Menyembuhkan dengan Buku
Koran Tempo, 22-23 Juli 2017
Buku seperti manusia, dan manusia seperti buku. (hal.40)
Apa pendapat kita terhadap buku dan aktivitas membaca? Apakah sekadar penggenap waktu luang, pembunuh kebosanan, atau sabana untuk rekreasi? Mungkin demikian alasan kita membaca dan menyukai buku. Tapi tidak demikian bagi seorang laki-laki bernama Jean Albert Victor Perdu, atau lebih akrab dipanggil oleh penghuni Apartemen Rue Montagnard 27 sebagai Monsieur Perdu.
Monsieur Perdu memiliki sebuah kapal bernama lulu yang dijadikan toko buku di Port des Champs-Elysees di tepian Sugai Shiene. Bukan sembarang toko buku, Monsieur Perdu menamainya Literacy Apothecary atau Apotek Kesusastraan. Monsieur Perdu bertindak sebagai apoteker yang memberikan buku sesuai dengan kondisi kejiwaan pelanggan. Setiap buku memiliki sensasi dan efek beda-beda kepada para pembeli-pembaca.
Di titik inilah penulis memberikan sebuah pandangan baru bagaimana menikmati buku. Monsieur Perdu bertindak sebagai apoteker sekaligus seorang psikolog ketika bertemu pelanggan.
Sebagai contoh, ketika seorang wanita kesepian datang ke Literacy Apothecary maka Monsieur Perdu menyarankan untuk membaca Elegance of The Hedgehog karya Muriel Barbery, dengan pesan laiknya dokter bacalah lambat-lambat agar Anda bisa beristirahat sekali-sekali. Anda akan merasa lebih lega. Nanti Anda akan tahu bahwa nanti Anda tak perlu mati, meskipun memang seperti itulah rasanya karena pria itu tidak memperlukan Anda dengan baik. (hal.23)
Monsieur Perdu menggunakan mata, telinga, dan insting. Dari satu percakapan, dia mampu melihat apa yang kurang dalam setiap jiwa pengunjung Literacy Apothecary. Dia bisa membaca postur tubuh, gerakan, dan sikap. Bahkan apa yang membebani atau menekan jiwa.
Buku lebih dari dokter. Ada novel yang menjadi teman seumur hidup, ada yang menjewer kita, lainnya menjadi teman yang memeluk dalam handuk hangat. (hal.41)
Dalam pandangan Monsieur Perdu, pembaca dikategorikan menjadi tiga jenis. Pertama ialah pembeli yang menganggap buku sebagai embusan udara segar dalam kehidupan sehari-hari. Kategori ini dengan gamblang memiliki preferensi tersenderi, sehingga Monsieur Perdu dengan mudah memberi buku sesuka dengan pilihannya.
Kategori kedua adalah tidak memiliki ketertarikan terhadap buku dan hanya datang ke toko buku sekadar terpincut oleh keunikan nama Literacy Apothecary. Mereka datang untuk membeli kartu-kartu pos konyol yang menghibur, atau buku mini dalam botol coklat atau untuk memotret. (hal.25)
Meskipun golongan kedua tidak memiliki ketertarikan kepada buku, Monsieur Perdu masih terhibur oleh tingkah mereka. Sedangkan golongan paling Monsieur Perdu benci ialah yang menganggap dirinya raja, tapi sayangnya tidak memiliki sopan santun anggota kerajaan. Tanpa mengucapkan salam atau bahkan memandangnya saat memegang buku dengan jari-jari berminyak sehabis maka kentang goreng. Mereka datang bukan untuk buku, tetapi mencela Monsieur Perdu dan Literacy Apothecary.
Cinta, Luka Tanpa Penawar
Cinta adalah sukacita, penderitaan bukan bagian dari cinta, demikian Paulo Coelho menggarisbawahi perihal cinta dan komplemen cinta bernama luka. Monsieur Perdu memang sebagai seorang apoteker yang paham kejiwaan, namun peliknya persoalan asmara menjadi titik lemahnya.
Bersama Max Jordan seorang penulis muda yang tinggal satu apartemen, Monsieur Perdu melepaskan sauh lulu dan berkelana. Ya, persoalan utamanya ialah cinta. Monsieur Perdu memiliki kenangan akan Manon, pacar satu malam yang meninggalkan kesan mendalam hingga 21 tahun. Monsieur Perdu dan Max Jordan kemudian bertemu dengan koki berkewarganegaraan Italia, Cuneo yang juga sedang ditinggal cinta pertamanya menikahi lelaki lain.
Ketiganya mengarungi kanal-kanal di Paris dan mengedarkan resep pengobatan. Monsieur Perdu menawarkan resep pengobatan jiwa dengan buku-buku. Sedangkan Cuneo menawarkan kebahagiaan dengan kelezatan makanan. Max Jordan? Dia sedang gundah dengan proses kepenulisan novel barunya.
Kepekaan Literasi
Novel yang ditulis selama rentang Agustus 2010-April 2013 ini membawa Nina George sebagai penulis laris internasional. Nina George melakukan riset akan kedalaman sebuah buku. Tentu penyebutan judul-judul buku dalam buku ini tidak sekadar asal comot (cropping) yang kasar tanpa faedah. Nina George sangat mungkin juga termasuk bibliopilia yang gandrung secara gila-gilaan kepada buku.
Misalkan, ketika kita sedang ingin menyingkirkan kebiasaan menonton televisi, menghadapi mabuk cinta, percekcokan dalam kehidupan sehari-hari dan mimpi-mimpi yang membosankan, maka Nina George menyarankan untuk membaca A Game of Thrones, karangan George R.R. Martin. (hal.425)
Saat kita sedih, maka disarankan untuk membuka kembali buku puisi Hermann Hesse berjudul Stages. Bila sedang dirundung pesimistis, maka bacalah Pippi Longstocking buah karya dari Astrid Lingdren. Sebaliknya anda harus membaca 1984, karya fenomenal dari George Orwell untuk mengurangi kenaifan dan apatisme. Sekaligus obat rumahan kuno untuk optimisme kronis, tapi sudah melewati batas tanggal penjualan. (hal.426)
Lain lagi bila seorang penulis sedang staknan dengan proses kepenulisannya, Monsieur Perdu menawarkan resep dengan membaca Throwing Women Off Bridges anggitan Gunter Gerlach. Untuk pengarang yang mengalami kebuntuan menulis dengan efek samping hilang akan sensitivitas realitas dan meluasnya pikiran.
Resep-resep yang dibuat Monsieur Perdu hasil riset yang unik sekaligus meneguhkan kembali posisi buku. Buku, sangat mungkin, belum menjadi kawan akrab di masyrakat kita. Buku kalah populer bila dibandingkan dengan kecanggihan gawai. Orang lebih ingin mencari hiburan di layar gawai. Padahal di setiap halaman buku menawarkan obat dari setiap penyakit kejiwaan. Lantas, buku apa untuk penawar apa yang sedang kita baca? []
Terdapat beberapa koreksi saat dimuat di Koran Tempo.
[image error]

