Rice Cooker dan Hal-hal yang Tidak Pernah Selesai
Pagi itu, aku terbangun setelah dua kali menekan tombol snooze alarm di ponsel.
Kamu dan anak-anak masih tidur, lelap dalam selimut yang sudah tidak seperti semalam. Aku melangkah pelan ke luar kamar, meneguk segelas air sambil duduk mengumpulkan nyawa, menatap kosong ruang tamu. Sunyi. Tapi kepalaku sudah ramai dengan pikiran-pikiran tentang apa yang harus aku kerjakan setelah salat Subuh. Tentu saja, mencuci piring-piring kotor dan memasak sarapan. Kebetulan hari ini aku libur kerja.
Sambil menyalakan lampu dapur, pikiranku malah kembali ke malam tadi.
Semalam kamu bercerita banyak hal: tentang anak-anak yang mulai beranjak remaja dan sulit diatur, tentang parenting reels, tentang apa yang seharusnya suami lakukan, tentang kejadian-kejadian yang membuatmu cemas, juga tentang tempat-tempat liburan.
Seperti biasa, obrolan kita melebar ke mana-mana dan tentu saja diiringi adu argumen. Kadang karena aku terlalu cepat memotong, kadang karena kamu merasa tak sungguh-sungguh didengarkan.
Aku pernah berpikir, bagaimana kalau orang lain bisa mendengar isi percakapan kita sehari-hari? Mungkin mereka akan bingung. Karena percakapan kita sering kali acak. Kadang absurd. Kadang dalam. Kadang menyakitkan.
Kamu pernah, tanpa prolog, bertanya dan menjelaskan, “Bang, tahu nggak sih mainan yang katanya bisa ngurangin anxiety itu? Yang dipencet-pencet atau diputar-putar biar nggak bosan? Aku sih coba, tapi ya biasa aja... bosan juga ujung-ujungnya.”
Kamu pernah mengeluh panjang soal aku yang, menurutmu, tidak pernah benar-benar fokus saat kamu bicara. Katamu, caraku ngobrol denganmu berbeda dengan saat aku ngobrol dengan teman-teman perempuanku. Aku tidak akan membela diri, karena mungkin memang begitu yang terlihat. Tapi yang kamu luput adalah: sikap sopanku pada mereka bukanlah keintiman, itu hanya norma, basa-basi, dan kepura-puraan sosial.
Sementara denganmu, segala yang kuucapkan mungkin tidak selalu manis, tapi tidak pernah palsu. Obrolan kita, yang kadang kelewat jujur sampai menyakitkan, justru berdiri di atas ketulusan, keterbukaan, dan kejujuran.
“Ayo, lama banget. Nunggu apa lagi, sih?” kataku saat menunggumu tidak selesai-selesai melakukan sesuatu, padahal kita mau berangkat pergi.
“Nunggu aku selesai bikin candi,” kamu merespons enteng.
Aku suka saat kamu bisa melucu. Karena tidak setiap hari kamu bisa. Ada hari-hari saat kamu terlampau lelah, dan candamu hilang. Tidak apa-apa, karena begitulah mungkin hubungan yang nyata—tumbuh di antara lelucon, keluhan, dan luka, bukan hanya bunga dan puisi.
Lalu obrolan kita mengalir ke mana-mana: ke sakit kepala yang datang tiba-tiba, sementara aku mendengarkanmu sambil melipat jas hujan kemudian memotong kuku, sampai akhirnya kamu balik ngomel soal aku yang, katamu, tidak mendengarkan. Tentang sistem pendidikan kita yang kacau. Tentang aku yang suka menyalahkan, yang tidak bisa berkata manis, yang selalu kritis tiap kamu cerita hal baru. Aku tahu kamu kecewa padaku tentang banyak hal.
Aku cuma bisa mengangguk sambil pura-pura paham. Bukannya tidak peduli, tapi karena kalau aku menanggapi, urusannya bisa panjang. Sementara di kepala, aku malah berpikir, “Kenapa, ya, rice cooker yang elemennya udah diganti tetap aja nggak bisa menghangatkan?”
Sebenarnya kamu tahu kalau kamu mulai berubah, dan itu bukan pilihanmu. Karena belakangan ini, kamu mulai sadar ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertengkaran biasa. Ada saat-saat kamu jadi lebih lelah dari biasanya. Lebih mudah kesal pada apa pun, bahkan pada hal-hal sepele. Kadang kamu merasa jauh. Pikiranmu sering kabur. Kamu jadi lebih sensitif terhadap suara, cahaya, bahkan komentar receh dariku. Tidurmu terganggu. Kadang kamu menangis di tengah malam karena bermimpi. Kadang kamu hanya diam, dan kamu masih mencoba memahami semuanya. Biasanya kamu mengalihkan segala hal itu dengan fangirling atau media sosial. Tapi hal yang sebenarnya masih ada di dalam.
Dan kamu, yang pelan-pelan sadar akan keadaan itu, kemudian bertanya, “Apa aku perlu ke psikiater ya, Bang?”
Sampai akhirnya aku juga ikut sadar bahwa ini bukan tentang kamu yang tidak bisa mengikhlaskan beban. Bukan kamu yang berhenti mencintaiku. Ini tubuhmu yang sedang berubah. Perimenopause, katamu. Hormonmu berputar seperti komidi putar, tapi tanpa musik yang menyenangkan.
Aku tahu, aku tidak bisa memperbaiki hormon-hormonmu. Tapi aku bisa berhenti bersikap seolah semua ini salahmu. Dan ketahuilah, aku tidak pernah berpikir seperti itu. Memang, terkadang aku juga lelah dan bersikap cuek, tapi itu karena kelemahanku.
Aku bisa mulai belajar dengan benar-benar mendengarkan. Tidak terburu-buru memberi solusi. Tidak merasa perlu membalas semua yang kamu ucapkan. Karena ternyata, kehadiran tenangku—yang dulu kamu kritik karena terlalu pasif—sekarang justru bisa jadi tempatmu merasa aman.
Aku mungkin bukan suami ideal seperti di reels Instagram yang sering kamu bagikan. Kamu mungkin juga bukan istri ideal seperti yang kubayangkan. Ya, kita bukan pasangan yang selalu ideal. Kita bahkan tidak selalu ramah satu sama lain. Tapi siapa peduli dengan mitos ideal?
Kamu juga tentu tahu bahwa yang kita punya jauh lebih nyata: keintiman yang tumbuh dari percakapan ngawur, keresahan serta kerapuhan yang tak selesai-selesai kita bicarakan sebelum tidur. Dari diam yang nyaman. Dari luka yang kita rawat diam-diam. Dari kenyamanan untuk menjadi diri sendiri—yang aneh, yang tidak keren, yang tidak selalu benar.
Karena di dunia yang sibuk menuntut kesempurnaan, kamu adalah tempat di mana aku boleh joget nggak jelas, mengeluarkan jokes bapak-bapak tanpa malu. Dan kamu masih di sini. Menertawai. Menertemani. Menjadi aneh bersamaku.
Itu adalah bentuk paling jujur dari cinta: keberanian untuk tetap tinggal, bahkan saat segalanya berubah.
Mungkin kita hanya sedang mencari apa yang rusak dari diri kita masing-masing, bertanya kepada diri kita masing-masing, “Mengapa rice cooker yang elemennya udah diganti tetap aja nggak bisa menghangatkan?”
Mungkin memang karena kita tahu, tak semua yang rusak bisa diperbaiki. Tapi kita bisa memilih untuk tidak saling menyalahkan.
Kamu dan anak-anak masih tidur, lelap dalam selimut yang sudah tidak seperti semalam. Aku melangkah pelan ke luar kamar, meneguk segelas air sambil duduk mengumpulkan nyawa, menatap kosong ruang tamu. Sunyi. Tapi kepalaku sudah ramai dengan pikiran-pikiran tentang apa yang harus aku kerjakan setelah salat Subuh. Tentu saja, mencuci piring-piring kotor dan memasak sarapan. Kebetulan hari ini aku libur kerja.
Sambil menyalakan lampu dapur, pikiranku malah kembali ke malam tadi.
Semalam kamu bercerita banyak hal: tentang anak-anak yang mulai beranjak remaja dan sulit diatur, tentang parenting reels, tentang apa yang seharusnya suami lakukan, tentang kejadian-kejadian yang membuatmu cemas, juga tentang tempat-tempat liburan.
Seperti biasa, obrolan kita melebar ke mana-mana dan tentu saja diiringi adu argumen. Kadang karena aku terlalu cepat memotong, kadang karena kamu merasa tak sungguh-sungguh didengarkan.
Aku pernah berpikir, bagaimana kalau orang lain bisa mendengar isi percakapan kita sehari-hari? Mungkin mereka akan bingung. Karena percakapan kita sering kali acak. Kadang absurd. Kadang dalam. Kadang menyakitkan.
Kamu pernah, tanpa prolog, bertanya dan menjelaskan, “Bang, tahu nggak sih mainan yang katanya bisa ngurangin anxiety itu? Yang dipencet-pencet atau diputar-putar biar nggak bosan? Aku sih coba, tapi ya biasa aja... bosan juga ujung-ujungnya.”
Kamu pernah mengeluh panjang soal aku yang, menurutmu, tidak pernah benar-benar fokus saat kamu bicara. Katamu, caraku ngobrol denganmu berbeda dengan saat aku ngobrol dengan teman-teman perempuanku. Aku tidak akan membela diri, karena mungkin memang begitu yang terlihat. Tapi yang kamu luput adalah: sikap sopanku pada mereka bukanlah keintiman, itu hanya norma, basa-basi, dan kepura-puraan sosial.
Sementara denganmu, segala yang kuucapkan mungkin tidak selalu manis, tapi tidak pernah palsu. Obrolan kita, yang kadang kelewat jujur sampai menyakitkan, justru berdiri di atas ketulusan, keterbukaan, dan kejujuran.
“Ayo, lama banget. Nunggu apa lagi, sih?” kataku saat menunggumu tidak selesai-selesai melakukan sesuatu, padahal kita mau berangkat pergi.
“Nunggu aku selesai bikin candi,” kamu merespons enteng.
Aku suka saat kamu bisa melucu. Karena tidak setiap hari kamu bisa. Ada hari-hari saat kamu terlampau lelah, dan candamu hilang. Tidak apa-apa, karena begitulah mungkin hubungan yang nyata—tumbuh di antara lelucon, keluhan, dan luka, bukan hanya bunga dan puisi.
Lalu obrolan kita mengalir ke mana-mana: ke sakit kepala yang datang tiba-tiba, sementara aku mendengarkanmu sambil melipat jas hujan kemudian memotong kuku, sampai akhirnya kamu balik ngomel soal aku yang, katamu, tidak mendengarkan. Tentang sistem pendidikan kita yang kacau. Tentang aku yang suka menyalahkan, yang tidak bisa berkata manis, yang selalu kritis tiap kamu cerita hal baru. Aku tahu kamu kecewa padaku tentang banyak hal.
Aku cuma bisa mengangguk sambil pura-pura paham. Bukannya tidak peduli, tapi karena kalau aku menanggapi, urusannya bisa panjang. Sementara di kepala, aku malah berpikir, “Kenapa, ya, rice cooker yang elemennya udah diganti tetap aja nggak bisa menghangatkan?”
Sebenarnya kamu tahu kalau kamu mulai berubah, dan itu bukan pilihanmu. Karena belakangan ini, kamu mulai sadar ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertengkaran biasa. Ada saat-saat kamu jadi lebih lelah dari biasanya. Lebih mudah kesal pada apa pun, bahkan pada hal-hal sepele. Kadang kamu merasa jauh. Pikiranmu sering kabur. Kamu jadi lebih sensitif terhadap suara, cahaya, bahkan komentar receh dariku. Tidurmu terganggu. Kadang kamu menangis di tengah malam karena bermimpi. Kadang kamu hanya diam, dan kamu masih mencoba memahami semuanya. Biasanya kamu mengalihkan segala hal itu dengan fangirling atau media sosial. Tapi hal yang sebenarnya masih ada di dalam.
Dan kamu, yang pelan-pelan sadar akan keadaan itu, kemudian bertanya, “Apa aku perlu ke psikiater ya, Bang?”
Sampai akhirnya aku juga ikut sadar bahwa ini bukan tentang kamu yang tidak bisa mengikhlaskan beban. Bukan kamu yang berhenti mencintaiku. Ini tubuhmu yang sedang berubah. Perimenopause, katamu. Hormonmu berputar seperti komidi putar, tapi tanpa musik yang menyenangkan.
Aku tahu, aku tidak bisa memperbaiki hormon-hormonmu. Tapi aku bisa berhenti bersikap seolah semua ini salahmu. Dan ketahuilah, aku tidak pernah berpikir seperti itu. Memang, terkadang aku juga lelah dan bersikap cuek, tapi itu karena kelemahanku.
Aku bisa mulai belajar dengan benar-benar mendengarkan. Tidak terburu-buru memberi solusi. Tidak merasa perlu membalas semua yang kamu ucapkan. Karena ternyata, kehadiran tenangku—yang dulu kamu kritik karena terlalu pasif—sekarang justru bisa jadi tempatmu merasa aman.
Aku mungkin bukan suami ideal seperti di reels Instagram yang sering kamu bagikan. Kamu mungkin juga bukan istri ideal seperti yang kubayangkan. Ya, kita bukan pasangan yang selalu ideal. Kita bahkan tidak selalu ramah satu sama lain. Tapi siapa peduli dengan mitos ideal?
Kamu juga tentu tahu bahwa yang kita punya jauh lebih nyata: keintiman yang tumbuh dari percakapan ngawur, keresahan serta kerapuhan yang tak selesai-selesai kita bicarakan sebelum tidur. Dari diam yang nyaman. Dari luka yang kita rawat diam-diam. Dari kenyamanan untuk menjadi diri sendiri—yang aneh, yang tidak keren, yang tidak selalu benar.
Karena di dunia yang sibuk menuntut kesempurnaan, kamu adalah tempat di mana aku boleh joget nggak jelas, mengeluarkan jokes bapak-bapak tanpa malu. Dan kamu masih di sini. Menertawai. Menertemani. Menjadi aneh bersamaku.
Itu adalah bentuk paling jujur dari cinta: keberanian untuk tetap tinggal, bahkan saat segalanya berubah.
Mungkin kita hanya sedang mencari apa yang rusak dari diri kita masing-masing, bertanya kepada diri kita masing-masing, “Mengapa rice cooker yang elemennya udah diganti tetap aja nggak bisa menghangatkan?”
Mungkin memang karena kita tahu, tak semua yang rusak bisa diperbaiki. Tapi kita bisa memilih untuk tidak saling menyalahkan.
Published on July 18, 2025 20:48
No comments have been added yet.