Jatuh Bangun Cinta Yumisa (Based On True Story) 8

Setelah ujian akhir semester, aku disibukkan dengan penulisan tugas besarku. Aku pun jarang berkumpul dengan teman-teman karena harus mengejar deadline, sementara itu tugas besar ini memang dikerjakan perorangan.Malam itu kamu kembali mengirimkan SMS padaku. Namun entah mengapa aku tidak bersemangat mendapatkannya. Akhir-akhir ini kamu memang sering mengirimkan pesan padaku meski tidak setiap hari. Setelah hubunganku cukup dekat denganmu aku merasa ada yang salah. Aku mulai berpikir bahwa ada maksud lain darimu yang patah hati sehabis diputuskan oleh Salma, aku merasa menjadi pelarianmu….Message from Atmajaya:Assalammu’alaikum, Yumi-chan. Lagi ngapain nih? Btw tugas besar udah kelar?.Wa’alaikumsalam, Jay-kunIni aku lagi ngerjain K. Tinggal bab 5 hehe. Kamu gimana, Jay-kun?.Message from Atmajaya:Rajinnyaaa. Aku masih di bab 2 L.Aku mendesah sejenak, ternyata kamu memang pemalas. Aku harap dengan hampir selesainya tugas besarku, hal itu dapat menjadi pecutan bagimu untuk mengejar deadline.Aku pun membalas lagi pesanmu.Waduh :’D, deadline dua minggu lagi lho. .Message from Atmajaya:Iya, seminggu ini aku bakal begadang kayaknya hehe. Oh ya, Mi-chan, kamu habis lulus lanjut kuliah di mana? Ikut SNMPTN nggak?.Aku mau lanjut ke Institut Manajemen Telkom, Jay-kun. SNMPTN kayaknya nggak ada harapan deh, gara-gara tugas besar aku nggak sempat belajar lagi. Kalau kamu mau lanjut ke mana?.Message from Atmajaya:Aku lagi ikutan ujian saringan masuk ke IPDN. Mohon doanya ya, Mi-chan. Tahun kemarin gagal soalnya.Jadi, setelah ini sepertinya kita akan berpisah ya? Aku memang tidak mengharapkan lebih. Setidaknya mengenalmu dan jatuh cinta padamu, itu sudah lebih dari cukup. ..Malam itu untuk merayakan keberhasilanku menyelesaikan tugas besar, aku berniat online sepuasnya di warnet dekat kosanku. Setelah solat Isya, aku langsung ngibrit ke sana dan langsung membaca komik Naruto yang babnya banyak kutinggalkan karena kesibukanku.Namun, saat aku sedang fokus menghayati cerita Naruto yang sedang genting itu, ponselku bordering, ada panggilan masuk dari Caca. Meski aku malas meladeninya, namun aku tahu jika ia menelepon berarti ia sedang membutuhkan bantuanku. Tentu sebagai sahabat, aku tidak sampai tega menolak panggilan itu. “Assalammu’alaikum,” ujarku dengan mata yang masih tertuju ke layar komputer.“Wa’alaikumsalam, Mi. Kamu ada di kosan? Aku mau ke sana sekarang. Boleh nginap di kosanmu nggak?”Bagaimana aku bisa menolak permintaan Caca? Meski sebenarnya aku sedang ingin sendirian. “Boleh dong. Aku lagi di warnet sebelah SPBU, yang ada di lantai dua ruko. Kalau mau ke sini aja. Aku di box nomor dua.”Caca pun memutuskan panggilan. Jarak kosannya dengaku memang cukup dekat, bisa dicapai dengan berjalan kaki. Mungkin sepuluh menit nanti dia sudah sampai di sini.Beberapa menit kemudian, Caca menghampiriku. “Mi, lagi ngapain?” tanyanya sembari menengok ke layar komputer.“Biasa,” ujarku seraya nyengir.“Ckckck, kamu memang penggemar Naruto sejati.”Aku cengengesan. “Duduk atuh. Bentar ya, Ca, lima halaman lagi nih. Baru kita ke kosanku.”“Maaf, Mi, negerepotin. Aku lagi berantem sama Adim. Lagi males ketemu sama dia.”“Kamu jadi sering bertengkar ya sama dia,” tukasku.Hm, kalau ada masalah aja sama, Adim, sahabatnya baru dihampiri. Kalau lagi akur, udah kayak nggak punya sahabat aja dia. Aku tidak seharusnya berpikir demikian, namun apa boleh buat, aku sudah makan hati dengan Caca, akhir-akhir ini ada saja masalah yang dibuatnya.Aku pun kembali fokus dengan layar PC di depanku.Sementara Caca kemudian sibuk dengan ponselnya, baru saja sepuluh menit ia duduk, ia malah berujar padaku, “Mi, aku nggak jadi nginap ya. Si Adim minta aku ke kosannya sekarang buat nyelesein masalah.”“Iya,” ujarku tersenyum selebar mungkin. Aku menarik napas panjang. Sabar … sabar! Kutelan geramku dalam-dalam. Caca kemudian keluar dari warnet ini.Semoga saja mereka cepat baikan dan aku tidak dilibatkan dalam urusan mereka lagi. Tapi tunggu—untuk apa aku kesal? Aku harusnya bersyukur karena hari ini aku memang ingin sedang sendirian. Aku pun melanjutkan kegiatan surfing-ku; mencari beberapa data untuk sidang tugas besarku nanti.Selama beberapa menit aku bisa tenang dan kembali asyik di duniaku sendiri.Beberapa menit kemudian mulutku berdecak kesal saat mendengar ponselku berbunyi. Baru saja aku mendapatkan ketenangan, lagi-lagi ada yang menggangguku. Rupanya ada sms yang masuk, dari Caca rupanya.Message from Caca:Mi! Maafiin aku kalau selama ini aku banyak salah ke kamu! Aku mau pergi aja dari dunia ini! Aku punya utang 50.000 kan ke kamu? Kamu minta aja ya uangnya ke ibuku!Mulutku membuka setelah membacanya. “Kenapa lagi sih dia?!” Caca mau bunuh diri? Aku tertawa sinis, palingan ia hanya marah sesaat. Pasti ia sedang bertengkar dengan Adim. Ada-ada saja! Aku pun tidak peduli dan melanjutkan kegiatanku.Saat itu ponselku kembali berdering dengan tone yang berbeda. Ada panggilan masuk dan itu dari Caca. Kakiku menghentak kesal, bisa kutebak Caca jadi nginap di kosanku. Aku menerima panggilannya.“Assalammu’alaikum, Ca.”“Mi!”Tubuhku langsung menegak. Adim! “Ada apa, Dim?”“Lo ke kosan gue dong! Please! Caca mau bunuh diri ini! Bantuin gue!”Aku mencerna kata-katanya dalam beberapa detik. Kudengar suara Adim yang memang nyaring bercampur panik. “Iya, gue ke sana sekarang!” panggilan itu pun kumatikan. Aku bergegas ke kasir; membayar tarif dan buru-buru keluar dari warnet.Aku berjalan kaki menuju kosan Adim di belakang Monumen Perjuangan. Dalam perjalanan aku menelepon Noelan agar ke kosan Adim sekarang. Memang dulu aku dan Noelan pernah menemani Caca berkunjung ke kosan Adim untuk menjenguknya yang sedang sakit.Aku meminta perlindungan Allah. Malam itu sudah pukul 9.00, aku harap gang di mana kosan Adim berada sedikit ramai. Sayangnya di gang tersebut sangat sepi dengan minim penerangan. Mulutku terus-menerus mengucapkan doa untuk meminta perlindungan Allah. Aku sudah dua kali mondar-mandir di salah satu sudut gang karena nyasar, namun akhirnya aku menemukan kosan Adim.Pagarnya digembok dari dalam. Aku pun menelepon Caca, tapi yang menerima masih Adim. “Pagar kosan lo dikunci nih.”“Lo masuk aja ke kosan sebelah. Terus ada tangga di belakang, lo naikin aja. Gue lagi nahan Caca biar nggak terjun.”Suara Adim masih terdengar gelisah. Aku masih berpikir jika yang dikatakan Adim hanyalah lelucon. Aku pun mengakhiri panggilan. Payahnya tadi ia tidak menjelaskan kosannya di sebelah bagian mana. Aku pun mengunjungi kosan yang berada di depan kosan Adim, aku mengendap naik melalui tangganya. Aku tidak ingin dianggap pencuri, maka dari itu aku berjalan setenang mungkin. Sampai di balkon, aku tidak menemukan Adim atau Caca. Aku pun kembali turun.“Mi!” tiba-tiba sosok Noelan muncul dari ujung gang.“Lan! Alhamdulillah, akhirnya datang juga kamu!” aku bergegas menghampirinya.“Ini kosannya!” Noelan menggiringku ke sebuah kosan di sebelah kanan kosan Adim. Kosan itu tampak besar dan sepi. Aku bisa merasakan Noelan juga sama kalutnya denganku. Tangga yang dimaksud Adim pun kutemukan, dan itu tangga yang terbuat dari besi. “Pelan-pelan, Lan. Ini kosan orang!”Akhirnya aku dan Noelan menaiki tangga itu dengan hati-hati. Kami pun tiba di lantai atasnya yang ternyata adalah tempat jemuran.Aku melihat sosok Caca di sana yang bahunya sedang direngkuh bahunya oleh Adim. Aku sebenarnya risih dengan pemandangan itu, namun kerisihanku hilang saat melihat wajah murka Caca. Aku memandanginya lekat-lekat. Ia seperti … seperti sedang kerasukan!Caca menepis tangan Adim dari bahunya dengan kasar. “Ngapain kalian ke sini? Gue nggak apa-apa, tahu!” teriaknya yang memalingkan wajah.Adim pun menjauh dan membiarkan aku dan Noelan berdiri di sebelah Caca.“Pulang ke kosan yuk, Ca. Udah malam, dingin lagi. Nanti kamu sakit,” ujar Noelan dengan suara selembut mungkin.Mataku masih saja tertuju pada Caca. Ia diam seribu bahasa, namun wajahnya masih terlihat seperti tadi. Aku lantas menengok ke Adim. Aku memang menemukan sesuatu yan tidak masuk akal. “Gimana bisa Caca sampai sini, Dim? Tadi kosan lo pagarnya dikunci.” Dengan tubuh pendek Caca, pastinya ia kesulitan memanjat pagar tinggi itu.“Dia lari-lari di atas genteng. Tuh, loteng kosan gue!” Aku memperhatikan direksi yang ditunjuk Adim, aku tidak tahu di mana loteng kosannya, jarak padanganku kecil karena minim penerangan. Namun ada hal lain yang membuatku langsung lemas, bagaimana bisa Caca berlari di atas genteng yang miring-miring dan curam begini? Aku tidak bisa membayangkan jika ia terpeleset dan jatuh dari atap lantai dua ini. Jadi, Caca benar-benar berniat bunuh diri?“Seriusan lo?” tanyaku dengan nada ketus. Pikiranku masih butuh konfirmasi. Aku tidak percaya Caca akan senekat ini.“Ye, mana ada gue bohong! Gue nggak akan sampai nelepon lo kalau kasusnya lain!”Mataku melebar dua kali lipat. Pasti ada hal menyakitkan yang terjadi padanya yang membuat Caca bertindak gegabah seperti ini. “Lo apain sahabat gue?” ujarku padanya dengan suara bergetar.“Hah?”Sayangnya Adim tidak menangkap pertanyaanku karena berikutnya Caca berlari menuruni tangga. Adim langsung mengejarnya, begitu juga aku dan Noelan. Tubuhnya yang mungil membuat Caca mampu berlari kencang, terlebih ia masuk ke beberapa gang sempit yang gelap. Sampai akhirnya kami pun kehilangan jejaknya. “Lo coba cek di Monumen Perjuangan, gue cek ke kosannya,” ujar Adim. Aku hendak protes, namun Adim sudah minggat duluan. “Yuk, Lan!” aku berlari di belakang Noelan yang larinya lebih cepat dariku. Sampai di sekitar Monumen  Perjuangan, aku segera melihat ke segala arah. Malam itu cukup ramai di sana karena ada balapan motor ilegal.Aku dan Noelan menelusuri trotoar yang mengelilingi Monumen Perjuangan, namun Caca masih tidak terlihat. Lalu dari gang yang menuju daerah Haurmekar kulihat Adim berlari menuju kami.“Gimana Cacanya ketemu?”Aku menggeleng. “Di kosan juga nggak ada dia. Ke mana ya?” Adim terlihat kikuk. Aku menatapnya dengan tajam. Firasatku mengatakan Caca tidak ada di sini. “Yuk, Lan!”“Eh, lo mau ke mana?” Adim mencoba menghentikanku.“Ke kosannya Caca, gue yakin dia ada di sana.”Kulihat Adim pun ikut berlari di belakang. “Tapi dia nggak ada di sana.”“Bisa jadi Caca diam di kamar dan nggak mau keluar.”Kami pun terus berlari hingga tenaga kami habis rasanya, terutama aku yang jarang berolahraga ini berlari di suasana malam dingin ini. Tapi aku tidak peduli dengan kelelahanku, aku sangat mengkhawatirkan Caca. Belum pernah kulihat ekspresi garang Caca itu, itu bukanlah wajah Caca yang kukenal. Wajah yang bercampur amarah dan putus asa. Caca adalah gadis yang ceria, wajah itu tidak pantas terpahat di sana.Sampai di kosannya kami pun berjalan perlahan ke kamarnya. “Lo jangan ngomong apa-apa dulu, Dim,” titahku. Hal ini kukatakan agar Caca tidak menyadari kehadirannya.Noelan yang maju duluan ke depan pintu. Ia pun mengetuknya. “Caca, kamu ada di dalam, kan?”“Aku nggak apa-apa. Udah malam. Pada pulang gih,” tukas Caca dari balik pintu. Suaranya masih mengandung amarah.Aku bernapas lega. Alhamdulillah dugaanku tepat. Caca memang berada di kosannya.“Lo jangan macam-macam, Ca. Jangan bikin ulah deh!” Aku memelototi Adim yang tidak menuruti perintahku. Ia malah membuat segalanya keluar dari rencanaku.“Pulang sana! Nanti penjaga kosan gue ngomelin gue gara-gara di sini ribut! Gue nggak mau ketemu sama lo lagi!” Kalau sedang marah gaya bahasa Caca memang berubah jadi ala Betawi.“Kan…!” ucapku dengan suara tertahan. Aku merutuki sikap Adim yang tidak sabaran itu. Aku lantas memutuskan mengambil alih keadaan. “Ca, kamu langsung bobo ya. Besok pagi aku ke sini sama Noelan. Dah, Caca. Assalammu’alaikum!”“Eh, lo kok malah pulang sih?” omel Adim.“Udah lo nggak perlu takut. Si Caca butuh sendiri buat nenangin pikirannya.”Adim terlihat berpikir. “Yuk, Lan,” ajakku pada Noelan. Aku tidak peduli apa Adim ingin di sini atau tidak. Karena aku tahu jika tetap memaksa di sini Caca tidak akan pernah membuka pintu kamarnya sampai pagi menjelang.Pada akhirnya Adim pun mengekor aku dan Noelan. Cowok itu menemaniku dan Noelan sampai di depan kosanku. Noelan singgah di kosanku sejenak sebelum kakaknya menjemput. Di dalam kamar aku langsung rebahan di atas kasur. Aku tidak menyangka akan banjir keringat seperti ini. Karena sudah jam 11 malam aku tidak berani mandi; air di Bandung malam-malam begini sangat dingin. Dulu waktu di SMA aku pernah pulang ke rumah jam 11 malam karena mengurus acara seminar yang diselengarakan oleh organisasi rohis, namun di sini aku baru pulang jam 11 malam untuk mencegah sahabatku yang mau bunuh diri.Aku tidak paham jika itu memang Caca sungguhan atau hanya emosi sesaatnya. Tapi aku pikir Caca terlampau nekat. Sejak berpacaran dengan Adim, Caca sudah berubah. Ia tidak berhasil mengarahkan Adim menjadi lelaki baik, malah sebaliknya, Caca yang dibawanya menjauh dari kebaikan.Bagaimana caranya menyelamatkan sahabatku? Aku begitu takut hingga meski aku mengantuk pun kusempatkan mengambil wudhu dan membaca Al Qur’an. Aku harap mereka cepat putus karena kebersamaan mereka banyak merugikan Caca. Aku jadi semakin mantap tidak akan pacaran sebelum menikah. Aku paham jika Allah melarang hal itu karena Allah sayang pada setiap wanita. Karena ketika berpacaran wanita yang seringnya dirugikan. Cacalah buktinya. Dan bisa jadi masih banyak Caca-caca lain di luaran sana.Ya, Allah, lindungilah Caca!

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 15, 2015 07:46
No comments have been added yet.