Kevin Anggara's Blog, page 2

November 29, 2021

Day 21 #30DayWritingChallenge

What is that one thing you have always wanted to do but could not

Topik dari pertanyaan hari ini sepertinya lebih cocok ke hal-hal yang sebenarnya bisa dilakukan, tapi nggak bisa dilakukan begitu aja karena banyak pertimbangan. Nah, hal pertama yang gue pikirkan itu nggak muluk-muluk, hal ini adalah sesuatu yang pengin gue lakukan, tapi karena banyak pertimbangan, nggak bisa dilakukan, walaupun sebenarnya gue pengin banget.


Mendobrak pintu rumah dengan kaki, lalu masuk dan teriak, “JANGAN BERGERAK!”


Rasanya memang seperti adegan di film atau sinetron di mana seseorang atau kelompok sedang menyergap sebuah tempat yang berbau kriminal. Hal ini sebenarnya bisa gue lakukan di rumah sendiri, tapi karena banyak pertimbangan yang tadi gue bilang, jadi nggak bisa dilakukan begitu aja.


Gue harus renovasi pintu. Belum lagi kalo ternyata pintunya nggak kebuka dan kaki gue cedera. Harus keluar biaya untuk pengobatan. Apa lagi kalo tiba-tiba tetangga pada keluar dari rumah karena sumber suara yang dihasilkan. Siap-siap didatengin satpam juga karena bikin rame lingkungan sekitar. Akhirnya setelah rapat warga, gue jadi harus pindah karena dianggap mengganggu ketentraman lingkungan.


Hal ini hanya bisa menjadi kenyataan kalo lagi ada shooting dan adegan yang mengharuskan gue melakukannya, tanpa pertimbangan kaki gue nanti lututnya copot atau apa kata tetangga sebelah rumah. Sayang banget, gue nggak pernah dapet adegan ini.


Atau sebenarnya gue bisa melakukan reka adegan ini di kepala, lalu tiba-tiba terbangun dari mimpi karena ada bunyi pintu didobrak dari lantai bawah yang diikuti oleh suara teriakan, “JANGAN BERGERAK!”


Oh shit, siapa tuh yang dobrak pintu rumah gue?

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 29, 2021 03:45

November 28, 2021

Day 20 #30DayWritingChallenge

How is your life today? Write three good things and three areas of improvement

Hari Minggu, harinya kebanyakan orang di dunia beristirahat. Gue terbangun jam 9 pagi hari ini, lalu memutuskan untuk tidur lagi dan bangun di jam 11 siang. Ngapain aja hari ini?


Selain malas-malasan, biasanya gue main game atau lanjutin nonton series di Netflix. Hari ini, gue mengisi kegiatan tambahan dengan menulis post ini juga. Ini kayak menjawab pertanyaan teman yang udah lama nggak ketemu, terus pas ketemu nanya, “Apa kabar?” nggak sih? Setiap ditanya kabar, gue selalu bingung mau jawab apa kayak di video yang pernah gue bikin ini.


Hari ini, gue menjalani kehidupan dengan normal. Jadi bisa dibilang oke-oke aja.


Three good things today: bangun cukup pagi di hari Minggu, minum kopi sambil nulis, dan nggak kebingungan besok hari Senin mau ngapain.


Three areas of improvement? Mungkin nggak di hari ini aja:

Gue kadang masih suka impulsif. Salah satu pembelian impulsif gue di tahun ini adalah Xbox Series X. Itu beneran out of nowhere gue lagi iseng ngeliat bentuknya yang bagus, terus kepikiran buat beli biar TV gue nggak dipake buat nonton doang, tapi juga main game. Berkat punya konsol Xbox ini, gue juga jadi sering main game sih dan tujuan awalnya tercapai: TV jadi kepake. Ini adalah pembelian impulsif yang ternyata bermanfaat juga. Nanti mungkin gue akan bikin postingan sendiri tentang gaya hidup minimalis yang sedang gue jalani dengan hambatannya: menahan keinginan untuk nggak melakukan pembelian impulsif.

Ketika lagi cedera, gue harusnya nggak maksain untuk workout. Dalam minggu ini, gue kebetulan cedera di pergelangan tangan kiri saat unrack barbell. Gue kurang siap saat unrack, tapi barbell-nya nggak sampe menimpa gue karena gue langsung adjust posisi tangan dan menyelesaikan set bench press saat itu. Keesokan harinya, baru deh tuh berasa pergelangan tangan kiri sakit. Dua hari setelahnya, gue bosen banget dan memutuskan untuk workout-workout ringan dengan posisi cedera yang belum 100% sembuh. Nggak cukup sampe di situ, keesokan harinya gue “maksa” buat workout lagi dengan beban yang lebih ringan. Jadi pas nulis ini, masih ada ngilu-ngilu dikit lah. Harusnya gue full istirahat.

Gue sempat bilang bahwa tujuan hidup gue adalah menikmati hidup itu sendiri di post ini. Tapi gue coba mikir lagi, di umur gue yang masih muda, gue punya banyak waktu dan energi. Apakah gue harus selalu hustle terus dengan berbagai kegiatan yang bikin jadwal jadi padat biar pas tua gue tinggal menikmati hidup itu sendiri? Mumpung punya waktu dan energi.  yAtau gue harus tetap kayak sekarang? Sehari kerja, sehari libur. Gue punya kebiasaan dari dulu, misalkan hari ini gue udah menyelesaikan kerjaan, sebut aja webinar atau shooting video, besoknya gue harus libur untuk istirahat. Memang “pergerakan” gue jadi lebih lambat, tapi gue jadi benar-benar bisa menikmati setiap menit dari waktu gue dengan lebih tenang.

Sedikit bertolak belakang memang, tapi setiap lagi bengong gue suka diskusi sama diri sendiri soal hal ini. Gue ngeliat banyak teman-teman gue yang lagi hustle banget di karirnya sampe nggak punya waktu buat nyantai, tapi di satu sisi gue sedang membandingkan. Gue langsung tersadar sendiri dan ingat bahwa di saat gue sedang membandingkan, di saat itulah gue kehilangan kebahagiaan.


Jadi, mungkin di bagian ketiga, gue butuh improvement dengan mencari formula atau workflow yang nggak bikin diri sendiri merasa bersalah dan memang cocok dengan gue, tanpa harus membandingkan. Biar gue bisa tetap balance, tapi tetap perlahan bergerak “naik”.


Selamat hari Minggu, teman-teman!

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 28, 2021 01:50

November 27, 2021

Day 19 #30DayWritingChallenge

Your long-forgotten hobby

Tugas traditional painting abstrak saat kuliah, 2015.

Bukan bermain futsal atau rubik, tapi menggambar.


Dulu pas SD, hanya ada ekskul menari, basket, dan melukis di sekolah. Nggak ada ekskul futsal sebagai penyalur hobi gue yang suka menggiring bola seperti Tsubasa. Akhirnya gue memilih ikutan ekskul melukis karena gue suka menggambar.


Ekskul melukis di sini juga bukan yang dengan kuas dan kanvas, melainkan krayon dan kertas A3. Entah kenapa namanya ekskul melukis, bukan menggambar. Gue nggak sempat mempertanyakan ini ke kepala sekolah karena dulu masih iya-iya aja.


Gue punya kebiasaan untuk merobek lipatan halaman tengah di buku tulis baru untuk gue pake sebagai media menggambar. Mulai dari menggambar karakter komik Doraemon, sampe Naruto. Selain di robekan kertas itu, gue juga kadang menggambar di buku cetak, di antara print-an penjajah di buku sejarah atau rumus matematika yang tak ada logika.


Kembali ke ekskul melukis, ekskul ini diadakan setiap hari Selasa setelah pulang sekolah. Biasanya, para peserta ekskul akan mengikuti gambar step-by-step dari gambar guru lukis di depan. Dari gambar binatang, pemandangan, atau sekadar suasana keramaian di pasar. Tentunya yang paling gue tunggu adalah hari di mana kami semua dibebaskan untuk menggambar apa pun. Imajinasi diajak bermain untuk menyelesaikan gambar selama dua jam ke depan. Setelah itu, nggak lupa diberi nilai secara langsung.


Dapet nilai 80 ke atas? Hasil gambar akan dipajang di papan triplek khusus di belakang kelas, tempat gambar-gambar yang dianggap bagus diberi apresiasi tertinggi layaknya lukisan Monalisa.


Keesokan harinya, teman-teman sekelas udah berkumpul untuk melihat hasil gambar dari ekskul melukis yang terpajang rapi. Sebuah kebanggaan ketika hasil gambar gue dipajang di pojok atas kiri, tandanya itu gambar yang dinilai paling tinggi oleh guru kami.


Setelah naik ke SMP, akhirnya tersedia juga ekskul futsal. Gue meninggalkan ekskul melukis yang gue ikuti sejak SD untuk menyalurkan energi ke hobi yang lain.


Kapan ya terakhir menggambar? Mungkin pas semester awal kuliah?

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 27, 2021 03:25

November 26, 2021

Day 18 #30DayWritingChallenge

Write about that one movie or book or incident that drastically changed your life

Menonton film adalah meditasi untuk gue. Membuat gue melupakan sejenak masalah yang ada di kehidupan seperti nanti malam mau makan apa atau revisian besok banyak nggak, ya?


Film itu subjektif, sangat subjektif. Seseorang bisa mempunyai penilaian dan perasaan yang berbeda dengan yang lainnya ketika selesai menonton film yang sama. Dan itu sah-sah aja karena selera nggak bisa dipaksakan. Dari sekian judul film yang gue suka, gue akan menulis tentang film You are the Apple of My Eye, sebuah drama Taiwan yang tayang tahun 2011.


Kalo lu belum nonton film ini dan nggak mau kena spoiler, berhenti baca di sini.


Gue baru menonton film ini pada sekitar tahun 2014. Terhitung semenjak tahun itu, gue udah belasan kali menonton ulang film yang sama. Nggak, film ini nggak mengubah hidup gue secara drastis dan membuat gue langsung pengin mencari pasangan kayak Shen Chia-Yi, tapi yang jelas, film ini punya tempat tersendiri di dalam hidup gue.


Film ini terinspirasi dari kisah nyata si sutradara, Giddens Ko, yang juga diadaptasi dari bukunya yang berjudul sama. Nggak semua kejadian pada filmnya sesuai aslinya karena ada beberapa yang dilebih-lebihkan untuk kepentingan dramatisasi cerita.


Jadi, kita semua tau cerita film ini sangat simpel: kisah cinta anak SMA di mana si cowoknya itu pemalas dan si ceweknya itu kebalikannya: paling rajin satu sekolah. Awalnya nggak dekat, tapi lama-kelamaan mereka saling jatuh cinta, sampe tibalah saatnya mereka lulus dan harus lanjut kuliah. Ini adalah masa-masa sulit bagi kedua karakter, di mana mereka harus menjalani long-distance-relationship sambil tetap menghadapi kesibukan yang berbeda.


Singkat cerita, kita tau ending film ini seperti apa. Yang setia akan kalah dengan yang selalu ada mungkin kalimat yang bisa mendeskripsikan keseluruhan cerita ini tanpa air mata.


Mari gue ajak kembali melihat scene ini:

Unfinished Story: You Are The Apple of My Eye, yes, you...

Atau scene ini kalo belum cukup:

Apakah kalian udah mulai merasa sedikit sesak di dada?


Film ini nggak mengubah hidup gue secara drastis, tapi banyak membuat gue belajar: tentang pertemanan, tentang merelakan, dan tentunya tentang mencari kebahagiaan itu sendiri. Gue udah coba menonton ulang film ini, tapi tetap ending-nya nggak pernah berubah. Terkadang, memang sekadar untuk nostalgia aja. Melihat masa sekolah, cinta monyet yang terjadi, konflik dengan guru, berpisah dengan teman-teman untuk mengejar impian, menemukan cinta, sakit hati, merelakan, dan mencari kebahagiaan kembali.


Film ini juga mengajari gue untuk bisa bersikap dewasa. Iya, masa lalu memang nggak bisa gue ubah, tapi gue jadi bisa fokus ke masa depan. Kurang lebih ending dari film ini ngajak gue untuk, “Jangan lama-lama sedihnya, skuy cari kebahagiaan lu sendiri.”


Setelah selesai menonton film ini, gue tertampar dengan stereotip film selalu punya happy ending. Ternyata nggak gitu cara kerjanya. Gue kira setelah menonton film, atau yang gue anggap sebagai meditasi, pikiran dan masalah gue akan jadi lebih ringan. You are the Apple of My Eye, you remind me of my beautiful memories that has changed me to be a better person.


Memang rasanya menyenangkan ketika kita mencintai atau dicintai, tapi lebih menyenangkan jika kedua hal itu terjadi secara bersamaan. So, do you believe in parallel universe?

You Are The Apple Of My Eye – ROSENACHT.

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 26, 2021 02:15

November 25, 2021

Day 17 #30DayWritingChallenge

Imagine yourself stranded alone in an unknown land. How does it look?

Kalo bisa membayangkan skenario random yang tiba-tiba bisa terjadi, gue lebih suka membayangkan apa yang harus gue lakukan untuk survive saat zombie apocalypse. Selain karena gue suka banget dengan film bertema survival dan zombie, gue pengin tau sejauh mana gue bisa bertahan hidup. Gue juga udah punya cukup banyak rencana untuk menghadapi zombie apocalypse karena kebanyakan nonton film.


Sayang sekali, tema hari ini adalah terdampar sendirian di sebuah tempat yang nggak diketahui, atau persempit aja jadi sebuah pulang kosong. Apa yang akan gue lakukan?


Di satu jam pertama gue akan mengelilingi pulau ini untuk memastikan gue benar-benar sendiri. Lalu, gue akan cari pohon tertinggi di sana dan memanjatnya, sambil berteriak, “YouTube-YouTube lebih dari TV, BOOM!!!” sekencang-kencangnya. Nggak, deh. Nggak gitu, yang jelas gue akan meneriakkan hal-hal lain yang bisa membuat hati gue jadi lega.


Karena ini adalah sebuah pulau, gue pasti akan meluangkan waktu untuk berenang atau menangkap ikan kalo beruntung. Gue alergi dengan seafood, kecuali ikan dan kerang. Selain itu, sebut aja kepiting, lobster, udang, cumi-cumi, gurita, hiu, pari, megalodon, nggak bisa gue makan sama sekali. Tiga yang terakhir alasannya karena kegedean.


Setelah berhasil menangkap ikan, gue akan mencari kayu atau batu untuk membuat api unggun. Ini dia momen yang gue tunggu-tunggu setelah sekian lama menonton channel YouTube Primitive Technology.


Di malam hari, seperti film-film survival pada umumnya, gue akan membawa obor dan mengelilingi pulau sekali lagi, siapa tau gue menemukan sesuatu yang hanya muncul di malam hari. Gue cukup yakin, untuk 24 jam pertama gue akan baik-baik aja.


Gue akan terbangun di pagi hari karena suara ombak dan sinar matahari yang menembus pohon. Untuk 10 menit ke depan, gue akan mencari tempat yang lebih teduh untuk tiduran sambil melihat awan. Ah, indahnya imajinasi.


Terdengar suara dari balik semak-semak, gue terbangun dari tempat berteduh. Ada suara ranting pohon di tanah yang terinjak oleh sesuatu, gue mengambil dahan pohon yang berbentuk seperti tongkat berukuran 80 cm. Sambil tetap waspada, dari balik semak-semak muncul sosok yang udah gue tunggu-tunggu, “GRORLLLRKKGHHK!”


Zombie dengan wajah yang sedikit hancur dan kotor dengan tanah, maju terpincang-pincang ke arah gue yang udah siap memukul kepalanya,


“Ini dia momen yang gue tunggu seumur hidup.”


Gue memukulkan dahan pohon ke arah kepala zombie dengan keras sambil berteriak,


“YouTube-YouTube lebih dari TV, BOOM!!!!”

Tulisan ini adalah bagian dari  30 Day Writing Challenge , di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 25, 2021 02:51

November 24, 2021

Day 16 #30DayWritingChallenge

You are allowed to change one thing in your life. What will it be?

Bareng dr. Ferdiriva Hamzah.

Selama duduk di bangku SD, gue selalu suka duduk di bangku bagian tengah ke belakang. Dengan begitu, gue merasa nggak terlalu diawasi oleh guru dan bisa curi-curi waktu buat ngobrol sama teman yang lain. Suatu saat, ketika ujian matematika, seperti biasa guru gue akan mencatat soalnya di papan tulis untuk kemudian disalin dan dijawab sendiri di kertas ulangan. Gue merasa kesulitan untuk membaca apa yang ditulis di papan. Dengan sedikit memicingkan mata, tulisannya baru terlihat jelas. Ditambah sedikit mengarahkan badan ke depan sambil tangan gue tetap menulis apa yang sedang berusaha gue baca.


Gue mulai mengeluh tentang penglihatan gue yang semakin blur. Sampai akhirnya disarankan untuk ke toko kacamata, cek minus. Kelas 5 SD, diketahuilah kalo minus gue udah 3 (mata kiri dan kanan). Langsung deh saat itu kehidupan gue berubah. Biasanya kalo habis bangun tidur bisa langsung aktivitas, sekarang harus make kacamata dulu. Bersyukurlah saat itu gue langsung bertemu dengan balon udara di ujung jalan, untuk mengetahui minus di mata gue yang diakibatkan keseringan baca komik di malam hari.


Seiring gue naik ke SMP, SMA, sampe kuliah, minus di mata gue juga perlahan bertambah menjadi minus 8,75 untuk mata kiri dan 8,5 untuk mata kanan. Silinder lupa berapa, tapi yang jelas nggak parah. Notes aja, untuk menyembuhkan minus di mata, nggak bisa dilakukan TANPA operasi lasik. Percaya dokter mata, jangan percaya obat herbal atau kacamata-yang-katanya-bisa-ngurangin-minus-buktinya-tetangganya-teman-gue-berkurang-tuh-minusnya.


Jadi, kalo ditanya satu hal yang mau gue ubah di hidup gue, jelas jawabannya adalah mata yang… lebih sehat? Selain karena gue nggak perlu kacamata lagi, gue jadi nggak perlu keluar uang untuk operasi lasik pada tahun 2016.


Fun fact: saat shooting film Ngenest di tahun 2015, gue nggak pake softlens (karena nggak bisa) dan ikut proses shooting dengan kondisi nggak bisa ngeliat dengan jelas. Sisi positifnya: gue jadi nggak tau ekspresi lawan main di depan muka dan bisa lebih fokus dengan dialog gue sendiri.


Ah, tapi cepat atau lambat, seiring bertambahnya usia, penglihatan kita juga akan menurun. Tapi, sebelum saat itu tiba, nggak ada salahnya merawat mata kita dari sekarang. Biar nggak perlu keluar duit buat lasik dan ribet pake kacamata lagi.

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 24, 2021 03:49

November 23, 2021

Day 15 #30DayWritingChallenge

Write about your pet or write about a pet you always wanted

Salmon adalah nama anjing gue, nama lengkapnya Uzumaki Salmon. Gue ngasih nama Salmon karena sesimpel biar mudah diingat dan kebetulan gue suka makan sushi salmon, plus biar namanya ada unsur Jepangnya dikit. Nama asli Salmon di buku adopsinya adalah YUDA. Like.. just YUDA.

 

Gue ngerawat dia dari pas masih umur 3 bulan, sekarang umurnya jalan ke 3 tahun.

 

Ngerawat si Salmon itu mirip-mirip kayak ngerawat anak beneran. Gue belum pernah punya anak, tapi gue udah menanggap Salmon kayak anak sendiri. Apa lagi pas umurnya masih belum satu tahun, gue sangat protektif dan takut Salmon kenapa-kenapa. Bulan-bulan awal ngerawat Salmon, gue kurang tidur karena setiap malam dia nangis ditinggal sendirian. Dia tidur di lantai 1, gue tidur di lantai 3. Sampe suatu waktu gue memutuskan untuk tidur bareng Salmon. Karena ukurannya yang kecil, jadi menurut gue nggak apa-apa untuk tidur bareng di kamar. Pas banget, gue juga nggak alergi bulu anjing.

 

Salmon itu awalnya makan di pagi hari dan di malam hari, tapi karena terbiasa mengikuti jadwal bangun gue, makan paginya itu jadi di jam 11-12 siang. Keren, masih muda udah ngerasain konsep brunch.

 

Selain tidur bareng, gue juga ngelatih Salmon untuk buang air di tempatnya dan beberapa trik yang membuat kami berdua bisa dipuji—biasanya sih Salmon doang yang dipuji, “Good boy!”.

 

Badannya Salmon tuh kecil karena masuknya ras super mini pom. Jadi gedenya Salmon juga nggak gede-gede banget karena ukurannya emang segitu doang dengan berat sekitar 1,5-1,6 kg.

 

Salmon punya magic word, yang ketika disebutkan dia akan langsung nengok dan fokus ke sumber suaranya: JALAN-JALAN. Salmon senang jalan-jalan karena anaknya aktif banget dan selalu kepo dengan sekitarnya. Misalnya, ada orang yang baru datang ke rumah, Salmon pasti akan nyerbu orang itu untuk mengendus, lalu setelah bosan, ditinggal begitu aja.

 

Pesan untuk Salmon: siap-siap kamu tahun depan akan disteril.

 

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 23, 2021 03:15

November 22, 2021

Day 14 #30DayWritingChallenge

Write your goals for the next 1 month

Seperti yang pernah gue tulis di sini, gue pengin hidup biasa-biasa aja. Jadi ketika disuruh menentukan goals, gue cukup bingung karena goals/impian/cita-cita gue dari kecil sebenarnya udah terpenuhi: bisa ke Old Trafford karena gue suka MU dan bisa ke Jepang karena gue suka dengan budayanya. Begitu impian itu terpenuhi, gue nggak tau lagi mau nge-set apa karena udah ngerasa cukup aja bahagianya. Di video pas ke Old Trafford ini gue bilang kayak gitu dan sampe saat ini belum punya lagi keinginan yang muluk-muluk.

 

Jadi, selain karena gue belum punya hasrat lagi untuk punya goals yang muluk-muluk, sepertinya gue akan nge-set goals yang sangat simpel (seperti mengajak diri ini ikut #30DayWritingChallenge) untuk satu bulan ke depan: gue pengin bisa menyelesaikan 2 buku (satu fiksi, satu non-fiksi).

 

Kalo bisa tercapai, rasanya pasti puas sih. Efek ke depannya juga akan bagus karena membaca itu menimbulkan ketagihan, jadi gue bisa tetap haus dengan bacaan-bacaan baru lainnya.

 

Pas. Misalkan berjalan lancar, gue akan menyelesaikan 30 hari menulis setiap hari dan juga 30 hari menyelesaikan bacaan dengan minimal 2 buku.

 

Feel free banget untuk memberikan rekomendasi bacaan buku fiksi maupun non-fiksinya. Gue kebetulan punya Kindle, akhir-akhir ini lagi sering baca di sana karena praktis, ukurannya kecil, dan juga bisa dibawa ke mana-mana. Mungkin setelah #30DayWritingChallenge ini selesai, gue akan membagikan pengalaman gue membaca lewat Kindle dibandingkan buku beneran.

 

Untuk menutup, buat yang nggak ikutan #30DayWritingChallenge, tapi ikut berpartisipasi dengan membaca tulisan gue setiap harinya, apa goals kalian untuk satu bulan ke depan? Mulai dari yang simpel, lalu mari lakukan bersama~

 

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 22, 2021 04:15

November 21, 2021

Day 13 #30DayWritingChallenge

Write about the three most important people you’ve ever met

Dari survei singkat, ternyata banyak yang nungguin gue nulis tentang topik di hari ini: tiga orang paling penting yang pernah gue temui. Gue nggak akan memasukkan anggota keluarga karena jatuhnya dari lahir udah ketemu, jadinya malah orang dalam. Mereka yang gue tulis di sini adalah tiga orang pertama yang langsung muncul di kepala ketika membaca topik hari ini. Mari gue mulai dengan:

 

Ry (bukan nama asli), si Editor

Dia adalah orang paling berjasa dan paling pertama yang menemukan gue lewat tulisan di blog.

 

Pertemuan pertama kami pernah gue abadikan lewat tulisan di blog ini. Kalo nggak ketemu Ry, gue mungkin sekarang sedang menjadi joki skripsi karena gue ngetiknya cepet banget. Banyak es kopi susu, pisang goreng, dan kombucha yang menemani obrolan dan perjalanan kami selama ini. Bisa cek @dariteh_ karena di sela-sela kegiatannya ngedit dan membaca buku, Ry juga bikin usaha kombucha tanpa pewarna, perisa, dan pengawet yang rasanya enak banget.

 

Semenjak buku kedua, gue belum mulai menulis buku lagi, tapi itu nggak menghambat kami untuk ketemu sekadar menanyakan kabar dan temu kangen editor-penulisnya, dan sebagai manusia biasa. Bisa dibilang, Ry adalah saksi-tidak-bisu yang menyaksikan perkembangan gue dari nulis di blog, sampe seperti sekarang ini (yha, masih nulis juga di blog). Gue lebih cocok jadi anak atau adiknya, ya?

 

Faza Meonk (Meonk-nya bukan nama asli), si Manajer

Pertama kali ketemu bang Faza itu di acara Popcon tahun 2013. Gue datang bareng komunitas blogger, terus minta foto bareng sama dia karena katanya itu yang bikin si Juki.

 

Singkat cerita, pas udah mulai bikin video YouTube, bang Faza approach gue buat dimanajerin (sampe sekarang masih, tapi contact person-nya ke Succi hehe), bantu-bantu tim si Juki, dan sekarang jadi temen main juga, deh. Bang Faza adalah orang yang gue percayai untuk mengadaptasi kedua buku gue jadi naskah film Generasi Micin vs. Kevin.

 

Kami berdua suka Jepang. Tahun 2019, gue nyamperin bang Faza yang kebetulan lagi di Jepang selama sebulan. Cukup random, bukan? Nyobain fire ramen, ke lokasi anime Kimi No Na Wa, sampe tiba-tiba ada di Miyagi menjadi highlight dari perjalanan itu. Kapan nih Jepang lagi?

 

Gladys (nah, ini nama asli), si Pacar

Kenal pas pertengahan kuliah, sekitar semester 5 kalo nggak salah. Aduh, gue takut banget salah.

 

Jadian udah 4 tahun lebih, tahun depan 5, tahun depannya lagi 6 (yuk belajar berhitung). Sosok yang menjadi “rem” gue ketika mau posting sesuatu di internet. Dalam arti, menjadi filter dan memastikan sekali lagi sesuatu yang gue upload akan aman, tapi tidak termasuk tulisan ini hehehe.

 

Dia ekstrovert, gue kebalikannya. Love language tertingginya words of affirmation, gue justru paling rendah di situ. Dia aktif dan anak organisasi banget, gue cuman mau rebahan dan menjauhi kerumunan. Diskusi dan debat panjang terakhir kami adalah seputar biaya nikah, dia semangat ngumpulin banyak duit buat nikahan, gue mau bawa kabur duitnya untuk traveling ke Jepang.

 

Kami berbeda, tapi justru menjadi lebih kuat. FU-SION!


Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 21, 2021 03:30

November 20, 2021

Day 12 #30DayWritingChallenge

Write a letter to a close friend that you lost contact with

Bingung. Gue nggak ngerasa punya teman dekat yang lost contact karena semua teman dekat gue pasti masih kontakan. Jadi kalo lu merasa hilang kontak, mungkin kita nggak sedekat itu?


Bahkan gue masih sering main Valorant bareng salah satu temen SD gue, itu termasuk teman yang cukup lama bukan? Tapi ya, kedekatan itu nggak bisa diukur dari durasi. Gue coba mengingat siapa yang dimaksud, nggak ketemu juga. Jadi, gue nulis apaan dong, nih?


Pertemanan? Coba, ya.


Sebagai content creator yang dulu sempat tinggal satu komplek sama Edho Zell, gue selalu ditanya-tanya, “Kalian kan tetanggaan, kok jarang ke rumah buat collab?” Kebayang ko Edho lagi mau nyuapin makan siang anaknya terus tiba-tiba gue ke rumahnya buat ngerekam terus langsung pulang. Nggak gitu, dong?


Jawabannya ya karena nggak ada topik yang mau dibahas bersama. Untuk kolaborasi, kan bukan hanya soal satu frame barengan. Tapi apa, tuh? Gue mancing sendiri, tapi nggak nemu jawaban yang lucu. To clarify, kami berdua nggak ada masalah dan berhubungan baik juga.


Bahas apa lagi, ya? Teman yang minjem duit terus nggak balikin?


Oh, ada dong, tapi nggak penting.


Mungkin bisa baca tulisan kemarin di Day 10 soal a friend who never left your side. Lebih penting dan lebih panjang isinya. Sembari menulis ini, gue tetap berusaha mengingat siapa lagi nama teman-teman gue yang dimaksud, tapi masih nggak ketemu. Mungkin karena teman gue sedikit. Gue juga sadar bahwa pertemanan itu bukan kompetisi yang harus banyak-banyakan, tapi apa, tuh?


Gue mancing lagi, tapi masih nggak nemu jawaban yang lucu.


Untuk menutup, mending gue kasih pesan-pesan aja buat teman-teman dan yang merasa teman gue: semoga kita tetap berteman, walaupun gue atau kalian pernah datang pas ada butuhnya aja, tapi memang begitu seharusnya, kan? Itu berarti gue atau kalian nggak buang-buang waktu kalo datang pas nggak ada butuhnya. Ngapain datang kalo nggak butuh apa-apa? Minimal, bisa lah kalo butuh teman ngobrol aja.


Tulisan ini adalah bagian dari 30 Day Writing Challenge, di mana gue akan menantang diri sendiri untuk menulis dari topik-topik yang sudah disiapkan selama 30 hari penuh.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 20, 2021 02:20