Sampel – Fangirl (Rainbow Rowell) hal 4-7
Saya sudah tertarik pada buku ini sejak melihat sinopsisnya di Goodreads. Ceritanya tentang Cath, cewek rada kuper yang suka tenggelam di dunia khayalnya sendiri–mirip saya dulu. Cath penggemar tokoh novel fantasi Simon Snow (mirip Harry Potter gitu deh) dan getol menulis fan fiction tentang Simon–lagi-lagi seperti saya dulu (bedanya fan fiction saya bukan tentang Harpot). Sempat ragu beli novelnya karena mahal (versi bahasa Indonesianya belum ada), akhirnya saya sambar juga waktu ke Kinokuniya tempo hari. Hari ini sempat baca beberapa halaman, dan rasanya seperti bercermin pada diri Cath. Dan dasar penerjemah, waktu membaca santai pun otak ikut gatal mengalihbahasakan. Mumpung belum ada terjemahannya, saya bagikan sedikit “keisengan” saya di sini
Selamat menikmati, saran dan kritik ditampung (nukilan teks sumber di sini).
SATU
Ada cowok di kamarnya.
Cath membaca nomor yang tertulis di pintu, lalu melihat lembar pembagian kamar di tangannya.
Pound Hall, 913.
Ini jelas-jelas kamar 913, tetapi mungkin bukan Pound Hall—semua asrama ini kelihatan sama, seperti rumah-rumah susun untuk warga lansia. Mungkin Cath sebaiknya mencoba mencegat ayahnya sebelum naik membawa kotak-kotaknya yang lain.
“Kau pasti Cather,” sapa cowok itu, sambil menyeringai dan mengajak bersalaman.
“Cath,” jawab Cath, merasakan lonjakan panik di perutnya. Ia tidak menjabat tangan cowok itu. (Toh ia sedang membawa kotak, mau bagaimana lagi?)
Ini kekeliruan—pasti kekeliruan. Ia tahu Pound asrama campuran…tetapi memangnya ada kamar campuran?
Cowok itu mengambil kotak dari tangannya dan menaruhnya di sebuah tempat tidur kosong. Tempat tidur di sisi lain kamar sudah tertutup pakaian dan kotak.
“Kau masih punya barang di lantai bawah?” tanya si cowok. “Kami baru selesai beres-beres. Kayaknya kami akan cari burger sekarang, mau ikut tidak? Sudah pernah ke Pear’s? Burgernya seukuran kepalan tanganmu.” Cowok itu meraih lengannya. Cath menelan ludah. “Kepalkan tanganmu,” katanya.
Cath menurut.
“Lebih besar dari kepalan tanganmu,” ujar si cowok, sambil melepaskan tangannya dan mengambil ransel yang ditinggalkan Cath di luar pintu. “Kau masih membawa kotak lain? Pasti iya. Lapar tidak?”
Cowok itu jangkung, kurus dan berkulit kecokelatan, dan kelihatan seperti baru mencopot topi rajutan dari kepala, karena rambut pirang gelapnya mencuat ke segala arah. Cath melihat lembar pembagian kamarnya lagi. Apa ini Reagan?
“Reagan!” seru cowok itu gembira. “Lihat, teman sekamarmu sudah datang.”
Seorang gadis melangkah dari belakang Cath di ambang pintu dan menoleh dengan acuh tak acuh. Rambutnya lurus kemerahan dan di mulutnya terselip rokok yang belum dinyalakan. Si cowok mengambil rokok itu dan memasukkannya ke mulutnya sendiri. “Reagan, Cather. Cather, Reagan,” katanya.
“Cath,” koreksi Cath.
Reagan mengangguk dan merogoh tasnya untuk mengambil rokok lain. “Aku ambil sisi ini,” katanya, sambil mengangguk ke tumpukan kotak di sisi kanan kamar. “Tetapi tak masalah. Kalau kau percaya feng shui, pindahkan saja barang-barangku.” Ia lalu menatap si cowok. “Siap?”
Si cowok menatap Cath. “Ikut?”
Cath menggeleng.
Saat pintu tertutup di belakang mereka, ia duduk di ranjang tak berseprai miliknya—feng shui bukan masalah terbesarnya—dan menyandarkan kepala di dinding batu.
Ia cuma perlu menenangkan kegugupannya.
Mengusir kecemasan yang ia rasakan seperti kegelapan statis di balik mata dan jantung tambahan di tenggorokan, dan mendorong semuanya ke perut tempat semua itu seharusnya berada—tempat ia setidaknya bisa mengikatnya menjadi simpul kecil dan mengatasinya.
Ayahnya dan Wren akan naik kapan saja, dan Cath tidak mau mereka tahu ia hampir menangis. Kalau Cath menangis, ayahnya bakal ikut menangis. Dan kalau salah satu dari mereka menangis, Wren akan bersikap seolah mereka sengaja berbuat begitu, cuma untuk merusak hari pertamanya di kampus. Petualangan barunya yang indah.
Kau bakal berterima kasih kepadaku untuk ini, begitu kata Wren berulang-ulang.
Pertama kali ia mengatakannya adalah di bulan Juni.
Cath sudah mengirim formulir akomodasi universitasnya, dan tentu saja ia menulis nama Wren sebagai teman sekamar—tanpa berpikir dua kali. Mereka berdua sudah sekamar selama delapan belas tahun, kenapa harus berhenti sekarang?
“Kita ’kan sudah sekamar selama delapan belas tahun,” debat Wren. Ia sedang duduk di kepala ranjang Cath, sambil menunjukkan ekspresi Aku Lebih Dewasa-nya yang menyebalkan.
“Dan selama ini baik-baik saja,” balas Cath, sambil melambaikan lengan ke sekeliling kamar tidur mereka—ke tumpukan buku-buku dan poster Simon Snow, ke lemari baju tempat mereka menjejalkan semua pakaian, tanpa peduli sepanjang waktu siapa pemiliknya.
Ia sedang duduk di kaki ranjang, berusaha tidak kelihatan seperti Adik yang Selalu Menangis.
“Ini universitas,” Wren bersikeras. “Gunanya kuliah adalah bertemu orang baru.”
“Gunanya punya saudari kembar,” ujar Cath, “adalah tidak usah mencemaskan hal-hal seperti itu. Orang-orang asing aneh yang mencuri pembalut kita dan berbau badan seperti bumbu salad dan mengambil foto kita dengan ponsel saat kita tidur…”
Wren mendesah. “Kau bicara apa sih? Mana ada orang berbau seperti bumbu salad?”
“Seperti cuka,” jelas Cath. “Ingat tidak waktu kita ikut tur calon mahasiswa, dan kamar cewek satu itu baunya seperti bumbu salad?”
“Tidak.”
“Yah, pokoknya menjijikkan.”
“Ini universitas,” ulang Wren, putus asa, sambil menutup muka dengan tangan. “Seharusnya ini jadi petualangan.”
“Memang sudah jadi petualangan.” Cath merangkak ke sebelah kakaknya dan menarik tangan Wren dari muka. “Memikirkannya saja sudah menakutkan.”
“Kita seharusnya berkenalan dengan orang baru,” ujar Wren lagi.
“Aku tidak butuh orang baru.”
“Itu cuma membuktikan betapa kau butuh orang baru…” Wren meremas tangan Cath. “Cath, coba pikir. Kalau kita bersama-sama terus, orang bakal memperlakukan kita seperti satu orang. Butuh empat tahun sebelum orang bisa membedakan kita.”
“Mereka cuma perlu memerhatikan lebih teliti.” Cath menyentuh parut di dagu Wren, tepat di bawah bibir. (Bekas kecelakaan kereta luncur. Mereka saat itu berusia sembilan tahun, dan Wren duduk di depan saat kereta menabrak pohon. Cath jatuh dari belakang ke salju).
“Kau tahu aku benar,” ujar Wren.
Cath menggeleng. “Tidak.”
“Cath…”
“Tolong jangan suruh aku melalui ini sendirian.”
“Kau memang tidak sendirian,” ujar Wren, sambil mendesah lagi. “Itulah gunanya punya saudari kembar.”


