Kevin Anggara's Blog, page 3
November 19, 2021
Day 11 #30DayWritingChallenge
What is the biggest lesson you learned till now?

Begitu selesai magang, gue udah nggak pernah ke kampus lagi selain minta tanda tangan dosen pembimbing. Perjalanan hidup sesungguhnya dimulai dari sini. Nunggu wisuda, kuliah gue udah selesai, terus ngapain lagi?
Masa-masa kosong itu banyak gue isi dengan berkontemplasi. Masa-masanya gue menanyakan arti kehidupan, selalu ke warkop atau sekadar ke taman komplek setiap malam buat ngobrol bareng teman-teman. Gue merasa mungkin ini quarter life crisis yang kecepetan kali, ya? Gue baru akan berumur 25 tahun depan. Semoga.
Gue menanyakan diri sendiri nanti udah lulus mau ngapain lagi? Tetap bikin video? Tetap menulis? Tetap gini-gini aja? Gue bukan orang yang mau keluar dari zona nyaman. Iya, gue suka mencoba hal baru, tapi biasanya nggak terlalu lama dan gue buru-buru balik lagi ke zona nyaman. Zona nyaman ya zona yang udah mengenal gue luar dan dalam, udah klik. Gue yakin, kita tetap bisa berkembang menjadi pribadi yang lebih baik di zona nyaman ini.
Lalu, apa aja yang gue pelajari di hidup ini?
Banyak. Salah satu yang paling gue ingat adalah quotes dari Oscar Wilde: “To live is the rarest thing in the world. Most people exist, that is all.”
Gue sempat bertanya-tanya, hidup ini untuk apa? Sampai akhirnya gue menemukan jawaban yang membuat gue merasa cukup puas: untuk mencari arti dan menikmati hidup itu sendiri. Caranya gimana? Dengan cara apa pun yang membuat gue bahagia: bisa nongkrong sama temen-temen, bisa jalan-jalan ke tempat yang gue suka, atau cukup dengan ngeliat ngeliat awan sambil tiduran.
Misalnya, setiap gue ngerasa udah kerja terlalu lama, gue pasti akan istirahat sebentar karena gue merasa itu penting untuk kesehatan dan mental gue. Ketika gue udah recharge, gue baru balik kerja lagi. Gue butuh hidup yang balance, kerja ya tetap kerja, tapi kalo gue lagi main ya nggak bisa diganggu. Begitu juga sebaliknya karena gue percaya semua ada waktunya sendiri. Tinggal gimana time management gue biar semua kerjaan bisa selesai pada waktunya dan gue jadi punya waktu sendiri untuk dinikmati.
Untuk ngelakuin hal-hal yang yang gue suka, dengan begitu gue jadi bahagia, dengan bahagia gue jadi merasa menikmati hidup itu sendiri.
Kalian semua yang baca ini pasti punya tujuan hidup yang berbeda. Ada yang mau kuliah di luar negeri, ada yang mau suatu saat bisa main film, atau mungkin bisa buka toko roti sendiri? Jawabannya pasti bervariasi dan nggak ada satu pun yang salah.
“Stay mediocre is an option.”
Mungkin lu pernah liat kalimat yang sempat rame itu di Twitter, tapi nggak usah terlalu dimasukkin ke hati karena nggak semua orang tujuannya pengin sukses. Ada banyak orang yang pengin hidup biasa-biasa aja dan itu bukan masalah.
Gue juga pengin jadi biasa-biasa aja di hidup ini. Lebih nyaman, nggak banyak tekanan, yang penting gue bahagia. Gue pengin ketika ada di momen menjelang mau mati (wow, kaget), gue nggak menyesali apa pun lagi karena selama hidup… gue udah ngerasa cukup.
That’s the biggest lesson I’ve learned. To live.
Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.
November 18, 2021
Day 10 #30DayWritingChallenge
Write about a friend who never left your side
Fosil peninggalan sebelum era yutub lebih dari TV boom~
Ngecekin nomor di kontak hape buat liat siapa nama yang familiar dan sering interaksi, akhirnya gue memutuskan untuk menulis tentang: Louis. Buat yang ngikutin cerita gue di blog atau bahkan video di Instagram sampe YouTube, harusnya tau kalo kami sering barengan. Louis itu adik kelas gue pas SMP. Ketika gue naik ke kelas 8, Louis baru masuk di kelas 7. Nah, kok jadi bisa deket padahal nggak sekelas?
Semua bermula dari futsal. Gue sering main futsal, ekskul gue futsal, sampe ikutan klub di luar sekolah biar sering latihan dan main futsal. Semua temen futsal di sekolah gue ajakin untuk latihan bareng di luar, tapi cuman Louis yang paling sering ikut sama gue. Perjalanan ke tempat latihan futsal ini juga cukup jauh dengan berjalan kaki, sekitar 2,5 km. Seminggu latihan dua kali, berarti udah 10 km sendiri jalan kakinya.
Kami jalan kaki karena uang jajan cuman dikit saat itu. Dengan duit 4 ribu, pilihannya hanya dua: 1) naik angkot pulang-pergi 4 ribu, tapi di tempat latihan nggak bisa beli minum, 2) pulang-pergi jalan kaki, tapi di tempat latihan bisa minum.
Kami pilih yang kedua.
Sering jalan kaki bareng membuat kami menghabiskan banyak waktu di jalan sambil ngobrolin guru di sekolah, cita-cita, sampai negara yang sempat menjajah Indonesia. Makanya kami jadi dekat.
Udah banyak cerita lucu dan bego yang dialami kami berdua. Cerita Louis hapenya dijambret pas mau berangkat latihan, cerita selama liburan di Bandung, cerita pertama kali ngetest bisa berenang atau nggak dengan langsung nyebur di laguna yang dalamnya 4 meter, cerita bertemu orang India jatuh di Jepang, dan masih banyak lagi. Beberapa udah sering gue ceritain lewat live streaming. Biasanya gue live streaming ngobrol-ngobrol random itu di jam-jam 11 malam ke atas dan replay-nya nggak di-save. So, you know what to do.
Kembali ke Louis. Banyak cerita yang nasib sialnya diambil semua sama dia. Setiap gue pergi dan Louis nggak ada, pasti selalu ditanya, “Louis mana, Pin?”
Entah yang nanya beneran pengin tau kabar Louis atau mau tau cerita sial baru apa lagi yang dialami olehnya.
Iya, Louis masuk kategori a friend who never left your side untuk gue.
Selain nasib sial, banyak juga hal-hal menyenangkan yang kami alami bersama dan beberapa ada dokumentasinya lewat perjalanan kami ke Jepang. Semoga setelah pandemi selesai, masih banyak perjalanan ke tempat-tempat aneh di Jepang yang menunggu. Ketika gue bilang jalan-jalan ke Jepang sama Louis, secara harfiah kami beneran jalan (kaki) di sana.
Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.
November 17, 2021
Day 9 #30DayWritingChallenge
What is one thing you regret very badly and cannot change?

Menyesal memang bikin nyesek, tapi gue percaya bahwa itulah yang membuat gue menjadi lebih kuat dan menjadi diri gue yang sekarang ini.
Hampir nggak ada yang gue sesali di dunia ini karena gue yakin menyesali sesuatu yang udah lewat itu nggak ada gunanya. Betul, ujungnya itu mungkin akan menjadi pengalaman yang berharga dan membuat lu semakin kuat. Tentunya gue udah melalui banyak awan, air dingin, dan pikiran yang matang sebelum sampai di titik ini, berdamai dengan diri sendiri.
Gue lebih fokus ke hari ini dan keesokan hari.
Tapi… kalo memang harus ada jawabannya, mungkin jawabannya adalah: waktu.
Waktu itu nggak bisa diulang, apa lagi diubah. Maka dari itu, gue akan merasa menyesal bahwa waktu yang sempat gue berikan itu masih terasa kurang. Contohnya, mungkin gue pernah menghabiskan waktu dengan seseorang, tapi siapa yang sangka bahwa itu adalah pertemuan terakhir kami? Mungkin tidak ada pertemuan di masa yang akan datang karena jalan yang berbeda atau dunianya yang udah berbeda? Waktu dalam konteks itu yang gue maksud.
Nggak spesifik ke satu orang aja, tapi siapa pun yang merasa pernah mengalami itu.
Setelah menjawab topik hari ini, sekarang gue bertanya ke diri sendiri, “Ada lagi?”
Cukup, nggak ada lagi.
Hanya itu. Waktu. Saat gue memutuskan untuk berdamai dengan diri sendiri, gue jadi bisa berpikir dengan lebih matang sebelum mengambil keputusan. Meminimalisasi risiko, berarti memperkecil potensi untuk menyesal di kemudian hari. Tapi yang namanya hidup, apa yang gue rencanakan sekarang nggak akan selalu mulus jalannya.
Jadi, sampai waktu itu tiba, sampai bertemu lagi.
Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.
November 16, 2021
Day 8 #30DayWritingChallenge
What fascinates you about life and people around you?
Sumba, 2018
Gue penasaran dengan kehidupan sebelum gue lahir dan ketika gue berumur satu hari sampai sekitar umur… 5 tahun? Ke mana aja memori itu selain lewat katanya orang dan foto sebagai buktinya? Gue kagum dengan semua evolusi di dunia ini dan seberapa kecilnya manusia dibandingkan dengan itu semua. Atau perbandingan skala dari bulan yang lebih kecil dari planet bumi, yang lebih kecil dari matahari, yang lebih kecil dari bintang di galaksi lain, dan seterusnya. Gimana walaupun kita sedang berdiri di tempat, kita sebenarnya sedang bergerak dengan kecepatan tinggi, tapi untungnya ada gravitasi. Atau… seberapa dalam sih lautan itu?
Gue juga kagum dengan orang-orang di sekitar lingkungan saat ini. Terdiri dari latar belakang berbeda, profesi berbeda, prinsip hidup berbeda, tapi entah gimana caranya bisa kompak nyebut mie instan itu: Indomie. Kok bisa ya ada orang yang kepikiran untuk bikin komputer? Sebentar… gue menulis ini sambil dengerin lagu Yoasobi. Kok bisa sih ada orang-orang yang bikin lagu enak banget?
Ternyata memang kita semua seberbeda itu.
Mungkin gue kagum dengan perbedaan itu yang membuat hidup jadi lebih berwarna? Keberagaman yang banyak dan tersebar di seluruh dunia itu membuat gue tersadar bahwa dunia itu luas banget. Kebayang nggak dunia ini akan sangat membosankan kalo nggak ada negara Jepang? Kok bisa Thailand nggak pernah dijajah? Gimana caranya Amerika yang segede itu bisa hilang lalu ditemukan Christopher Columbus? Err..
Alam. Tumbuhan. Hewan. Manusia. Bahasa. Musik. Film. Makanan. Tujuan hidup. Orang-orangnya.
Setiap hari gue yakin pasti selalu ada keseruan yang menanti untuk hal-hal yang belum pernah kita tau. Sure, life fascinates me.
Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.
November 15, 2021
Day 7 #30DayWritingChallenge
Find an old photograph that you like and share the story behind it

Foto ini diambil tanggal 22 Oktober dalam rangka bulan bahasa tahun 2013. Ini bisa dibilang sebagai talkshow pertama gue setelah buku pertama terbit. Gue diundang ke salah satu SMP di daerah Sukabumi untuk ngobrolin seputar buku, penulisan, dan tentu kaitannya dengan bulan bahasa. Begitu mendapat tawaran ini, sebenarnya deg-degan juga karena dikabarin pesertanya ratusan. Ditambah ini pertama kalinya gue ngomong di depan orang sebanyak itu.
Waktu itu gue ke sana ditemenin Ry (editor gue) dan alm. Om Em dari penerbit Bukune. Sepanjang perjalanan gue ditenangin karena nggak tau mau ngomongin apa.
Gue sih menganggap ini nanti kayak lagi disuruh maju pas pelajaran di kelas, tapi yang nontonin bukan anak-anak kelas gue sendiri. Bisa lah bisa, pikir gue.
Begitu acara dimulai, gue merasa cukup canggung karena harus memperkenalkan diri sambil berdiri sendiri di saat yang lain pada duduk. “Halo, semuanya. Selamat pagi,” yang kemudian dibalas, “Pagiiiii, kak~” tapi suaranya seratus kalinya gue. Keringat perlahan mulai jatuh, sambil gue dipancing dengan pertanyaan-pertanyaan untuk membuka topik pada pagi hari itu.
“Oh iya, jadi ini buku tentang pengalaman saya di sekolah. Kalian ada nggak yang pernah punya pengalaman di sekolah juga?”
Gue geleng-geleng kepala karena basa-basi itu nggak beneran terucap.
“Buku ini isinya pengalaman saya di sekolah. Saya pernah jadi ketua OSIS loh.”
Mereka semua terdiam. Sampai akhir acara, kami diam bersama mendengar suara jangkrik di depan aula.
“Tau nggak, ini hari Selasa dan saya nggak sekolah loh karena harus ke sini?”
Semuanya udah gue coba sampai mulai mengomentari hal yang nggak penting.
“Aula sekolah ini keren banget, jauh lebih besar dari aula sekolah saya. Apa saya sekolah di sini aja?”

Untungnya, pengalaman ini tidak begitu memalukan karena gue bisa tetap ngomong sampai acara selesai. Tentunya dengan dipancing pertanyaan-pertanyaan dari para peserta juga. Selesai acara, gue minta izin untuk naik dan mendokumentasikan acara ini lewat foto. Setelah itu gue juga evaluasi bersama Ry dan Om Em tentang apa yang bisa ditingkatkan lagi dan itu membuka perjalanan kami roadshow ke banyak sekolah dan toko buku di berbagai kota.
Seru juga ya jalan-jalan. Hmmm?
Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.
November 14, 2021
Day 6 #30DayWritingChallenge
Write ten things you love regarding yourself

Udah bisa dipastikan kalo tulisan kali ini akan sangat narsistik karena gue harus menulis hal yang gue sukai dari diri sendiri. Let’s start.
Fokus. Gue cukup lama ngumpulin nyawa dan niat untuk melakukan sesuatu, tapi begitu gue udah mulai mengerjakan, tugas atau aktivitas itu akan selesai dengan sangat cepat. Biasanya terjadi dalam kasus ngedit video. Sehabis shooting (hal yang paling gue tidak sukai ketimbang nulis dan ngedit), nggak jarang di hari yang sama gue akan ngedit juga dan tau-tau videonya selesai untuk tayang keesokan harinya. Bisa tebak video yang mana aja?
In time. Gue (hampir) nggak pernah telat karena gue nggak suka menunggu dan membuat orang menunggu. Janjian jam 1 siang? Lima belas menit sebelum itu gue udah ada di tempat.
Percaya diri. Ini berkat jam terbang juga sih, nggak terjadi dengan sendirinya. Berkat percaya dengan diri sendiri, gue selalu yakin dengan apa yang gue kerjakan.
Perfeksionis. Makanya upload video lama (ini alasan). Gue nggak terlalu bisa melibatkan orang lain dalam proses kreatif seperti nulis skrip dan ngedit video karena… gue mau benar-benar terlibat dalam hal yang gue kerjakan. Ketika orang nonton video YouTube atau bahkan caption post gue di Instagram, gue pengin mereka merasakan hasil pikiran gue beneran ada di situ.
Tidak mudah percaya orang lain. Ini berarti gue nggak bisa dihipnotis Uya Kuya.
Ini rencananya gue mau copas yang di atas biar pas jadinya 10, cuman sebentar kita istirahat dulu. Capek loh nulis hal yang gue suka dari diri sendiri. Ekuivalen lah dengan ngomong, “Hai, guys! Balik lagi sama gue di konten kali ini!”
Sabar. Tapi gue males menunggu. Beda ya konteksnya antara udah janjian terus ada yang telat sama menunggu invoice yang belum cair-cair? Kalo yang pertama gue kan udah di tempatnya, kalo yang kedua gue bisa sambil tiduran dan main hape di rumah. Eh, kok belum turun juga ya hhhhh.
Bisa dadakan. Bukan, ini bukan open BO, tapi dalam urusan diajak jalan dan kerjaan. Temen tiba-tiba ngajak ke Jogja Senin depan? Skuy. Brief baru masuk hari ini, tapi lusa harus tayang? Skuy, tapi biayanya lebih mahal dan jangan kebanyakan revisi, ya. [image error]
Integritas. Atau tegas? Gue akan ngomong hal yang sama di depan atau belakang kalo konteksnya orang. Kalo konteksnya hantu, maaf bukan bidangnya.
Jujur. Ini sama aja kayak yang di atas. Gue bisa mengungkapkan apa yang gue pikirkan, tapi punya potensi kalo diomongin agak bikin suasana jadi awkward, but bitter truth is better than a sweet lie, right? Atau ini gue lagi bohong aja kali? Jujur deh, ini nggak lagi bohong.
To the point. Ngomong gue cepet kayaknya udah sedikit menjawab, ya?
Baiklah, segitu aja kayaknya. Membaca ulang tulisan ini agak bikin gue mengernyitkan alis sedikit dan ini saatnya untuk bilang, “Hai, guys! Balik lagi sama gue di konten 10 hal yang gue sukai dari diri sendiri!”
Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.
November 12, 2021
Day 5 #30DayWritingChallenge
Write about your most interesting day of the past year

Setahun ke belakang hidup kayak grafik IHSG karena diserang pandemi. Rutinitas jadi itu-itu aja dan gue mulai ngerasa bosan, tapi nggak bisa ke luar rumah. Gue yakin, banyak banget orang-orang yang nyobain hal baru di masa pandemi (yang sekarang udah bisa dibilang mendingan?) Termasuk gue.
Workout, maraton One Piece, panahan, semua gue cobain, kecuali bikin kopi Dalgona sendiri karena males. Selain beberapa hal tersebut, gue juga masuk ke hobi custom mechanical keyboard, sesimpel karena gue memang suka ngetik dan gue pengin custom keyboard sendiri. Dari hobi ini lah, gue juga kenal dengan yang namanya deskmat (atau biasa lu taunya mungkin mousepad yang ukurannya gede sampe semeja).
Gue yang tadinya nggak kepikiran untuk berbisnis apa pun karena stereotip muka-muka kayak gue pasti harus berbisnis jadi mulai kepikiran, “Hmm, gue kan make deskmat, kayaknya belum pernah deh gue liat ada brand lokal yang memang nyediain deskmat doang sebagai produk jualannya.” Singkat cerita, Tenjin Scrollworks lahir.
Tanggal 24 Mei 2021 mungkin jadi hari yang paling menarik buat gue karena itu adalah tanggal produk pertama Tenjin Scrollworks rilis. Gue akan nyeritain lebih lengkap soal Tenjin Scrollworks mungkin di lain waktu karena bisa kepanjangan kalo semuanya dibahas di sini.
Gue nggak pernah buka usaha bisnis produk seperti ini sebelumnnya, tapi ketika melihat di hari rilis pertama produk yang dijual laku semua, gue jadi terheran-heran sendiri.
“Awalnya ini kan dari hobi doang, tentunya niche banget, kok bisa laku cepat dah????”
Gue pas ngajak partner join bikin Tenjin Scrollworks udah nyiapin presentasi, list vendor untuk produksi, riset market, semua persiapan itu terasa pergi begitu aja. Teknik marketing macam apa ini? Perasaan target marketnya kan begini-begitu, riset gue jadi meleset dong?
Gara-gara pesanan masuk sebanyak itu, gue bertiga dengan partner bengong. Kami juga mulai bertanya-tanya ke satu sama lain, “Ini beneran nggak, sih?” Sebelum akhirnya realitas menampar bahwa kami harus mulai packing ratusan deskmat ini sekarang juga. Itu hari yang akan gue ingat sebagai hari sakit pinggang sedunia karena packing ratusan deskmat bertiga itu makan waktu dan makan apa nih kita sehabis packing?
Sambil menutup box terakhir yang di dalamnya udah ada deskmat, gue bertanya,
“Eh, yang ini udah ada sticker kan di dalamnya?”
Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.
Day 4 #30DayWritingChallenge
Are you early or nocturnal? Write the pros and cons of being one.

Gue lupa kapan terakhir kali bangun pagi, tapi ketika gue bilang bangun paginya jam 10, orang yang nanya sama gue kaget sendiri. Padahal secara teknis, jam 10 masih termasuk pagi, belum siang. Nggak jarang, gue bangun tidur lebih siang dari jam 10. Gue baru bisa benar-benar fokus beraktivitas itu satu atau dua jam setelah bangun tidur.
Salah satu alasan dulu gue pengin berhenti sekolah adalah karena gue males untuk bangun pagi. Begitu nggak lagi menjadi kewajiban, gue jadi lupa rasanya bangun tidur langsung beraktivitas. Yang gue tau sehabis bangun tidur adalah gue harus mengumpulkan nyawa dengan cara main hape, ngulet bentar, ingat-ingat tagihan bulanan, tapi kalo terlalu nyaman eh malah kebablasan tidur lagi.
Nokturnal itu artinya berhubungan dengan malam hari. Biasanya sih untuk mendeskripsikan hewan (misalnya kelelawar) yang aktif hanya pada malam hari. Seperti kelelawar, gue juga biasanya aktif di jam-jam tersebut. Banyak ide-ide yang kemudian menjadi skrip dari video YouTube gue itu ditulis pada malam hari. Sekitar jam 12 malam ke atas. Gue ngerasa berenergi, lebih lancar, dan nggak ngantuk. Jam-jam yang mungkin bagi sebagian orang kantoran adalah jam istirahat, tapi buat gue ini adalah waktunya gue “ngantor”.
Ngomong-ngomong soal tidur, mungkin nanti lu pada bisa baca-baca soal chronotype, bagian dari jam biologis tubuh manusia yang berbeda-beda.
Enaknya jadi nokturnal adalah gue nggak perlu khawatir untuk bangun pagi lagi. Gue nggak ngerti kenapa kita harus bangun pagi kecuali udah ada janji, tapi kenapa sih janjian pagi-pagi? Harusnya kita bisa janjian di tengah-tengah waktu yang kita semua udah fokus dan siap beraktivitas. Win-win solution.
Nggak enaknya ya dibilang,
“Pemalas!”
“Nggak sehat lu tidur kemaleman mulu.”
“Pemalas banyak alasan untuk bangun siang!”
Padahal ya… jam biologis kita emang beda aja.
Atau mungkin aja ini semua gue alami karena gue belum jadi bapak-bapak? Siapa tau pas nanti jadi bapak-bapak, gue jadi bangun pagi terus dan mainin burung? Burung? Kelelawar? Kelelawar itu masuknya burung atau bukan, ya?
Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.
November 11, 2021
Day 3 #30DayWritingChallenge
What are the three most important things you cannot live without?

Dari sekian banyaknya benda di dunia ini, gue harus memilih tiga yang paling penting. Gue coba mikir cukup lama, tapi kayaknya kalo kelamaan bisa overthinking, jadinya gue balik ke opsi awal yang pernah tebersit di kepala. Benda-benda ini adalah benda-benda yang kalo nggak ada, gue bisa pusing dan nggak tau harus ngapain selain mikir, “Tadi perasaan ada di sini?”
1. Hape
Jelas banget kalo hape itu udah kayak bagian tubuh sendiri yang perannya sangat krusial di kehidupan. Semua file, foto, kontak, notes, sampai aplikasi PeduliLindungi yang jarang gue buka tapi kalo nggak ada gue jadinya nggak bisa masuk mal, ada di sini. Kalo kehilangan dompet, yaudahlah paling pusing sebentar mikirin gimana caranya bikin KTP di negara yang sering koru— juara badminton ini.
Kehilangan hape akan sangat merugikan gue karena gue jadi kehilangan anggota tubuh yang bisa nelpon untuk keadaan darurat, motret Roberto Carlos yang tiba-tiba ada di depan mata, sampe bingung ke mana harus nyari taksi konvensional karena gue nggak punya kendaraan pribadi. Semoga nanti manusia-manusia di masa depan sudah terlahir dengan built-in fitur yang bisa menggantikan keberadaan hape.
2. Kopi
Karena gue suka minum air dingin, setiap pesan atau minum kopi, gue juga selalu memesan yang dingin. Bisa dihitung jari lah gue minum kopi panas itu cuman di beberapa kegiatan tertentu. Kebiasaan minum kopi ini dimulai dari nggak sengaja minum kopi sachet pas kelas 4 SD karena gue ngeliat nenek gue setiap pagi bikin kopi mulu, apaan sih itu?
Setiap pagi sebelum pergi sekolah, gue jadi minum kopi terus karena itu. Selain bisa membuat gue tetap segar, rasanya tuh kayak cokelat tapi nggak cokelat-cokelat banget. Manis sih, tapi nggak semanis senyuman Anya Taylor-Joy juga. Rasanya gue nggak bisa deh ngerjain sesuatu atau bahkan nulis ini kalo nggak ditemenin kopi.
Salah satu menu yang selalu gue pesan kalo lagi mampir ke Starbucks adalah: Double Shot Iced Shaken Espresso. Ini kalo lagi awal bulan biasanya.
3. Sendal Jepit
Gue pernah dikerjain pas lagi ngangkat sebelah kaki pas nongkrong malem-malem, sendal jepit yang biasa gue pake ditarik sama teman, jadi ketika gue pengin pergi ke WC dan menurunkan kaki lainnya, “Loh, sendal jepit gue mana, ya?”
Ada momen kaki gue meraba-raba ke arah depan, kiri, kanan, belakang, curi-curi pandang ke bawah, coba meraba-raba lagi, “Waduh, gimana nih gue pulang sendalnya cuman sebelah?”
Sebelum akhirnya teman gue balikin dan perasaan lega itu seperti menemukan toilet untuk kencing setelah menahan hampir tiga jam. Kenapa cuman sendal jepit, tapi gue sekhawatir itu ya? Mungkin karena sendal jepit ini saking lamanya dipake udah membentuk dan menyatu dengan pola kaki gue. Gue udah menganggap sendal jepit ini sebagai kaki gue sendiri. Rasanya aneh memakai sendal jepit orang lain yang bentuknya tidak compatible.
Inikah namanya cinta?
Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.
November 10, 2021
Day 2 #30DayWritingChallenge
Day 2: Write about the things or activities that make you happy

Banyak hal di dunia ini yang bisa membuat gue bahagia, seperti bisa minum air dingin ketika cuaca panas atau bisa tidur tanpa khawatir akan terbangun karena bunyi alarm di keesokan harinya. Tapi ketika ditanya satu aja aktivitas yang membuat gue bahagia, gue akan jawab dengan aktivitas sederhana ini: tiduran sambil melihat awan.
Yes, gue tau bahwa main game itu asik banget sampai bisa membuat gue lupa waktu, gue juga tau bahwa main bola itu seru karena itu adalah salah satu olahraga yang gue sukai, tapi bayangin deh ketika lu punya waktu hanya untuk tiduran sambil melihat awan. Tiduran. Sambil. Melihat. Awan. Relaxing banget nggak, sih?
Ketika gue tiduran sambil melihat awan, gue bisa melupakan sejenak kesibukan yang sedang gue jalani. Gue melihat awan yang bergerak perlahan, sambil membayangkan betapa besarnya planet bumi ini dan betapa kecilnya gue yang cuman manusia biasa. Apa jadinya ya kalo tiba-tiba ada meteor jatuh? Gue nggak punya waktu buat lari, yaudahlah tetap tiduran aja di sini. Di belahan bumi sebelah, ada berapa orang yang lagi tiduran sambil melihat awan juga ya saat ini?
Ini adalah salah satu momen di mana gue bisa merefleksikan tujuan hidup gue dengan lebih tenang, tanpa gangguan.
Awan bergerak lebih cepat di Jepang, setidaknya itu yang gue notice setelah selesai sarapan Yoshinoya. Jangan tanya kenapa gue makan Yoshinoya di Jepang. Gue mempercepat langkah gue mengikuti awan yang bergerak cepat. Dari yang bentuknya mirip kelinci, sampai bentuknya mirip logo Illuminati. Setiap langkah yang gue ambil, sang awan juga mengubah bentuk. Berarti… nggak peduli apa yang gue alami hari ini, hidup juga tetap berjalan.
Mau lagi happy, atau kena tai, gue harus tetap jalan lagi. Gue bahagia dengan aktivitas sederhana ini. Aktivitas yang membuat gue jadi “ngobrol” dengan diri sendiri. Habis ini, ngapain lagi, ya?
Iya, gue tau foto thumbnail post sebelum ini harusnya lebih cocok dengan tema ini, tapi yaudahlah, ada awannya juga.
Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.


