Percuma Berlatih Lama Jika Masih Menjadi Pengecut

Sebuah pertanyaan masuk ke kotak pesan saya, ''Bagaimana menumbuhkan keberanian untuk menjadi penulis? Saya takut gagal dan takut karya saya jelek.''
Saya baca berulangkali dan banyak sekali pesan masuk serupa dalam bahasa berbeda. Jawaban saya tetap sama, ''Untuk melawan takut, maka BERANILAH.''
Betapa banyak di antara kita mengatakan keinginan dan impian yang gemanya kuat sekali di dalam pikiran. Bahkan saking kuatnya, impian itu meneror tidur nyenyak kita. Berlatih tekun diam-diam, mengikuti banyak kelas, lalu berkata, ''Kalau aku berlatih sedikit lagi, aku akan menemukan cara untuk berani.''
Lalu kesempatan atau tantangan pun datang. Masalahnya, bukan soal kemampuan, namun nyali yang seujung kuku kelingking kaki. Kecil. Kita menjadi pengecut seketika.
Dulu, saya pernah menjadi anak kecil yang cerewet dan pemberontak jika melakukan suatu hal yang tidak sesuai kehendak,lucunya saya mendadak penakut di depan sosok kostum boneka berjalan. Ya, saya selalu menangis di depan manusia yang memakai kostum kartun atau hewan seperti Donald Bebek atau lainnya.
Sampai suatu hari, ketika TK saya menyelenggarakan darmawisata, saya ingin mendapat buku dari sosok Pluto versi manusia berkostum. Saya merengek meminta Mama mengambilkan. Saya menangis karena ingin buku tetapi takut dengan si boneka hidup. Mama saya menolak mengambilkan.

Katanya, ''Silakan kamu nangis sepuasnya. Kamu nggak akan dapat buku kalau nggak berani ngajak bonekanya salaman. Mama nggak akan mengambilkan.''
Tangisan saya berubah sesak, namun hasrat saya besar. Akhirnya, dengan masih terisak, saya memberanikan diri menyalami si boneka hidup. Buku pun saya dapat. Ternyata mereka tidak jahat. Walau masih agak takut, perasaan saya mulai berubah. Saya merasa berani untuk melawan ketakutan.
Dan dengan senyum lebar, Mama bilang, ''Bagus. Anak pintar! Jadi anak harus berani kalau kamu nggak salah. Jangan cengeng!''
Tanpa sadar saat kita terbiasa menekan impian dan keinginan untuk mencoba suatu hal baru, pikiran negatif akan mulai mengambil alih. Hanya karena pendapat orang, kegagalan orang lain, dan input negatif lainnya, maka kita menutup diri dari kesempatan. Tertawa diam-diam ketika ada kenalan yang gagal namun diam-diam juga iri karena tidak seberani mereka dalam mencoba.
Sadar tidak, jika sikap menertawakan kegagalan kenalan diam-diam dan iri pada keberhasilan orang lain inilah yang membentuk karakter julid?
Padahal kita sendiri yang malas untuk belajar dan bekerja lebih keras atau kita sendiri yang melewatkan kesempatan karena keraguan hati. Terima itu, jangan menyepelekan keberhasilan orang lain.
Toh sejak lahir, hidup kita itu adalah arena perjudian. Ada yang menjadi jago Matematika sementara nilai kita selalu lima meski belajar sampai pantat menempel di kursi. Ada kemungkinan cinta pertama tidak menjadi cinta terakhir. Kita tahu ada menang dan ada gagal, lantas kenapa tidak berani mencoba demi passion atau impian? Kalau toh gagal mencoba itu sama sakitnya dengan putus cinta, kenapa kita berusaha menghindar?
Sama dengan menjadi penulis. Kecintaan pada buku besar, suka berlatih menulis namun kenapa tidak mencoba mulai ikut lomba atau setidaknya mempublikasikan di media sosial?
Mau memilih apa sekarang? Tentukan, selagi napas masih dikandung badan.
(Postingan ini pernah saya tulis di status FB pribadi dan saya unggah di sini dengan sedikit penambahan)