Goodreads Indonesia discussion
note: This topic has been closed to new comments.
Klub Buku GRI
>
Baca Bareng Buku Puisi Bulan Juli---"Ayat-Ayat Api" by SDD
date
newest »


Susah benar menyeberang jalan di Jakarta ini;
hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib.
Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,
astagfirulah! rasanya di mana-mana ajal mengintip

Katamu kemarin telah terjadi
ribut-ribut di sini.
Sisa-sisa pidato, yel, teriakan,
umpatan, rintihan, derum truk,
semprotan air, dan tembakan
masih terekam lirih sekali di got
dan selokan yang mampet.
Aku seperti mengenali suaramu
di sela-ela ribut-ribut yang lirih itu,
tapi sungguh mati aku tak tahu
kau ini sebenarnya sang pemburu
atau hewan yang luka itu

“Biar kunyalakan lampu, agar tampak jelas
di mana pintu, tempat aku bebas keluar masuk.
Aku laki-laki, kau tahu, tak tentram dalam gelap.”
Perempuan itu diam; mungkin ia lebih suka
menebak-nebak saja apakah yang nafasnya sengit
dan keringatnya anyir itu Arjuna atau Rahwana.

“Kenapa aku berada di sini?”
tanya kerikil yang goblok itu. Ia baru saja
dilontarkan dari ketapel seorang anak lelaki,
merontokkan beberapa lembar daun mangga,
menyerempet ujung ekor balam yang terperanjat,
dan sejenak membuat lengkungan yang indah
di udara, lalu jatuh di jalan raya
tepat ketika ada truk lewat di sana.
Kini ia terjepit di sela-sela kembang ban
dan malah bertanya kenapa;
ada saatnya nanti, entah kapan dan di mana,
ia dicungkil oleh si kenek sambil berkata,
“Mengganggu saja!”

Lengking klakson dan rem mobil itu
meninggalkan jejak asap knalpot, debu,
dan seekor kucing yang sekarat.
Di dalam rumah: tangis seorang gadis kecil,
lalu suara menghibur seorang ibu
menyelundupkan ajal ke negeri dongeng.
Jalan memang dibangun untuk mobil,
manusia, dan juga — tentu saja — kucing;
tak boleh kita mencurigai campur-tangan-Mu, bukan?

Dalam setiap diri kita, berjaga-jaga
segerombolan serigala.
Di ujung kampung, lewat pengeras suara,
para kyai menanyai setiap selokan,
setiap lubang di tengah jalan,
dan setiap tikungan;
para pendeta menghardik setiap pagar,
setiap pintu yang terbuka,
dan setiap pekarangan.
Gamelan jadi langka. Di keramaian kota
kita mencari burung-burung
yang diusir dari perbukitan
dan suka bertengger sepanjang kabel listrik,
yang mendadak lenyap begitu saja
sejak sering terdengar
suara senapan angin orang-orang berseragam itu.
Entah kena sawan apa, rombongan sulap itu
membakar kota sebagai permainannya.

Beberapa saat sebelum fajar,
sambil buru-buru menyalakan api,
kita suka membayangkan hari ini
dengan dua atau tiga patah kata
yang tak pernah terucapkan.
Sementara anak-anak masih lelap tidur —
di mata mereka yang tertutup
dua atau tiga patah kata itu
bersitahan sabar
menunggu matahari, bukan api.

Untuk Riris
ketika kami sibuk memperkosa perempuan-perempuan itu
dalam buku cerita para kurcaci sedang berdebar
menyaksikan
Sang Pangeran mencium kening Putri Tidur —
kobaran api itu melepaskan isyarat yang tak ada lagi
kuncinya

Entah sejak kapan kita suka gugup
di antara frasa-frasa pongah
di kain rentang yang berlubang-lubang
sepanjang jalan raya itu; kita berhimpitan
di antara kata-kata kasar yang desak-mendesak
di kain rentang yang ditiup angin,
yang diikat di antara batang pohon
dan tiang listrik itu; kita tergencet di sela-sela
huruf-huruf kaku yang tindih-menindih
di kain rentang yang berjuntai di perempatan jalan
yang tanpa lampu lalu-lintas itu. Telah sejak lama
rupanya kita suka membayangkan diri kita
menjelma kain rentang koyak-morak itu, sebisanya
bertahan terhadap hujan, angin, panas, dan dingin.

/1/
mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat
/2/
mencintai cakrawala
harus menebas jarak
/3/
mencintai-Mu
harus menjelma aku

ia tak pernah berjanji kepada pohon
untuk menerjemahkan burung
menjadi api
ia tak pernah berjanji kepada burung
untuk menyihir api
menjadi pohon
ia tidak pernah berjanji kepada api
untuk mengembalikan pohon
kepada burung

Tentu. Kau boleh saja masuk,
masih ada ruang
di sela-sela butir-butir darahku.
Tak hanya ketika rumahku sepi,
angin hanya menyentuh gorden,
laba-laba menganyam jaring,
terdengar tetes air keran
yang tak ditutup rapat;
dan di jalan
sama sekali tak ada orang
atau kendaraan lewat.
Tapi juga ketika turun hujan,
air tempias lewat lubang angin,
selokan ribut dan meluap ke pekarangan,
genting bocor dan aku capek
menggulung kasur dan mengepel lantai.
Tentu. Kau boleh mengalir
di sela-sela butir darahku,
keluar masuk dinding-dinding jantungku,
menyapa setiap sel tubuhku.
Tetapi jangan sekali-kali
pura-pura bertanya kapan boleh pergi
atau seenaknya melupakan
percintaan ini.
Sampai huruf terakhir
sajak ini, Kau-lah yang harus
bertanggung jawab
atas air mataku.

pohon, yang biasa disiram dua kali sehari
yang berdiri sejajar tiang listrik di tepi jalan itu,
tak bosan-bosannya menggoda mobil tua
yang merayap di aspal yang suka meleleh
di bawah matahari; pohon, yang sudah lupa
asal-usulnya, suka menghirup asap knalpot
dan menyebutnya kekasih, sumber kehidupan kota;
kita tak pernah sempat memahami kelakar mereka

untuk Wing Kardjo
Kau bertanya apa masih ada harapan. Mungkin masih,
di luar kata. Di dalam kata terdengar tak putus-putusnya
suara orang berkotbah, berceramah, dan berselisih.
Sementara kita mengemis, mencuri, berebut jatah,
menjarah, atau menjadi gila; sementara kita menyaksikan
rumah-rumah terbakar, jaringan telepon putus,
pohon-pohon tumbang — di dalam kata masih saja
setiap aksara dipertanyakan asal-usulnya, setiap desis
diusut keterlibatan maknanya. konon, dulu,
di dalam kata pernah terdengar desau gerimis kecil,
cericit anak-anak burung, siut daun jatuh,
dan langkah kabut pagi. Konon, dulu, pernah terdengar kita
saling berbisik. Kau bertanya apa masih ada harapan.
Ada yang menunggu kita di luar kata, mudah-mudahan.

Kata, 1
Matahari, yang akhir-akhir ini jarang sekali kauperhatikan, pagi
ini menerobos celah-celah jendela kamar sampai
ke wajahmu.
“Jam berapa ini?” Sudah pagi. Masih juga belum kautemukan
kata sambung itu. Kau kenal betul setiap kata yang ada
dalam kamus itu, karena ikut menyusunnya dulu: yang,
karena, dari, atas, terhadap — tetapi bukan semua tu.
Akhirnya kauperhatikan juga matahari itu, dan kau seperti
bertanya sejak kapan ia berada di sana, sejak kapan ia
seperti suka menyalah-nyalahkan kita, sejak kapan ia
menyebabkan kau bertanya, “Jam berapa ini?”
Masalahnya, belum juga kautemukan kata sambung itu. Apakah
kami berhak mengatakan padamu, “Sudahlah!”?

“Ada sepatah kata bergerak ke sana ke mari jauh dalam dirimu;
biarkan saja, ia tak punya bahasa.”
Tapi ia suka membangunkanku.
“Biarkan saja. Ia toh akhirnya akan menyadari bahwa bukan
yang kaucari, dan akan mengembara lagi jauh dalam
dirimu jika kau terjaga dan tenang kembali.”
Tapi aku tak bisa lagi terjaga.

“suara angin di rumpun bambu
dan suara kapak di pokok kayu,
adakah bedanya, Saudaraku?”
“jangan mengganggu,” hardik seekor tempua
yang sedang mengerami telur-telurnya
di kusut rambut Nuh yang sangat purba

ada pohon bernapas jauh dalam diri kita
di setiap helaannya seratus burung pulang
mendengar cericit anak-anaknya
ada pohon bernapas jauh dalam diri kita
di setiap hembusannya seratus warna bunga
berhamburan menyambut godaan cahaya

ada sebutir batu akik diletakkan
pelahan-lahan, sangat hati-hati, di hatimu
ia sangat tua dan berbintik-bintik hitam
mengkilap setelah puluhan tahun diupam
ia ingin seperti layang-layang, tinggi-tinggi
lalu putus dan diperebutkan anak-anak itu
ia ingin menjadi surat yang dikirim
ke sebuah rumah yang tak begitu jelas alamatnya
tapi ia sebutir batu akik yang diletakkan
pelahan-lahan, sangat hati-hati, di hatimu

/1/
mei, bulan kita itu, belum ditinggalkan penghujan
di mana gerangan kemarau, yang malamnya dingin
yang langitnya bersih; yang siangnya menawarkan
bunga randu alas dan kembang celung, yang dijemput angin
di bukit-bukit, yang tidak mudah tersinggung
yang lebih suka menunggu sampai penghujan
dengan ikhlas meninggalkan kampung-kampung
(diusir kerumunan bunga dan kawanan burung)
di mana gerangan kemarau, yang senantiasa dahaga
yang suka menggemaskan, yang dirindukan penghujan

(kepada Wislawa Szymborska)
seorang anak laki-laki
menoleh ke kiri ke kanan
lalu cepat-cepat menyelinap
dalam kerumunan itu
dan tidak kembali
tiga orang lelaki separo baya
bergegas menyusulnya
dan tidak kembali
lima enam tujuh orang perempuan
meledak bersama dalam api
dan, tentu saja,
tidak kembali
agak ke sebelah sana
di seberang jalan
seorang penjual rokok
membayangkan dirinya duduk
di depan pesawat televisi
takjub menyaksikan
sulapan itu

ada seorang perempuan
diam saja berdiri
di dekat tukang rokok
di seberang jalan raya itu
ada satpam memperhatikannya
dari ujung gang itu
ada polisi sekilas melihatnya
dari dekat gardu telepon itu
ada anak tetangga sebelah
menyapanya
ada guru sd
yang masih mengenalnya
menepuk bahunya
ada neneknya di rumah
yang sudah suka lupa —
ada suaminya ada anak-anaknya
(yang
mungkin
saja
sedang
memikirkannya
juga)
yang kini
(tentunya
mungkin
moga-moga
saja
tidak!)
berada dalam sebuah toko besar
(atau
tidak
lagi
bisa)
yang sedang terbakar

“Entah kenapa, pagi ini,
seluruh tubuhku terasa gemetar,
tidak seperti biasanya. Dulu
kau pernah berkata,
kita ini bagai daun tua
gemetar sebelum disapu angin
gemetar karena menguji diri sendiri
apakah kita masih kuat bertahan
di dahan
sebelum angin terakhir
sebelum siang terakhir
sebelum tik-tok terakhir —
tapi sudahlah,
aku toh harus juga ke kantor
sehabis tetek-bengek pagi: segelas kopi,
setangkep roti.
Hari ini akan mendung tanpa hujan,
kata ramalan cuaca.
Aku akan pulang cepat nanti
sebelum makan malam.”
Tapi tukang sulap, entah kenapa,
ternyata punya kehendak lain.

di antara yang meretas dalam kepala kita
dan api yang berkobar di seberang sana
melandai beberapa patah sabda
di antara yang di kepala, yang berkobar, dan sabda
bergetar ayat-ayat yang kita hapal lafaznya
yang hanya bisa kita tafsir-tafsirkan maknanya

ada yang menghitung waktu api
dengan bunyi-bunyi aneh
seperti yang pernah kita dengar
ketika masih dalam rahim ibu
ada yang menghitung jam api
dengan isyarat-isyarat ganjil
seperti yang pernah kita kenal
ketika masih dalam kobaran itu
ada yang menghitung detik api
dengan kedap-kedip pelik
seperti yang pernah mereka lihat
ketika orang-orang memakamkan kita
hmmmm gini nih kalo orang awam baca puisi, cuma bisa ngerti sebagian puisinya hahahaha
lanjut gieb, aku belikan bir atas jerih payahmu ngetikin puisi2 ini :D
lanjut gieb, aku belikan bir atas jerih payahmu ngetikin puisi2 ini :D

di atap rumah seberang jalan
seekor burung gereja mengibas-ngibaskan
sayapnya sehabis gerimis
di pagi (yang bagai mata kena jeruk) itu
kelopak air berguguran ke sana ke mari
sementara di sudut atas gedung itu
di seberang sana, di bekas sarangnya
asap sisa api kemarin masih juga

api adalah lambang kehidupan
itu sebabnya ia tidak bisa
menjadi fosil
api adalah lambang kehidupan
itu sebabnya kita luluh-lantak
dalam kobarannya

sore itu akhirnya ia berubah juga
menjadi abu sepenuhnya
sebelum sempat menyadari
bahwa ternyata ada saat untuk istirahat
di antara gundukan-gundukan
yang sulit dipilah-pilahkan
— ah, untuk apa pula
toh segera diterbangkan angin selagi hangat

di akhir isian panjang itu
tertera pertanyaan
“apa yang masih terisa dari tubuhmu”
isi saja “tak ada”
tapi, o ya, mungkin kenangan
yang tentunya juga sia-sia bertahan

ia akhirnya menerima perannya
sebagai tokoh khayali; digeser ke sana
ke mari: di halaman koran, di layar televisi,
dan sulapan bunyi-bunyian di radio;
ia pun harus pandai-pandai
menempatkan dirinya dalam deretan
gagasan, peristiwa, dan benda
yang harus segera kita lupakan

kau tak berhak mengingat apa-apa lagi
dekat perbatasan kaurogoh ktp-mu — tapi untuk apa pula
kau akan menyeberangi kenyataan terakhir
sesudah bentukmu diubah sama sekali
kau tak lagi memerlukan apa pun: sisir, sepatu,
pakaian seragam, bahkan ingatan akan penyeberangan ini
duduklah baik-baik, kau tak berhak mondar-madir lagi
tak berhak punya maksud apa pun: ini bukan lakon Anoman
Obong

kami memang sangat banyak
astagfirulah
menumpuk di dekat sampah
tak sempat diangkut
tergoda minyak.
habis terbakar
kami memang sangat banyak
astagfirulah

waktu upacara hampir usai kau tak ingat
bahwa kuburan di kampung sudah penuh
mungkin satu-satunya basa-basi yang tersisa
adalah menguburmu sementara dalam ingatan kami
(1998-1999)

Oke, buat teman-teman yang lain silakan direview yah.
Terima kasih atas partisipasinya dalam baca bareng buku puisi ini.
Cheers,
Roos
This topic has been frozen by the moderator. No new comments can be posted.
Setelah beberapa kali ketukan,
pintu kubuka; rupanya ada tamu
yang, katanya, menjemputku sore hari ini.
Apakah aku sudah pernah mengenalnya?
Waktu kutanyakan pergi ke mana,
jawabnya ringkas, “Ke sana, ke samudra raya!”
Ditunjukkannya pula rajah di lengannya:
gambar jangkar, tengkorak, dan kata tak terbaca.
Aku ini tukang kebun tua yang lahir dan dibesarkan
di pedalaman, sepanjang hidup hanya belajar
menghayati rumput, pohon, dan tanah basah,
mengurus pagar dan membersihkan rumah.
Aku tak mampu apa dan bagaimana lagi.
Pandanganku tinggal sejengkal,
dan telingaku? Suaraku sendiri pun tak dikenal.
Tamu itu membelalak ketika kupersilahkan duduk.
Tuhan, aku takut. Tolong tanyakan padanya
siapa gerangan yang telah mengutusnya.