Verna dan Hujan Part 4
Created on : Bandung, 10 December 2012
Disclaimer : Bandung dengan hujannya yang ( hampir ) setiap hari melahirkan cerita ini. Mau tak mau membuat saya merenungkan hujan dari dua sisi, Hujan yang mendatangkan kebahagiaan bagi manusia yang mencintainya sepenuh hati, dan hujan yang mendatangkan kesedihan bagi manusia yang belum bisa melepaskan masa lalunya.
Verna tertegun, tapi ketika kesadarannya kembali, dia langsung menengok lagi ke arah café itu.
Itu benar-benar Tanza dan Nadia!
Dengan gemetar, Verna berdiri di tengah hujan yang begitu deras, tiupan angin menghantarkan seluruh percikan air ke tubuhnya, payungnya tak bisa lagi menyembunyikannya. Tetapi Verna tak peduli. Perasaannya campur aduk, antara terkejut dan… kecewa.
Tanza mengenal Nadia? Dari pemandangan yang dilihatnya tadi, Tanza tampak begitu akrab dengan Nadia, tatapan di antara keduanya penuh senyum. Mereka tampak bagaikan sahabat lama yang dekat.
Kenapa Tanza tidak pernah menunjukkan kalau dia mengenal Nadia? Bahkan lelaki itu bersikap seolah-olah dia benar-benar orang baru, di luar lingkup kisah Verna yang rumit. Apakah Tanza berbohong kepadanya? Kalau iya, kenapa?
Tiba-tiba Verna merasakan ketakutan yang dalam, bahwa persahabatannya dengan Tanza selama ini hanyalah berisi kebohongan semata.***
Tanza mengangkat bahunya dan tersenyum,“Gue senang bisa membantu.” Meskipun tadi perasaan bersalah menggayutinya selama proses pemilihan menu untuk catering pernikahan Nadia dan Bayu yang dilaksanakan mendadak ini. Tanza teringat Verna, dan entah kenapa dia merasa mengkhianati Verna.
“Menunya tadi sungguh menarik”, Mata Nadia kembali berbinar, “Lo emang pandai memilih makanan, Tanza”
Tanza terkekeh, “Serahkan sama gue kalau soal makanan”, ditatapnya Nadia dengan serius, “Lo ngurus semuanya sendiri Nadia?”
“Enggak juga sih, cuma mama dan papa memang nyerahin masalah-masalah yang spesifik sama gue, seperti menu catering, gaun pengantin, sewa gedung, karena mereka bener-bener pingin semuanya sesuai selera gue. Harusnya gue urusin ini semua sama Bayu, tapi Bayu sibuk banget ahkir-ahkir ini, jadi dia nyerahin semua ke gue.”
Mungkin karena Bayu sendiri tidak kuat menghadapi pernikahan ini. Pikir Tanza dengan pahit. Tetapi bagaimanapun juga, ini keputusan Bayu. Bayu sudah memilih bersama Nadia, dan ini adalah konsekuensi pilihannya.
“Yah, kalo lo butuh bantuan gue lagi, tinggal call aja,” Tanza melirik jam tangannya, “Gue harus pergi nih, ada acara di kampus gue.”
“Iya makasih Tanza, gue di sini dulu deh sekalian nungguin sopir papa ngejemput, tadi gue udah telpon.”
“Oh, sampai jumpa lagi Nadia”, Tanza menganggukkan kepalanya penuh senyum, lalu melangkah pergi dari café itu.
Hujan sangat deras di luar, beberapa orang masih berteduh di teras café itu. Tetapi Bayu memutuskan untuk menembus hujan ke arah parkiran mobil, dia ingin bertemu Verna. Entah kenapa. Mungkin untuk menebus rasa bersalah yang menggayutinya ketika dia melakukan pengkhianatan tadi, memilihkan catering untuk pernikahan Nadia dan Bayu.
Dengan rambut basah menembus hujan, Tanza mendekati mobilnya diparkir, dan kemudian tertegun.
Verna berdiri di sana, dengan payung kecil yang sama sekali tidak melindungi tubuhnya dari hempasan angin dan hujan. Menatapnya dengan pandangan terluka.***
“Verna?”, Tanza melangkah mendekati Verna, yang memang memutuskan mengambil resiko dengan menunggui Tanza di dekat mobilnya. Tadi dia berpikir, kalau Tanza sendirian ke mobilnya, Verna akan menanyakan semua pertanyaan langsung yang berkecamuk di hatinya kepada lelaki itu. Tetapi kalau ternyata Tanza pulang bersama Nadia, Verna akan segera lari dan bersembunyi, menunggu Tanza datang ke kost-nya untuk meminta penjelasan.
“Ternyata lo kenal sama Nadia?” Tanya Verna lirih, berusaha mengalahkan gempuran suara hujan yang begitu deras.
“Verna lo kehujanan, ayo masuk ke mobil dulu.”
Verna menggelengkan kepalanya,
“Gue pingin penjelasan Tanza, kenapa lo bohong sama gue? Ketika gue cerita tentang masalah gue dulu, lo bertingkah seolah-olah lo nggak kenal Nadia, ternyata lo kenal sama Nadia!”
“Verna”, Tanza berusaha menenangkan Verna, “Kita masuk ke mobil dulu yuk, lo basah kuyup, gua juga”, bujuk Tanza tenang.
Verna terdiam, baru menyadari bahwa tiupan angin membuatnya basah kuyup dan tak terlindungi oleh payung, baru menyadari bahwa Tanza berdiri di sana tanpa payung dan sudah hampir basah kuyup tertimpa hujan. Ahkirnya dia mengangguk.
Tanza langsung membuka pintu mobilnya, dan membukakan pintu penumpang buat Verna. Verna pun masuk, dan Tanza melajukan mobilnye menembus hujan,
“Mau ke rumah gue?”
Verna mengernyit, Tanza tidak pernah mengajak Verna sebelumnya, Verna hanya tahu rumah Tanza terletak di lokasi elit paling sejuk di Bandung.
“Boleh,” Jawab Verna datar.
“Akan gue jelasin semuanya di sana.”, Janji Tanza
Dan dalam perjalanan mereka lalui dalam keheningan, tanpa percakapan***
Mobil Tanza melaju memasuki sebuah rumah yang mewah dengan gerbang yang terbuka otomatis, Tanza memarkir mobilnya di depan rumah, dan membukakan pintu untuk Verna.
“Ayo masuk”, dengan lembut Tanza menghela Verna memasuki rumahnya yang besar.
Di pintu, seorang pelayan perempuan setengah menyambut mereka,
“Bik, siapkan baju ganti buat temanku ini yah, di lemari Elina ada baju-baju baru yang belum sempat terpakai, mungkin bisa dipinjamkan dari sana”
“Baik Tuan”, bibik itu melirik ingin tahu kepada Verna. Setahunya tuan Tanza sangat protektif terhadap seluruh peninggalan mendiang nona Elina. Bahkan berdasarkan perintah tuan Tanza, kamar Elina dan seluruh barang-barangnya tetap dijaga dan dirawat sama persis seperti ketika mendiang nona Elina masih hidup. Kalau Tuan Tanza mengizinkan barang nona Elina dipinjamkan, perempuan ini pasti sangat penting bagi Tuan Tanza.
“Ikut bibik ini dulu ya Verna, dia akan memberikan baju ganti buat lo lalu nganterin lo ke kamar mandi untuk ganti pakaian, nanti gue akan nemuin lo di teras belakang.”, Tanza mengangguk pada bibik itu kemudian melangkah menaiki tangga meninggalkan Verna.***
Verna sudah berganti pakaian, baunya seperti baju baru, tetapi ukurannya sangat pas ditubuhnya. Pakaian Eliana, pikir Verna. Dan pakaian itu sangat feminim.
Bibik itu mengantarkan Verna ke teras belakang yang dimaksud Tanza, teras itu sangat bagus, terletak menjorok di belakang rumah, dengan sofa-sofa empuk berwarna coklat hangat dan berbatasan dengan kaca bening yang memantulkan pemandangan taman belakang yang begitu hijau dan indah. Kaca bening itu bagaikan tirai hujan yang sangat nikmat di pandang dari sini.
Tanza duduk di sana, menunggu Verna, dia sudah berganti pakaian juga rupanya, di meja sudah terhidang dua gelas cokelat panas dan kue bolu kismis yang tampaknya masih hangat.
“Duduklah Verna, minum cokelat dulu, Lo pasti kedinginan”, Tanza mengangguk kepada bibik yang mengantarkan Verna dan bibik itu kemudian melangkah pergi, meninggalkan Verna bersama Tanza sendirian.
Verna meneguk cokelat hangat yang nikmat itu, kemudian menggenggam cangkirnya di kedua tangannya, mencoba menyerap kehangatan dari minuman itu. Matanya menatap Tanza, tajam, penuh pertanyaan.
“Gue tau lo pasti kaget dengan pemandangan yang nggak sengaja tadi”, Tanza menatap Verna dengan pandangan menyesal, “Tapi gue bisa ngejelasin, dan gue harap setelah lo ngedenger penjelasan gue lo mau mengerti”
Verna terdiam, menanti jawaban Tanza.
“Gue…. Nadia itu sahabat gue, jauh sebelum gue kenal sama lo”
Wajah Verna memucat mendengar pengakuan Tanza itu, sebuah jawaban yang sama sekali tidak diduganya, dan Tanza menatap Verna dengan sedih,
“Nadia adalah sahabat Eliana, lo inget waktu lo gue ajak ke makam Eliana dan gue bilang gue punya hutang budi yang sangat besar sama teman Eliana yang selalu setia ngedampingin Eliana sampai ajal menjemputnya? Orang itu adalah Nadia.”
Verna masih terdiam, berusaha mencerna semua informasi yang dilemparkan Tanza dengan mendadak ke mukanya.
“Dan lo cerita kalo Nadia pernah nangis malam-malam di kamar lo karena sahabatnya meninggal, yang meninggal waktu itu Eliana…”, sambung Tanza pelan.
“Kenapa lo nggak cerita sama gue Tanza? Ada apa dengan semua ini?” Ahkirnya Verna berani bersuara, meskipun serak dan penuh emosi.
“Gue…. Waktu gue ngajak lo ke makam itu gue sebenernya pingin buat pengakuan ke lo… tapi gue.. takut, gue takut akan berahkir seperti ini, lo akan ngebenci gue.”
“Pengakuan apa?”, Verna mengernyitkan matanya.
“Gue mohon setelah lo denger pengakuan gue, lo bisa lihat semua dari sisi gue dan memahami gue yang dulu….”, Tanza menghela napas dan menatap Verna hati-hati, “Gue…. Gue ngedeketin lo karena disusuh Nadia”
Seperti tayangan cerita yang dramatis, pengakuan Tanza itu diahkiri dengan gelegar petir di luar sana, dan hati Vernapun bagaikan disambar petir mendengarnya.
“Lo.. lo disuruh Nadia?” Suara Verna mulai gemetaran.
“Verna”, Tanza menatap Verna memohon, “Gue mohon lo jangan marah dan benci dulu ama gue, gue akan jelasin semua…. Pada suatu malam, gue nengokin Nadia yang lagi kecelakaan…”, Tanza menatap Verna dan mengangguk, “Ya, kecelakaan yang sama ketika Nadia memergoki kalian”
“Nadia waktu itu sendirian, ga ada Bayu, ga ada Lo dan ga ada orang tuanya, dan dalam tangis serta penderitaannya, Nadia cerita ke gue semuanya, gimana kekasihnya yang sangat dia cintai berselingkuh dengan saudara kembarnya sendiri.”, Tanza melihat penderitaan di mata Verna, “Gue… gue waktu itu ikut marah ama lo, gue gak habis pikir gimana mungkin seorang saudara kembar yang begitu dekat, tega berkhianat di belakangnya.”
Verna ikut meringis. Semua orang berhak membencinya. Dia memang bersalah, sungguh-sungguh bersalah. Mungkin seharusnya dia nggak ada di dunia ini karena ternyata cinta yang dia miliki telah menghancurkan hati Nadia sampai sebegitu dalamnya.
“Lalu Nadia minta tolong sama gue.”, Tanza menyambung, “Dia minta tolong gue ngedeketin lo, dan membuat lo berpindah hati dari Bayu… dia… dia ketakutan, dia bilang dia udah nggak ngelihat cinta di mata Bayu lagi sejak lama untuknya… dia takut Bayu akan ngejar lo, dia memang udah nyuruh lo pergi, tapi dia nggak yakin, sampai lo bisa jatuh cinta pada lelaki lain”, Tanza menyimpan informasi bahwa Nadia juga, dengan penuh dendam meminta Tanza merusak Verna, dan menghancurkan kehormatan Verna, Verna tidak perlu tahu hal itu, lalu hancur hatinya ketika menyadari bahwa Nadia begitu membenci Verna.
“Jadi selama ini lo jadi sahabat gue, selalu nolongin gue, itu semua hanya karena permintaan Nadia agar bisa bikin gue jatuh cinta ama lo?”
“Mulanya begitu,” Tanza mendesah, “Dan ya ampun, gue pikir ini tugas yang mudah, gue terkenal sebagai penakluk cewek, gue pikir lo akan semudah itu gue bikin jatuh hati sama gue, dan tugas gue selesai… ternyata nggak semudah itu Verna, gue.. gue denger semua cerita dari sudut pandang lo, gue ngelihat sendiri lo yang hidup dalam penyesalan, gue lihat sendiri betapa sakitnya lo ketika berusaha memadamkan perasaan lo sama Bayu, yang gue yakin begitu dalam… pada ahkirnya gue yang jatuh hati sama lo”
Verna menatap Bayu dingin, “Dan lo pikir setelah semua informasi yang gue dapat ini, gue akan percaya ama pengakuan perasaan lo ini?”
“Lo boleh nggak percaya, tapi gue… gue serius ama perasaan gue, gue bilang ini semua bukan karena ingin lo jatuh cinta ama gue seperti rencana Nadia, gue serius, gue cinta ama lo Verna, dan gue ingin jaga lo. Perasaan gue ini tulus, dan ga ada siapapun yang mempengaruhi gue, lo nggak perlu balas perasaan gue ini Verna kalo lo memang ga mau.”
Verna menatap mata Tanza, dan mau tak mau menemukan keseriusan di dalam mata itu. Tetapi perasaannya masih tidak yakin, dan curiga. Jangan-jangan Tanza melakukan ini semua supaya bisa tetap menjalankan rencananya dengan Nadia ketika mereka berdua sudah terpergok oleh Verna?
“Gue nggak tahu Bayu, semua ini terlalu memusingkan…”
“Gue nggak akan paksa lo buat jatuh cinta sama gue Verna… yang penting, jangan benci gue, gue mohon, gue sama sekali nggak ada niat jahat sama lo, izinkan gue tetap jadi sahabat lo”
Verna tertegun, “Apakah gue bisa percaya lagi sama lo Tanza?”
“Gue akan bikin lo percaya, gue janji Verna”
Verna menghela nafas panjang. Tanza tidak bisa dikatakan bersalah. Dia berhutang budi pada Nadia. Nadia adalah sahabat Eliana, adik yang sangat disayanginya. Dan dari sudut pandang manapun, semua orang yang mendengar kisah cinta segitiga ini pasti pertama kali akan menyalahkan Verna, begitupun Tanza. Mungkin, Verna memang harus memberi Tanza kesempatan.***
Waktu berjalan dengan cepat setelahnya, dan bulanpun berganti. Verna mengizinkan Tanza tetap menjadi sahabatnya dan mencoba mempercayai Tanza kembali.
Tanza tidak berubah, selalu menyayangi dan mendorong Verna untuk meraih kembali semangatnya. Meskipun sekarang waktunya sudah dekat, Verna mengernnyit dan mau tak mau melirik kalender di dinding, kurang dari dua minggu lagi, Nadia dan Bayu akan melangsungkan pernikahan…
“Jangan melamun”, Tanza tiba-tiba muncul dan duduk di sebelah Verna, di kantin kampus itu, “Kenapa?”, kening Tanza berkerut ketika melihat wajah mendung Verna.
“Nggak”, Verna menggeleng, mencoba tersenyum. Tapi Tanza tahu apa yang berkecamuk di pikiran Verna,
“Lo mikirin hari itu ya?”
Verna diam dan tak bisa berkata-kata.
“Lo mau datang?”, tanya Tanza hati-hati, “Itu sebenarnya yang dimaui Nadia, dia ingin lo datang sama gue biar bisa dilihat Bayu kalo lo udah nemu pasangan baru…. Gue, gue nggak pernah cerita sama Nadia kalo lo udah tahu semua rencananya, jadi Nadia masih berfikir gue ngedeketin lo karena permintaannya”
Verna tersenyum berterimakasih pada Tanza, “Terimakasih Tanza, jangan cerita ke Nadia ya kalau gue udah tau semuanya, gue pingin dengan lo ada di dekat gue dan gue bisa nerima lo, Nadia bisa tenang di hari-harinya.”
Betapa baiknya lo Verna, seandainya saja Nadia tahu kebaikan hati Verna ini, mungkinkah dia akan luluh? Tanza berpikir sendu. Mungkin tidak, karena Nadia terlalu dipenuhi kebencian dan dendam kepada Verna. Tanza teringat betapa Nadia harus kerepotan kesana kemari sendirian mengurus rencana pernikahannya, sedangkan Bayu selalu punya segudang alasan untuk menghindar. Harusnya Nadia bisa sadar bahwa dia memaksakan pernikahan ini. Memaksakan tubuh untuk termiliki sedang hatinya sudah hinggap pada perempuan lain, adalah sebuah dasar pernikahan yang sangat rapuh, dan Tanza berharap bahwa Nadia sadar sebelum dia menjebak Bayu dan dirinya sendiri ke dalam ikatan pernikahan tanpa cinta.
“Bayu selalu menghindari Nadia, kemarin Nadia minta lagi di antar mengurus fotografer untuk pre wedding…”, Tanza bergumam, sejak pengakuannya itu, Tanza selalu menceritakan apapun kepada Verna, tidak ada yang dirahasiakannya kepada perempuan itu.
Verna mendesah. Bayu… teringat olehnya wajah Bayu yang penuh kesedihan kala itu, ketika memohon kepada Verna, agar Verna mau mengungkapkan semuanya kepada keluarganya dan memperjuangkan cinta mereka. Semoga Bayu sadar bahwa itu tidak mungkin, semoga Bayu bisa mengerti bahwa sudah cukup Verna bertindak egois di masa lalu, dan sekarang waktunya bagi Verna untuk menebus dosanya kepada Nadia. Verna ingin Nadia berbahagia. Dan semoga saja Bayu bisa menerima kenyataan dan mau membahagiakan Nadia.
“Lo masih cinta sama Bayu?”, Tanza bertanya hati-hati, memecah keheningan.
Verna menoleh dan tersenyum lembut pada Tanza,
“Lo tau gue udah nggak bisa menumbuhkan perasaan itu, gue.. gue sedang berusaha menghilangkannya.”
“Dan itu berarti lo belum bisa nerima gue dalam hati lo”, sambung Tanza pahit.
“Tanza.” Verna mendesah sedih, “Kasih gue waktu ya… sekarang gue lagi belajar menata perasaan gue, gue.. juga lagi belajar buat mempercayai lo lagi”
Tanza menatap Verna dalam-dalam, lalu tersenyum lembut,
“Iya Verna, gue ngerti, dan makasih banget, lo mau coba percaya ama gue lagi.”***
Sore itu, sepulang dari kampus, Tanza mengajak Verna ke pameran buku di pusat kota Bandung, mereka asyik memilah-milah buku dan Verna menemukan beberapa buku kesukaannya. Kegiatan ini sangat menyenangkan bagi Verna, sebagai pengalihan pikirannya dari hitungan mundur saat pernikahan Nadia dan Bayu yang semakin dekat, dan Verna sangat berterimakasih pada Tanza karenanya.
Lelaki itu selalu berusaha sedapat mungkin membuat Verna bahagia dan melupakan kesedihannya, di suatu malam dia mengajak Verna menonton konser musik, di malam yang lain dia membawa Verna menjelajah seluruh kota Bandung dan berwisata kuliner. Tanza selalu berusaha agar Verna tidak terpuruk dalam kesedihan, dan Tanza berhasil, sedikit banyak, Verna sudah berhasil tertawa dan bisa meletakkan semua beban di hatinya.
“Habis ini kita mampir ke rumah makan seafood paling enak di dekat sini ya, Jimbaran Resto… lo pasti suka Verna, ikan bumbu jimbarannya bener-bener enak dengan empat macam sambal spesial”, Tanza bergumam ketika mereka antri membayar setumpuk buku hasil perburuan mereka di kasir.
“Ga ada dana.”, Jawab Verna sambil bercanda, “Uang gue udah habis buat beli buku.”
Tanza tergelak mendengarnya, “Gue kayaknya harus nraktir lagi neh”, lelaki itu menyipitkan matanya dengan pandangan dibuat-buat, “Jangan-jangan lo modus ya sobatan ama gue, ngincer traktiran rupanya”
Kali ini Verna yang tergelak mendengar perkataan Tanza, kemudian dia menatap Tanza dengan lembut, “Makasih Tanza”
Tanza sudah membayar dan menerima plastik berisi buku-buku itu, dia lalu menghela Verna ke parkiran dan menjauhi antrian, “Makasih kenapa?”
“Karena gue sadar, betapa lo berusaha keras supaya gue nggak memikirkan tanggal pernikahan mereka”, Verna merenung, “Gue pikir, demi kebaikan Nadya dan Bayu, gue akan datang ama lo ke acara itu dengan begitu Nadya bisa tenang, dan Bayu juga bisa ngeliat, lalu berpikir kalo gue udah melupakan dia.”
Tanza menghentikan langkahnya dan menatap Verna yakin, “Lo yakin lo kuat menghadiri pernikahan itu? Gue sendiri, ga perlu lo minta, gue akan dampingi lo buat datang, gue akan jaga lo”
Melihat Bayu bersanding dengan perempuan lain? Melihat Bayu mengikat janji untuk menikahi Nadya? Tidak…. Jauh di dalam hatinya, Verna tidak akan kuat, tetapi hatinya sudah hancur dan berdarah-darah selama ini dan satu goresan luka lagi mungkin masih pantas Verna terima.
“Gue akan menyiapkan hati.”
Seminggu lagi. Verna akan menghadapinya. Lalu semuanya selesai. Mungkin itu akan menjadi titik paling kuat yang bisa mendorong Verna untuk melupakan Bayu, melupakan semua tentang mereka, tentang perasaannya.***
“Baju itu bagus”, Tanza menatap kagum ketika Verna mencoba gaun yang akan dipakainya ke pernikahan Nadia dan Bayu nanti. Gaun itu salah satu gaun Verna yang lama tak pernah dipakainya, warnanya cokelat madu dengan bunga-bunga kecil berwarna putih di kerah dan lengannya, “Gue akan pake jas cokelat biar kita serasi.”
Pipi Verna memerah ketika Tanza menatapnya dengan begitu intens, “Kenapa lo menatap gue kayak begitu?”
“Karena lo cantik”, Tanza membalas tatapan Verna dengan sayang, “Dan gue kaget ternyata Verna yang gue kenal sebagai perempuan tomboy bisa juga pakai rok”
Dengan cemberut, Verna melempar bantal sofa ke arah Tanza, membuat Tanza menangkisnya sambil tergelak.
Lalu Tanza berdiri, dan meraih pundak Verna supaya berhadap-hadapan dengannya,
“Verna, gue sayang sama lo”, dengan lembut Tanza menundukkan kepalanya, hendak mengecup Verna sampai di detik terahkir, sebuah pikiran berkelebat di benaknya. Rasanya tidak pas, mengecup Verna seperti ini, Tanza lalu mengalihkan bibirnya, dan mengecup dahi Verna lembut, “Gue harap gue bisa bantu lo biar semakin kuat.” Bisiknya parau.
Verna membalas tatapan Tanza dengan senyum lembutnya,
“Terimakasih Tanza.”, hatinya terasa hangat dengan kelembutan dan ketulusan Tanza. Dan kalau ada Tanza mendampinginya, Verna yakin dirinya pasti akan kuat.
Ponsel Verna tiba-tiba berbunyi. Terus menerus dan tak mau berhenti seperti meminta perhatian penuh, Verna mengeluarkan ponsel itu dari tas kecilnya yang tergeletak di sofa dan ketika melihat layarnya, dia tertegun
-Nadya Calling-
Dengan gugup, setengah takut, Verna menerima telepon itu.
“Halo….?”
Suara Nadya di seberang sana dipenuhi teror dan ketakutan.
“Verna!! Gue mohon !! datang ke rumah sakit! Gue mohon, tolong gue! Bayu kecelakaan!, dia kritis!”***
Bersambung ke Part 5
Baca Part 1 : http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/10/verna-dan-hujan-part-1.htmlBaca Part 2 : http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/11/verna-dan-hujan-part-2_5.html
Baca Part 3 : http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/verna-dan-hujan-part-3_5787.html#more

Disclaimer : Bandung dengan hujannya yang ( hampir ) setiap hari melahirkan cerita ini. Mau tak mau membuat saya merenungkan hujan dari dua sisi, Hujan yang mendatangkan kebahagiaan bagi manusia yang mencintainya sepenuh hati, dan hujan yang mendatangkan kesedihan bagi manusia yang belum bisa melepaskan masa lalunya.
Verna tertegun, tapi ketika kesadarannya kembali, dia langsung menengok lagi ke arah café itu.
Itu benar-benar Tanza dan Nadia!
Dengan gemetar, Verna berdiri di tengah hujan yang begitu deras, tiupan angin menghantarkan seluruh percikan air ke tubuhnya, payungnya tak bisa lagi menyembunyikannya. Tetapi Verna tak peduli. Perasaannya campur aduk, antara terkejut dan… kecewa.
Tanza mengenal Nadia? Dari pemandangan yang dilihatnya tadi, Tanza tampak begitu akrab dengan Nadia, tatapan di antara keduanya penuh senyum. Mereka tampak bagaikan sahabat lama yang dekat.
Kenapa Tanza tidak pernah menunjukkan kalau dia mengenal Nadia? Bahkan lelaki itu bersikap seolah-olah dia benar-benar orang baru, di luar lingkup kisah Verna yang rumit. Apakah Tanza berbohong kepadanya? Kalau iya, kenapa?
Tiba-tiba Verna merasakan ketakutan yang dalam, bahwa persahabatannya dengan Tanza selama ini hanyalah berisi kebohongan semata.***
Tanza mengangkat bahunya dan tersenyum,“Gue senang bisa membantu.” Meskipun tadi perasaan bersalah menggayutinya selama proses pemilihan menu untuk catering pernikahan Nadia dan Bayu yang dilaksanakan mendadak ini. Tanza teringat Verna, dan entah kenapa dia merasa mengkhianati Verna.
“Menunya tadi sungguh menarik”, Mata Nadia kembali berbinar, “Lo emang pandai memilih makanan, Tanza”
Tanza terkekeh, “Serahkan sama gue kalau soal makanan”, ditatapnya Nadia dengan serius, “Lo ngurus semuanya sendiri Nadia?”
“Enggak juga sih, cuma mama dan papa memang nyerahin masalah-masalah yang spesifik sama gue, seperti menu catering, gaun pengantin, sewa gedung, karena mereka bener-bener pingin semuanya sesuai selera gue. Harusnya gue urusin ini semua sama Bayu, tapi Bayu sibuk banget ahkir-ahkir ini, jadi dia nyerahin semua ke gue.”
Mungkin karena Bayu sendiri tidak kuat menghadapi pernikahan ini. Pikir Tanza dengan pahit. Tetapi bagaimanapun juga, ini keputusan Bayu. Bayu sudah memilih bersama Nadia, dan ini adalah konsekuensi pilihannya.
“Yah, kalo lo butuh bantuan gue lagi, tinggal call aja,” Tanza melirik jam tangannya, “Gue harus pergi nih, ada acara di kampus gue.”
“Iya makasih Tanza, gue di sini dulu deh sekalian nungguin sopir papa ngejemput, tadi gue udah telpon.”
“Oh, sampai jumpa lagi Nadia”, Tanza menganggukkan kepalanya penuh senyum, lalu melangkah pergi dari café itu.
Hujan sangat deras di luar, beberapa orang masih berteduh di teras café itu. Tetapi Bayu memutuskan untuk menembus hujan ke arah parkiran mobil, dia ingin bertemu Verna. Entah kenapa. Mungkin untuk menebus rasa bersalah yang menggayutinya ketika dia melakukan pengkhianatan tadi, memilihkan catering untuk pernikahan Nadia dan Bayu.
Dengan rambut basah menembus hujan, Tanza mendekati mobilnya diparkir, dan kemudian tertegun.
Verna berdiri di sana, dengan payung kecil yang sama sekali tidak melindungi tubuhnya dari hempasan angin dan hujan. Menatapnya dengan pandangan terluka.***
“Verna?”, Tanza melangkah mendekati Verna, yang memang memutuskan mengambil resiko dengan menunggui Tanza di dekat mobilnya. Tadi dia berpikir, kalau Tanza sendirian ke mobilnya, Verna akan menanyakan semua pertanyaan langsung yang berkecamuk di hatinya kepada lelaki itu. Tetapi kalau ternyata Tanza pulang bersama Nadia, Verna akan segera lari dan bersembunyi, menunggu Tanza datang ke kost-nya untuk meminta penjelasan.
“Ternyata lo kenal sama Nadia?” Tanya Verna lirih, berusaha mengalahkan gempuran suara hujan yang begitu deras.
“Verna lo kehujanan, ayo masuk ke mobil dulu.”
Verna menggelengkan kepalanya,
“Gue pingin penjelasan Tanza, kenapa lo bohong sama gue? Ketika gue cerita tentang masalah gue dulu, lo bertingkah seolah-olah lo nggak kenal Nadia, ternyata lo kenal sama Nadia!”
“Verna”, Tanza berusaha menenangkan Verna, “Kita masuk ke mobil dulu yuk, lo basah kuyup, gua juga”, bujuk Tanza tenang.
Verna terdiam, baru menyadari bahwa tiupan angin membuatnya basah kuyup dan tak terlindungi oleh payung, baru menyadari bahwa Tanza berdiri di sana tanpa payung dan sudah hampir basah kuyup tertimpa hujan. Ahkirnya dia mengangguk.
Tanza langsung membuka pintu mobilnya, dan membukakan pintu penumpang buat Verna. Verna pun masuk, dan Tanza melajukan mobilnye menembus hujan,
“Mau ke rumah gue?”
Verna mengernyit, Tanza tidak pernah mengajak Verna sebelumnya, Verna hanya tahu rumah Tanza terletak di lokasi elit paling sejuk di Bandung.
“Boleh,” Jawab Verna datar.
“Akan gue jelasin semuanya di sana.”, Janji Tanza
Dan dalam perjalanan mereka lalui dalam keheningan, tanpa percakapan***
Mobil Tanza melaju memasuki sebuah rumah yang mewah dengan gerbang yang terbuka otomatis, Tanza memarkir mobilnya di depan rumah, dan membukakan pintu untuk Verna.
“Ayo masuk”, dengan lembut Tanza menghela Verna memasuki rumahnya yang besar.
Di pintu, seorang pelayan perempuan setengah menyambut mereka,
“Bik, siapkan baju ganti buat temanku ini yah, di lemari Elina ada baju-baju baru yang belum sempat terpakai, mungkin bisa dipinjamkan dari sana”
“Baik Tuan”, bibik itu melirik ingin tahu kepada Verna. Setahunya tuan Tanza sangat protektif terhadap seluruh peninggalan mendiang nona Elina. Bahkan berdasarkan perintah tuan Tanza, kamar Elina dan seluruh barang-barangnya tetap dijaga dan dirawat sama persis seperti ketika mendiang nona Elina masih hidup. Kalau Tuan Tanza mengizinkan barang nona Elina dipinjamkan, perempuan ini pasti sangat penting bagi Tuan Tanza.
“Ikut bibik ini dulu ya Verna, dia akan memberikan baju ganti buat lo lalu nganterin lo ke kamar mandi untuk ganti pakaian, nanti gue akan nemuin lo di teras belakang.”, Tanza mengangguk pada bibik itu kemudian melangkah menaiki tangga meninggalkan Verna.***
Verna sudah berganti pakaian, baunya seperti baju baru, tetapi ukurannya sangat pas ditubuhnya. Pakaian Eliana, pikir Verna. Dan pakaian itu sangat feminim.
Bibik itu mengantarkan Verna ke teras belakang yang dimaksud Tanza, teras itu sangat bagus, terletak menjorok di belakang rumah, dengan sofa-sofa empuk berwarna coklat hangat dan berbatasan dengan kaca bening yang memantulkan pemandangan taman belakang yang begitu hijau dan indah. Kaca bening itu bagaikan tirai hujan yang sangat nikmat di pandang dari sini.
Tanza duduk di sana, menunggu Verna, dia sudah berganti pakaian juga rupanya, di meja sudah terhidang dua gelas cokelat panas dan kue bolu kismis yang tampaknya masih hangat.
“Duduklah Verna, minum cokelat dulu, Lo pasti kedinginan”, Tanza mengangguk kepada bibik yang mengantarkan Verna dan bibik itu kemudian melangkah pergi, meninggalkan Verna bersama Tanza sendirian.
Verna meneguk cokelat hangat yang nikmat itu, kemudian menggenggam cangkirnya di kedua tangannya, mencoba menyerap kehangatan dari minuman itu. Matanya menatap Tanza, tajam, penuh pertanyaan.
“Gue tau lo pasti kaget dengan pemandangan yang nggak sengaja tadi”, Tanza menatap Verna dengan pandangan menyesal, “Tapi gue bisa ngejelasin, dan gue harap setelah lo ngedenger penjelasan gue lo mau mengerti”
Verna terdiam, menanti jawaban Tanza.
“Gue…. Nadia itu sahabat gue, jauh sebelum gue kenal sama lo”
Wajah Verna memucat mendengar pengakuan Tanza itu, sebuah jawaban yang sama sekali tidak diduganya, dan Tanza menatap Verna dengan sedih,
“Nadia adalah sahabat Eliana, lo inget waktu lo gue ajak ke makam Eliana dan gue bilang gue punya hutang budi yang sangat besar sama teman Eliana yang selalu setia ngedampingin Eliana sampai ajal menjemputnya? Orang itu adalah Nadia.”
Verna masih terdiam, berusaha mencerna semua informasi yang dilemparkan Tanza dengan mendadak ke mukanya.
“Dan lo cerita kalo Nadia pernah nangis malam-malam di kamar lo karena sahabatnya meninggal, yang meninggal waktu itu Eliana…”, sambung Tanza pelan.
“Kenapa lo nggak cerita sama gue Tanza? Ada apa dengan semua ini?” Ahkirnya Verna berani bersuara, meskipun serak dan penuh emosi.
“Gue…. Waktu gue ngajak lo ke makam itu gue sebenernya pingin buat pengakuan ke lo… tapi gue.. takut, gue takut akan berahkir seperti ini, lo akan ngebenci gue.”
“Pengakuan apa?”, Verna mengernyitkan matanya.
“Gue mohon setelah lo denger pengakuan gue, lo bisa lihat semua dari sisi gue dan memahami gue yang dulu….”, Tanza menghela napas dan menatap Verna hati-hati, “Gue…. Gue ngedeketin lo karena disusuh Nadia”
Seperti tayangan cerita yang dramatis, pengakuan Tanza itu diahkiri dengan gelegar petir di luar sana, dan hati Vernapun bagaikan disambar petir mendengarnya.
“Lo.. lo disuruh Nadia?” Suara Verna mulai gemetaran.
“Verna”, Tanza menatap Verna memohon, “Gue mohon lo jangan marah dan benci dulu ama gue, gue akan jelasin semua…. Pada suatu malam, gue nengokin Nadia yang lagi kecelakaan…”, Tanza menatap Verna dan mengangguk, “Ya, kecelakaan yang sama ketika Nadia memergoki kalian”
“Nadia waktu itu sendirian, ga ada Bayu, ga ada Lo dan ga ada orang tuanya, dan dalam tangis serta penderitaannya, Nadia cerita ke gue semuanya, gimana kekasihnya yang sangat dia cintai berselingkuh dengan saudara kembarnya sendiri.”, Tanza melihat penderitaan di mata Verna, “Gue… gue waktu itu ikut marah ama lo, gue gak habis pikir gimana mungkin seorang saudara kembar yang begitu dekat, tega berkhianat di belakangnya.”
Verna ikut meringis. Semua orang berhak membencinya. Dia memang bersalah, sungguh-sungguh bersalah. Mungkin seharusnya dia nggak ada di dunia ini karena ternyata cinta yang dia miliki telah menghancurkan hati Nadia sampai sebegitu dalamnya.
“Lalu Nadia minta tolong sama gue.”, Tanza menyambung, “Dia minta tolong gue ngedeketin lo, dan membuat lo berpindah hati dari Bayu… dia… dia ketakutan, dia bilang dia udah nggak ngelihat cinta di mata Bayu lagi sejak lama untuknya… dia takut Bayu akan ngejar lo, dia memang udah nyuruh lo pergi, tapi dia nggak yakin, sampai lo bisa jatuh cinta pada lelaki lain”, Tanza menyimpan informasi bahwa Nadia juga, dengan penuh dendam meminta Tanza merusak Verna, dan menghancurkan kehormatan Verna, Verna tidak perlu tahu hal itu, lalu hancur hatinya ketika menyadari bahwa Nadia begitu membenci Verna.
“Jadi selama ini lo jadi sahabat gue, selalu nolongin gue, itu semua hanya karena permintaan Nadia agar bisa bikin gue jatuh cinta ama lo?”
“Mulanya begitu,” Tanza mendesah, “Dan ya ampun, gue pikir ini tugas yang mudah, gue terkenal sebagai penakluk cewek, gue pikir lo akan semudah itu gue bikin jatuh hati sama gue, dan tugas gue selesai… ternyata nggak semudah itu Verna, gue.. gue denger semua cerita dari sudut pandang lo, gue ngelihat sendiri lo yang hidup dalam penyesalan, gue lihat sendiri betapa sakitnya lo ketika berusaha memadamkan perasaan lo sama Bayu, yang gue yakin begitu dalam… pada ahkirnya gue yang jatuh hati sama lo”
Verna menatap Bayu dingin, “Dan lo pikir setelah semua informasi yang gue dapat ini, gue akan percaya ama pengakuan perasaan lo ini?”
“Lo boleh nggak percaya, tapi gue… gue serius ama perasaan gue, gue bilang ini semua bukan karena ingin lo jatuh cinta ama gue seperti rencana Nadia, gue serius, gue cinta ama lo Verna, dan gue ingin jaga lo. Perasaan gue ini tulus, dan ga ada siapapun yang mempengaruhi gue, lo nggak perlu balas perasaan gue ini Verna kalo lo memang ga mau.”
Verna menatap mata Tanza, dan mau tak mau menemukan keseriusan di dalam mata itu. Tetapi perasaannya masih tidak yakin, dan curiga. Jangan-jangan Tanza melakukan ini semua supaya bisa tetap menjalankan rencananya dengan Nadia ketika mereka berdua sudah terpergok oleh Verna?
“Gue nggak tahu Bayu, semua ini terlalu memusingkan…”
“Gue nggak akan paksa lo buat jatuh cinta sama gue Verna… yang penting, jangan benci gue, gue mohon, gue sama sekali nggak ada niat jahat sama lo, izinkan gue tetap jadi sahabat lo”
Verna tertegun, “Apakah gue bisa percaya lagi sama lo Tanza?”
“Gue akan bikin lo percaya, gue janji Verna”
Verna menghela nafas panjang. Tanza tidak bisa dikatakan bersalah. Dia berhutang budi pada Nadia. Nadia adalah sahabat Eliana, adik yang sangat disayanginya. Dan dari sudut pandang manapun, semua orang yang mendengar kisah cinta segitiga ini pasti pertama kali akan menyalahkan Verna, begitupun Tanza. Mungkin, Verna memang harus memberi Tanza kesempatan.***
Waktu berjalan dengan cepat setelahnya, dan bulanpun berganti. Verna mengizinkan Tanza tetap menjadi sahabatnya dan mencoba mempercayai Tanza kembali.
Tanza tidak berubah, selalu menyayangi dan mendorong Verna untuk meraih kembali semangatnya. Meskipun sekarang waktunya sudah dekat, Verna mengernnyit dan mau tak mau melirik kalender di dinding, kurang dari dua minggu lagi, Nadia dan Bayu akan melangsungkan pernikahan…
“Jangan melamun”, Tanza tiba-tiba muncul dan duduk di sebelah Verna, di kantin kampus itu, “Kenapa?”, kening Tanza berkerut ketika melihat wajah mendung Verna.
“Nggak”, Verna menggeleng, mencoba tersenyum. Tapi Tanza tahu apa yang berkecamuk di pikiran Verna,
“Lo mikirin hari itu ya?”
Verna diam dan tak bisa berkata-kata.
“Lo mau datang?”, tanya Tanza hati-hati, “Itu sebenarnya yang dimaui Nadia, dia ingin lo datang sama gue biar bisa dilihat Bayu kalo lo udah nemu pasangan baru…. Gue, gue nggak pernah cerita sama Nadia kalo lo udah tahu semua rencananya, jadi Nadia masih berfikir gue ngedeketin lo karena permintaannya”
Verna tersenyum berterimakasih pada Tanza, “Terimakasih Tanza, jangan cerita ke Nadia ya kalau gue udah tau semuanya, gue pingin dengan lo ada di dekat gue dan gue bisa nerima lo, Nadia bisa tenang di hari-harinya.”
Betapa baiknya lo Verna, seandainya saja Nadia tahu kebaikan hati Verna ini, mungkinkah dia akan luluh? Tanza berpikir sendu. Mungkin tidak, karena Nadia terlalu dipenuhi kebencian dan dendam kepada Verna. Tanza teringat betapa Nadia harus kerepotan kesana kemari sendirian mengurus rencana pernikahannya, sedangkan Bayu selalu punya segudang alasan untuk menghindar. Harusnya Nadia bisa sadar bahwa dia memaksakan pernikahan ini. Memaksakan tubuh untuk termiliki sedang hatinya sudah hinggap pada perempuan lain, adalah sebuah dasar pernikahan yang sangat rapuh, dan Tanza berharap bahwa Nadia sadar sebelum dia menjebak Bayu dan dirinya sendiri ke dalam ikatan pernikahan tanpa cinta.
“Bayu selalu menghindari Nadia, kemarin Nadia minta lagi di antar mengurus fotografer untuk pre wedding…”, Tanza bergumam, sejak pengakuannya itu, Tanza selalu menceritakan apapun kepada Verna, tidak ada yang dirahasiakannya kepada perempuan itu.
Verna mendesah. Bayu… teringat olehnya wajah Bayu yang penuh kesedihan kala itu, ketika memohon kepada Verna, agar Verna mau mengungkapkan semuanya kepada keluarganya dan memperjuangkan cinta mereka. Semoga Bayu sadar bahwa itu tidak mungkin, semoga Bayu bisa mengerti bahwa sudah cukup Verna bertindak egois di masa lalu, dan sekarang waktunya bagi Verna untuk menebus dosanya kepada Nadia. Verna ingin Nadia berbahagia. Dan semoga saja Bayu bisa menerima kenyataan dan mau membahagiakan Nadia.
“Lo masih cinta sama Bayu?”, Tanza bertanya hati-hati, memecah keheningan.
Verna menoleh dan tersenyum lembut pada Tanza,
“Lo tau gue udah nggak bisa menumbuhkan perasaan itu, gue.. gue sedang berusaha menghilangkannya.”
“Dan itu berarti lo belum bisa nerima gue dalam hati lo”, sambung Tanza pahit.
“Tanza.” Verna mendesah sedih, “Kasih gue waktu ya… sekarang gue lagi belajar menata perasaan gue, gue.. juga lagi belajar buat mempercayai lo lagi”
Tanza menatap Verna dalam-dalam, lalu tersenyum lembut,
“Iya Verna, gue ngerti, dan makasih banget, lo mau coba percaya ama gue lagi.”***
Sore itu, sepulang dari kampus, Tanza mengajak Verna ke pameran buku di pusat kota Bandung, mereka asyik memilah-milah buku dan Verna menemukan beberapa buku kesukaannya. Kegiatan ini sangat menyenangkan bagi Verna, sebagai pengalihan pikirannya dari hitungan mundur saat pernikahan Nadia dan Bayu yang semakin dekat, dan Verna sangat berterimakasih pada Tanza karenanya.
Lelaki itu selalu berusaha sedapat mungkin membuat Verna bahagia dan melupakan kesedihannya, di suatu malam dia mengajak Verna menonton konser musik, di malam yang lain dia membawa Verna menjelajah seluruh kota Bandung dan berwisata kuliner. Tanza selalu berusaha agar Verna tidak terpuruk dalam kesedihan, dan Tanza berhasil, sedikit banyak, Verna sudah berhasil tertawa dan bisa meletakkan semua beban di hatinya.
“Habis ini kita mampir ke rumah makan seafood paling enak di dekat sini ya, Jimbaran Resto… lo pasti suka Verna, ikan bumbu jimbarannya bener-bener enak dengan empat macam sambal spesial”, Tanza bergumam ketika mereka antri membayar setumpuk buku hasil perburuan mereka di kasir.
“Ga ada dana.”, Jawab Verna sambil bercanda, “Uang gue udah habis buat beli buku.”
Tanza tergelak mendengarnya, “Gue kayaknya harus nraktir lagi neh”, lelaki itu menyipitkan matanya dengan pandangan dibuat-buat, “Jangan-jangan lo modus ya sobatan ama gue, ngincer traktiran rupanya”
Kali ini Verna yang tergelak mendengar perkataan Tanza, kemudian dia menatap Tanza dengan lembut, “Makasih Tanza”
Tanza sudah membayar dan menerima plastik berisi buku-buku itu, dia lalu menghela Verna ke parkiran dan menjauhi antrian, “Makasih kenapa?”
“Karena gue sadar, betapa lo berusaha keras supaya gue nggak memikirkan tanggal pernikahan mereka”, Verna merenung, “Gue pikir, demi kebaikan Nadya dan Bayu, gue akan datang ama lo ke acara itu dengan begitu Nadya bisa tenang, dan Bayu juga bisa ngeliat, lalu berpikir kalo gue udah melupakan dia.”
Tanza menghentikan langkahnya dan menatap Verna yakin, “Lo yakin lo kuat menghadiri pernikahan itu? Gue sendiri, ga perlu lo minta, gue akan dampingi lo buat datang, gue akan jaga lo”
Melihat Bayu bersanding dengan perempuan lain? Melihat Bayu mengikat janji untuk menikahi Nadya? Tidak…. Jauh di dalam hatinya, Verna tidak akan kuat, tetapi hatinya sudah hancur dan berdarah-darah selama ini dan satu goresan luka lagi mungkin masih pantas Verna terima.
“Gue akan menyiapkan hati.”
Seminggu lagi. Verna akan menghadapinya. Lalu semuanya selesai. Mungkin itu akan menjadi titik paling kuat yang bisa mendorong Verna untuk melupakan Bayu, melupakan semua tentang mereka, tentang perasaannya.***
“Baju itu bagus”, Tanza menatap kagum ketika Verna mencoba gaun yang akan dipakainya ke pernikahan Nadia dan Bayu nanti. Gaun itu salah satu gaun Verna yang lama tak pernah dipakainya, warnanya cokelat madu dengan bunga-bunga kecil berwarna putih di kerah dan lengannya, “Gue akan pake jas cokelat biar kita serasi.”
Pipi Verna memerah ketika Tanza menatapnya dengan begitu intens, “Kenapa lo menatap gue kayak begitu?”
“Karena lo cantik”, Tanza membalas tatapan Verna dengan sayang, “Dan gue kaget ternyata Verna yang gue kenal sebagai perempuan tomboy bisa juga pakai rok”
Dengan cemberut, Verna melempar bantal sofa ke arah Tanza, membuat Tanza menangkisnya sambil tergelak.
Lalu Tanza berdiri, dan meraih pundak Verna supaya berhadap-hadapan dengannya,
“Verna, gue sayang sama lo”, dengan lembut Tanza menundukkan kepalanya, hendak mengecup Verna sampai di detik terahkir, sebuah pikiran berkelebat di benaknya. Rasanya tidak pas, mengecup Verna seperti ini, Tanza lalu mengalihkan bibirnya, dan mengecup dahi Verna lembut, “Gue harap gue bisa bantu lo biar semakin kuat.” Bisiknya parau.
Verna membalas tatapan Tanza dengan senyum lembutnya,
“Terimakasih Tanza.”, hatinya terasa hangat dengan kelembutan dan ketulusan Tanza. Dan kalau ada Tanza mendampinginya, Verna yakin dirinya pasti akan kuat.
Ponsel Verna tiba-tiba berbunyi. Terus menerus dan tak mau berhenti seperti meminta perhatian penuh, Verna mengeluarkan ponsel itu dari tas kecilnya yang tergeletak di sofa dan ketika melihat layarnya, dia tertegun
-Nadya Calling-
Dengan gugup, setengah takut, Verna menerima telepon itu.
“Halo….?”
Suara Nadya di seberang sana dipenuhi teror dan ketakutan.
“Verna!! Gue mohon !! datang ke rumah sakit! Gue mohon, tolong gue! Bayu kecelakaan!, dia kritis!”***
Bersambung ke Part 5
Baca Part 1 : http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/10/verna-dan-hujan-part-1.htmlBaca Part 2 : http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/11/verna-dan-hujan-part-2_5.html
Baca Part 3 : http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/verna-dan-hujan-part-3_5787.html#more
Published on December 10, 2012 23:37
No comments have been added yet.
Santhy Agatha's Blog
- Santhy Agatha's profile
- 483 followers
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.
