Frankenstein in Classics Without All the Class

Jan 03, 2013 Michelle rated it really liked it · review of another edition

Frankenstein was a sad, tragic tale of horror and revenge; it was quite depressing to read to be honest. Tragic as it was, the tale was beautifully written and the prose flowed smoothly. I could not put it down. Mary Shelley was indeed a talented nineteen years old.

We were first introduced to Captain Walton, an English explorer in the Artic and his sister, Mrs. Saville, whom he constantly wrote to. His was the introductory frame narrative in epistolary style where we subsequently met Victor Fra Frankenstein was a sad, tragic tale of horror and revenge; it was quite depressing to read to be honest. Tragic as it was, the tale was beautifully written and the prose flowed smoothly. I could not put it down. Mary Shelley was indeed a talented nineteen years old.

We were first introduced to Captain Walton, an English explorer in the Artic and his sister, Mrs. Saville, whom he constantly wrote to. His was the introductory frame narrative in epistolary style where we subsequently met Victor Frankenstein, our protagonist. From then on, the story was told through Frankenstein’s point of view.

At first, Frankenstein was a happy, ambitious young man. Everything went well for him; he was esteemed in his field of study and became excellent in anything he ventured on. It was easy to like as well as admire him as a character. I thoroughly enjoyed his narration. As the plot progressed, Frankenstein’s life gradually changed for the worst. One by one, the people he cared for the most was snatched away from him by death through the machination of the monster he had created.

The saddest moment for me was the death of Clerval whose only fault was perhaps being a caring and loving friend for Frankenstein. While the death of Frankenstein's little brother and Justine Mary were both cruel in their own ways, Clerval's death brought more impact to me since I had come to know and care for his character. However, I was glad that Frankenstein’s brother was spared the death and that he should live the life he wanted. He might not be happy and the ruin of his family would shadow him for his whole life, but I have hope that he would meet his happiness in one way or another.

What pity I had for the monster, I admit gone to wind when he confessed to all those horrible acts. It was well of Frankenstein to destroy the female counterpart of the monster before it came to life. I think that was my favorite moment in the story. I cheered so much when Frankenstein contemplated on the consequences of him creating another of the monster.

The ending was a bit ambiguous. Although it was probably the fitting ending for such a depressing gruesome tale, I pitied Captain Walton who had only just found the friend he had always longed for. Furthermore, I was intrigued by the final fate of Frankenstein, whether or not he carried on with his plan to destroy himself or if he opted for another option. We may not know. But I guess the ending was set in stone if we took the words of the monster for what it was.

All in all, this was a powerful cautionary tale of actions & consequences for men should they tried to meddle with nature and act God-like. Furthermore, I also believe Mary Shelley wanted to tell us that monster is not born monster.
...more

3 likes · Like · see review

Jan 03, 2013 Anindyta rated it it was amazing

“When I looked around, I saw and heard of none like me. Was I then a monster, a blot upon the earth, from which all men fled, and whom all men disowned ?”

Angkat tangan buat yang kenal nama Frankenstein ? Saya yakin, banyak banget yang tahu dengan nama Frankenstein karena buku ini memang salah satu buku klasik terkenal. Anehnya, walaupun buku ini terkenal, masih saja banyak salah kaprah yang menganggap kalau Frankenstein itu adalah nama makhluk horor yang diceritakan di dalam buku ini. Sebelum sa “When I looked around, I saw and heard of none like me. Was I then a monster, a blot upon the earth, from which all men fled, and whom all men disowned ?”

Angkat tangan buat yang kenal nama Frankenstein ? Saya yakin, banyak banget yang tahu dengan nama Frankenstein karena buku ini memang salah satu buku klasik terkenal. Anehnya, walaupun buku ini terkenal, masih saja banyak salah kaprah yang menganggap kalau Frankenstein itu adalah nama makhluk horor yang diceritakan di dalam buku ini. Sebelum saya baca buku ini, saya sendiri adalah salah satu anggota dari kelompok yang beranggapan salah tersebut. Untungnya saya akhirnya baca buku ini dan menemukan bahwa ternyata saya salah besar pemirsah! Frankenstein bukan nama monster, Frankenstein adalah nama orang yang menciptakan monster ini. Nah, jadi buat yang suka ngolokin temennya Frankenstein karena dia berbadan besar… not just a rude act, but that’s an epic mistake. Huahaha.

Mary Shelley mengangkat cerita tentang seorang ilmuwan bernama Victor Frankenstein yang mempunyai rasa ingin tahu tinggi. Victor menaruh perhatian yang lebih kepada ilmu supernatural dan sains. Pada suatu hari, Victor menemukan cara untuk menghidupkan manusia dan kemudian menciptakan makhluk yang bertubuh raksasa dan berwajah buruk rupa. Melihat bentuk dari makhluk ciptaannya ini, obsesi dan antusiasme yang dia rasakan ketika mengerjakan ciptaannya jadi hilang, malah digantikan oleh rasa jijik dan benci. Akibatnya, Victor pun pergi meninggalkan makhluk ciptaannya dan berdoa supaya tidak bertemu dengan makhluk jelek itu lagi.

Sementara Victor menghabiskan hidupnya dengan teman-teman dan keluarganya yang tercinta, makhluk ciptaan Victor menerima berbagai perlakuan buruk yang mengenaskan dari warga sekitar. Makhluk ini kemudian mencoba mencari perlindungan dan kasih sayang dari ciptaannya. Namun tidak ada yang bisa membuat Victor menyayangi ataupun –paling tidak- mengasihani makhluknya, Victor menolak permohonan monster tersebut dan membuat monster itu murka. Poor Victor, dia tidak tahu bahwa tindakannya ini mengubah makhluk ciptaannya menjadi sebuah malapetaka bagi hidupnya dan juga orang-orang terdekatnya.

Berada di jejeran buku horor atau gothic klasik, Frankenstein merupakan salah satu buku di tahun 1800an ditulis oleh Mary Shelley yang berani mengangkat tema supernatural dengan menggabungkannya dengan sedikit imajinasi science fiction. Buku mengenai eksperimen gila dan berlagak menjadi Tuhan seperti ini, sudah beberapa kali saya temui di dalam buku yang saya baca, sebut saja The Invisible Man, The Giver, Jurrasic Park, dan masih banyak yang lain. Namun saya rasa buku Frankenstein ini adalah salah satu buku ter”suhu” yang menjadi pelopor tentang buku beraliran sama. Saya termasuk salah satu orang yang takjub dengan ide Shelley tentang menghidupkan seseorang pada tahun 1800an. Ide yang sangat maju seperti itu sangat menakjubkan pada tahun 1800an, apalagi ditulis oleh seorang perempuan.

Cerita di dalam buku ini disampaikan dalam bentuk surat. Saya akui, membaca buku ini butuh adaptasi beberapa waktu bagi saya. Berhubung buku ini ditulis oleh seorang pengarang British pada zaman 1800an, jadi jangan kaget untuk membaca kata Thee, Thou, Thus, Thine, dan tetek bengek yang lain. Walaupun begitu, setelah beberapa lama, saya akhirnya terbiasa juga dengan bahasa Shelley yang puitis. Malahan saya jadi bisa mengapresiasi keindahan dari berbagai kata yang diungkapkan di dalam buku ini. Entah karena saking indahnya atau memang karena beberapa tragedi di buku ini memang dialami oleh Shelley –yang kehidupannya ternyata tragis dan dikelilingi oleh kematian-, kata-kata Shelley sangat terkesan mellow dan bernada sangat menyedihkan dibandingkan buku horor yang biasanya terkesan menyeramkan dan sadis. Saya rasa, hal ini perlu digaris bawahi apabila berharap buku ini menyeramkan dan membuat kita terkencing-kencing di malam hari. Di dalam buku ini, deskripsi mengerikan tentang monster yang berjanggut, kulitnya berkerut, giginya geraham semua, matanya merah, bertanduk, berdarah-darah tidak bisa kamu temukan. Bahkan saya sempat dibawa jalan-jalan oleh deskripsi indah Shelley mengenai setting yang berpindah-pindah di Inggris, Swiss, dan Scotlandia. Menurut saya, buku ini lebih menekankan kepada sisi dramatisnya di samping atmosfer horor yang sepertinya menjadi pemanis di dalam buku ini serta sentuhan science fiction yang tidak terlalu mendalam. Mungkin saya bisa menyebut buku ini sebagai buku bergenre melodramatic horror.

Frankenstein memang menceritakan tentang peristiwa horor dan tragedi yang berawal dari obsesi seseorang. Dari kisah ini, saya merasa Shelley memperingatkan kita mengenai bahaya dari sebuah pengetahuan dan kekuasaan. Sedikit pengetahuan dan kekuasaan yang kita punya apakah bisa membuat kita menjadi Tuhan ? Bahkan saya merasakan buku ini “mungkin” bisa jadi salah satu faktor penyebab dibentuknya etika dalam penelitian. Selain itu, buku yang ditulis tahun 1800an ini juga membuat saya jadi ingat tentang berbagai isu kemanusiaan yang sampai sekarang masih ada dan sepertinya tidak akan pernah hilang. Masalah perlakuan yang dilakukan masyarakat kepada makhluk di buku ini hanya karena wajah dan bentuknya yang buruk rupa, mengingatkan saya dengan hobi terpendam orang-orang yaitu “bullying” kepada seseorang yang terlihat beda dari mayoritas. Ada lagi, ketika makhluk ini mencari kasih sayang, dia malah ditendang kesana kemari dan akhirnya hal ini membuatnya menjadi monster yang sebenarnya. Halo ? Menyalahkan seseorang atas kesalahan yang merupakan kesalahan kita sendiri, familiar ? Isu tentang kebencian, sifat egois, lari dari tanggung jawab… well, saya rasa inilah yang menyebabkan buku ini tidak hilang dimakan waktu. Kita, manusia yang hidup di tahun 2013 ini, ternyata tidak jauh beda dengan manusia yang hidup di tahun 1800an. I guess this is the real horror in this book! Hati-hati, kita mungkin sudah menciptakan monster seperti yang dilakukan Frankenstein tanpa kita sadari.

Jadi, secara tidak diduga, buku ini dalam. Lebih dalam dari yang saya duga, lebih dalam daripada sekedar menceritakan tentang eksperimen yang berujung malapetaka. Apalagi kalau membaca ini ketika mood sedanf sensitif atau kerasukan arwah filsuf yang pemikir…siap-siap jatuh ke dalam jurang mellow yang dibentuk oleh Shelley. Kalau mau baca cerita horor dengan buanyaak sentuhan dramatis seorang perempuan, coba deh baca Frankenstein.

“Listen to me, Frankenstein. You accuse me of murder; and yet you would, with a satisfied conscience, destroy your own creature. Oh, praise the eternal justice of man!” ...more

Like · see review

Aug 23, 2011 Deb Baker rated it it was amazing · review of another edition

This is one of my favorite books of all time. I love the story behind the writing of Frankenstein as well as the actual story.

Mary Shelley creates the classic horror tale. A story of love and creation and the Victorian themes of the destruction of humanity outside the domestic circle. There is no replacement for this original tale of Frankenstein. The language is beautiful, the characters are interesting, the monster draws both sympathy and fear.

Like · see review