Goodreads Indonesia discussion

note: This topic has been closed to new comments.
338 views
Klub Buku GRI > Baca Bareng Buku Puisi Bulan Juli---"Ayat-Ayat Api" by SDD

Comments Showing 1-50 of 93 (93 new)    post a comment »
« previous 1

message 1: by Roos (new)

Roos | 2991 comments Hai Temans,
Baca bareng buku puisi kali ini adalah Buku Ayat-Ayat Api by Sapardi Djoko Damono . Nah sebelum Roos mulai mengetik dan posting disini, kira-kira ada informasi apa nih mengenai buku ataupun mengenai Pak Sapardi sendiri? Mungkin bisa dishare disini, biar adek-adek kita yang baru mengenal dan ikut baca bareng bisa tambah nih pengetahuannya...termasuk roos...hehehehe. Sebelumnya terima kasih karena sudah mau sharing.

Dan sekali lagi, buat teman-teman yang mempunyai bukunya dan berkenan membantu mengetik dipersilahkan dan pastinya dapat ucapan terima kasih dari kita semua...hehehe.



Terima kasih.




message 2: by Andri (new)

Andri (clickandri) | 665 comments lanjutkan!

-andri-


Ordinary Dahlia (ordinarydahlia) | 775 comments sama deh, lanjutkan!!


message 4: by gieb (new)

gieb | 743 comments Sesuatu Sapardi: Anda Bahagia Menulis Puisi?
Oleh Hasan Aspahani

Saya mengenal nama penyair Sapardi Djoko Damono dan puisi-puisinya dalam buku "DukaMu Abadi". Ada sebuah toko buku di Balikpapan yang sering saya kunjungi sepulang sekolah. Mengambil gaya Chairil Anwar, saya pernah mencuri buku di sana. Buku Sapardi itu saya beli, tidak saya curi. Waktu itu saya masih kelas 1 SMA. Puisi-puisi dalam buku tipis itu waktu itu sangat memikat saya. Kesannya bagi saya waktu itu, eh ternyata mudah sekali membuat puisi tapi hasilnya bukan puisi yang gampangan. Sebuah kesan yang salah, tapi ini kesalahan yang menguntungkan saya.

Waktu itu saya merasakan ada sesuatu dalam puisi Sapardi itu yang pasti nanti saya mengerti. Sampai sekarang ternyata sesuatu itu belum juga saya mengerti. Tapi, saya tidak merasa sia-sia. Saya jadi terus-menerus mencari sesuatu dalam puisi siapa saja dengan membacanya. Saya hanya ingin mencari, seperti pada sajak Sapardi, saya tidak kecewa kalau tidak ketemu apa-apa. Dan saya pun akhirnya terus-menerus belajar menyimpan sesuatu di dalam puisi-puisi yang saya tulis.

Dari sastrawan Kurnia Effendi alias Kang Kef, yang membacakan puisi di Aceh bersama Sapardi, Juni lalu, saya dapat bocoran nomor telepon genggam penyair kelahiran Solo, 20 Maret 1940 itu. "Di Aceh nomornya tidak aktif. Besok beliau kembali ke Jakarta. Semoga lekas bisa ngobrol dengan beliau," pesan Kang Kef. SMS pertama Jumat, 30 Juni 2006, akhirnya dijawab keesokan harinya oleh Sapardi. Lalu mengalirlah sejumlah tanya-jawab. Saya menambahi dengan sejumlah catatan dan kutipan, supaya lebih bermanfaat. Berikut ini dialog tanya jawab itu:

Hasan Aspahani (HASAN): Pak Sapardi, selamat pagi. Boleh saya ganggu dengan dengan sejumlah SMS? Maaf, saya dapatkan nomor Anda dari Pak Kurnia Effendi.
SAPARDI DJOKO DAMONO (SAPARDI): Sila.

HASAN: Paul McCartney cemas dengan usia 64. Anda sudah melewati usia itu. Apa yang paling Anda cemaskan sekarang?
SAPARDI: Saya kuatir nanti menyusahkan keluarga dan orang lain kalau sakit berkepanjangan.

Sapardi adalah kolektor piringan hitam The Beatles. Lagu The Beatles yang dinyanyikan oleh Paul McCartney itu berjudul "When I Am Sixty Four" dalam album "Sgt Pepper Lonely Heart Club Band". Dalam sajak "Pada Suatu Magrib" (Ayat-ayat Api, Pustaka Firdaus, 2000) penyair ini menulis tentang kerepotan usia tua. "Susah benar menyebrang di Jakarta ini; /hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib. /Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini, /astagfirulah! rasanya di mana-mana ajal mengintip//.

HASAN: Bagaimana dengan puisi? Anda cemas kalau ada yang masih ingin Anda capai?
SAPARDI: Tidak. Tapi sulit cari waktu menulis puisi.

Saya lantas teringat sajak "Yang Fana adalah Waktu" (Perahu Kertas, Balai Pustaka, 1983, 1991). Katanya, waktu itu fana, kita abadi. Kitalah yang memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa.

HASAN: Kapan saat Anda sangat subur puisi?
SAPARDI: Tidak tentu.

HASAN: Maksud saya pada usia berapa?
SAPARDI: Usia likuran paling subur.

HASAN: Puisi siapa saja yang Anda baca sekarang? Menemukan apa saja dari sajak di negeri kita sekarang? Kabar baik atau kabar buruk?
SAPARDI: Banyak baca puisi siapa saja, tapi jarang yang ingat nama. Beberapa serius. Kebanyakan tidak berniat menciptakan bahasa khas.

Dalam sebuah ceramah di tahun 1969, Sapardi menyampaikan bahwa pengalaman puitik adalah sesuatu yang unik, dan keotentikannya hanya akan terjamin apabila penyair berhasil melahirkan bahasa yang unik. Ini bisa tercapai lewat eksperimen-eksperimen yang tekun.

HASAN: Khusus saya tanya tentang Jokpin (Joko Pinurbo). Di buku pertamanya Anda bilang dia layak dapat perhatian kita.
SAPARDI: Itu jelas. Dia bikin "bahasa baru".

Buku puisi pertama Joko Pinurbo "Celana" (Indonesia Tera, 1999) diberi kata penutup oleh Sapardi. Ia menyimpulkan bahwa sajak-sajak yang terkumpul dalam buku itu mempergunakan teknik pengungkapan yang mungkin disebut surrealis, yang mencoba mengungkapkan dunia bawah sadar kita. Nyaris tak ada pujian. Kecuali sebuah kalimat pendek yang menutup kata penutup itu: ia berhak mendapat perhatian kita.

HASAN: Jadi yang penting penyair menemukan bahasanya sendiri, bukan kritikus yang menemukan penyair?
SAPARDI: Hanya kritikus yang benar yang tahu masalah pembaruan bahasa.

HASAN: Masih menerjemahkan puisi luar kan?
SAPARDI: Menerjemahkan itu latihan menulis.

HASAN: Kalau tak salah tangkap Nirwan Dewanto menandai ada "faktor Sapardi", penyair baru menjadikan sajak Anda sebagai pijakan untuk menemukan bahasa sendiri.
SAPARDI: Itu wajar. Chairil cari puisi dunia dan menerjemahkannya untuk bikin bahasa sendiri.

HASAN: Nirwan menulis itu dengan nada cemas.
SAPARDI: Dia cemas mungkin lantaran tidak ada yang "mengubah" bahasa saya. Jokpin ada usaha ke situ.

HASAN: Sajak-sajak jenazah yang disukai A Teeuw itu sebenarnya siapa yang wafat? Orang yang dekat sekali dengan Anda?
SAPARDI: Tidak semua yang saya tulis ada hubungannya dengan sesuatu. Saya mengandalkan imajinasi.

Tiga sajak yang diulas tuntas oleh A Teeuw ada pada buku "DukaMu Abadi" (Pustaka Jaya, 1969, 1975; Bentang 2002, 2004). Tiga sajak itu adalah "Saat Sebelum Berangkat" (Waktu seorang bertahan di sini/di luar para pengiring jenazah menanti), "Berjalan di Belakang Jenazah" (...angin pun reda/jam mengerdip/....tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya), dan "Sehabis Mengantar Jenazah" (pulanglah dengan payung di tangan, tertutup/anak-anak kembali bermain di jalanan basah/....barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya). "Dalam arti ini sajak Sapardi adalah sajak yang indah, yang malahan membebaskan hati saya sambil menjadikannya sedih," tulis Teeuw.

HASAN: Imajinasi dan sesuatu di masa lalu? Kenangan? Masa kecil?
SAPARDI: Sumbernya apa saja tapi andalan saya imajinasi. Ada buku baru tentang saya di Grasindo. Coba baca.

HASAN: Saya pasti akan beli dan baca. Eh, sering merasa kecolongan atau cemburu pada puisi penyair lain?
SAPARDI: Tidak pernah.

HASAN: Saya suka dengan apa yang Anda yakini dengan permainan makna. Makna tidak jadi beban. Tidak jadi amanat yang harus diburu oleh pembaca. Begitukah?
SAPARDI: Anda benar.

HASAN: Kalau Anda diberi kuasa yang hebat untuk puisi, apa yang pertama Anda buat?
SAPARDI: Berbuat baik pada sesama lewat puisi.

HASAN: Kalau Anda diminta menderet sepuluh puisi terbaik, maka yang teratas yang mana?
SAPARDI: Puisi siapa?

HASAN: Puisi Anda. Adakah puisi penyair lain yang sangat Anda sukai?
SAPARDI: Wah, ya banyak. Sulit lewat SMS.

HASAN: Saya minta satu sajak yang menurut Anda harus saya baca.
SAPARDI: "Topeng".

HASAN: "Topeng"? ("Hujan Bulan Juni", Grasindo, 1994). Saya pasti sudah baca. Yang ada nama Danarto di bawah judulnya itu kan? Boleh saya hubungkan sajak itu dengan topeng Danarto untuk pementasan teater Oedipus Rendra?
SAPARDI: Tentu boleh.

HASAN: Artinya Anda memainkan imajinasi dari situ? Itu yang dinamakan momentum puitik?
SAPARDI: Saya tak pasti. Baru setelah selesai saya ingat Danarto.

Ini adalah sajak panjang ukuran rata-rata sajak Sapardi. Sajak bertarikh 1985 ini terdiri atas 27 larik terbagi atas tiga bagian. Bait pertama di penggal pertama sajak itu begini: Ia gemar membuat topeng. Dikupasnya / wajahnya sendiri satu demi satu / dan digantungkannya di dinding. "Aku / ingin memainkannya," kata seorang sutradara.


message 5: by Roos (new)

Roos | 2991 comments @Andri ma Naga...gue tahu besok pada nyontreng apa....hayoooo...hehehehe.

@Gus Gieb: Thanks...ada lagi gak? *maruk*


Ordinary Dahlia (ordinarydahlia) | 775 comments nyontreng apa yah maksutnya? :-"


message 7: by gieb (new)

gieb | 743 comments HASAN: Perlukah Indonesia tiap tahun menobatkan semacam poet laureatte? Setahu saya itu ada di Amerika.

SAPARDI: Tak perlu. Nanti jadi arisan. Yang perlu adalah hadiah sastra.

HASAN: Pada usia sekolah menengah Anda menulis puisi, Anda kok tidak terjangkit wabah puisi cinta ya?

SAPARDI: Ya, ada. Tapi tidak penting.

HASAN: Yang paling bikin saya penasaran itu sajak Anda “Tuan”. Saya baca tafsiran Sutardji Calzoum Bachri. Lumayan. Tapi saya ingin sekali, Anda sendiri yang buka rahasia tentang sajak itu.

SAPARDI: Itu sajak yang sangat sederhana tentang tamu dan tuan rumah yang tolol. He he he.

HASAN: Ha ha ha. Terima kasih saya ingin menyimak lagi tanya jawab ini. Nanti saya ganggu lagi. Masih boleh ya?

SAPARDI: Sila.

Saya kira sajak “Tuan” adalah sajak paling pendek yang pernah ditulis Sapardi. Cuma sebait dua larik. Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, / saya sedang keluar. Begitu saja. Tahun 1984, Sutardji Calzoum Bachri mengurai kertas kerja dalam sebuah Temu Kritikus dan Sastrawan di Jakarta. Secara khusus Sutadji membahas sajak-sajak Sapardi dari buku Perahu Kertas (Balai Pustaka, Jakarta, 1983, 1993). Ia menulis: “Setelah keluar dari dunia sajak Sapardi, mengambil jarak dengan jaraknya, barulah pemahaman dari sajak-sajaknya bisa lebih mudah didapat. Kita lebih mungkin mendapatkan makna dari sajak-sajak itu, mendapatkan arti atau memberikan arti akan sajak-sajak itu. Sutardji mengambil contoh sajak “Tuan” dan menyebutnya sebagai sajak yang cukup penting dalam hubungan pemahaman yang berjarak itu.”

HASAN: Semalam saya ingat “Dalam Doa”, membaca-bacanya sebagai doa untuk Anda. …”Aku mencintaimu, itulah sebabnya aku tak pernah berhenti mendoakan keselamatanmu.”

SAPARDI: Terima kasih.

HASAN: Ini imajinasi, kalau waktu bisa dipaket. Saya akan kirim sebagian waktu saya untuk Anda. Supaya Anda bisa terus dan terus menulis puisi. He he he.

SAPARDI: Ha ha ha. Terima kasih buaanyak.

HASAN: Hasif Amini menyebut “Pada Suatu Hari” (Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994) sebagai contoh puisi tentang puisi dari Anda. Saya membacanya sebagai rangkuman cita-cita dari seluruh puisi Anda. … dalam bait-bait sajak ini, kau akan terus-menerus kusiasati.

SAPARDI: Semua tafsir memperkaya sajak.

HASAN: Dan sajak yang baik mengundang tafsir yang kaya?

SAPARDI: Itu intinya.

HASAN: Puisi bukan milik penyairnya, tapi milik siapa yang menggunakannya. Saya kutip ini dari percakapan Pablo Neruda dan tokoh utama novel Il Postino-nya Antonio Scarmeta. Kita harus ikhlas begitu?

SAPARDI: Anda benar. Bahkan harus juga ikhlas ketika puisi saya “Aku Ingin” (Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994) dikatakan karya Kahlil Gibran di televisi tempo hari. Ha ha ha.

HASAN: Ha ha ha. Ada juga yang mencantumkan “Aku Ingin” di undangan perkawinan, tanpa mencantumkan nama Anda.

SAPARDI: Ya, saya ikhlas saja.

Sajak “Hujan Bulan Juni” bisa dimaknai sebagai sebuah keikhlasan memberikan segalanya kepada seseorang yang dicintai. Sajak ini menjadi luar biasa justru karena menyebutkan keinginan untuk mencintai dengan sederhana.

HASAN: Sekarang, saya minta nasihat untuk menuliskan puisi. Tiga butir saja.

SAPARDI: Wah, nggak ada resepnya. Nulis saja setiap kali Anda pengen nulis.

HASAN: Juga di saat marah? He he. Buku Apa Kabar Hari Ini, Den Sastro? itu bukan yang terakhir, kan?

SAPARDI: Bukan.

HASAN: Pablo Neruda dan TS Eliot juga tidak mau memberi nasihat puisi. Tapi Rilke menulis surat untuk penyair muda. Senang sekali kalau Anda seperti Rilke.

SAPARDI: Begitulah.

HASAN: “Ayat-ayat Api” adalah amarah yang tak bisa lagi dibendung setelah Anda menahan marah sekian lama. Kenapa menahan marah? Pilihan sikap hidup? Menyair juga bersikap?

SAPARDI: Ya, tentu. Orang marah hanya bisa demo, nggak bisa nulis puisi. Ha ha ha.

HASAN: Masa depan sastra Indonesia ada pada wanita, kata Anda beberapa waktu lalu. Ini peringatan atau ramalan? Atau lecutan?

SAPARDI: Sindiran.

HASAN: Kapan terbit sajak lengkap Sapardi Djoko Damono? Saya menunggu itu.

SAPARDI: Beberapa tahun lagi, Insya Allah.

HASAN: Anda tidak terlalu ikut-ikut angkatan-angkatan sastra itu ya?

SAPARDI: Nggak ikut angkatan, takut sama angkatan bersenjata. Ha ha ha.

HASAN: Ini yang terakhir, beri saya empat kata untuk saya tulis jadi puisi.

SAPARDI: Anda bahagia menulis puisi?

HASAN: Ya, saya bahagia. He he.

BEGITULAH, seorang Sapardi ternyata bukan hanya sesuatu yang satu. Ia bisa serius dan melucu. Dia menyair dengan amat bersungguh-sungguh, tetapi bila perlu juga menyikapi kepenyairan dan sajak-sajaknya dengan santai. Dia menulis puisi, kritik ulasan, menerjemahkan, menulis cerita pendek dan yang tak sempat saya tanya dia juga mengulas sepakbola. Baiklah, saya akhiri saja dialog ini dengan memenuhi janji menulis puisi dengan modal empat kata darinya:

Anda Bahagia Menulis Puisi?

Maka datanglah padanya sebuah dusta. Memintanya.
“Sebutkan aku dalam puisimu,” katanya. “Sebentar,”
jawabnya. Lalu dituliskannya beberapa kalimat. “Itu
bukan aku,” kata dusta. “Nah, dengan demikian
maka sudah kujelaskan siapa dirimu, bukan?” katanya.
Dusta pun berlalu. Tinggal dia sendirian. Dan satu
pertanyaan: “Apakah Engkau bahagia menulis puisi?”
Lalu datanglah padanya sebuah tanya. Mendesaknya.
“Keluarkan aku dari dalam puisimu,” katanya. “Tunggu,”
jawabnya. “Sejak kapan kau ada di dalam sana?”
Lalu dilepasnya kunci, dikuaknya pintu. “Keluarlah,”
katanya. “Ah, mungkin lebih baik aku di sini saja,”
kata tanya. Dia pun pasrah. “Terserahlah,” katanya.
Tanya pun berdiam saja. Di dalam puisi. Tak juga bisa
menjawab: “Apakah Engkau bahagia menulis puisi?”

Batam, 7 Juli 2006


message 8: by Roos (new)

Roos | 2991 comments Nyontreng...kata gantinya nyoblos....*halah dibahas yak*


Ordinary Dahlia (ordinarydahlia) | 775 comments nyontreng sebagai gantinya nyoblos lebih cepat lebih baik! *ikutan halah!*
tuhaaaan, beri petunjuk untuk kembali ke jalan yang benar. Lanjut dunk puisinya :p


message 10: by gieb (new)

gieb | 743 comments TENTANG SAPARDI DJOKO DAMONO

Sapardi Djoko Damono dilahirkan di Solo, sebagai anak pertama dari pasangan Sadyoko dan Sapariah, pada tanggal 20 Maret 1940. Ia tinggal di Ngadijayan, kampungnya Pangeran Hadiwijaya, kira-kira 500 meter dari W.S. Rendra dan B. Sutiman yang tinggal di Kampung Patangpuluhan, dan sekitar 500 metr dari Bakdi Soemanto dan Sugiarta Sriwibawa yang tinggal di Kampung Kratonan — tetapi ketika itu ia sama sekali tidak mengenal “calon-calon” penyair tersebut. Ia bersekolah di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) Kraton “Kasatriyan” tempat ia bergaul dengan para putra pangeran, sementara di rumah ia menikmati kehidupan sebagai anak kampung dengan menghabiskan msa kecilnya bermain benthik, gobaksodor, dhelikan, jamuran, cari belut, main jailangkung, adu jangkrik, main kelereng, main layang-layang, dan bal-balan di gang sempit atau di Alun-alun Selatan. Suasana perjuangan yang berlangsung sampai dengan tahun 1949, yang kadang-kadang berupa pemboman oleh pesawat terbang Belanda dan dar-dor di malam hari oleh pejuang kita, seperti tidak mempengaruhi keasyikan masa kanaknya.

Selain itu ia juga suka mengunjungi beberapa persewaan buku yang waktu itu banyak terdapat di kotanya. Di sana ia mengenal dunia rekaan yang diciptakan Karl May, Sutomo Djauhar Arifin, William Saroyan. Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan lain-lain—di samping berbagai jenis komikseperti yang diciptakan oleh R.A. Kosasih. Ia, bersama adik satu-satunya, bahkan pernah “mengusahakan” persewaan komik bagi anak-anak di kampungnya. Masa kanak itu berlangsung seperti lama sekali dan tak akan penah selesai, sampai mendadak pada tahun 1957 rumah warisan keluarganya dijual dan keluarganya pindah ke pinggir kota di sebelah utara, di desa yang waktu itu belum berlistrik dan suasana desa-kampungnya diwarnai rumpun bambu, kicau urung, bunga sepatu, air kali, dan bedhidhing kalau kemarau. Sama sekali berbeda dengan Ngadijayan yang di pusat kota dan senantiasa hiruk pikuk itu. Waktu itu ia duduk di kelas dua SMA. Dan waktu itu pulalah ia mulai menulis puisi, tidak pernah berhenti sampai sekarang.

Sejak itu waktu bagai melesat, berlalu cepat sekali, berbeda dengan masa kanaknya. Selepas SMA ia belajar di Yogya. Di masa mahasiswa ia suka main drama, main musik, siaran sastra di radio, menerjemahkan, dan terus nulis puisi. Lulus dari UGM ia cepat-cepat berumah tangga, bekerja sebagai guru di Madiun, Solo, dan Semarang. Belajar sebentar di Amerika, lalu pindah ke Jakarta pada tahun 1973. Pada tahun itu juga ia diminta membantu Australian Film Commission membuat du film semi dokumenter mengenai dampak modernisasi bagi kehidupan keluarga di Bali dan Solo, masing-masing selama dua bulan. Ia pernah mondar-mandir Jakarta-Semarang selama hampir dua tahun, mengajar di Universitas Dipenogoro dan menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia. Sambil bekerja di majalah Horison ia kemudian menjadi pengajar tetap di Fakultas Sastra UI dan terus menulis sambil mencari tambahan nafkah sebagai penerjemah dan juri pelbagai sayembara penulisan, lomba baca puisi, dan festival teater.

Ia pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, pelaksana harian Pusat Dokumentasi H.B. Yassin, dan pengurus RT. Ia pun pernah menjadi anggota redaksi majalah Basis di Yogya, country editor untuk Tenggara, jurnal sastra Asia Tenggara yang terbit di Kuala Lumpur, dan correspondent untuk Indonesia Circle, jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh School of Oriental and African Studies, University of London. Setelah bekerja selam 20 tahun, ia mengundurkan diri dari Horison dan kemudian membantu Kalam, sebuah jurnal kebudayaan. Bersama-sama Subagio Sastrowardojo, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, dan John H. McGlynn ia mendirikan Yayasan Lontar yang terutama bergerak di bidang penerbitan terjemahan sastra Indonesia dalam bahasa Inggris. Bersama rekan-rekannya di FSUI ia mendirikan Yayasan Puisi, yang menerbitkan jurnal Puisi, yang sekarang ini mengalami kesulitan dana tetapi moga-moga saja ada yang membantu agar bisa hidup lagi untuk selama-lamanya. Amin.

Meskipun sudah menerbitkan sajak-sajaknya di majalah sejak tahun 1957, Sapardi baru menerbitkan kumpulan sajak pada tahun 1969, berjudul Duka-Mu abadi. Penerbitan itu sepenuhnya ditanggung oleh pelukis Jeihan, temannya keluyuran sejak SMA. Pada tahun 1974 terbit Mata Pisau dan Akuarium, tahun 1983 terbit Perahu Kertas, tahun 1984 Sihir Hujan, tahun 1994 Hujan Bulan Juni, dan tahun 1998 Arloji. Sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Arab, Hindi, Cina, Jepang, Belanda, Prancis, Inggris, Jerman, Bali, dan Jawa. Sejumlah sajaknya diterbitkan dalam bahasa Inggris, berjudul Suddenly the Night. Jika selam usia likuran ia sangat subur, ternyata semakin tua ia merasa semakin terbata-bata menulis puisi — meskipun tetap saja menulis puii, mungkin sebab itulah pekerjaan tetapnya yang tidak memberinya nafkah. Namun, karena menulis puisi ia diundang baca puisi ke mana-mana di Eropa, Asia, dan Australia. Dan ia senang ketika salah sebuah sajaknya dikutip oleh Perdana Menteri India, Narasimha Rao, dalam pidatonya di sebuah KTT Nonblok, ketika sejumlah (mantan) mahasiswanya menggunakan beberapa sajaknya untuk disusun menjadi nyanyian, ketika salah satu sajak yang dinyanyikan itu dijadikan lagu tema dalam film Gagrin Nugroho Cinta dalam Sepotong Roti, ketika sajak yang sama itu muncul pula sejumlah undangan kawin, kalender, poster, t-shirt, dan bloknot. Setidaknya ia merasa tidak sia-sia telah menulis dalam bahasa Indonesia karena ternyata ada saja yang membaca dan memanfaatkannya, meskipun kadang-kadang ia bertanya-tana mengapa tidak menulis puisi dalam bahasa Jawa, bahasa ibunya.

Sapardi juga suka menulis berbagai jenis esai dan karangan ilmiah, terutama untuk dicampaikan di seminar-seminar. Karangan-karangannya jenis itu yang dibukukan antara lain Sosiologi Sastra. Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983), Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990), Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), dan Sihir Rendra: Permainan Makna (1999) di samping dalam sejumlah antologi karangan bersama. Kesukaannya menerjemahkan telah menghasilkan beberapa buku antara lain Puisi Klasik Cina, Puisi Parsi Klasik, Puisi Brazilia Modern, Sepilihan Sajak Geroge Seferis, Mendorong Jack Kunti-kunti; Sepilihan Sajak Australia, Afrika yang Resah (terjemahan dari :Song of Lawino” dan “Song of Ocol” oleh Okot p’Bitek), Lelaki tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway) Daisy Manis (Daisy Miller, Henry James), Codot di Pohon Kemerdekaan (kumpulan cerpen Albert Wendt dari Samoa), Tiga Sandiwara Ibsen, Duka Cita bagi Electra (Mourning becomes Electra, drama trilogi Eugene O’Neill), Shakuntala, dan Amarah (The Grapes of Wrath, John Steinbeck). Bersama rekan-rekannya di FSUI ia menerjemahkan karya Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam. Sejumlah terjemahannya yang sudah diterbitkan di majalah dan koran atau dipentaskan, tetapi belum dibukukan, antara lain Pembunuhan di Katedral (Murder in the Chatedral, T.S. Elliot) Singa dan Permata (The Lion and The Jewel, Wole Soyinka), Brown sang Dewa Agung (The Great God Brown, O’Nell), Asap Musim Panas (Summer and Smoke, Tenessee Williams), Di Bawah Langit Afrika (kumpulan cerpen Afrika), dan sejumlah besar sajak, drama pendek, dan cerpen.

Kegiatannya di bidang karang-mengarang telah memberinya beberapa penghargaan, yakni Cultural Award (1978) dari Austrlia, Anugrah Puisi Putra (1983) dari Malaysia, SEA-Write Award (1986) dari Thailand, Anugrah Seni (1990) dari Pemerintah RI. Kegiatannya sebagai guru menghasilkan gelar doktor dan guru besar, di samping beberapa jabatan struktural antara lain Dekan Fakultas Sastra UI (1995-1999). Ia juga mengetuai bidang humaniora di Majlis Penelitian Pendidikan Tinggi dan menjadi anggota Komisi Disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat, Ditjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Ia tinggal di Perumahan Dosen UI di Ciputat.


message 11: by Wirotomo (new)

Wirotomo Nofamilyname | 2404 comments Terima kasih Pak Gieb atas latar belakangnya SDD.

@ Naga:
Nyontreng itu kalau di kampungku bilangnya "tickmark" hehe....


message 12: by gieb (last edited Jul 06, 2009 03:36AM) (new)

gieb | 743 comments


message 13: by gieb (last edited Jul 12, 2009 11:47PM) (new)

gieb | 743 comments Ayat-Ayat Api: Kumpulan Sajak

Pengantar

Kumpulan sajak ini terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama berisi sejumlah sajak — yang sudah diubah di sana-sini, yang pernah dimuat dalam Sihir Hujan, Kuala Lumpur, 1984. Bagian kedua adalah sejumlah sajak yang pernah terbit terbatas dalam rangka pembacaan puisi di Pusat Kebudayaan Jepang, 1998. Bagian ketiga adalah sejumlah sajak yang ditulis tahun 1998-1999, belum pernah terbit sebagai buku.

Saya sampaikan terima kasih kepada Pustaka Firdaus yang bersedia menerbitkan buku ini dengan pertimbangan, antara lain, bahwa tahun ini saya — alhamdulilah — sudah berumur 60 tahun.

Sapardi Djoko Damono




message 14: by gieb (last edited Jul 06, 2009 05:00AM) (new)

gieb | 743 comments /1/ Ayat Nol

Ruang Ini

kau seolah mengerti: tak ada lubang angin
di ruang terkunci ini
seberkas bunga plastik di atas meja,
asbak yang penuh, dan sebuah buku yang terbuka
pada halaman pertama

kau cari catatan kaki itu, sia-sia





message 15: by gieb (last edited Jul 06, 2009 05:06AM) (new)

gieb | 743 comments Catatan Masa Kecil, 4

Ia tak pernah sempat bertanya kenapa dua kali dua hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar dari tiga tambah tiga. Sejak semula ia sayang pada angka nol.

Dan setiap kali ia menghitung dua tambah tiga kali empat kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga malam-malam. Ketika ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di halaman terdengar langkah-langkah bakiak almarhum neneknya. Dan ia ingin kencing tetapi takut ke kamar kecil yang dekat sumur itu dan lalu kencing saja di kasur. Sungguh, sejak semula ia hanya mempercayai angka nol.




message 16: by gieb (new)

gieb | 743 comments Aubade

percik-percik cahaya. Lalu kembali hijau namamu,
daun yang menjelma kupu-kupu, ketika anak-anak bernyanyi—
melintas di depan jendela itu
lalu kembali cahaya sebutanmu, hatiku pagi ini



message 17: by gieb (new)

gieb | 743 comments Di Depan Pintu

di depan pintu: bayang-bayang bulan
terdiam di rumput. Cahaya yang tiba-tiba pasang
mengajak pergi
menghitung jarak dengan sunyi



message 18: by gieb (new)

gieb | 743 comments Aku Tengah Menantimu

aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas

awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu
musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku
kudengar berulang suara gelombang udara memecah
nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah

telah rontok kemarau-kemarau yang tipis; ada yang mendadak sepi
di tengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun menanti
barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana
dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama




message 19: by Andri (new)

Andri (clickandri) | 665 comments nuansanya negatif. muram. simak pilihan kata yg ada : sia-sia, tak ada, terkunci. terus ada 2 kondisi, asbak penuh (tentunya oleh puntung rokok dan abu), buku yang terbuka pada halaman pertama.

pembukaan yg muram...

-andri-


gieb wrote: "/1/ Ayat Nol

Ruang Ini

kau seolah mengerti: tak ada lubang angin
di ruang terkunci ini
seberkas bunga plastik di atas meja,
asbak yang penuh, dan sebuah buku yang terbuka
pada halaman pertama

ka..."





message 20: by Andri (new)

Andri (clickandri) | 665 comments lagi-lagi muram. bulan terdiam. cahaya yg pergi. sunyi...

-andri-

gieb wrote: "Di Depan Pintu

di depan pintu: bayang-bayang bulan
terdiam di rumput. Cahaya yang tiba-tiba pasang
mengajak pergi
menghitung jarak dengan sunyi
"





message 21: by Andri (new)

Andri (clickandri) | 665 comments mengingatkan ke "aku ingin". awan melintas, musim mengembun, udara memecah, personifikasi hal-hal yang di luar manusia, ciri khas puisi-puisi pak SDD yg gw suka perhatikan bakal sering kita temui.

lagi-lagi muram. kemarau rontok. sepi. menanti. penantian yg begitu lama...

-andri-


gieb wrote: "Aku Tengah Menantimu

aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
yang telah hati-hati kucatat,..."





message 22: by gieb (new)

gieb | 743 comments Garis

menyayat garis-garis hitam
atas warna keemasan; di musim apa
Kita mesti berpisah tanpa
membungkukkan selamat jalan?

sewaktu cahaya tertoreh
ruang hening oleh bisik pisau; Dikau-kah
debu, bianglala itu,
kabut diriku?

dan garis-garis tajam (berulang
kembali, berulang
ditolakkan) atas latar keemasan
pertanda aku pun hamil. Kau-tinggalkan



message 23: by gieb (new)

gieb | 743 comments Pagi

ketika angin pagi tiba kita seketika tak ada
di mana saja. Di mana saja bayang-bayang gema
cinta kita
yang semalam sibuk menerka-nerka

di antara meja, kursi, dan jendela? Kamar
berkabut setiap saat kita berada,
jam-jam terdiam
sampai kita gaib begitu saja. Ketika angin

pagi tiba tak terdengar “Di mana kita?” —
masing-masing mulai kembali berkelana
cinta yang menyusur jejak Cinta
yang pada kita tak habis-habisnya menerka




message 24: by gieb (new)

gieb | 743 comments Sehabis Percakapan

sehabis percakapan pendek
warna-warna menyisih
ke putih; tamasya yang di luar
sia-sia menunggu




message 25: by Roos (new)

Roos | 2991 comments Whoaaaaaaaaaaa....Gieb, thanks yah...dah bantu mindahin...Hugs-hugs-hugs.


message 26: by gieb (new)

gieb | 743 comments Kamar

ketika kumasuki kamar ini
pasti dikenalnya kembali aku
suara langkahku, nafasku
dan ujung-ujung jari yang dulu menyentuhnya

dan kali ini — pertemuan ini
tanpa jam dinding
begitu saja di suatu sore hari
sewaktu percakapan tak diperlukan lagi

tanpa engahan-engahan pendek
tanpa “malam begitu cepat lalu!”
dan kulihat bibir-bibirnya sembilu
menoreh kenanganku





message 27: by gieb (new)

gieb | 743 comments Percakapan

lalu ke mana lagi percakapan kita (desah jam
menggigilkan ruangan, kata-kata yang sudah
dikosongkan. Semakin hijau pohonan di luar
sehabis hujan semalaman; semakin merah

bunga-bunga ros di bawah jendela; dan kabut,
dan kabut yang selalu membuat kita lupa)
sehabis hujan, sewaktu masing-masing mencoba
mengingat-ingat nama, jam semakin putih tiktoknya




message 28: by gieb (last edited Jul 12, 2009 09:35PM) (new)

gieb | 743 comments Sajak Dalam Tiga Bagian

/i/
dingin malamkah ini
yang kukembalikan padamu
sepenuhnya? Warna-warni mendadak gaib
dalam putih. Tinggal sengal

/ii/
di balik rumpun bambu itu aku tersayat m enunggu,
begitu katamu; ah, kau telah menggodaku untuk bunuh diri
kalau kali ini pun palsu

/iii/
bintang-bintang yang dingin itu telah membuatku mabuk,
menyebut-nyebut namamu
angin yang tajam itu telah membuatku mabuk, menyebut-
nyebut namamu
bunga rumput liar itu telah membuatku mabbuk, menyebut-
nyebut namamu
ternyata sudah lama aku berniat membunuhmu, kekal padamu





message 29: by gieb (new)

gieb | 743 comments Jaring

maka berpecahan bunga api. Diam pun
(katakan sesuatu, bisikmu) meretas
di antara berkas-berkas nafasmu. Kubayangkan capung
pada jaring laba-laba, pada silangan-silangan cahaya




message 30: by gieb (last edited Jul 09, 2009 08:19PM) (new)

gieb | 743 comments Sunyi Yang Lebat

sunyi yang lebat: ujung-ujung jari
sunyi yang lebat: bola mata dan gendang telinga
sunyi yang lebat: lidah dan lubang hidung
sunyi yang dikenal sebagai hutan: pohon-pohon yang roboh,

margasatwa membusuk di tepi sungai kering, para
pemburu mencari jejak pancaindra...





message 31: by gieb (new)

gieb | 743 comments Salamku Matahari

salamku matahari! Yang membagi-bagikan warna
di laut, di padang-padang yang dilupakan
ketika layar perahu mengigau
tentang bunga ilalang panjang




message 32: by gieb (last edited Jul 12, 2009 09:34PM) (new)

gieb | 743 comments Sepasang Lampu Beca
Untuk Isma Sawitri

ada sepasang lampu beca bernyanyi lirih di muara gang
tengah malam sementara si abang sudah tertidur sebelum
gerimis reda
mereka harus tetap bernyanyi sebab kalau sunyi tiba-
tiba sempurna bunga yang tadi siang tanggal dari keranda lewat
itu akan mendadak semerbak dan menyusup ke dalam pori-pori
si abang beca lalu mengalir di sela-sela darahnya sehingga ia
merasa sedang bertapa dalam sebuah gua digoda oleh seribu
bidadari yang menjemputnya ke suralaya dan hal selamat tinggal
dunia




message 33: by gieb (last edited Jul 12, 2009 09:12PM) (new)

gieb | 743 comments /2/ Ayat Arloji

Dongeng Marsinah

/1/
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan pasti.

Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”

/2/
Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap ke mana-mana.
“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”

Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”

/3/
Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lenkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.

Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.

Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.

Detik pun tergeletak
Marsinah pun abadi.

/4/
Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:

Marsinah diseret
dan dicampakkan —
sempurna, sendiri.

Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah ebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?

Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?

/5/
“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi.”

(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.)

apa sebaiknya menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”

(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia biarkan gerbang terbuka.)

“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.”

(Malaikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, ia seperti terluka.)

/6/
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.

Kita tatap wajahnya
setiap hari pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.

Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.

(1993-1996)




message 34: by gieb (last edited Jul 12, 2009 09:32PM) (new)

gieb | 743 comments Bunga Randu Alas

Bunga randu alas itu telah merekah, dan angin
kemarau yang malam hari suka jadi sejuk sering lewat di
sana. “Kenapa selalu terbayang bara sisa ketika kutatap
bunga itu,” kata angin yang diam-diam terlanjur telah
mencintainya. “Kenapa bukan warna subuh, atau
setidaknya batu delima, atau apa saja asal bukan bara
sisa.”
Pohon randu alas itu menjulang di kuburan samping
rumah kami; setiap kemarau bunga-bunganya yang
merah suka melengking, bahkan sampai larut malam.
Angin, yang sering terjepit di antara batang bambu, telah
jatuh cinta padanya — hanya Tuhan yang tahu kenapa
jadi begitu.
Angin itu jugalah yang bersijingkat mengantar
lengking bunga itu sampai ke sudut-sudut paling jauh
dalam tidur nyenyakku. Dalam lengking bunga itulah
tersirat lirih suaranya sendiri, “Mengapa bara sisa yang
terbayang, dan bukan kobaran api?”




message 35: by gieb (new)

gieb | 743 comments Tentang Mahasiswa Yang Mati, 1996

Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut
rame-rame hari itu. Aku tak mengenalnya,
hanya dari koran, tidak begitu jelas memang,
kenapanya atau bagaimana (bukanlah semuanya
demikian juga?) tetapi rasanya cukup alasan
untuk mencintainya. Ia bukan
mahasiswaku. Dalam kelas mungkin saja
ia suka ngantuk, atau selalu tampak sibuk mencatat,
atau diam saja kalau ditanya,
atau sudah terlanjur bodoh sebab ikut saja
setiap ucapan gurunya. Atau malah terlalu suka
membaca sehingga semua guru jadi asing baginya.
Dan tiba-tiba saja, begitu sasja, hari itu ia mati;
begitu berita yang ada di koran pagi ini —
entah kenapa aku mencintainya
karena itu. Aneh, koran ternyata bisa juga
membuat hubungan antara yang hidup
dan yang mati, yang tak saling mengenal.
Siapa namanya, mungkin disebut di koran,
tapi aku tak ingat lagi,
dan mungkin juga tak perlu peduli. Ia telah
mati hari itu — dan ada saja yang jadi ribut.
Di negeri orang mati, mungkin ia sempat
merasa was-was akan nasib kita
yang telah meributkan mahasiswa mati.




message 36: by gieb (new)

gieb | 743 comments Yang Paling Menakjubkan

Yang paling menakjubkan di dunia yang fana ini
adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya,
kita bisa membayangkan apa saja tentangnya,
menjadikannya muara bagi segala yang luar biasa.

Kita bisa membayangkannya sebagai jantung
yang letih, yang dindingnya berlemak,
yang memompa sel-sel darah agar bisa menerobos
urat-urat yang sempit, yang tak lagi lentuk.

Kita bisa membayangkannya sebagai bola mata
yang tiba-tiba tak mampu membaca aksara
di dinding kamar periksa seorang dokter
ketika ditanya, “Apa yang Tuan lihat di sana?”

Kita bisa membayangkannya sebagai lidah
yang tiba-tiba dipaksa menjulur agar bisa diperiksa
apakah kemarin, atau tahun lalu, entah kapan
pernah mengucapkan suatu dosa, entah apa.

Sungguh, yang paling menakjubkan di dunia kita ini
adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya,
kita boleh menyebut apa pun yang kita suka tentangnya
sementara orang berhak juga menganggap kita gila.



message 37: by gieb (new)

gieb | 743 comments Iklan

Ia penggemar berat iklan. “Iklan itu sebenar-benar
hiburan,” kata lelaki itu. “Siaran berita dan cerita itu
sekedar selingan.” Ia tahan seharian di depan televisi.
Istrinya suka menyediakan kopi dan kadang-kadang
kacang atau kentang goreng untuk menemaninya
mengunyah iklan.
Anak perempuannya suka menatapnya aneh jika ia
menirukan lagu iklan supermi — kepalanya bergoyang-
goyang dan matanya berbinar-binar. Anak lelakinya
sering memandangnya curiga jika ia tertawa melihat
badut itu mengiklankan sepatu sandal — kakinya digerak-
gerakkannya ke kanan-kiri. Dan istrinya suka tidak
paham jika ia mendadak terbahak-bahak ketika
menyaksikan iklan tentang kepedulian sosial itu — dua
tangannya terkepal dan dihentak-hentakkannya.
Lelaki itu meninggal seminggu yang lalu; konon yang
terakhir diucapkannya sebelum “Allahuakbar” adalah
“Hdup Iklan!” Sejak itu istrinya gemar duduk di depan
televisi, bersama anak-anaknya, menebak-nebak iklan
mana gerangan yang menurut dokter itu telah
menyebabkannya begitu bersemangat sehingga
jantungnya mendadak berhenti.



message 38: by gieb (last edited Jul 12, 2009 09:21PM) (new)

gieb | 743 comments Kelereng

Kalah main, kelerengku tinggal lima butir. Aku anak
laki-laki tidak boleh manangis, kata Ibu. Kupungut
kelereng itu satu demi satu, kumasukkan ke saku. Di
jalan pulang, selalu kuraba-raba sebab khawatir kalau-kalau
ada yang terjatuh dri lubang kantung celanaku.
Ketika mau belajar, selesai makan malam, kudapati
kelerengku berkurang satu. Kutaruh semua yang sisa di
atas meja, tak ada lagi yang bulat sempurnya sebab
seharian berbenturan dengan sesama, tetapi di mana
gerangan kelerengku yang belimbing, yang warnanya
biru? Aku anak laki-laki, tidak berhak menangis, kata
Ibu.
Aku boleh saja tak peduli, tetapi kelerengku yang lain
— yang bintik-bintik, yang belimbing coklat, yang susu,
dan yang loreng merah hijau — akan selalu bertanya
padaku di mana gerangan temannya yang satu itu. Itu
sebabnya aku harus mencarinya, tetapi ke mana aku tak
tahu.




message 39: by gieb (new)

gieb | 743 comments Ibu

Ibu masih tinggal di kampung itu, ia sudah tua. Ia
adalah perempuan yang menjadi korban mimpi-mimpi
ayahku. Ayah sudah meninggal, ia dikuburkan di sebuah
makam tua di kampung itu juga, beberapa langkah saja
dari rrumah kami. Dulu Ibu sering pergi sendirian ke
makam, menyapu sampah dan, kadang-kadang,
menebarkan beberapa kuntum bunga. “Ayahmu bukan
pemimpi,” katanya yakin meskipun tidak berapi-api, “ia
tahu benar apa yang terjadi.”
Kini di makam itu sudah berdiri sebuah sekolah,
Ayah digusur ke sebuah makam agak jauh di sebelah
utara kota. Kalau aku kebetulan pulang, Ibu suka
mengingatkanku untuk menengok makam ayah,
mengirim doa. Ibu sudah tua, tentu lebih mudah
mengirim doa dari rumah saja. “Ayahmu dulu sangat
sayang padamu, meskipun kau mungkin tak pernah
mempercayai segala yang dikatakannya.”
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, sambil
menengok ke luar jendela pesawat udara, sering
kubayangkan Ibu berada di antara mega-mega. Aku
berpikir, Ibu sebenarnya lebih pantas tinggal di sana, di
antara bidadari-bidadari kecil yang dengan ringan
terbang dari mega ke mega — dan tidak mondar-mandir
dari dapur ke tempat tidur, memberi makan dan
menyusui anak-anaknya. “Sungguh, dulu ayahmu sangat
sayang padamu,” kata Ibu selalu, “meskipun sering
dikatakannya bahwa ia tak pernah bisa memahami
igauan-igauanmu.”




message 40: by gieb (new)

gieb | 743 comments Tiga Sajak Ringkas Tentang Cahaya

/1/
Cahaya itu, yang sesat
di antara pencakar langit,
sia-sia mencari
bayang-bayangnya.
“Apakah ada cahaya
yang tanpa bayang-bayang?”
pikirnya,
ketika sore begitu cepat tiba
dan matahari sampai serak
memanggilnya.

Malam hari, begitu banyak
bayang-bayang bersijingkat
di sekitar gedung-gedung tinggi ini.
Mereka berjumpa si Sesat itu
dan berkata, hampir serempak,
“Tapi kau bukan sumberku!”

/2/
Pada suatu hari
sebuah cahaya
yang sangat terang
berniat mencari sumbernya.
Setelah menempuh hutan,
menyusur sungai,
mendaki gunung,
dan meluncur di padang salju
sampailah ia
ke sebuah padang pasir.
Suatu bayang-bayang
yang sangat panjang,
dan sangat hitam, menyambutnya,
“Aku sumbermu,” katanya.

Letih dan lelah, tokoh kita
si cahaya terang itu
berhenti dan berkata ya saja,
meskipun ia curiga
bagaimana bisa di padang pasir
yang begitu luas dan rata
dan tak ada sosok apa pun itu
bisa tercipta bayang-bayang.

/3/
Ketika bangun pagi ini,
kudapati cahaya kecil,
sisa semalam,
bersembunyi di sudut kamarku.
Aku hampir tidak mengenalinya
sampai ketika hampir keluar kamar
ia berkata, “Tutup kembali
pintu itu, cepat,
aku tak tahan mendapati
cahaya di luar itu!”
Tentu saja,
sumber mereka berbeda,
pikirku.
“Siapa bilang begitu!”
hardik cahaya di luar
yang menyilaukan itu.





message 41: by gieb (new)

gieb | 743 comments Hawa Dingin

dingin malam memang tak pernah mau
menegurmu, dan membiarkanmu telanjang;
berdiri saja ia di sudut itu
dan membentakku, “Ia hanya bayang-bayang!”

“Bukan, ia tulang rusukku,” sahutku
sambil menyaksikannya mendadak menyebar
ke seluruh kamar — yang tersisa tinggal abu
sesudah kita berdua habis terbakar.



message 42: by gieb (new)

gieb | 743 comments Adam Hawa

biru langit
menjadi sangat dalam
awan menjelma burung
berkas-berkas cahaya
sibuk jalin-menjalin
tanpa pola
angin tersesat
di antara sulur pohonan
di hutan
ketika Adam
tiba-tiba saja
melepaskan diri
dari pelukan perempuan itu
dan susah-payah
berdiri, berkata
“kau ternyata
bukan perawan lagi
lalu Siapa gerangan
yang telah
lebih dahulu
menidurimu?”





message 43: by gieb (new)

gieb | 743 comments Memancing

batu kecil yang tadi iseng kaulemparkan
ke dalam kolam pemancingan itu
mendadak sadar dan membayangkan dirinya ikan
yang menyambar-nyambar mata kailmu

tapi batu kecil memang bukan ikan
dan kailmu tidak dirancang untuk batu itu
tapi kenapa kau suka iseng melempar-lemparkan
sehingga batu itu mendambakan kailmu

batu itu, murung, ada di dasar kolam sekarang
di sekitarnya ikan-ikan tak acuh berseliweran
sementara kailmu terpencil bergoyang-goyang
di tepi kolam kau terkantuk-kantuk sendirian




message 44: by gieb (new)

gieb | 743 comments Ruang Tunggu

ada yang terasa sakit
di pusat perutnya
ia pun pergi ke dokter
belum ada seorang pun di ruang tunggu
beberapa bangku panjang yang kosong
tak juga mengundangnya duduk
ia pun mondar-mandir saja
menunggu dokter memanggilnya
namun mendadak seperti didengarnya
suara yang sangat lirih
dari kamar periksa
ada yang sedang menyanyikan
beberapa ayat kitab suci
yang sudah sangat dikenalnya
tapi ia seperti takut mengikutinya
seperti sudah lupa yang mana
mungkin karena ia masih ingin
sembuh dari sakitnya.



message 45: by gieb (new)

gieb | 743 comments Terbaring

kalau aku terbaring sakit seperti ini
suka kubayangkan ada selembar daun tua
kena angin dan lepas dari tangkainya
melayang ke sana ke mari tanpa tenaga

kalau aku terbaring sakit seperti ini
suka kubayangkan kalian nun di Bukit sana
berebut menangkap daun yang melayang-layang itu
dan penuh rindu menciumnya berulang kali



message 46: by gieb (new)

gieb | 743 comments Tiga Sajak Kecil

/1/
Pada suatu pagi hari
seorang gadis kecil
mengendarai selembar daun
meniti berkas-berkas cahaya.

“Mau ke mana, Wuk?”
“Ke Selatan situ.”
“Mau apa, Wuk?”
“Menangkap kupu-kupu.”

/2/
Pada suatu siang hari
seorang gadis kecil
belajar menggunting kertas,
gorden, dan taplak meja;

“Guntingan-guntingan ini
indah sekali, akan kujahit
jadi perca merah, hijau, dan biru
bahan baju untuk Ibu.”

/3/
Pada suatu malam hari
seorang gadis kecil
menodong ibunya membaca cerita
nina-bobok sebelum tidur;

“Malam ini Puteri Salju,
kemarin Bawang Putih,
besok Sinderela, ya Bu
biar Pangeran datang menjemputku.”








message 47: by gieb (new)

gieb | 743 comments Layang-Layang

Layang-layang barulah layang-layang jika ada angin
memainkannya. Sementara terikat pada benang panjang,
ia tak boleh diam — menggeleng ke kiri ke kanan,
menukik,
menyambar, atau menghindar dari layang-layang lain.

Sejak membuatnya dari kertas tipis dan potongan
bambu, anak-anak itu telah menjanjikan pertemuannya dengan
angin.
“Kita akan panggil angin Barat, bukan badai atau petir.
Kita akan minta kambing mengembik, kuda meringkik,

dan sapi melenguh agar angin meniupkan gerak-gerikmu,
mengatur tegang-kendurnya benang itu.” Sejak itu
ia tak habis-habisnya mengagumi angin, terutama ketika
siang
melandai dan aroma sore tercium di atas kota kecil itu.

Dari angkasa disaksikannya kelak-kelok anak sungai,
pohon-pohon jambu, asam jawa, bunga sepatu, lamtara,
gang-gang kecil, orang-orang menimba di sumur tua,
dan satu-dua sepeda melintas di jalan raya.

Ia suka gemas pada angin. Ia telah menghayati sentuhan,
terpaan, dan bantingannya; mungkin itu tanda
bahwa ia telah mencintainya. Ia barulah layang-layang
jika
melayang, meski tak berhak membayangkan wajah angin.




message 48: by gieb (new)

gieb | 743 comments Rumah Oom Yos
Untuk Mas Gondo

di lereng bukit, rumah itu indah sekali
pekarangannya beberapa ribu meter persegi

dari serambi depan dapat disaksikan
matahari menggiring kabut ke perbukitan

dari serambi belakang: butir-butir embun
jalanan menanjak jalanan menurun

ruang dan kamarnya minta ampun besarnya
penuh barang antik: cermin-cermin tua

keramik, perabotan, sekat-sekat ruangan
lampu gantung entah dari zaman kapan

kepala harimau dan kijang di dinding-dindingnya
jam-burung dan patung-patung Eropa

di luar membentang hamparan rumput
awas, jalan setapak itu agak berlumut

sebelah sana kebun bunga aneka rupa
ada mawar, tentu saja, dan anggrek langka

dekat jalan berliku-liku di sebelah sana
ditanam ubi jalar, ditanam jagung pula

kadang kami suka mendapat rejeki
dikirimi jagung manis dan ubi

kalau si empunya kebetulan mampir
ke rumahnya sendiri, istilahnya: parkir

ya, ia memang jarang pulang ke mari
dalam setahun hanya beberapa hari

soalnya ia punya apartemen di Singapura
di LA dan entah di mana di Eropa

tapi konon ia lebih sering di Hong Kong
jalan-jalan atau sekedar nongkrong

anak-cucunya pun tak punya waktu lagi
mengurus rumah yang astagfirulah ini

sebab sangat amat sibuk sekali
dengan bisnis mereka sendiri-sendiri

di rumah ini sepanjang tahun
ada belasan pembantu dan tukang kebun

yang sudah menyatu dengan aneka unggas
di dalam sangkar, menatap ke alam bebas





message 49: by gieb (new)

gieb | 743 comments Ayat-Ayat Tokyo

/1/
angin memahatkan tiga patah kata
di kelopak sakura —
ada yang diam-diam membacanya

/2/
ada kuntum melayang jatuh
air tergelincir dari payung itu;
“kita bergegas,” katanya

/3/
kita pandang daun bermunculan
kita pandang bunga berguguran
kita diam: berpandangan

/4/
kemarin tak berpangkal, besok tak berujung —
tak tahu mesti ke mana
angin menyambar bunga gugur itu

/5/
lengking sakura —
tapi angin tuli
dan langit buta

/6/
menjelma burung gereja
menghirup langit dalam-dalam —
angin musim semi



message 50: by gieb (new)

gieb | 743 comments Ayat-Ayat Kyoto

/1/
segala yang mendidih dalam kepala
tidak nyata, kecuali sakura
dan kau — tentu saja

/2/
gerimis musim semi —
tengkorakku retak;
kau pun menetes-netes ke otak

/3/
kita sakura —
gugur sebelum musim semi
tak terlacak pula




« previous 1
back to top
This topic has been frozen by the moderator. No new comments can be posted.