Napak Tilas Novel Eiffel I'm in Love



                Tiba-tiba saja saya teringat pada novel fenomenal di awal tahun 2000-an yang sempat diangkat ke layar lebar ini. Novel ini membawa hawa nostalgia yang menyenangkan. Saya ingat saat membaca novel ini saya masih kelas dua SMP. Sebenarnya saya dulu tidak tertarik membaca novel karena tidak ada gambarnya hehe (Dasar anak TK! Sukanya cerita bergambar saja). Saya ingat waktu itu teman saya pernah meminjamkan novel Harry Potter yang hanya saya baca beberapa halaman saja lalu saya kembalikan beberapa bulan kemudian sebelum selesai saya baca karena sudah ditagih berkali-kali (haha). Novel Eiffel I’m in love adalah novel pertama yang saya baca sampai habis (yei! Tepuk tangan!). Saya ingat novel ini dipenuhi oleh bahasa gaul, typo dan nyaris tanpa EYD. Tapi justru itulah yang membuat novel ini menarik untuk dibaca anak muda, ketimbanga bacaan sastra klasik sekelas Siti Nurbaya, Salah Asuhan dan temannya. Ceritanya yang sederhana dan kocak, sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari.Kemarin saya mengintip review novel ini www.goodreads.com dan cukup terkejut saat membaca banyak komentar negatif tentang novel ini. Setelah saya memahami review-review negatif tersebut saya tersadar bahwa review tersebut ada benarnya. Membaca novel ini memang secara membaca naskah film, karena saking miripnya isi novel ini dengan filmnya baik itu dialog maupun penggambarannya. Novel ini didomiasi dengan dialog dan hanya ada sedikit narasi, sudah begitu ada banyak sekali typo dan nyaris tanpa EYD, dan satu hal lagi saya tidak menemukan pesan moral dalam pesan ini. Hm...Lalu apa sebenarnya yang membuat novel ini begitu fenomenal di jamannya? Setelah mencoba merenunginya, akhirnya saya mendapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :1.       Tidak ada sainganNovel ini bisa dibilang tidak memiliki saingan. Waktu itu belum ada novel dengan genre teenlit seperti sekarang. Saya ingat genre teenlit baru muncul setahun setelah novel ini terbit. Saat itu kalau nggak salah tahun 2005, GPU membuat sebuah lomba novel remaja gitu. Lomba itu melahirkan generasi penulis berbakat, sebut saja Luna Torashyngu, Windhy Puspitadewi, Esti Kinastih, Primadona Angela, Regina Feby dan masih banyak lagi yang lainnya. Ya! Menurut saya, novel ini adalah cikal bakal dari genre teenlit Indonesia. Novel ini hadir bagai oasis di padang pasir, di saat dunia kepenulisan dan dunia perfilman Indonesia yang sedang redup. Karena sudah difilmkan terlebih dahulu, banyak penggemar film ini yang akhirnya memutuskan untuk membaca novelnya, salah satunya saya. Dengan kata lain, saat itu belum banyak novel remaja berkualitas seperti sekarang.2.       Awal era digitalNovel ini muncul pada awal era digital. Jaman itu tidak seperti sekarang di mana internet dan gagedsudah merajalela. Saya ingat waktu itu, kalau mau menikmati internet harus ke warnet gitu, warnetnya hanya ada satu di dekat SMP 5 (tetangga sekolah saya) dan warnetnya antri (capek deh). Boro-boro android, ponsel saja masih merupakan barang mewah waktu itu. Ponsel model paling keren saat saya SMP itu kameranya masih VGA, sementara jaman sekarang sudah banyak smartphone dengan fitur kamera beberapa megapixel.  Dunia blog saat itu belum begitu booming, game online pun masih sedikit, belum ada facebook dan twitter seperti sekarang, frendster saja waktu itu belum booming. Intinya waktu itu, pemenuhan kebutuhan akan hiburan masih sedikit dan salah satunya dengan membaca novel ini. Saya ingat waktu jaman SMP, sepulang sekolah saya dan teman-teman akan berjalan sama-sama ke taman bacaan di dekat sekolah. Sekarang taman bacaan itu sudah tutup (hiks!). Salah satu taman bacaan yang masih bertahan sampai sekarang adalah yang ada di Jalan Kawi, depannya Steak and Shake yaitu Perpustakaan Kawijaya. Tapi perpustakaan itu sekarang sangat sepi! Saya ingat dulu yang namanya taman bacaan itu begitu sesak dan ramai, bahkan menjadi tempat tongkrongan anak SMP dan SMA pada masa itu. Waktu saya bertanya pada pemilik Perpustakaan itu, katanya jaman sekarang minat membaca remaja mengalami banyak penurunan karena kebutuhan akan hiburan sudah cukup banyak. Novel dan komik sekarang sudah terkalahkan dengan game online, komik online, dan drama korea. Satu-satunya yang membuat Perpustakaan Kawijaya bertahan adalah karena perpustakaan ini menyediakan jasa download film. Sedih banget rasanya saat mendengar penuturan beliau T^T.3.       Tulisan yang sederhana dan penuh bahasa gaulSeperti yang sudah saya sampaikan di atas, novel ini sangat ringan, lucu dan penuh basa gaul. Inilah yang membuat novel ini cukup populer di jaman itu. Remaja itu kan ababil, sukanya cinta-cintaa dan tulisan yang menye-menye gitu. Tapi genre teenlit sendiri menurut saya bukanlah genre yang tidak boleh dipandang sebelah mata, genre ini adalah jendela bagi remaja untuk membaca novel-novel lainnya dengan genre yang lebih serius. Setelah saya banyak berpikir, saya menyimpulkan bahwa generas saya (anak kelahiran tahun 80-90) adalah generasi trend setter (haha). Kalian yang seumuran dengan saya coba ingat-ingat, jaman kita kecil dulu menjamur penyanyi cilik sebut saja Sherina, Cikita medi, Trio kwek-kwek, dan teman-temannya. Kemana perginya penyanyi cilik itu sekarang? Mengapa genre musik anak-anak mendadak hilang dari bumi pertiwi? Anak-anak jaman sekarang itu nggak punya lagu, mereka nyanyinya lagu dangdut koplo “Cinta Satu Malam” (haha). Jaman dulu hari minggu adalah hari menonton anime, dari jam lima pagi sampai jam satu siang anime non stop di seluruh stasiun tv. Kemana hilangnya semua anime itu sekarang? Selain Naruto dan Spongebob yang episodenya terus diulang-ulang rasanya anime  di Indonesia sudah mati suri. Hampir tidak ada acara hiburan untuk anak-anak di TV, anak-anak jaman sekarang tuh nontonnya, infotaimen, acara debat politik yang nggak jelas itu, dan berita-berita provokatif lainnya. Saya cukup salut dengan salah satu stasiun TV yang masih memberikan hiburan informatif pada anak seperti Si Bolang, Laptop Si Unyil, dan Dunia Binatang. Terakhir yang bikin saya benar-benar sedih, anak-anak jaman sekarang sibuk dengan gaged di tangan, mereka tidak pernah merasakan rasa senangnya bermain di alam bebas, petak umpet, gobak sodor, lompat tali dan permainan tradisional lainnya seaakan sudah hilang dari bumi pertiwi ini T^T. Eiffel I’m in love mungkin hanya sebuah cerita komedi romantis biasa yang tanpa pesan moral berarti. Tapi bagi saya novel ini merupakan pioneer generasi teenlit di jamannya. Jujur novel inilah yang membuat saya jatuh cinta pada dunia tulis-menulis dan menginspirasi saya untuk bercita-cita menjadi seorang penulis. (Sayangnya belum keturutan sampai sekarang, hiks!) Saya sangat berharap era kepenulisan Indonesia bisa kembali ke masa-masa keemasan saat Eiffel I’m in love ini hadir. Apakah kalian sependapat?
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 25, 2015 16:24
No comments have been added yet.