Someone Somewhere in Summertime


“Pernah membayangkan hari ini?” aku menoleh pada Lanang, yang memandang lurus ke langit yang menghitam, mentari sudah lama terbenam. Kami tengah berbaring di hamparan pasir pantai, menikmati malam, berdamai bersama alam. Hanya diam, tapi kami seharusnya di sini untuk menghapus kelam, bukan lagi seperti dulu, terus menerus terjebak dalam kisah yang takkan berakhir indah karena hanya akan menenggelamkan kami pada kekecewaan yang lebih dalam.Lanang masih terdiam, tapi mengulang kata-kata yang telah kukeluarkan membuatku enggan. Lanang tahu aku takkan bicara lagi…jadi menyentuh tanganku dan menggenggamnya, mata kami bertemu, aku memandang jauh ke dalam matanya…aku tak bisa melihat ada aku di sana…aku takkan bisa ada dalam masa depannya.“Seandainya cinta cukup untuk menyelesaikan segalanya…” katanya.Aku tertawa “Realita memanggil kita”“Boleh mengabaikan panggilannya?”“Seandainya bisa” aku berharapLanang tertawa, parau, tanpa makna bahagia, tawa pura-pura ketika seseorang kehabisan kata.“Masih ingat bagaimana kita berjumpa dulu?” tanyanya…Takkan kulupa.“Rambut tergerai tertiup angin pantai…kamu berdiri menatap laut…kupikir kamu menyukai ombak, tapi bisa jadi kamu suka wangi garam…tapi ternyata…”“Takkan ada yang menduga kan?” aku tertawa.“Kamu marah pada lautan”“Karena aku begitu payah…”“Bukan payah, hanya saja…”“Bermaksud membela diri, Adiba?” ekor matanya mengarah padaku.“Baiklah…logikanya, aku mencoba…ingin memahami, bahwa seharusnya aku menemukan biru”“Tapi kamu tak menemukannya, baik di langit ataupun lautan!”“Biru itu tak pernah sama kan?”“Pada akhirnya aku menemukannya Lanang…di matamu” saat mengatakannya aku merasakan seperti habis menelan segenggam pasir.“Harusnya kita tak membahasnya…”“Aku suka biru…biru yang selalu kulihat dalam mimpiku, kucari tak kudapati hingga kutemukan dalam binar matamu, tapi menyakitkan karena tak bisa tetap kumiliki.”“Kita bisa saling memiliki”“Tidak”“Kenapa?”“Kita berbeda”“Apa salah?”“Tidak juga …hanya saja…”“Jangan mulai lagi”“Tuhan hanya satu, cara kita mempercainyalah yang berbeda.”Aku tak lagi ingin menatapnya, tapi berganti menatap langit yang menghitam…aku ingat dulu aku sering memejamkan mata hanya untuk melihat bintang-bintang dalam gelapku.“Orang tuaku berbeda…”bisik Lanang. “Mata biruku hadiah dari lelaki yang membuat ibuku jatuh cinta, lelaki yang meninggalkannya begitu saja, tanpa janji tanpa ucapan cinta.” Genggaman tangan Lanang semakin erat. “Tapi ibuku tak menyesalinya, jika menyesal, maka takkan ada seseorang yang akan menggenggam tanganmu dan menemanimu menikmati bintang-bintang malam seperti sekarang.”“Dan takkan ada yang menghadiahiku dengan perasan menakutkan seperti ini”“Ketakutan?”“Kenapa begitu sulit untuk menyatukan perbedaan?”“Dulu kita mencobanya…dan kecewa”“Dan sekarang…”“Hanya reuni sahabat lama”Kami tertawa, terpaksa.“Sahabat lama yang dulu pernah saling jatuh cinta, tak bisa menemukan jalan yang sama, kita berpisah arah…dan yeah…lagi-lagi kecewa.”“Aku tak bisa melepas mata saat kaki-kakimu berlari di pasir, rokmu beterbangan, dan tawamu membelah di udara…”“Masih ingat detailnya?”“Ingatanku masih mengukir gambarmu dengan sempurna.”“Ingatan yang bagus, Lanang.”“Apa yang kamu ingat tentangku?”“Hal-hal yang menyakitkan…seorang pria tampan dengan kulit kegelapan, mata bitu terang dan rambut ikal emas…bernama Gusti Lanang Mahardika… siapa yang tak jatuh cinta? Hahahahaha, tapi ternyata harus berujung kecewa…”“Lima tahun ini sungguh-sungguh sanggup melupakanku?”“Hanya mengajari hatiku untuk tak lagi mengharapkanmu.”“Bagaimana bisa?”“Memanipulasi hati dan mencoba untuk hanya mengganggapmu sebagai seseorang yang berada di sana di suatu musim panas saat aku menemukan apa yang kucari, biru…biru yang ketemukan tapi harus kurelakan…”“Apakah berhasil?”“Berhasil bila kukatakan bahwa kamu adalah musim panas terbaikku.” “Yeah musim panas terbaikku…”“Rasanya lebih bermakna saat aku hanya bisa menggenggam tanganmu.” Aku tahu Lanang membayangkan apa yang terjadi di sini lima tahun lalu, sepasang remaja nekat yang berbuat terlalu jauh. Aku tak ingin ada yang terulang lagi, tak ingin tenggelam jauh lagi…harus pergi sekarang, sebelum ombak menyeret lalu menghempaskan kami dengan cara yang jauh lebih menyakitkan.“Saatnya mengucapkan selamat tinggal.” Aku bangkit dan mengibaskan pasir di pakaianku, aku berjalan, tak berbalik tak ingin lagi melihat sesuatu yang tertinggal di belakang…musim panas itu takkan pernah sama…musim panas terbaik, musim panas terburuk, saat aku jatuh cinta, saat pertama mulai membuka luka.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 05, 2012 11:55
No comments have been added yet.