The Vague Temptation Part 13



Nathan setengah membanting pintu kamarnya, napasnya terengah-engah dan dia mengernyikan keningnya, benar-benar mengernyit menahankan sakitnya. Keringat dingin mengalir di dahinya dan dia merasakan sakit yang luar biasa di seluruh tubuhnya.
Nathan mencoba menarik napas, tetapi aroma anyir tercium dari hidungnya yang dipenuhi darah segar, mengalir tanpa henti sehingga mencapai level menakutkan.


Dia mengusap darah dari hidungnya dengan sapu tangannya, lalu membuang sapu tangan yang sudah berubah warna menjadi merah itu ke lantai. Kakinya gemetar,  melangkah terseret-seret berusaha mencapai ranjang, tetapi rupanya ranjang itu terlalu jauh untuknya....
 Dan tubuhnyapun rubuh ke lantai, kehilangan kesadarannya.
*** 
Ketika Nathan membuka matanya, dia berada di ruangan putih yang samar. Matanya mengerjap karena terpaan sinar lampu yang kontras dengan kegelapan yang selalu meliputinya. Dan kemudian, setelah berhasil mengatasi cahaya itu, Nathan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
Yang pertama dilihatnya adalah Albert Simon. Lelaki tua itu tampak muram, duduk di kursi di sebelah tempat tidurnya.
"Kakek sudah pulang dari London?" Nathan menyapa dengan suara serak dan lemah, membuat Albert Simon mengangkat kepalanya dan menghela napas panjang melihat kondisi Nathan. Cucunya itu tampak pucat pasi.
"Aku pulang dan menemukanmu pingsan di kamar, aku membawamu ke rumah sakit secara diam-diam." Mata Albert Simon menyala tajam, "Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya tentang penyakitmu, Nathan?"
Nathan memiringkan kepalanya di atas bantal, tersenyum skeptis, tatapan matanya tampak kosong.
"Apa bedanya aku memberitahumu atau tidak, kakek? Tidak akan ada bedanya bagiku."
"Tentu saja ada!" Albert Simon menyela, nadanya keras, "Kau cucuku dan kau mengidap penyakit yang sedemikian parah, tentu saja aku sebagai kakekmu akan melakukan segala cara untuk menyelamatkanmu, kita akan mencari dokter-dokter ternama di luar negeri dan..."
"Tidak." Nathan menyela, bersikeras, "Aku akan tetap berada di sini kakek, sampai aku menyelesaikan apa yang menjadi tujuanku."
Alebert Simon menatap cucu lelakinya itu dengan sedih, cucu yang dulu tidak diketahuinya dan baru datang kepadanya setelah tahun-tahun berlalu. Apakah sekarang semuanya sudah terlambat?
"Sebegitu besarnyakah tekadmu untuk mengalahkan Daniel? Apakah kau masih menyimpan kebencian yang begitu mendalam kepada anak lelakiku, Nathan? Kepada ayah kandungmu? Tidak bisakah kau meninggalkan kebencianmu itu dan kita bisa hidup bersama dengan damai serta mengganti tahun-tahun yang hilang?"
Nathan tidak menampakkan reaksi apapun terhadap kata-kata Albert Simon, dia memejamkan matanya, tampak begitu pucat dan rapuh.
"Aku lelah, kakek. Aku ingin istirahat." Dan Nathan tetap memejamkan matanya, tidak mempedulikan Albert Simon yang duduk di sana, menanti jawabannya.

"Kau bisa semakin parah dan tidak tertolong lagi, Nathan." Albert Simon bergumam lagi, mencoba mengusik Nathan, tetapi cucunya yang keras kepala itu tetap tidak bergeming.
Lama kemudian, setelah Albert Simon benar-benar yakin bahwa Nathan tidak ingin melanjutkan percakapan dengannya, Albert Simon menghela napas panjang dan beranjak dari duduknya.
"Aku akan pergi Nathan, beristirahatlah." Albert Simon menatap wajah Nathan, yang tetap memejamkan matanya tanpa ekspresi. Entah Nathan benar-benar tertidur atau cucunya itu berpura-pura tidur agar Albert Simon menyingkir....
Kemudian Albert Simon  melangkah pergi, meninggalkan ruangan perawatan itu dan membiarkan Nathan terbaring sendirian di sana.
Setelah yakin bahwa Albert Simon sudah pergi dari ruangan itu, Nathan membuka matanya. Tatapan matanya menerawang, ada kesakitan di sana yang tertahan di sana.
*** 
Alexa sedang melangkah menuju ruang tamu ketika dia melihat Albert Simon datang, dia baru saja menelepon papanya dan dipenuhi oleh rasa syukur yang amat dalam karena kondisi ayahnya semakin membaik, banyak kegiatan yang diberikan di panti rehabilitasi tersebut, baik kegiatan olahraga, bimbingan rohani maupun sharing antara penghuni panti rehabilitasi tersebut, sehingga membuat papanya tidak punya waktu lagi untuk depresi apalagi menenggak minuman beralkohol.
Alexa benar-benar berharap kalau papanya akan benar-benar sembuh seperti sediakala dan bisa menghilangkan ketergantungannya pada alkohol.
Ketika melangkah memasuki ruang tamu, Alexa tertegun melihat Albert Simon, lelaki itu sedang duduk termenung di sofa, dengan kedua siku bertumpu di kakinya dan kedua telapak tangan terkepal, di dahinya. Bahkan bahu Albert Simon tampak lunglai seolah-olah menanggung beban berat. Lelaki itu meskipun sudah berumur selalu tampak sehat dan penuh vitalitas di mata Alexa, dan baru sekarang ini Alexa melihat kondisi Albert Simon yang tampak lemah dan rapuh.
Ada apa sebenarnya?
Mungkin karena Alexa membuat suara gemerisik tanpa disadarinya, Albert Simon mengangkat kepalanya dan pandangannya langsung bertumpu kepada Alexa. Ada senyum lemah di sana.
Alexa mau tak mau mendekat, menyapa dengan sopan.
"Anda sudah pulang dari London?"
Albert Simon hanya menganggukkan kepalanya tanpa kehilangan senyumnya, dia lalu menepuk tempat duduk sebelahnya di sofa, 
"Duduklah di sini Alexa, bagaimana kondisimu?"
Alexa mendekat dengan canggung dan duduk di sofa di sebelah Albert Simon, lelaki tua itu memiringkan tubuhnya dan menatap Alexa dengan penuh perhatian.
"Saya baik-baik saja." Ada senyum di bibir Alexa ketika berkata, "Saya baru saja menelepon papa saya, kondisinya semakin membaik, beliau memang butuh berada di panti rehabilitasi itu untuk kesehatannya, dan saya ingin mengucapkan terimakasih kepada anda."
Sekali lagi Albert Simon menganggukkan kepalanya, pandangannya kepada Alexa tampak lembut dan penuh sayang,
"Seharusnya aku melakukannya dari dulu, mencoba menolong papamu." Lelaki tua itu menghela napas panjang sebelum bertanya, "Dan bagaimana keadaanmu dengan dua cucuku? Apakah kau bisa lebih mengenal mereka beberapa waktu terakhir ini?"
Alexa langsung teringat pada sifat Nathan yang sopan, ramah dan lembut tetapi seperti menyimpan sesuatu yang dalam dan rahasia di dirinya. Sedangkan Daniel... lelaki itu tidak menutupi apapun, sifatnya memang seperti itu, galak, tegas dan selalu blak-blakan dalam berkata-kata. Yah. Dengan beberapa hari tinggal di mansion ini saja, Alexa sudah memperoleh pengetahuan yang lebih jauh tentang dua bersaudara itu.
'Ya. Saya lebih mengenal mereka sekarang." Alexa tidak bisa menyembunyikan senyum miris di bibirnya, dan itu tidak luput dari perhatian Albert Simon, lelaki itu terkekeh pelan,

"Maafkan kelakuan cucu-cucuku. Mungkin kebandelan mereka menurun dari kakeknya." Albert Simon mengedipkan sebelah matanya menggoda, membuat Alexa melihat gurat-gurat masa lalu di wajah Albert Simon, lelaki tua itu pasti sangat tampan di masa mudanya, ketampanan yang menurun kepada keturunannya.

Tetapi senyum itu tidak bertahan lama, tiba-tiba wajah Albert Simon tampak muram, seperti kemuraman yang melingkupinya sebelum Alexa datang tadi, lelaki itu menatap Alexa dengan serius,

"Alexa.... apakah kau sudah bisa menentukan pilihanmu? Aku tahu mungkin ini bisa mempengaruhi pilihanmu, tetapi aku harus mengatakannya, Aku...."

"Kakek sudah pulang rupanya."

Suara Daniel yang tiba-tiba muncul membuat Albert Simon menghentikan kata-katanya, Alexa dan Albert Simon menoleh dan mendapati Daniel sedang bersandar di ambang pintu, tampak dingin dan kejam seperti biasanya.

Albert Simon menelan ludah, sudah pasti tidak jadi mengungkapkan entah apa yang tadi ingin diungkapkannya. Lelaki itu menganggukkan kepalanya dan menatap Daniel.

"Ya, aku baru kembali beberapa saat lalu. Apa kabar Daniel?"

Daniel mencibir, dan menjawab dengan datar, "Keadaanku masih sama seperti ketika sebelum kau pergi kakek." mata lelaki itu menelusuri sekeliling ruangan, "Dimana Nathan? biasanya dia akan langsung menempel kepadamu ketika kau pulang?"

Ada sepercik kegugupan di mata Albert Simon, Alexa sempat melihatnya. Tetapi itu hanya beberapan detik, dengan cepat Albert Simon menutupinya hingga Alexa tidak yakin dengan apa yang barusan dia lihat.

"Aku tidak tahu dimana Nathan." Albert Simon beranjak dari duduknya dan berdiri dengan tidak nyaman, "Mungkin dia sedang ada urusan diluar, ini hari libur bukan?....kurasa aku akan ke kamarku dan beristirahat, perjalanan kemari sungguh melelahkan." Lelaki tua itu melemparkan senyuman permintaan maaf kepada Alexa dan kemudian melangkah pergi.

Tinggal Daniel dan Alexa yang berada di ruangan itu, Alexa mengamati Daniel yang bersandar dengan santai di pintu. Lelaki itu seperti biasanya, tampak tampan. Mata Alexa menelusuri bibir Daniel dan kemudian pipinya langsung memerah karena ingatan tentang ciumannya bersama Daniel di balkon itu langsung menghantamnya.


Daniel sepertinya mengetahui apa yang ada di benak Alexa, mungkin karena dia melihat pipi Alexa yang tiba-tiba merah padam.

"Apakah kau mau pergi bersamaku?" tiba-tiba Daniel bertanya, "Kau tidak ada acara kemanapun bukan di hari libur ini?"

Sebenarnya ada. Alexa ingin mengunjungi papanya di panti rehabilitasi mumpung hari ini tanggal merah. 

"Tidak bisa, aku ada acara."

Seketika itu juga tatapan Daniel menajam, "Kau akan pergi bersama Nathan?"

Alexa mengerutkan keningnya, "Bukan. Aku tidak tahu Nathan ada di mana. Aku akan pergi mengunjungi papaku."

"Di panti rehabilitasi?" Daniel tampak berpikir sejenak, "Aku akan mengantarmu." sambungnya kemudian, dengan nada suara tegas tak terbantahkan.

"Tidak perlu!" Alexa setengah berteriak untuk menolak, dia tidak bisa membayangkan menghabiskan hari liburnya bersama Daniel, apalagi dia akan menemui papanya. Dia tidak siap mempertemukan Daniel dengan papanya.

Sementara itu Daniel hanya mengangkat alisnya menghadapi penolakan Alexa, tetapi kemudian lelaki itu menyipitkan matanya dan tatapannya berubah menantang,

"Aku bilang aku akan mengantarmu, maka aku akan mengantarmu. Kau tidak akan bisa menolaknya." Tanpa diduga, Daniel meraih pergelangan tangan Alexa dan setengah menyeretnya ke garasi, tidak peduli dengan Alexa yang meronta dan memprotes mencoba melepaskan diri. Lelaki itu membukakan pintu mobil penumpang dan mendorong Alexa masuk, lalu memutari mobil dan duduk di kursi kemudi. 

Setelah menjalankan mobilnya keluar garasi, barulah Daniel menoleh ke arah Alexa, 

"Silahkan, buatlah senyaman mungkin." gumamnya dengan nada menjengkelkan.

Alexa langsung membelalakkan matanya ke arah Daniel, "Apakah ini yang akan selalu kau lakukan? Memaksakan kehendak dan kemauanmu, tidak peduli pada pendapat orang lain?"

Daniel menatap lurus ke depan sambil menyetir kemudi mobilnya, ada senyum misterius di sana,

"Aku hanya memaksa kalau memang diperlukan." gumamnya tenang, sama sekali tidak mempedulikan kejengkelan yang dilemparkan oleh Alexa.

*** 

Nathan menatap dokter itu, dokter Beni, dokter yang merawatnya segera setelah dia mengetahui penyakitnya ini. Matanya hampa, seolah sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh dokter itu.

"Kau pasti sudah tahu bagaimana akibatnya kalau kau tidak menjaga dirimu, Nathan. Penyakitmu akan semakin parah, dan mungkin kali berikutnya akan membahayakan nyawamu."

Nathan memalingkan mukanya, wajahnya memang masih nampak pucat pasi, tetapi sudah ada rona di sana, penanganan dokter telah mengembalikan cahaya pada wajahnya. Ekspresi Nathan tampak sedih.

"Aku tahu waktuku sudah tidak lama lagi, dokter. Karena itulah aku berusaha melakukan apa yang menjadi hutangku selama ini. Aku sudah bersumpah akan menyelesaikannya, jadi akan kuselesaikan."

"Meskipun itu membahayakan nyawamu?" dokter Beni mengerutkan keningnya, "Pada akhirnya meskipun kau menyelesaikan apa yang menjadi hutangmu itu, kau akan berakhir dalam kondisi kritis dan mungkin kehilangan nyawa, lalu apa yang akan kau dapatkan, Nathan?"

Nathan memejamkan matanya, dia mengenang lagi, ingatan akan ibunya yang selalu menangis diam-diam ketika Nathan menanyakan tentang ayah kandungnya, mengingat ibunya yang semakin kurus, semakin sakit-sakitan karena bekerja keras seumur hidupnya, mengingat ibunya yang mati sia-sia dalam kemiskinan dan kepedihan.

Itu semua sebanding. Nathan rela mati, asalkan semua dendamnya sudah terbalaskan.

*** 

Perjalanan mereka cukup panjang, sampai kemudian mereka memasuki jalan menuju panti rehabilitasi yang cukup terkenal itu. Panti rehabilitasi itu dibangun sekitar sepuluh tahun yang lalu, mengkhususkan diri pada pasien yang kecanduan obat-obatan terlarang dan alkohol, diciptakan dengan konsep asri bersahabat dengan nuansa pedesaan yang sejuk dan pemandangan alam yang indah, dengan para pegawai yang ramah dan bersahabat.

Angin dingin nan sejuk langsung menerpa pipi Alexa ketika mereka turun dari mobil di halaman luas panti rehabilitasi tersebut, Daniel melangkah mendahului Alexa menaiki tangga, dan mereka memasuki lobby panti rehabilitasi tersebut, 

Seorang resepsionis ramah langsung menyambut mereka dengan senyum lebarnya, Alexa langsung menyatakan maksudnya untuk menjenguk papanya.

Resepsionis itu melirik ke arah jam di dinding kemudian tersenyum meminta maaf, 

"Mungkin anda berdua harus menunggu sekitar satu jam lagi untuk bisa mengunjungi pasien di panti ini. Kami menerapkan disiplin yang cukup ketat dengan jadwal teratur di sini, jam besuk baru dibuka satu jam lagi sampai dengan tiga jam ke depan, pada jam besuk tersebut anda bisa bebas mengunjungi pasien di kamarnya." resepsionis itu memberikan kartu tanda masuk kepada Alexa dan Daniel, "Selama menunggu jam besuk anda bisa duduk di ruang tunggu yang kami sediakan di ruang samping,"

Daniel menerima kartu tanda masuk dari resepsionis dan melirik jam tangannya, "Saya rasa kami akan menunggu di cafe sebelah dan akan kembali ke sini satu jam lagi." 

Setelah menganggukkan kepalanya kepada sang resepsionis, Daniel mengamit lengan Alexa dan mengajaknya keluar sambil menggerutu.

"Panti rehabilitasi ini masih sama saja seperti dulu. Disiplin seperti penjara." omelnya kesal.

Alexa menoleh dan menatap Daniel penuh tanda tanya, "Seperti dulu? Kau pernah berkunjung kemari sebelumnya?"

Mata abu-abu Daniel menggelap, seperti asap ketika bergumam. "Aku dulu mantan penghuni sini, usiaku baru limabelas tahun ketika dimasukkan kemari, terjerumus dalam obat-obatan terlarang yang hampir merusak hidupku." Senyum Daniel tampak pahit ketika menatap Alexa, "Aku dulu remaja pemberontak yang mencari perhatian ayahku, lelaki jahat itu, yang terlalu sibuk dengan egonya sendiri daripada mengurusi keluarganya. Hingga aku sampai di titik mempertaruhkan nyawaku." Daniel melirik panti rehabilitasi itu dengan muram, "Dan meskipun pahit, kuakui panti rehabilitasi itu telah menyelamatkan nyawa dan kehidupanku."

Keterusterangan Daniel membuat hati Alexa tersentuh. Lelaki itu tidak main-main ketika mengatakan bahwa dia akan membuka segalanya kepada Alexa, pengakuannya tentang masa lalunya di panti rehabilitasi ini menunjukkan bahwa Daniel tidak keberatan ketidak sempurnaannya terbuka di depan Alexa.

"Aku harap papaku bisa sepertimu, sembuh dan terselamatkan." gumam Alexa kemudian, tersenyum lembut.

Mata Danie melembut juga mendengar perkataan Alexa, "Pasti, kalau papamu bertekad kuat, dia akan sembuh." Lelaki itu menghela Alexa berjalan melewati pagar besar panti rehabilitasi itu, "Ayo, aku tahu cafe yang menyediakan makanan kecil dan minuman enak di sebelah panti ini, kita bisa makan sambil menunggu jam besuk tiba."

***

Albert Simon mengerutkan keningnya ketika memasuki ruangan perawatan Nathan dan menemukan cucunya itu sudah mengenakan pakaian rapi dan berkemas,

"Kau mau kemana Nathan?"

Nathan mendongakkan kepalanya dan tersenyum melihat kakeknya, "Aku akan pulang. Kondisiku sudah baikan."


"Kondisimu belum membaik." Albert Simon baru saja mengunjungi dokternya Nathan, jadi dia tahu kondisi cucunya itu. "Kau masih harus dirawat."

"Tidak ada yang bisa aku lakukan di sini, kakek. Lagipula masih banyak yang harus aku kerjakan. Ini hari libur, dan aku berencana mengajak Alexa keluar, ke toko buku atau apa untuk mengenal lebih dekat."

"Alexa sudah pergi bersama Daniel untuk mengunjungi papa Alexa di panti rehabilitasi." Albert Simon bergumam, dan seketika itu juga menyesal akan perkataannya yang tidak dipikir dulu ketika melihat ekspresi Nathan yang langsung membeku di sana.

"Alexa pergi bersama Daniel?" Nathan menggumam, suaranya seperti kesakitan.

Albert Simon menghela napas panjang, "Jangan pikirkan tentang Alexa dan Daniel dulu, Nathan, lebih baik kau pikirkan kondisimu, lagipula kau sepertinya masih harus banyak beristirahat."

"Tidak." Nathan menyela, ekspresinya tampak keras kepala, "Aku akan menyusul mereka, di mana alamat panti rehabilitasi itu, kakek?"

Bersambung ke Part 14

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 29, 2013 03:51
No comments have been added yet.


Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.