You've Got Me From Hello part 6


Celia menunggu dengan cemas, Azka memang selalu terlambat datang tetapi dia tidak pernah mengingkari janjinya. Kedua orang tuanya baru datang dari Paris, dan ini adalah kali pertama mereka akan berkumpul untuk membicarakan persiapan pernikahan mewah dan besar mereka yang rencananya akan dilaksanakan delapan bulan lagi.
Dia sudah berdandan secantik mungkin dan mulai gelisah karena ini sudah terlambat hampir satu jam dari waktu yang dijanjikan, tetapi tidak ada kabar dari Azka. Celia duduk di dekat jendela, menanti dengan cemas.


Lalu ketika mobil itu memasuki gerbang rumah, hampir saja Celia terlonjak bahagia dari duduknya, lupa kalau dia sedang berpura-pura lumpuh. Tidak ada yang tahu selain keluarganya, pelayan kepercayaan mereka di rumah ini, dan dokter pribadi mereka bahwa Celia sebenarnya sudah sembuh jauh di waktu lalu. Dia sudah bisa berjalan normal seperti biasanya. Diagnosa dokter waktu itu ternyata salah, dan kaki Celia tidak apa-apa.
Kalau kakinya sudah tidak lumpuh lagi, maka tidak akan ada sesuatupun yang bisa mengikatkan Azka kepadanya. Lelaki itu sudah pasti akan meninggalkannya.Celia rela duduk di kursi roda terus sampai dia bisa mengikat Azka di pernikahan. Setelah mereka terikat secara resmi dan dia sah memiliki Azka, dia sudah merencanakan untuk berpura-pura sembuh secara bertahap dan kemudian kembali normal. Azka tidak akan pernah curiga. Dia sudah begitu lama berpura-pura lumpuh sehingga tampak sangat meyakinkan.
Diliriknya Azka yang baru turun dari mobil dan hatinya berbunga-bunga melihat ketampanan lelaki itu. Lelaki itu akan menjadi suaminya, akan dimilikinya sebentar lagi. Dia hanya harus bersabar.
Azka melangkah mendekati tangga rumah itu dengan ekspresi lelah. Hari ini banyak sekali yang harus dikerjakannya, dan yang dia inginkan hanya datang ke Garden Café. Menanti kedatangan Sani, yang tak kunjung datang lagi setelah peristiwa ciuman itu.
Azka tak henti-hentinya mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa menahan dirinya untuk mencium Sani. Dialah yang membuat Sani menghindarinya seperti sekarang ini. Dan sekarang dia tidak  bisa berbuat apa-apa. Yang bisa dilakukannya hanyalah menunggu, dan ternyata menunggu itu tidak enak, sama sekali tidak enak. Kemudian karena sibuk dengan pekerjaan dan pikirannya tentang Sani, Azka hampir saja melupakan janji temunya dengan kedua orang tua Celia yang baru pulang dari Paris. Dia mungkin saja benar-benar lupa dan tidak akan datang kalau dia tadi tidak melirik tanpa sengaja ke arah ponselnya yang tergeletak begitu saja di kursi penumpang di sebelahnya, dan menyadari bahwa ponselnya itu berkedip-kedip oleh karena puluhan pesan dari Celia.
Kursi roda Celia muncul di pintu dan perempuan itu menyambutnya dalam senyum bahagia dan khawatir.
“Kau tidak membalas pesanku.” Gumam Celia cemas, memeluk Azka ketika lelaki itu mendekat dan setengah menunduk mengecup dahinya, “Aku takut kau kenapa-kenapa.”
“Maaf aku terlambat, urusan pekerjaan.” Gumam Azka datar, “Di mana orang tuamu?”
Azka menyiapkan hatinya untuk malam itu, karena dia harus membicarakan persiapan pernikahan. Persiapan pernikahan yang bahkan tidak setitikpun ingin dilakukannya.
⧫⧫⧫
“Terima kasih Azka.” Celia menggenggam kedua jemari Azka dengan penuh sayang, lelaki itu duduk di depannya dan tampak kaku. Celia berusaha mencairkan suasana dengan kelembutannya. Biasanya Azka akan melembut juga kalau dia sudah bersikap rapuh. Tetapi entah kenapa malam ini benak kekasihnya ini seolah-olah tidak ada di sana, menerawang entah kemana.
“Apakah kau baik-baik saja?” tanya Celia lagi mencoba memecah keheningan ketika Azka hanya diam saja, “Kau tampak tidak bahagia..”
Azka memandang Celia dengan tatapan tidak terbaca, “Kau bicara apa, tentu saja aku bahagia.” Bibirnya tersenyum, tetapi senyum itu jelas-jelas tidak sampai ke matanya.
“Aku memang tahu betapa beruntungnya aku bisa memilikimu.” Celia menundukkan kepalanya sedih, “Dengan kondisiku yang sekarang, sebenarnya aku tidak pantas untukmu. Apalagi kejadian di masa lalu itu, aku sungguh malu kalau mengingatnya.” Jemari lentik Celia yang indah menutup wajahnya, airmatanya mengalir deras, “Mungkin seharusnya aku mati saja di kecelakaan itu.”
“Sttt.” Azka menyentuh jemari Celia yang sedang menutup mukanya, dan menariknya dengan lembut ke dalam genggamannya, “Jangan berkata seperti itu, aku sudah berjanji akan bertanggung jawab atas dirimu bukan? Aku akan menjagamu, Celia seperti janjiku.”
Celia menatap Azka dengan matanya yang basah, “Apakah kau mencintaiku, Azka? Sedalam aku mencintaimu?”
Kalimat itu tak sampai untuk keluar dari bibir Azka, dia hanya menganggukkan kepalanya dan berucap, “Ya Celia.” Dan menyadari betapa beratnya mengatakan ‘aku cinta kepadamu’ kepada seseorang yang tidak kau cintai.⧫⧫⧫
Suasana cafe itu tampak remang-remang, di sudut yang berbeda, banyak anak muda yang memanfaatkan suasana malam dengan berkumpul bersama teman-temannya, suara mereka riuh rendah, tetapi untunglah tidak sampai mengganggu konsentrasi Sani. 

Sani berhasil menyelesaikan bab klimaks itu dengan gemilang, tokoh utamanya akhirnya menyadari kesalahannya dan mengejar pasangannya. Mereka pada akhirnya berhasil menyelesaikan kesalahpahaman mereka...
Dia memundurkan tubuhnya di kursi yang nyaman itu dan membaca ulang tulisannya lembar demi lembar sambil lalu. Kesha pasti akan sangat senang kalau mengetahui dia berhasil menyelesaikan  bab klimaks ini. Semula sangat sulit menulis bab klimaks ini, karena setelah pertengkaran, sesuai draft akan ada permaafan, sesuatu yang tidak pernah bisa dilakukan Sani terhadap Jeremy.
“Dan akhirnya kau muncul di sini.” Suara maskulin yang dalam itu menyapanya. Suara yang membuat jantung Sani langsung berpacu dengan kencang, dia menoleh dan sosok yang dibayangkannya berdiri di sana.
Lelaki itu tampak lelah, dengan jas resmi yang sudah dilepas dan disampirkan di pundaknya. Dasi yang sudah terlepas sepenuhnya dan kancing kemeja atasnya yang dibuka.
“Hai.” Gumam Sani, tiba-tiba merasa malu ketika ingatan akan ciuman mereka malam itu menyeruak di benaknya.
Azka tampaknya memahami, lelaki itu mengangkat sebelah alisnya lembut,
“Dari kejauhan kau tampaknya senang. Apakah kau berhasil menyelesaikan tulisanmu?”
Sani mengangguk, “Bab yang paling sulit sudah kulalui, besok tinggal membereskan semuanya.”
“Kita harus merayakannya.” Azka terkekeh, penampilannya yang formal dan sedikit berbeda dengan biasaya tampak melembut ketika dia tertawa, “Tunggu sebentar ya aku mandi dulu, aku akan segera menyusulmu kembali.”
Ketika Azka pergi, Sani membaca ulang kisah yang baru saja ditulisnya. Sudah jelas tokoh wanita dalam novel buatannya tergila-gila kepada sang tokoh lelaki, dia digambarkan selalu berbunga-bunga ketika tokoh lelaki itu ada di benaknya.
Berbunga-bunga?
Sani tiba-tiba menyadari sesuatu, selama ini dia selalu menuliskan deskripsi perasaan dalam bentuk tulisan dengan lancar. Tetapi ketika menelaah perasaannya sendiri dia benar-benar kebingungan.
Apakah dia sedang merasakan berbunga-bunga ketika bersama Azka? Sani menggelengkan kepalanya. Bagaimana mungkin sebuah perasaan begitu kuat muncul kepada seseorang yang tidak begitu kita kenal?
Azka turun lagi hampir dua puluh menit kemudian. Rambutnya basah dan dia mengenakan baju santai, celana jeans, dan kaos berkerah yang semakin menonjolkan bentuk tubuhnya yang bagus,
Seolah sudah biasa, lelaki itu langsung mengambil tempat duduk di seberang Sani. Dia memberi isyarat kepada pelayan untuk membawakannya minuman.
Dalam waktu singkat, pelayan itu meletakkan secangkir kopi hitam pekat di depan mereka berdua,
Suasana cafe cukup ramai ketika itu, padahal waktu sudah hampir beranjak tengah malam. Sekelompok pemuda yang baru datang tampaknya memilih menikmati malam sambil mengobrol di tempat yang paling ujung sebelah sana menambah keriangan suasana, sedangkan beberapa pengunjung yang lain memilih untuk mencicipi hidangan dalam suasana intim yang elegan berduaan.
“Mau makan sesuatu?” Azka melirik ke arah buku menu dan tersenyum kepada Sani,
“Aku sudah makan tadi sore.” Sani tersenyum, kemudian melirik cangkir kopi di depannya,  “Tetapi secangkir kopi tidak akan kutolak, “ gumamnya dalam senyum.
“Aku lapar.” Azka menekuri buku menu dan merenung, dia sudah makan di rumah Celia tadi, tapi dia hampir tidak bisa menelan makanannya, “Mungkin aku akan meminta sup ini.” Azka memanggil pelayan lagi dan menyebutkan pesanannya.
Setelah pelayan pergi, Azka memajukan tubuhnya dan menopang dagunya dengan kedua siku di meja, tatapannya tajam dan intens,
“Kau tidak kemari lama sekali.”
Apakah Azka setiap hari menunggunya?  Sani  melirik gelisah ke arah Azka, bingung harus bersikap bagaimana.
“Apakah karena kejadian waktu itu? Ciuman waktu itu?” sambung Azka lagi, dengan tatapan penuh tanya.
Sani membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kalimat yang keluar. Suaranya seakan tertelan di tenggorokannya.
Azka mengamati Sani, lalu tertawa, “Untuk seseorang yang penghidupannya berasal dari rangkaian kata-kata, kau tampak sulit sekali mengeluarkan sepatah kata sekalipun.”
Pipi Sani memerah, dan dia memalingkan muka, tidak tahan ditatap setajam itu. Tetapi kemudian pertanyaan di hatinya mendesaknya,
“Kenapa waktu itu kau menciumku?”
Azka langsung tersenyum lembut, “Karena aku merasakan sesuatu yang lebih kepadamu.” Gumamnya, “Aku tidak pernah bermaksud merendahkanmu dengan menciummu, itu terjadi begitu saja.” Azka mendesah, “Setelah itu kau bahkan tidak mau muncul di cafe, aku panik.... dan berpikir kau mungkin marah kepadaku.” Tatapan Azka melembut, “Sani, mungkin ini memang terlalu cepat, kita baru bertemu beberapa kali, belum mengenal satu sama lain. Tetapi ada perasaan nyaman yang kurasakan ketika bersamamu, bahkan ketika pertama kali kau menyapaku. Perasaan nyaman yang membuatku meyakini bahwa aku harus mencoba untuk lebih dekat bersamamu.”
“Oh.” Sani bergumam pelan membuat Azka tergelak,
“Oh?” Lelaki itu mengulangi gumaman Sani, “Aku berusaha setengah mati menjelaskan perasaanku ini kepadamu dan tanggapanmu hanya ‘Oh’ ?” Lalu jemari lelaki itu meraih jemari Sani dari seberang meja dan menggenggamnya lembut, “Sani, aku tahu ini terlalu cepat, kau masih sakit karena perbuatan Jeremy dan berusaha menyembuhkan dirimu, tapi aku hanya ingin bersamamu, ada di dekatmu, dan berusaha lebih mengenalmu. Aku berharap kau juga bisa mengenalku lebih dekat dan mungkin kita bisa melihat bersama-sama akan di bawa kemana perasaan ini.”
Semua ini terlalu cepat, Sani membatin dalam hati, dia bahkan tidak tahu apapun tentang Azka dan begitu juga sebaliknya. Tetapi ajakan Azka untuk berjalan bersama dan menelaah arti dari kebersamaan mereka terasa begitu menggoda.
“Sani?” Azka memanggil lagi, mulai tidak sabar dengan kediaman Sani, dia butuh jawaban, segera. Setelah itu dia bisa bertindak cepat, meluruskan semua rencananya.
Sani menatap Azka, melihat kesungguhannya di situ, Azka memang luar biasa tampan, tetapi lelaki itu tampaknya tidak pernah sadar menebarkan pesonanya ke orang-orang, tidak seperti Jeremy. Dan Azka juga baik, lembut, serta menghormatinya, mungkin Sani bisa mencobanya. Dengan lebih sering bersama Azka, mencoba mengenalnya lebih dekat dan kemudian memutuskan apakah akan membuka hatinya ke dalam hubungan yang lebih serius dengan Azka atau tidak.
Sani menganggukkan kepalanya, “Aku bersedia mencobanya, Azka. Tetapi hanya itu, kita bersama-sama berusaha untuk lebih saling mengenal. Dan mengenai hasil akhirnya mungkin bisa kita lihat nanti.”
Sinar kemenangan muncul di mata Azka, tetapi lelaki itu dengan cepat menutupinya, membuat wajahnya tampak lembut, “Terima kasih atas kesempatan yang kau berikan ini Sani.⧫⧫⧫
Pagi harinya, Azka yang sedang duduk di ruangannya di kantor pusat kedatangan tamu. Tamu yang sudah sangat di tunggunya. Seorang lelaki yang sangat tampan, dan juga sahabatnya.
“Jadi kau meminta  bantuanku?” Eric menatap Azka sambil tersenyum manis.
“Kaulah satu-satunya orang yang kupercaya bisa melakukannya.
Eric tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Mungkin di dunia ini, hanya kaulah satu-satunya orang yang meminta sahabatnya untuk merayu tunangannya,” Tatapannya berubah serius, “Apakah kau yakin ini akan berhasil? Celia kelihatannya sangat mencintaimu dan dia sudah akan menikah denganmu. Mungkin saja dia sangat setia kepadamu dan susah dirayu?”
Mata Azka bersinar dingin dan kejam, “Dia sudah pernah mengkhianatiku sekali karena aku kurang memberinya perhatian. Aku yakin dia akan melakukannya lagi kalau ada kesempatan.”⧫⧫⧫
“Hai.” Azka sudah menunggu di depan lobi apartemen Sani, mereka berjanji untuk menghabiskan hari sabtu ini bersama-sama. Memberi kesempatan kepada diri mereka untuk saling mengenal lebih dekat.
“Hai juga.” Sani berdiri gugup di depan Azka, menyadari penampilannya yang sederhana jika dibandingkan dengan penampilan Azka yang begitu gaya. Oh, lelaki itu tidak berpakaian macam-macam, dia hanya memakai celana jeans warna hitam pekat dan T-shirt polo bergaris, tetapi entah kenapa keseluruhan penampilannya begitu luar biasa. Bahkan beberapa orang yang berlalu lalang di lobi apartemen pasti menoleh dua kali untuk meliriknya.
Tetapi bukan hanya penampilan fisik sebenarnya yang membuat Sani tertarik kepada Azka. Aura lelaki itu yang misterius di balik sikap lembutnya, membuat Sani ingin mendekat dan ingin tahu.
Apakah dia akan seperti ngengat yang menjadi korban karena tidak bisa menahan ketertarikannya terhadap api yang menyala? Sani mendesah dalam hati. Setidaknya dia sudah mempersiapkan diri, memasang pagar di hatinya agar dia tidak terjun bebas, jatuh ke dalam pesona Azka dan kemudian terluka parah.
“Kita akan kemana?” Sani melangkah bersama Azka keluar. Mobil Azka sudah disiapkan, diparkir di depan apartemennya.
Azka mengangkat bahunya, “Terserah, kemana saja, mungkin nonton, jalan-jalan, bersantai, apapun itu asal bersamamu.”
Azka mengucapkan kata-katanya dengan santai, tidak menyadari bahwa dia membuat pipi Sani memerah.⧫⧫⧫
Mereka melakukan apapun yang dilakukan orang-orang untuk bersantai di akhir pekan, nonton, makan, jalan-jalan. Setiap detiknya terasa menyenangkan, mereka mengobrol tanpa henti, sangat cocok dalam pembicaraan apapun dan menyadari bahwa mereka punya banyak sekali kesamaan minat.
Bersama Azka seharian pun terasa begitu sekejap saking menyenangkannya.
Tanpa sadar hari sudah beranjak malam. Ketika mereka mengendarai mobil hendak pulang, Sani menyandarkan tubuhnya dengan santai di kursi penumpang, menatap Azka dalam senyuman.
“Terima kasih atas hari yang sangat menyenangkan ini.”
Azka menoleh sedikit dan tersenyum simpul, “Sama-sama Sani, aku juga bahagia bisa menghabiskan waktu denganmu, itu sangat menyenangkan.” Lelaki itu meremas jemari Sani dengan sebelah tangannya, lembut. “Minggu depan kita lakukan lagi ya.”
“Iya.” Dada Sani membuncah dipenuhi oleh perasaan berbunga-bunga yang pekat. Oh ya, gawat! Seharian ini dia sudah berusaha memasang pagar di hatinya, tetapi Azka sudah menerobos pagar itu, membuatnya tidak bisa menahan lelaki itu. Sani sepertinya sudah jatuh cinta kepada Azka.⧫⧫⧫
Celia sedang duduk di dalam mobil, dalam perjalanan menuju butik langganan keluarga,  dan merenung. Ini semakin lama semakin menakutkan, hari pernikahannya dengan Azka sudah menjelang. Keluarganya sudah mempersiapkan semuanya terutama menyangkut gaun pengantinnya. Karena selain hal itu, untuk masalah persiapan pesta seperti dekorasi, gedung, catering, dan lain-lain mereka tidak akan perlu mencemaskannya. Azka memiliki jaringan perusahaan di bidang resor, perhotelan, dan restoran. Lelaki itu tinggal menjentikkan jarinya dan sebuah pesta yang megah pasti akan disiapkan dengan mudah.
Tetapi perasaan Celia terasa semakin tidak nyaman. Hari demi hari hubungan mereka merenggang, dan semakin dekat ke hari pernikahan mereka, Azka semakin jarang muncul. Lelaki itu kadang hanya membalas pesan singkatnya sekenanya, tidak pernah mengangkat telepon ketika dia mencoba meneleponnya. Dan lelaki itu tidak pernah datang ke rumahnya lagi.
Sudah sebulan berlalu, bahkan kedua orangtuanya mulai menanyakan kenapa Azka tidak pernah muncul dan dengan senyum palsunya Celia menjelaskan bahwa semua baik-baik saja, hanya saja Azka memang sedang sangat sibuk. Tetapi Azka tidak pernah seperti ini sebelumnya, dulu meskipun sibuk, lelaki itu selalu menyempatkan menemuinya meskipun sebentar di akhir pekan.
Celia tahu bahwa Azka mungkin tidak mencintainya lagi. Sejak dia mengaku pengkhianatannya yang dilakukannya dengan Edo karena begitu haus perhatian dari Azka, yang membuatnya terjerumus terlalu jauh lalu hamil, cinta itu sudah musnah di mata Azka. Tatapan Azka kepanya sudah berbeda, datar dan tanpa perasaan meskipun laki-laki itu selalu bersikap lembut kepadanya.
Tetapi Celia bisa dibilang sangat mensyukuri kecelakaan itu, kecelakaan yang membuatnya didiagnosa tidak akan bisa berjalan lagi. Yang membuat Azka sangat menyesal dan pada akhirnya memutuskan untuk bertanggungjawab kepada Celia.
Ya, Celia tahu dia memanfaatkan rasa bersalah Azka, tetapi dia mencintai Azka dan tidak bisa membayangkan kalau harus ditinggalkan oleh lelaki itu. Pengkhianatan yang dilakukannya dengan Edo semata-mata karena pelarian, dia membutuhkan kekasih yang hangat dan penuh kasih sayang, yang selalu ada di dekatnya. Tetapi Azka tidak bisa melakukannya, lelaki itu waktu itu sedang sibuk membangun bisnisnya, sehingga hanya punya waktu sedikit bersamanya. Dan dalam kondisi emosi yang labil, Edo datang dan semua hal buruk itupun terjadi. Semua yang Celia lakukan adalah untuk mengikat Azka supaya bersamanya. Dia bahkan rela bertingkah seperti orang invalid, hanya agar Azka bertahan bersamanya. Kelumpuhan ini adalah satu-satunya pengikatnya dengan Azka, dan Celia rela kesulitan seperti ini, hanya bisa berjalan ketika dia berada di dalam rumah dan hanya di depan orang-orang yang dipercayanya, semua demi memiliki Azka.
Dia meremas kedua jemarinya kuat-kuat, Sebentar lagi... desahnya dalam hati. Dia hanya perlu bersabar sebentar lagi dan Azka akan menjadi miliknya sepenuhnya. Dia akan menjadi istri Azka dan lelaki itu tidak akan punya alasan untuk tidak memperhatikannya.⧫⧫⧫
Butik itu cukup ramai, milik seorang desainer baju pernikahan yang sangat terkenal. Pegawai Celia mendorong kursi rodanya memasuki butik itu. Celia sudah membuat janji dengan Joshua, sang perancang sekaligus pemilik butik itu.
“Hai cantik.” Joshua langsung menyapanya ketika pegawainya mendorong kursi rodanya memasuki ruangan Joshua. Celia memberikan isyarat kepada pegawainya untuk menunggunya di luar.
“Hai Joshua, kau sudah menerima pesanku untuk deskripsi gaun pengantinku?”
“Sudah sayang, Joshua mengedipkan sebelah matanya. “Sungguh deskripsi yang sangat spesfik, kau ingin gaunmu bertaburan dengan kristal yang mahal dan berkilauan ya? Untung saja tunanganmu kaya. Jadi kau bisa meminta gaun apapapun yang kau inginkan, aku akan mengukur dulu badanmu ya, baru aku terapkan ke  beberapa desain dan nanti kau tinggal memilih yang mana” Joshua melirik ke arah pintu, “Ngomong-ngomong, tunanganmu yang tampan itu tidak mengantarmu?”
“Dia sibuk.” Gumam Celia sambil lalu, “Aku ingin gaun ini yang terbaik, Joshua, harus yang paling indah dan paling cantik... Ini akan menjadi pernikahan yang pertama dan satu-satunya untukku.”
“Tentu saja sayang.” Joshua terkekeh, lalu menyuruh pegawainya untuk mengukur badan Celia.
Tentu saja mereka kesulitan karena Celia berada di kursi roda dan tidak bisa berdiri. Celia sendiri merasa gemas karena sebenarnya dia bisa berdiri, tetapi dia tidak bisa melakukannya, karena semua sandiwaranya bisa ketahuan.
“Mungkin kita harus mengukur tubuhmu kalau Azka sudah bisa datang bersamamu, sayang.” Joshua menatap Celia dengan menyesal, dia juga laki-laki tapi tubuhnya ramping dan gemulai jadi dia tidak bisa membantu Celia supaya punya tumpuan untuk berdiri. Sementara itu kebanyakan pegawainya adalah perempuan,  “Jadi Azka bisa membantumu untuk berdiri.”
“Mungkin aku bisa membantu.” Sebuah suara yang maskulin dan begitu dalam muncul dari pintu, membuat Celia dan Joshua menoleh bersamaan. Di pintu itu berdiri seorang lelaki yang amat sangat tampan. Darah asing sudah jelas mendominasi penampilannya, lelaki itu tinggi, sempurna dengan rambut cokelat muda keemasan, dan setelan tiga potong yang dijahit sempurna, menempel ketat dan seksi ke tubuhnya,
Joshualah yang kemudian memecah suasana, dia berteriak kegirangan dan hampir melompat mendekati lelaki itu. “Oh Ya Ampun! Eric, kau sudah pulang dari Paris?”
Bersambung ke part 7
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 13, 2013 04:02
No comments have been added yet.


Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.