Mengabarkan Kematian

Solo Pos, 24 Maret 2019


[image error]



Bukan kematian yang kukhawatirkan, melainkan mengabarkan kematian yang sudah diam-diam kutampik ini kepada Norman, suamiku. Dua minggu lalu aku sengaja tak menyampaikan kepadanya, bahwa Dokter Siwon ingin mengangkat gumpalan lemak di perutku. Gumpalan yang semula sebesar biji rambutan, lama kelamaan membesar. Sebesar telur puyuh, dan membesar kembali hingga seukuran bola golf, dan membuat Dokter Siwon memutuskan untuk mengangkat gumpalan lemak itu.


“Tumor tidak ganas,” Dokter Siwon menyimpulkan. Karena memang benar, tidak ada kesakitan yang kurasakan. Semula kusangka gumpalan itu sekadar beberapa gram lemak yang tak berhasil kubakar setiap pagi dengan lari mengelilingi perumahan kita. Tapi Dokter Siwon merasa gumpalan itu harus diangkat demi tindakan pencegahan agar tidak menganggu rongga tempat bayi kelak tumbuh, terlebih aku dan Norman sedang program kehamilan.


“Bedah minor,” kata Dokter Siwon. Aku mengiyakan. Dua hari lalu, tanpa sepengetahuan Norman, aku dibawa di ranjang operasi di bawah sorot lampu Dokter Siwon mengangat tumot sebesar bola golf itu. Yang Norman ketahui bahwa aku sedang mengambil cuti dua sampai tiga hari dengan menginap di rumah Kakakku Jihan.


Setelah bola golf itu diangkat dari perutku, Dokter Simon menemuiku dengan wajah yang berduka. Ditekuk dengan kerut di sekitar mata yang mendadak tumbuh lebih banyak. Dokter Siwon mengajakku berbincang perlahan, seolah telapak tangannya yang lembut dan berbulu jarang itu merasuk ke dadaku dan meremas perlahan. Dokter Siwon ingin aku tidak terkejut dan sedih yang kurasakan bertahap.


“Apa ini akan tetap akan kamu rahasiakan?” tanya Dokter Siwon.


Aku masih belum memutuskan. Mendengar berita darinya saja sudah membuat semua kata-kata di kepalaku acak dan tercecer di lantai. Aku tidak menangis. Hanya remasan Dokter Siwon di dadaku membuat sesak, dan luka jahitan di perutku mendadak lebih sakit. Berkali-kali lipat.


“Apa operasi kemarin gagal, Dok?” tanyaku.


“Bukan, demikian. Ada jaringan kanker yang ternyata sudah menyebar lebih cepat. Gumpalan itu bagian lain. Limfoma. Yang….,” Dokter Siwon tak berani melanjutkan.


“Lebih ganas, lebih mematikan. Aku hanya punya waktu enam bulan hidup?” aku menyela dan mungkin Dokter Siwon kesulitan mencari kata-kata yang pas, tidak terlalu kasar, dan menumbuhkan semangatku.


“Kita bisa terapi….”


Aku diam. Kalimat Dokter Siwon lebih mirip sekadar formalitas. Aku tak tahu seganas apa kanker yang ternyata justru muncul setelah tumor sebesar bola golf diangkat, dan menyebarkan aroma kematian yang mendadak lebih dekat dari bibir atasku.


Aliran deras di mataku dimulai ketika aku beranjak dari ruangan Dokter Siwon. Saat pintu metal lift terbuka. Wajahku terpantul kurang sempurna di dinding dalam lift. Rambut kucepol ke atas. Syal ungu tua yang kulingkarkan di leher, jatuh tidak sempurna di bagian dada. Aku menyaksikan tubuhku yang kehilangan hampir seratus gram potongan lemak berbentuk bola golf. Namun ditumbuhi lemak lain yang ini lebih dahsyat, lebih kisut, dan lebih memastikan bahwa aku tidak lebih dari setahun lagi akan menyusul Ibu.


Aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku tidak akan menghadiri upacara kematian setelah Ibu terbujur kaku di dalam peti mati di hadapanku dua puluh tahun lalu. Saat aku dan Jihan masih sama-sama belum mengerti apa itu kematian, Ibu lebih dulu memaparkan seberapa dalam kematian itu menghunjami dadaku, Jihan, dan Ayah yang kala itu masih segar dan bugar.


Ayah tak menjelaskan mengapa kematian Ibu begitu cepat, bahkan beberapa kudengar kematian Ibu terbilang mendadak. Ayah, satu-satunya yang ingin kudengar menjelaskan apa itu kematian dan apa penyebab Ibu mati begitu cepat, hanya mengatakan dengan bahasa metafora. Ada bom yang meledakkan tubuh bagian bawah Ibu.


Jihan meledak tangisnya. Dia tentu membayangkan tubuh bagian bawah Ibu tercecer, menjadi serpihan akibat ledakan, mirip adegan di film yang kami tonton di Minggu Siang. Aku diam dan menerima pelukan Ayah yang terisak lebih kuat. Aku duduk di samping Jihan, berusaha mundur beberapa senti di belakang Jihan. Kemudian menerima telapak tangan, pelukan hangat, dan sesekali isakan tamu yang mengantarkan bela sungkawa ke keluarga kami.


Di ujung keberangkatan Ibu, aku diminta menyaksikan wajah Ibu untuk terakhir kali. Tubuh Ibu terbalut kain dan menyisakan sepotong wajah Ibu—lebih pucat, lebih biru, dan bibir Ibu tetap merah, untuk kusaksikan terakhir kali. Aku ingin memeluk Ibu, tapi Ayah gegas menghalangiku. Aku hanya ingin memastikan tubuh Ibu bagian bawah tidak rusak. Tetapi tak bisa. Mereka menutup tubuh Ibu, seolah bagian bahwa tubuh Ibu memang rusak akibat bom dan tak layak disaksikan oleh banyak orang.


Aku menjerit karena dilarang. Aku menangis karena hanya asumsi bahwa tubuh bagian bawah Ibu rusak berkeping-keping akan mendiam lama di kepalaku. Semakin aku menangis, bukannya semakin diperbolehkan, aku justru dibawa masuk ke kamar oleh tangan-tangan wanita yang tak kukenal. Disusul Jihan yang tangisannya tak lagi bersuara, tapi wajahnya basah sebasah-basahnya. Semenjak itu aku tak mau menghadiri upacara kematian, siapa pun itu. Kematian kerap menyisakan asumsi yang membuat kita jauh lebih sedih, dari sekadar ditinggal orang yang kita kasihi selamanya.


Bila sanak, kawan, kolega, atau tetangga wafat lebih dahulu. Aku dan Norman sepakat untuk mengirim salam dan karangan bunga, dengan Norman akan menjadi wakilku itu pun bila dia tak sedang disibukkan agenda firma hukum yang belakangan kerap digoyang isu-isu tidak sedap.


Tapi nazarku akan segera terpatahkan. Aku akan menghadiri kematian sebentar lagi. Aku akan menghadiri kematianku sendiri, setelah kematian Ibuku. Aku akan segera mati seperti Ibu.


Sepanjang perjalanan dari rumah sakit, aku hanya membayangkan bagaimana Norman akan hidup setelah aku mati. Norman yang berulang kali mengatakan, takkan terpikirkan untuk hidup seorang diri, dan bisa mati juga kalau harus berpisah denganku. Kamu tahu, yang kuinginkan adalah aku bisa lebih dulu mati daripada kamu. Aku tak bisa hidup tanpa kamu. Tanpa berpikir bahwa ditinggal Norman juga pastilah membuatku kelimpungan, tetapi kalimat Norman kala itu sudah cukup membuatku yakin bahwa dia adalah yang paling benar sebagai suamiku.


Norman tidak seperti Ayah, yang meski ditinggal Ibu begitu kuat mengasuh aku dan Jihan. Bahkan kami punya Ibu baru, setelah aku dan Jihan masuk kampus. Ayah butuh kawan berbincang. Dan mungkin izin dan pelukan hangat dariku dan Jihan adalah balasan atas kesetiannya kepada mendiang Ibu dan kerja keras membesarkan dua gadis paling rewel sedunia ini. Tapi Norman? Bukan, dia tipe lelaki kuat yang selalu tergantung padaku. Mencocokan warna dasi dan kemeja saja masih belum mahir, apalagi hidup selepas aku mati. Begitu kokoh di luar, tapi lembut dan mudah tersentuh di bagian dalam.


Tangisanku semakin terisak. Norman yang kucintai dan juga mencintaiku sebentar lagi akan menjadi duda. Aku yakin Norman takkan menunjukkan tangis kepada orang-orang. Sekilas saja. Tapi aku bisa membayangkan bangun tengah malam untuk menemukannya terisak tanpa suara di depan layar komputer di ruangan kerjanya. Dengan hanya diterangi lampu dari layar komputer, tubuhnya berguncang menahan isakan.


Dadaku sesak. Semakin sesak bahwa sebentar lagi aku harus mengabarkan kematian itu kepada Norman.


Petang mulai menggelap. Lampu teras rumah belum dinyalakan. Norman belum pulang. Aku menghapus air mata dan gegas masuk ke rumah. Meski kematian yang akan kukabarkan, wajahku tak boleh runyam di depan Norman. Lambung rumahku lengang dan disusupi kedinginan yang merasuk ke sela-sela kulit.


Tanganku beberapa menyambar sakelar lampu. Kemudian duduk di meja makan. Aku menelungkupkan wajah di atas meja. Dan kembali terisak begitu keras sendirian.


“Norman? Norman?” suaraku di tengak isakan. Aku tak mengira sekelebat bayangan itu adalah Norman.


“Lucia… “ Norman mendekatiku. Wajahnya nanar tak bisa menyumbunyikan kekagetan. “Apa kamu sudah mengetahuinya?”


Aku kelu. Apa Norman sudah tahu tentang kabar kematianku dari Dokter Siwon? Bukankah seharusnya catatan medis tak boleh mudah bocor kepada siapa saja, tanpa izin dariku. Tetapi Dokter Siwon pastilah memiliki alasan kuat, terlebih melihatku limbung saat meninggalkan ruangannya. Dan Norman adalah satu-satunya nama orang terdekatku yang Dokter Siwon ketahui.


“Ya, aku sudah tahu semuanya. Aku terpukul, Norman!” aku ingin meraih tubuhnya untuk mendiamkan ombak di dalam dadaku. Tetapi, Norman justru menjauh. Seolah aku tak pantas dipeluk.


“Ya, ampun. Padahal aku tidak ingin kamu mengetahui dengan cara seperti ini, Lucia. Apakah Leo yang mengabarkannya?”


Aku terdiam. Aku tidak mengerti mengapa Norman harus menceritakan semua ini kepada Leo. Meski aku tahu betul, keduanya akrab bahkan semenjak aku mengenal Norman.


“Lucia, aku telah memulai konseling Senin lalu. Dan aku akan menemukan jawaban atas kegelisahanku ini?” Norman tak berani mengangkat mata.


Aku tahu kesedihan pasca mengetahui tenggat akhir kematianku begitu besar dan mengguncang. Tetapi apa perlu Norman melakukan bimbingan psikolog. Bukankah aku yang seharusnya membutuhkan?


“Lucia, mungkin aku sedang dilanda kegundahan soal orientasi seksual. Aku di tengah ombak keraguan. Mungkin….”


Sampai titik itu, apa-apa yang dikatakan Norman tak bisa kucerna sempurna, namun penuh mahadaya menghantamku. Dia sinting? Dia gila! Aku tahu pemanasan global akibat ulah manusia telah mencairkan ribuan kubik gletser. Populasi China meledak dan angka ketersediaan pangan tak mencukupi. Dan cinta memang kerap membuat buta. Tapi apa harus dia menyampaikan di saat seperti ini.


“Norman!” Tanganku meraih garpu dan sekelebat aku menancapkannya ke telapak tangan Norman. “Aku baru saja kehilangan simpati darimu. Dan …..”


Kalimatku tak kuteruskan. Aku menangis, entah karena kematian yang dekat atau gegap berita yang lebih dahsyat dari bom Hiroshima itu. Dan Norman kusaksikan terisak, entah karena penyesalan atau garpu di telapak tangannya yang kuyakin mulai menyebarkan ngilu dan sembilu ke seluruh tubuhnya. []

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 04, 2019 05:58
No comments have been added yet.