobatan.”
“Demikianlah sabda uban,” sindir uban-uban pengecut
yang tiap hari minta didandani dengan semir hitam.
(1999)

Kacamata
Baru tiga puluh tahun menyair, ia sudah pakai kacamata.
Biar tampak bijak dan matang. Biar dikira banyak mikir
dan merenung. Biar lebih kebapakan.
Kalau lagi kencan dengan kata-kata, ada-ada saja tingkahnya:
mencopot kacamata, membersihkannya, menerawangnya,
kemudian mengenakannya kembali sambil pura-pura batuk
dan pilek. Biasa, cari perhatian. Biar kelihatan berwibawa.
Biar dikagumi topeng yang nampang di hadapannya.
Dan ia sudah punya bermacam-macam kacamata.
Tapi ia masih harus mencari matakaca yang bisa membuatnya
tidak grogi menerima teluh cinta kata-kata;
yang bisa menjadikannya tidak nyeremimih dan ingah-ingih
saat menghadap yang mahamakna.
(1999)

Tetangga
Ada baiknya sekali-sekali main ke tetangga.
Sekadar mengobrol, minum kopi, main kartu, mabuk bareng,
pamer utang, atau saling mencabuti uban sambil merencanakan
kapan bisa duel untuk saling mengalahkan.
Biasanya tetangga lebih cermat mengamati keadaan rumah kita.
Siapa tahu ia juga bisa menyumbangkan gagasan cemerlang
tentang cara batuk yang sopan supaya tidak mengganggu
tetangga yang sedang tidur atau makan.
Kita suka menunda-nunda waktu untuk main ke tetangga.
Kita suka bilang sibuk atau pura-pura ingin saling menjaga privasi,
padahal sebenarnya cuma takut dan malu mendengar
gunjingan orang tentang (keburukan) kita.
Saya baru sadar bahwa saya punya tetangga yang baik
dan penuh perhatian. Rumahnya cuma di seberang.
Saya sering melihatnya baca koran atau main catur semalaman
sambil bersiul-siul sendirian. Kadang ia main pantomim
di halaman tanpa seorang pun menghiraukan.
Setiap saya pergi dan pulang kerja ia selalu menyapa: “Mampir!”
“Terima kasih, kapan-kapan,” jawab saya tanpa pernah
mampir sungguhan.
Sialan. Tetangga saya itu rupanya sering mengintip saya.
Suatu saat kami bertemu di jalan dan ia mengatakan: “Aku tahu
apa yang kausembunyikan di balik baju dan celanamu. Aku tahu
apa yang paling kaubanggakan dari tubuhmu. Kau tak tahu
diam-diam aku sering mabuk dan berjoget di bugil badanmu.”
Malam itu ia coba-coba mengintip lagi. Saya cepat-cepat membuka
jendela, hendak mendampratnya. Tapi ia segera menghilang
ke rumahnya yang suram dan tak terawat di bawah pohon kemboja.
“Kapan-kapan saya mampir,” kata saya sambil menutup jendela.
(1999)

Misbar
Di sebuah lapangan di sebuah kampung di sebuah kenangan
di pusat Jakarta masih bisa kautemui sebuah misbar.
Mereka duduk berdesakan menyaksikan pertunjukan film
layar lebar dengan bintang-bintangnya yang cantik dan segar.
Suasana begitu hingar. Suara-suara begitu bingar.
Setiap orang bebas bicara dan bertingkah, bikin gosip,
kabar kabur, colak-colek, clapclup, cicitcuit, berteriak cabul,
tanpa menghiraukan benar cerita yang sedang diputar.
Ada yang memilih mojok di bawah pohon beringin
sambil minum cendol dan bersayang-sayangan.
Ada yang lebih suka ajojing sambil mabuk dan menjerit-jerit
kesetanan. Ada yang main kartu, perang mulut, ribut
dan akhirnya gelut. Ada yang menyetel radio keras-keras
dan serius amat mendengarkan pidato presiden.
Ada yang bercakap-cakap dengan topeng.
Ada yang menyinden. Ada yang main kuda lumping,
mengamuk, kemudian terpelanting. Ada yang sesenggukan
membaca sepucuk surat dari pacarnya yang minggat.
Ada yang bertengkar memperebutkan laki-laki hidung belang.
Ada yang mencopet dan mengutil, kemudian dihajar
habis-habisan. Ada yang jual tampang, pamer pamor,
menjaring iseng, dengan wajah menor-menor.
Ada yang kencing sembarangan di bawah pohon pisang.
Ada juga yang menjajakan berbagai mayat orang hilang
yang gambarnya sering terpampang di koran.
Penyair adalah penjual rokok yang duduk terkantuk-kantuk
di sudut yang remang, yang sambil klepas-klepus
memperingatkan: “Merokok dapat merugikan kesehatan.”
Yang menyimak segala hingar dan segala bingar
sambil mendengar yang tak terdengar.
Yang berani menduga siapa di antara orang-orang
yang sibuk tertawa itu yang melengos pulang
kemudian menggantung diri di kamar
karena diam-diam merasa sangat kesepian.
Tontonan makin seru. Kacau bukan soal.
Tiba-tiba terdengar letusan. Banyak yang ngacir. Kocar-kacir.
Lintang pukang. Tunggang langgang. Maling berteriak maling.
Spiker melengking-lengking. Ada yang lari terkencing-kencing.
Lalu datang orang berseragam, mengamankan keadaan.
“Tenang. Situasi dapat dikendalikan.
Pertunjukan dapat dilanjutkan.”
“Jakarta memang asyik euy,” kata penjual rokok itu
yang sambil klepas-klepus memperingatkan:
“Merokok dapat merugikan kemiskinan.”
Kemudian turunlah gerimis, pertunjukan pun bubar. Misbar.
Di sebuah lapangan di sebuah kampung di sebuah kenangan
di pusat Jakarta masih bisa kautemui sebuah misbar.
Suatu saat akan aku temui penjual rokok itu.
Siapa tahu ia saudara kembarku.
(1999)

Veteran
Sehabis merumput di atas kepalaku, selalu ia tanyakan:
“Mau dicukur rambut yang lain?” “Jangan,” aku katakan,
“nanti tak ada lagi rambut yang saya banggakan.”
Ia seorang veteran, tukang cukur yang intelek dan cekatan,
yang membiarkan rambutnya tumbuh panjang tak beraturan.
“Tukang cukur sejati tak akan memangkas
rambutnya sendiri,” katanya pasti.
Ia sudah bertahun-tahun di sana, di bawah pohon beringin
yang rimbun daunnya, di sebuah sunyi di sudut kotanya.
Ia sangat berpengalaman menangani berbagai macam kepala,
hafal merek dan isinya.
“Hanya di kepala bisa tumbuh berbagai jenis rambut,” katanya,
“sebab memang hanya kepala yang punya otak dan pikiran.”
Sambil membabat rumput liar di kepalaku ia lanjutkan:
“Ada sebuah tempat nun di pusat pergolakan di mana rambut
hanya bisa semrawut. Sebab makhluk yang berdiam di sana
memang tidak punya otak dan pikiran, hanya bisa diperintah
dan melaksanakan tindakan.”
Di meja kerjanya yang antik kulihat album besar berisi koleksi
berbagai model rambut dan kepala.
Ada gambar Yesus yang mulai botak kepalanya.
Ada gambar presiden yang tampak cabul kepalanya.
Ada pula gambar penyair yang kelihatan brutal rambutnya.
Malam itu aku datang lagi hendak menertibkan si kepala,
tapi ia tak ada di tempat tugasnya. “Ke mana tukang cukur saya?”
tanya saya kepada seseorang di situ.
“Katanya pergi sebentar hendak bercukur,” jawab orang
berkepala sederhana itu yang ternyata seorang mata-mata.
Di jalan pulang kulihat tukang cukur itu sedang diangkut
mobil patroli bersama seluruh peralatan kerjanya.
“Selamat malam Veteran,” aku menghormat.
Dan sang veteran tersenyum sambil memiring-miringkan
telunjuk tangannya di atas jidatnya.
(1999)

Di Bawah Kibaran Sarung
Di bawah kibaran sarung anak-anak berangkat tidur
ke haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur yang baka.
Tidur yang dijaga dan disambangi seorang lelaki kurus
dengan punggung melengkung, mata yang dalam dan cekung.
“Hidup orang miskin!” pekiknya sambil membentangkan sarung.
“Hidup sarung!” seru seorang perempuan, sahabat malam,
yang tekun mendengarkan hujan. Lalu ia mainkan piano,
piano tua, di dada lelaki itu. “Simfoni batukmu, nada-nada
sakitmu, musik klasikmu, mengalun merdu sepanjang malam,”
hibur perempuan itu dengan mata setengah terpejam.
Di bawah kibaran sarung
rumah adalah kampung.
Kampung kecil di mana kau
bisa ngintip yang serba gaib:
kisah senja, celoteh cinta,
sungai coklat, dada langsat,
parade susu, susu cantik
dan pantat nungging
yang kausebut nasib.
Kampung kumuh di mana penyakit,
onggokan sampah, sumpah serapah,
mayat busuk, anjing kawin,
maling mabuk, piring pecah,
tikus ngamuk, timbunan tinja
adalah tetangga.
“Rumahku adalah istanaku,”
kata perempuan itu sambil terus
memainkan pianonya, piano tua,
piano kesayangan.
“Rumahku adalah kerandaku,”
timpal lelaki itu sambil terus
meletupkan batuknya, batuk darah,
batuk kemenangan.
Dan seperti keranda mencari penumpang
dari jauh terdengar suara andong
memanggil pulang. Kling klong kling klong.
Di bawah kibaran sarung
kutuliskan puisimu,
di rumah kecil yang dingin terpencil.
Seperti perempuan perkasa
yang betah berjaga
menemani kantuk, menemani sakit
di remang cahaya:
menghitung iga, memainkan piano
di dada lelaki tua
yang gagap mengucap doa.
Ya, kutuliskan puisimu
kulepaskan ke seberang
seperti kanak-kanak berangkat tidur
ke haribaan malam.
Ayo temui aku di bawah kibaran sarung
di tempat yang jauh terlindung.
(1999)

Rumah Persinggahan
untuk SS
“Aku sekarang bisa pulang ke rumah,” kata temanku
dengan wajah berbinar-binar.
Lalu ia tunjukkan rumahnya yang baru, rumah yang besar,
yang halamannya luas tak berpagar.
“Bukan pulang, tapi singgah,” aku berkilah,
“sebab hanya kalau larut malam kau berumah,
sedang sebagian besar waktumu, jadwal hidupmu
kauhabiskan di sekian banyak entah.”
“Iyalah,” ia mengalah, dan dengan takjub kukagumi
arsitektur rumahnya yang langka dan spesial,
tampak sederhana tapi menggoda.
“Bertahun-tahun aku menabung kemiskinan
untuk membangun rumah ini,” kata temanku.
“Bukan kemiskinan, tapi kematian,” aku menyanggah.
“Iyalah,” ia kembali mengalah.
Ketika itu Jakarta hampir punah.
Seluruh pelosok telah habis dijarah
petualang-petualang kampung dari berbagai daerah.
Di mana-mana orang bikin gedung, pabrik, hotel, toko,
salon, kesenian, pemerintahan, panti pijat, warung gaul
sehingga untuk mukim kau harus cari kapling
di kompleks perumahan bawah tanah.
Temanku beruntung bisa bikin rumah besar di sebidang tanah
bekas kuburan Cina yang konon banyak jinnya.
Kujelajahi rumah temanku yang ada kolam renang
dan kolam ikannya.
Dinding-dindingnya penuh lukisan dan topeng.
“Jin tidak berani gentayangan di sini,” sindir temanku,
“sebab jin takut topeng, apalagi topengnya
lebih ganteng dari kamu.”
Wah, rumah temanku banyak benar kamarnya.
Di bagian depan, misalnya, ada kamar khusus
untuk tamu-tamu miskin dari luar kota yang datang
untuk sekadar numpang mandi, tidur, dan, tentu saja, makan.
Persis di bagian tengah tersedia sel tahanan,
lengkap dengan terali dan cahaya remang-remangnya.
“Siapa tahu ada seniman kriminal
tiba-tiba mengamuk di sini,” jelasnya.
Nun di pojok belakang ada kamar gelap yang dijaga
sepasang jerangkong, dirancang untuk kuburan.
“Kau anak jadah, sebatang kara. Kalau suatu saat kau mati
di Jakarta, biar kukubur kau di sini,” temanku bercanda.
Aku merinding, dan ia tunjukkan nisan coklat
yang belum diberi nama.
Masih banyak ruangan lain yang entah untuk apa.
Ada, konon, ruangan dingin buat bercinta,
tapi aku tak tahu di sebelah mana.
Ah, kurang apa rumah temanku.
Sayang si empunya jarang pulang, eh singgah.
Kalaupun singgah, ia lebih suka mendekam dan menulis
di dalam sel dan tak seorang pun bisa mengusiknya.
“Bahkan topeng pun tidak berani menggangguku,” katanya.
Seperti puisi, mungkin juga cinta, rumah temanku
jauh dan tersembunyi.
Tidak mudah menemukan alamatnya.
Kalaupun sampai, kemudian kubuka pintunya,
bisa saja aku lantas tersesat dan terkurung
dalam keluasannya.
Tapi aku selalu ingin singgah ke sana.
Teman, aku datang naik andong. Kling klong kling klong.
(1999)

Tamu
Suatu malam roh musafir itu singgah,
hendak menginap di tubuhku.
Tubuh yang sudah beberapa lama terbaring sakit
menggeliat terperanjat.
“Aku tidak siap menerima tamu,” ucapnya lirih.
“Tuan, saya kemalaman,” tamu itu berkata.
“Bolehkah hamba numpang tidur dan istirah sebentar?”
“Tentu saya senang bisa mempersilakan Tuan bermalam
di tubuh hamba,” jawabku. “Tapi maaf, hamba
tak bisa kasih tempat yang nyaman. Tubuh hamba
sedang bobrok dan berantakan.”
“Jangan terlalu meninggikan hamba,” timpalnya.
“Bisa sekedar berbaring saja sudah cukup
membuat bahagia.”
Di tubuh yang sumpek dan temaram
tamu itu merapal doa sepanjang malam.
Doanya mencengkeram meremas-remas jantung
sampai darahku bergolak dan tubuhku tersentak:
“Aku takut mati!”
Tapi doanya tambah deras dan dencar
sampai tubuhku gemetar dan urat-urat darahku bergetar.
Sesudah itu tubuhku hening
hingga tiap denyut darah terdengar nyaring.
Pagi-pagi sekali tamu itu pamitan,
hendak melanjutkan perjalanan.
“Tidur hamba nikmat sekali semalam,” ia berkata.
“Terima kasih,” jawabku. “Saya harap suatu saat
Tuan berkenan singgah lagi di tubuh hamba. Hamba berjanji
akan sediakan tempat yang lapang dan nyaman.”
Lama aku menunggunya. Tapi ia tak kunjung datang.
(1999)

Puisi #75 (hal.140)
Sehabis Tidur
Sehabis tidur lahan tubuh kita terus berkurang.
Kita belum sempat bikin rumah atau tempat perlindungan,
diam-diam sudah banyak yang merambah masuk, bermukim
di jalur-jalur darah,
di kapling-kapling daging,
di bukit-bukit sakit,
di ceruk-ceruk kenangan,
di kuburan-kuburan mimpi,
di jurang-jurang ingatan,
di gua-gua kata,
di sumber-sumber igauan.
Berdesakan, berebut ruang, sampai kita kehabisan tempat,
sampai harus mengungsi ke luar badan.
(2000)

Meditasi
Celana tak kuat lagi menampung pantat
yang goyang terus memburu engkau.
Pantat tak tahan lagi menampung goyang
yang kencang terus menjangkau engkau.
Goyang tak sanggup lagi menampung sakit
yang kejang terus mencengkram engkau.
Telanjang tak mampu lagi melepas,
menghalau Engkau.
(2000)

Di Sebuah Mandi
Di sebuah mandi kumasuki ruang kecil di senja tubuhmu.
“Ini rumahku,” kau menggigil. Rumah terpencil.
Tubuhmu makin montok saja.
“Ah, makin ciut,” kau bilang, “sebab perambah liar
berdatangan terus membangun badan
sampai aku tak kebagian lahan.”
Ke tubuhmu aku ingin pulang.
“Ah, aku tak punya lagi kampung halaman,” kau bilang.
“Di tubuh sendiri pun aku cuma numpang mimpi
dan nanti mungkin numpang mati.”
Kutelusuri peta tubuhmu yang baru dan kuhafal ulang
nama-nama yang pernah ada,
nama-nama yang tak akan pernah lagi ada.
“Ini rumahku,” kautunjuk haru sebekas luka di tilas tubuhmu
dan aku bilang: “Semuanya tinggal kenangan.”
Di sebuah mandi kuziarahi jejak cinta di senja tubuhmu.
Pulang dari tubuhmu, aku terlantar di simpang waktu.
(2000)

nama-nama yang pernah ada
kok aku jadi inget olenka yah :D

*langsung bekep mulut lagi*

Balik ke Puisi!

Tuhan, saya takut mandi.
Saya takut dilucuti.
Saya takut pada tubuh saya sendiri.
Kalau saya buka tubuh saya nanti,
mayat yang saya sembunyikan
akan bangun dan berkeliaran
Saya ini orang miskin yang celaka.
Hidup saya sehari-hari sudah telanjang
Kerja saya mencari pekerjaan.
Tubuh saya sering dipinjam orang
untuk menculik dan membinasakan orang
Mereka bisa dengan mudah dihilangkan
tetapi di tubuh saya tidak dapat dilenyapkan.
Tuhan, mandikanlah saya
agar saudara kembar saya
dapat damai dan tenang di tubuh pembunuhnya.
(2000)
*Puisi Jokpin yang beraura jedar-jeder :-))

:Jakarta, 1998
Tubuhmu yang cantik, Mei
telah kaupersembahkan kepada api.
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api.
Api sangat mencintaimu, Mei.
Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya yang cuma warna
yang cuma kulit yang cuma ilusi.
Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei
adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan tubuh dusta kami dengan membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei.
Kau sudah selesai mandi, Mei.
Kau sudah mandi api.
Api sudah mengungkapkan rahasia cintanya
ketika tubuhmu hancur dan lebur
dengan tubuh bumi;
ketika tak ada lagi yang mempertanyakan
nama dan warna kulitmu, Mei
(2000)
*PS: pas banget 12 tahun insiden berdarah 12 Mei Haks!
Di Sebuah Entah
untuk ND
Sudah sekian tahun mayatku hilang.
Ngelayap ke mana saja dia ya, kok belum juga pulang.
“Tenang saja. Aku cuma mau iseng cari hiburan,
nonton komedi manusia di kebun binatang.”
Begitu ia dulu pamitan.
Pernah kutanyakan pada petugas jawatan penculikan:
“Di manakah mayat saya disimpan?”
Jawabnya: “Mayatmu masih kami sekap
dalam sebuah dokumen rahasia negara.”
“Bolehkah saya bicara dengannya sebentar?”
“Tidak bisa. Dia tak akan kami lepas sebelum melengkapi
berkas-berkas identitas: surat, kartu, dan asal-usul yang jelas.”
Ada juga yang bilang: “Lho, ‘kan mayatmu sedang jalan-jalan.
Mondar-mandir mencari jejakmu. Mengapa kau selalu
menghindar dan menjauh dari kenangan?”
Demikianlah, ceritanya, kami saling kehilangan.
Selalu bersilang langkah, berselisih jalan
di simpang ingatan di sebuah entah
yang senisbi waktu dan selindap ruang.
Sampai suatu malam seseorang datang dalam kuyup hujan,
membuka pintu, menyibak bayang.
“Mayatmu kutemukan di sudut halaman koran yang teronggok
di bak sampah di depan kantor departemen pembredelan.”
“Siapakah engkau, perempuan?” aku bertanya.
“Aku seseorang atau sesuatu dari masa silam.”
Setelah menyerahkan mayatku ke dalam pelukan,
ia pun menghilang ke balik halusi.
Tapak-tapak kakinya, jejak-jejak darahnya
seakan adalah sakramen: perjalanan panjang sonyaruri
ke sebuah getsemani.
“Coba ceritakan apa yang sesungguhnya terjadi.
Siapa sesungguhnya perempuan yang mengantarmu ke sini?”
“Jangan. Jangan sekarang. Aku masih dalam intaian mata-mata
yang bersembunyi di sini, di bekas luka ini.”
Kudekap ia, kubaringkan dalam album keluarga.
“Jangan nakal. Tidurlah dengan sopan
sampai tiba saatnya nanti kaukisahkan semua ini.”
(1997)