I. Made Iwan Darmawan's Blog, page 2

June 8, 2010

Cerpen: Selir Sulandri

Selir Sulandri

Gusti Ayu Sulandri belasan tahun umurnya, diantar sang ayah dan seperangkat gamelan berirama rentak. Ditemani sang kakak, lelaki tertua pewaris utama kewibawaan keluarga. Dua pelayan—hampir seumur—memayungi kepalanya. Bermahkotakan rambut panjang hitam yang dibiarkan menjuntai ke belakang dan sekuntum bunga jepun putih bergelantungan di sana. Rombongan itu diterima sang raja yang sumringah dan permaisuri yang terlalu curiga. Sejak awal matanya sibuk menyelidik.

Sulandri tak mengerti, sejak menstruasi pertama ia dikurung di kamar. Dilarang bermain dengan sembarangan orang, apa lagi laki-laki sudra. Hanya dua pelayan wanita yang boleh menemani secara bergantian dan melayani semua kebutuhannya. Karenanya ia senang, saat mendengar akan diantar ke puri raja; artinya ia akan melihat lagi pohon beringin di muka jero-nya, juga bisa menyaksikan laki-laki menyabung ayam di arena tajen dari kejauhan. Terbersit pula indahnya melintasi jalan setapak persawahan dan bertemu laki-laki muda yang selalu melontarkan senyum malu-malu.

Namun kebebasan hanya seperjalanan. Setelah sang raja menerima dirinya sebagai persembahan sang ayah, tanda takluk keluarga dan wilayah yang dikuasai; sekaligus tanda mohon perlindungan dan diterima sebagai wargi. Sulandri resmi menjadi selir. Ia ditempatkan di harem selir dari kalangan bangsawan dan tidak bercampur dengan selir-selir sudra. Selain kedudukan dan fasilitas yang diterima berbeda, putra raja dari selir sudra tak punya kesempatan untuk bergaul sebagai bangsawan dan hampir tertutup kesempatan memperoleh kedudukan penting di puri.

Sulandri merindukan suasana rumah; merindukan sang ibu dan sanak saudara lainnya. Namun akilbalig telah membatasi, ia harus pergi sebagai seorang putri dan berbakti sebagai seorang anak bagi kelangsungan hidup keluarganya. Diterima menjadi wargi artinya sang raja akan melindungi wilayah milik ayahnya dan tidak diserang untuk ditaklukan.

Setiap hari, selir-selir yang lebih senior memandikan dan melulurkan rempah-rempah serta wewangian ke tubuhnya. Semua dilakukan dengan gembira, sambil bernyanyi dan saling melontarkan teka-teki. Sulandri sendiri hanya bisa menawarkan senyum, ia tak menemukan jawaban kenapa musti berada di tempat itu. Ia terus bertanya, namun tiada satu selir yang mau menjawab, walau hanya dengan menganggukan kepala.

Sampai suatu malam, saat bulan purnama penuh; saat semua selir melaburkan wewangian di tubuh Sulandri dan meriasnya secantik mungkin seperti bidadari dari kahyangan; saat beberapa selir mengantarnya ke peraduan sang raja sambil melantunkan kidung tentang asmara dan meninggalkannya dengan ribuan tanya. Setidaknya, akhirnya Sulandri tahu kenapa ada di puri.

Sulandri dipeluk dan dilukai sang raja yang umurnya jauh melampui ayah kandungnya. Ia tak tahu cara menolak, sekaligus tidak paham bagaimana menerima. Usai ‘ritual’ tersebut, Sulandri dijemput dan dipapah selir-selir lainnya. Ia menangis karena sakit, ia menangis karena takut dan ia menangis karena sendiri menanggung getir. Hanya rembulan yang tahu isi hati Sulandri yang tertatih-tatih melintas taman puri. Seperti tak punya rasa simpati, selir-selir yang mengantar kembali ke harem, tetap melantunkan kidung asmara.

Sulandri cepat belajar dari keadaan dan tekanan. Jadwal pertemuan dengan raja di peraduan semakin tinggi intensitasnya, membuatnya terbiasa dengan urusan melayani raja. Walau tak mendapat tuntunan dari permaisuri atau selir senior, secara naluriah Sulandri temukan cara paling jitu menaklukan sang raja. Walau sebetulnya ia tak pernah berkata-kata, kecuali mengiyakan semua kata raja. Namun gerakan tubuhnya seperti Dewi Ratih yang datang tak menunggu malam dan pergi tak menunggu pagi—selalu membebani ingatan sang raja.

Sejak ia datang, raja tak memilih selir lagi. Bahkan tak begitu memperhatikan selir yang lebih senior. “Semua hanya untuk Sulandri!” begitu bisik-bisik menyebar. Saat Syahbandar Cina mengimpor sutra dari negeri leluhurnya, raja membeli beberapa lembar hanya untuk Sulandri. Ketika kapal kompeni Belanda mendarat, membawa tembikar, wewangian dan kosmetik, raja membeli cukup banyak untuk Sulandri.

Di dalam harem, tidak ada yang dibicarakan secara terbuka. Semua iri dengki disebar secara diam-diam, semakin sepi harem semakin banyak gosip menyebar, bahkan sampai di kediaman selir-selir sudra. Semua memojokan dan mencoba menyebar fitnah bahwa Sulandri memakai guna-guna, setiap malam kajeng kliwon mengasah ilmu leak. Namun sampai saat itu tak ada yang berani menentang secara terbuka selir kesayangan raja tersebut. Semua bicara dengan nada lembut, bertutur bahasa halus pada Sulandri.

* * * *

Malam sangat gelap dan pekat. Sulandri terbangun dari mimpi buruk, ia masih mampu mengingat bagaimana ganasnya air bah melanda kerajaan yang muncul sebagai bunga tidur. Di sampingnya sang raja tertidur pulas dan kelelahan; dengkurnya seperti burung malam tak berhenti berkicau walau dingin menyerap.

Tiba-tiba ia mendengar suara langkah mencurigakan, lebih dari satu orang. Lalu membuat gaduh dengan mengetok pintu keras-keras. Sulandri memilih bersembunyi di kolong dibandingkan membuka pintu. Ia merasakan sang raja bangun saat ranjang kayu berderit dan bergoyang keras. Ia mendengar pintu kamar terbuka. Tak lama kemudian raja terdengar marah dan lawan bicaranya melawan lebih keras.

Lantas Sulandri mendengar raja mengerang. “Ah...! Kenapa adik menusuk aku?” Segera sosok raja yang berwibawa, perkasa dan kekar itu doyong ke belakang dan jatuh. Mulut Sulandri terkatub ketakutan melihat orang yang menyayangi dirinya tumbang. Ia berusaha menjerit, tapi suaranya hanya memekakan hatinya.

“Ayo keluar!”

Sulandri mendengar suara kasar dan berat memaksanya keluar dari kolong. Seperti anak kecil yang tertangkap basah dalam permainan petak umpet, Sulandri ketakutan melihat adik raja yang masih membawa keris terhunus. Di belakangnya beberapa laki-laki yang dikenal Sulandri sebagai kepercayaan sang raja hanya menundukan kepala. “Pengkianat!” lontarnya dalam hati.

“Kembali ke kamarmu!”

Sulandri tak menunggu diperintah untuk kedua kalinya, ia melangkah bergegas di tengah malam melintasi taman puri. Selain serangga, Sulandri mendengar tabuh telu dimainkan di kejauhan. Suara bilah-bilah kayu yang dipukul dan tiupan serulingnya, menyayatkan kesedihan hati. Ia masuk ke kamar dan berbaring dengan rasa takut yang tak mau hilang. Sama sekali ia tak punya kata-kata untuk mengekpresikan tragedi yang disaksikannya.

Esok harinya, seiisi puri gempar karena kematian raja. Namun tak ada yang berusaha mengorek keterangan dari Sulandri, walau semua selir tahu bahwa ia, wanita terakhir bersama raja semalam.

* * * * *
Upacara ngaben sang raja sedang dipersiapkan. Raja baru belum dinobatkan, namun sudah bertindak melampaui wewenangnya. Adik tiri raja dari selir kelima ini, telah memobilisasi semua bangsawan, pekaseh, perbekel dan klian yang berada di bawah kendali kerajaan. Semua diperintah datang dengan membawa upeti masing-masing. Ribuan parekan, kaum sudra yang menjadikan diri takluk pada kerajaan dan keluarga raja, bekerja keras sesuai ketrampilan mereka tanpa dibayar, semua berdasarkan rasa bakti pada raja.

Bade yang memiliki atap sebelas tingkat telah dihias sebagian, sebuah patung lembu berukuran besar sedang dikerjakan secara cermat dan detil oleh ahlinya. Puluhan babi, ayam dan bebek dipotong setiap menjelang pagi, dagingnya sebagian untuk bahan upakara, sebagian lagi dimasak untuk lauk para pekerja yang terus berdatangan dari wilayah-wilayah taklukan.

Tiga bangsawan senior mendatangi harem, memangil Sulandri. Di hadapan semua selir berbusana putih tanda berkabung, bangsawan paling tua membawa titah calon raja. “Selir bangsawan hanya Sulandri diberi kesempatan menunjukan rasa cinta pada raja dengan cara mesatia. Belasan selir dari kaum sudra juga akan mengiringi. Semua sudah diputuskan tanpa bisa diganggu gugat.”

Mendengar hal tersebut beberapa selir memeluk tubuh Sulandri yang berguncang. Ia tak pernah berpikir bahwa kematian akan datang secepat itu. Selir lain yang belum sempat memeluk Sulandri, ikut memeluk erat dan coba meneteskan air mata mereka ke bahu Sulandri. Mereka menangis bahagia, bukan diri mereka ditunjuk untuk mengekspresikan bahwa raja sungguh dicintai wanita yang ia lindungi.
Sulandri memberanikan diri menghadap permaisuri. Bercucuran air mata ia minta perlindungan, seperti saat ayahnya mempersembahkan dirinya. Trauma pembunuhan itu masih terbayang di wajahnya, kini ditambah ancaman kematian di atas kobaran api. Sulandri bahkan lancang menceritakan panjang lebar siapa pembunuh raja.

“Memang hanya kau yang tahu raja dibunuh adiknya?” Permaisuri bicara ketus memotong kata-kata Sulandri. “Semua isi puri sudah tahu. Lantas kita mau apa? Raja wafat sudah karmanya, sekarang saatnya kita tunduk pada raja baru.”

“Kenapa saya dipilih mesatia? Bukan yang lain?”

“Karena kau adalah selir kesayangan raja.”

“Tolonglah permaisuri, jangan biarkan mereka memaksa saya terjun ke kobaran api.”
Permaisuri memandang ke arah Sulandri, wajahnya seperti saat pertama bertemu, curiga dan menyelidik. “Hah..! Pernahkah kau datang padaku saat memperoleh kain sutra? Dikirimi sang raja minyak wangi dan pemerah bibir buatan Belanda? Kenapa sekarang kau datang padaku? Lantas apa peduliku?” Permaisuri mecibir. “Walau aku mampu mengubah keputusan raja baru, apa untungnya aku menolongmu!” Permaisuri berpaling dan pergi tergesa-gesa dari kamarnya, menghilang di taman puri.
Sulandri menjerit lemah. Ia kehilangan arah. Laksana layang-layang mati angin, tak tahu musti mengadu kemana lagi. Selama ini tak ada yang bicara kasar padanya, kini semua bicara langsung tanpa tata krama, lugas ke inti masalah.

Raja baru mengirimi Sulandri seekor merpati putih dan satu besek candu. Seorang selir yang lebih senior mengajari menghisap candu dan memberitahu akan sangat berguna saat mesatia. Sulandri mencoba saran itu, ia berharap bisa menghilangkan semua beban pikiran. Namun efeknya tidak begitu menyenangkan baginya dan ia menolak untuk meneruskan.

Candu memang banyak diisap di kalangan selir senior, khususnya di harem bangsawan. Sulandri pernah diajari sebelumnya, namun ia menolak. Penolakan itu disalahartikan dan dianggap sebuah penghinaan. “Tidak masalah. Kau akhirnya akan belajar juga memakai barang ini. Saat raja menemukan selir baru, segera kau jadi harta masa lalu bersepuh debu di sini!’’ Sindir salah satu selir senior. “Lalu apa yang bisa kau lakukan, kalau bukan mengisap candu?”

Sulandri kesepian tanpa kawan. Semua orang dari hari ke hari sibuk mempersiapkan upacara pembakaran jenasah raja. Sepertinya tak terlalu penting lagi penyebab kematiannya, semua cuma berpikir satu hal, bagaimana kerja besar tersebut berjalan dengan semestinya.

Sulandri hanya bisa berkeluh kesah pada sang merpati. Mulanya ia merasa lucu, malu dan kesal saat mulai mencurahkan perasaannya pada sang merpati, karena ia tak mau jadi gila. Setelah tiga hari melakukan hal serupa, Sulandri merasa sang merpati bersimpati padanya. “Benar aku sudah mati saat akil balik tiba. Masa kanak-kanakku telah terbunuh saat darah mengalir dipahaku, bukan?” Sulandri memegang lembut tubuh sang merpati. “Benar aku sudah mati saat tiba di puri. Masa remajaku telah terbunuh, saat raja melukai perawanku, bukan?” Sulandri memandangi kepala burung merpatinya dengan sedih. “Benar aku mati saat adik raja datang membunuh kakaknya. Masa hidupku telah terbunuh, saat cinta sang raja harus dihormati dengan melukai hati, bukan?”

Saat satu dua selir senior merasa kasihan padanya dan datang membawakan makanan. Sulandri tak mau bicara, ia mengusir dengan tangan dan wajah garang. Sulandri tidak makan, namun ia tetap minum, termasuk minum ramuan yang diyakini semua selir sebagai jamu kecantikan.

* * * * *

Hari pembakaran jenasah telah tiba. Sulandri mandi dan menghias diri secantik mungkin. Semua orang telah siap pada tugas masing-masing, ribuan lainnya yang tak mendapat pekerjaan menonton di sepanjang jalan menuju setra. Pendeta memuja di pagi itu, salah satunya melepaskan panah berujung bunga ke arah naga kertas berkerangka bambu dan kayu. Lantas arak-arakan dimulai, patung lembu diusung seratusan orang, berada terdepan diiringi tetabuhan berirama rentak. Lantas bade, di mana jenasah raja ditempatkan, juga diusung laki-laki berotot, mereka bergerak histeris dengan beban ratusan kilo dipundaknya. Lembaran kain putih dibentangkan memanjang terus ke depan, memayungi keluarga raja.

Seperangkat gamelan angklung yang dipukul dengan nada sedih berada di belakang. Bagi Sulandri bersama belasan selir sudra yang ditandu sejumlah laki-laki, suara bilah-bilah besi yang berirama mendayu-dayu itu, sudah cukup menjelaskan perasaan hati mereka. Iring-iringan tandu selir-selir menjadi tontonan utama

Di bagian tertinggi gundukan setra, jenasah raja dipindahkan ke atas tubuh patung lembu hitam yang telah dibuka punggungnya. Di sekilingnya dipagari kayu api, sebagian dari cendana. Sebuah panggung lain dibangun untuk tempat selir menceburkan dirinya ke atas kobaran api. Pendeta kembali melakukan upacara untuk selanjutnya api disulut dan membakar dengan cepat. Semua orang mendengar suara api melahap kayu di antara suara gamelan angklung.

Sulandri diiringi selir sudra naik ke atas panggung, mereka berkebaya dan berkain putih, melangkah tanpa gentar. Semua membawa merpati masing-masing di tangan. Sulandri akhirnya tak kuat menahan tangis, namun air matanya kering tanpa sempat menetes di pipi karena hawa panas api di bawah. Sulandri maju ke ujung panggung dan tahu dirinya tak lagi punya kesempatan berbalik. “Selangkah lagi,” ujar Sulandri dalam hati.

Niat itu dilaksanakan dengan cepat. Merpati putih terlepas dari tangan Sulandri, diikuti belasan merpati lainnya. Terbang menjauhi sumber panas ke sana ke mari—melukisi mega. Sampai kemudian hinggap di atas ranting pohon dan melihat tuannya sudah jadi abu. Merpati itu meneteskan air mata.


Selesai.
Kuta, 7 Juni 2004
Pemenang Lomba Femina 2004 dimuat Majalah Femina edisi 20-26 Januari.
I Made Iwan Darmawan


Catatan :
Mesatia: tindakan sejumlah janda raja (selir) menceburkan dirinya ke atas kobaran api saat sang jenasah raja sedang dibakar.
Setra: komplek perkuburan / tempat ngaben (kremasi)-=
Bade: menara kremasi, dimana jenasah ditempatkan saat dibawa menuju setra.
Jero: rumah tinggal bangsawan, tapi bukan istana
Ngaben: kremasi, pembakaran jenasah
Wargi: hubungan politis antara dua kerabat dengan posisi kedudukan tidak sama. Yang lebih lemah memberikan istri untuk yang lebih kuat.
Puri: kediaman bangsawan tinggi (istana)
Pekaseh: jabatan pengurus air pada subak
Parekan: orang dari kelompok sudra yang bekerja pada bangsawan
Perbekel: fungsionaris politik kerajaan terendah, sekelas desa.
Upakara: berbagai pernik-pernik yang dibentuk untuk keperluan upacara/ritual.
Kajeng kliwon: sistem kalender Hindu-Bali, sering diyakini sebagai hari penganut ilmu hitam mencoba ilmunya.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 08, 2010 11:48