Perjalanan Memerdekakan Rambut, Memerdekakan Hidup

Saya pernah digunduli oleh mantan suami hanya karena ingin memotong rambut (waktu itu rambut saya panjang sepunggung) dan dia tidak setuju. Ketidaksetujuannya diekspresikan dengan cara menggunduli rambut saya. Apa? Mengapa saya tidak melawan? Oh, Anda juga tidak akan berani melawan kalau tangan Anda diikat dan ada gunting yang ditodongkan di leher.

Berpuluh tahun saya menjadi perempuan penurut, tapi tidak bahagia. Sudah waktunya saya menjadi perempuan yang berbahagia dengan cara menjadi diri sendiri.

Setelah saya kembali lajang, setelah lepas dari segala macam ikatan, mewarnai rambut menjadi simbol kemerdekaan, simbol kebebasan.

Rambut asli saya lurus dan berwarna hitam. Atas nama kebebasan, beberapa bulan lalu saya mengkritingnya hanya karena saya bisa melakukannya tanpa dilarang oleh siapapun. Belum cukup sampai di situ, dua minggu kemudian saya mencat rambut kembali, kali ini warna merah terang.  

Hasilnya seperti yang bisa Anda lihat di foto, niat hati ingin seperti model kelas susulan, eh, kelas dunia, tapi realita berkata lain. Bukan, bukan tentang wajah, kalau beungeut mah udah tikudrat sakitu-kituna. Ini mah rambut. Geus teu puguh modelna, keriting segan lurus tak mau tea, warnana siga samangka deuih. Kalau kata urang Sunda mah rambut saya teh karugrag karena belum sehat betul, eh, sudah harus kembali menanggung beban berat kehidupan ini.

Karena terlalu sering terpapar zat kimia, terutama proses bleaching, perlahan-lahan rambut saya mulai unjuk rasa. Warnanya menjadi kusam dan lekas pudar. Helai-helai rambutnya menjadi kasar, ujung-ujungnya patah dan bercabang. Rontok? Ah, jangan tanya, deh. Dengan kata lain, rambut saya “mati” dari akar sampai ke ujungnya.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 24, 2018 20:10
No comments have been added yet.


Langit Amaravati

Langit Amaravati
My blog is your pandora. Welcome.
Follow Langit Amaravati's blog with rss.