Goenawan Mohamad's Blog, page 3

May 25, 2015

Indonesia

Seorang dokter kapal menyediakan nama bagi Indonesia. Pada 1861, Adolf Bastian, kelahiran Bremen, Jerman, berlayar di Asia Tenggara. Ia kemudian menulis sejumlah buku. Salah satunya dibaca banyak orang: Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884-1894. Dari buku ini nama “Indonesia” mulai menandai kepulauan yang ribuan jumlahnya itu.


Bastian berpengaruh karena ia bukan hanya seorang dokter kapal. Ia lulus ilmu hukum, lulus biologi, ia berminat dalam ilmu yang di zamannya disebut “ethnologi”, dan ia juga dokter. Bahwa ia jadi dokter kapal, itu tanda keinginannya menjelajah bagian bumi yang lain. Pada 1873, ia ikut mendirikan Museum für Völkerkunde di Berlin, dengan koleksi besar karya manusia dari pelbagai penjuru.


Dokter kapal yang tak henti-hentinya mengarungi laut melintasi batas ini — dan meninggal dalam perjalanan di usia 80 — yakin bahwa ada yang menyatukan sesama manusia: “gagasan-gagasan dasar”, Elementergedanken.


Umat manusia, tulis Bastian, “punya segudang gagasan yang dibawa lahir dalam diri tiap orang,”. Gagasan elementer itu muncul dalam pelbagai variasinya dari Babilonia sampai dengan Laut Selatan.



Tapi manusia juga menunjukkan Volkergedanken, gagasan yang dikondisikan oleh ruang hidup yang beragam. Bastian menggunakan pengertian Volk, atau dalam bahasa Yunani “ethnos,” untuk menyebut kelompok manusia yang dipertalikan ras, adat, bahasa, nilai-nilai.


Bagi zaman ini, teori Bastian tak lagi menakjubkan. Bahkan pengertian “ethnos,” juga “ras,” yang jadi tulang punggung teori itu, kini guyah. Tapi kita bisa bayangkan kuatnya gema pemikiran ini di abad ketika imperialisme membentuk bumi.


Imperialisme, sebagaimana penjelajahan “etnologi”, (atau “antropologi”), mempertemukan manusia dari pelbagai asal-usul, namun pada saat yang sama menunjukkan sebuah jarak — bahkan ketimpangan dan penaklukan. Dalam imperialisme, sebagaimana dalam karya etnografis, orang “Barat” bukan menemui melainkan menemukan dunia lain — seakan-akan “barang” itu ada setelah dilihat oleh “Barat”. Saat itu, “barang” itu pun beku. Ia berubah jadi “yang-lain” — sebagaimana dalam dongeng Yunani, manusia jadi batu ketika Medusa menatapnya.


Peralihan dari “liyan” jadi “yang-lain” yang membatu itulah sendi utama imperialisme. Imperialisme menorehkan sesuatu yang buruk pada kesadaran: dalam kungkungannya, kata Edward Said, orang jadi yakin bahwa dirinya semata-mata “orang putih” atau semata-mata orang “kulit berwarna”. Imperialisme membuat orang tak sadar bahwa orang bukan hanya satu identitas, tapi punya sejarah yang membuatnya tak sepenuhnya ajeg, utuh, dan tunggal.


Dalam sejarah itu juga berlangsung dialektik antara temu dan takluk. Orang berada di satu ruang hidup, tapi dalam posisi yang satu tunduk, yang lain bertahta. Pertemuan bukan lagi pertemuan, melainkan penaklukan. Di ruang politik yang sama itu mereka tak saling menyapa — bahkan dalam hidup sehari-hari.


Dalam A Certain Age, catatan-catatan yang disusun secara menarik oleh Sejarawan Rudolf Mrazek dari wawancaranya dengan generasi tua Indonesia, kita tahu bahwa dulu, di kota-kota kita, penduduk Belanda hadir tapi dengan jarak.


“Waktu saya anak-anak,” cerita Nyonya Surono, “saya tak pernah ketemu orang Belanda di jalan.”.


Pak Mewengkang berkisah tentang masa kecilnya di Sulawesi Utara. “Saya besar di dusun, dan tak ada orang Belanda di sana. Hanya, pada hari Minggu, kadang-kadang….seorang pastur Belanda datang”.


Wartawan Rosihan Anwar hanya sedikit berbeda. Di masa kecilnya di Agam, Sumatra Barat, ayahnya kenal orang Belanda: seorang kontrolir yang datang ke rumah tiap Lebaran. Hanya tiap Lebaran. Si anak cuma boleh melihat dari jauh. Sementara Pak Oey, yang besar di Surabaya dan Batavia, cuma melihat orang Belanda di kolam renang.


Willem Frederik Wertheim, sarjana Belanda yang dikenal sebagai cendekiawan antikolonialisme, juga mengalami jarak itu. Ia baru tahu ada yang tak beres di sekitarnya ketika pembantunya bercerita bahwa anaknya mati karena tak ada yang mengobati sakitnya.


Zaman itu adalah zaman diabaikannya apa yang universal dalam diri manusia; Elementergedanken Bastian pelan-pelan dilupakan. “Liyan” tak lagi berarti “sesama”.


Itu sebabnya racun imperialisme jadi menyengat ketika konteksnya bergeser. Kita ingat riwayat Soewardi Soerjaningrat. Juli 1913 ia menulis di sebuah koran mengecam pemerintah kolonial yang hendak merayakan kemerdekaan Belanda dari kekuasaan Prancis. Soewardi mengandaikan diri sebagai seorang Belanda yang tahu diri dan berseru, “aku tak akan membuat pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas kemerdekaannya”.


Sesungguhnya Soewardi menegaskan apa yang universal dalam sesama: semua ingin merdeka, terutama orang-orang jajahan. Tapi itulah yang tak diakui pemerintah kolonial. Soewardi ditangkap. Dalam umur 14, ia diasingkan ke Belanda.


Tapi justru di sana, di negeri dengan kehidupan demokratis itu, ia kian sadar bahwa “liyan” adalah “sesama” dan “sesama” bisa berarti “setara”. Dialektik antara temu dan takluk bergerak: jika di negeri jajahan temu tenggelam oleh takluk, di Eropa yang merdeka takluk tersisih oleh temu. Pembangkangan Soewardi kian tegas. Perlakuan hukum yang sama di masyarakat Belanda mengukuhkan keyakinannya bahwa mereka yang seperti dirinya bukan hamba. Mereka berasal dari sebuah kepulauan yang tak mau takluk dan jadi “Hindia Belanda”.


April 1917, di halaman Hindia Poetra, Soewardi memilih nama yang dipakai Bastian bagi tanah airnya. Indonesia: negeri yang dibangun oleh yang universal, untuk semua, dan sekaligus oleh yang berbeda.


Goenawan Mohamad


25 Mei 2015

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 25, 2015 06:16

August 10, 2014

Tangis

Siapa tahu matahari seorang yang buta? ― Les Misérables


Matahari bisa begitu terang, tapi begitu jauh dan tak peduli kesengsaraan manusia. Les Misérables, yang terbit pertama kali 1 April 1862, ingin lebih dekat ke bumi dan peka kepada tangis Prancis. Satu baris kalimatnya yang termashur: “Siapa yang tak menangis, tak melihat”.


Victor Hugo ingin mata kita basah dan melihat, dengan peka, ke sekitar. Pada umumnya ia berhasil, setidaknya di antara pembacanya 200 tahun yang lalu. Konon penerbitan pertama novel ini di Brussel tertunda karena para juru cetak terisak-isak waktu membaca manuskripnya.


Sang novelis tak ingin jadi pemikir besar. Ia tak mau menatap semesta dan melihat sejarah semata-mata sebagai survei wilayah. Ia tak mau sibuk dengan tata zodiak hingga ia tak melihat anak kecil yang mencucurkan air mata.


Tak mengherankan bila novel yang terdiri dari lima bagian panjang ini padat dengan tokoh kecil yang melata, kaya akan adegan yang menyayat hati dengan khasanah kata yang tak habis-habisnya. Paragraf demi paragraf bergerak antara renungan sang pengarang dan dialog para peran — sebagian besar les misérables, para nestapa. Fantine, gadis yang hamil, ditinggalkan pacar dan jadi pelacur. Cosette, yatim yang terdampar; Jean Valjean, lelaki yang dihukum keras karena mencuri sepotong roti.


Tapi tak hanya itu. Novel ini memang terkadang terasa seperti sebuah melodrama yang majemuk, tapi Les Misérables sesungguhnya sebuah novel politik. Melalui bab demi bab, kita berangsur-angsur masuk ke dalam latar Paris menjelang Revolusi 1830. Suara rakyat, khususnya kaum buruh, makin nyaring di depan umum, di kedai-kedai anggur dan di salon-salon pertemuan. “Demam revolusi berjangkit. Tak ada titik di kota Paris atau di Prancis yang bebas darinya. Urat nadi berdenyut keras di mana-mana. Bagaikan membran yang tercipta dari inflamasi dan membentuk tubuh manusia, jaringan perkumpulan rahasia mulai menyebar ke seluruh negeri.”


Dalam jaringan itu, di kamar-kamar belakang yang setengah tersembunyi, para buruh bersumpah akan segera turun ke jalan begitu tanda pertama dibunyikan. Dan barikade pun dibentuk. Aparat kekuasaan ditantang. Tembak-menembak terjadi. Darah tumpah dan asap memenuhi trotoar. Di celah-celah itu, tampak “mulut-mulut yang menyemburkan napas api”, “wajah-wajah yang luar biasa”.


Di adegan seperti itu kita lihat: politik adalah sebuah tiwikrama, ketika manusia bergulat untuk mengubah keadaan jadi sebuah dunia yang lebih baik.Politik mentransformasi manusia yang rutin, terbatas, dan terpisah-pisah, menjadi subyek yang menggerakkan dan digerakkan tuntutan yang melebihi keterbatasan dan kepentingan dirinya.


Di Indonesia kita telah menyaksikan transformasi itu dalam politik di awal abad ke-20 semasa pergerakan nasional dan ketika perang kemerdekaan meletus pada 1940-an: di saat seperti itu, politik tumbuh dari tuntutan dan empati — dari “melihat” dan “menangis”.



Menangis, dalam pengertian ala Hugo, adalah sebuah “pengalaman ethis”. Kata ini saya pinjam dari Simon Crichtley dalam Infinitely Demanding: sebuah pengalaman ketika datang tuntutan ethiis dan “aku siap mengikatkan diriku kepadanya”. Dengan itu aku bertekad penuh — tak sekedar memenuhi akidah normatif — karena ada sesuatu yang keji yang terjadi.


Tuntutan itu datang dari diriku sendiri, tak diperintah. Tapi tak hanya itu. Jika ia disebut sebagai hasil nalar atau akal budi, maka akal budi itu — sebagaimana ditunjukkan Hegel dan Marx — bersifat sosial, dari proses saling asah-saling-asih-saling-asuh dalam sejarah. Ia bertolak dari sebuah situasi yang kongkrit dan terbatas, tapi menjangkau nilai yang universal. Itulah yang tumbuh dalam diri Jean Valjean: tuntutan ethis yang dalam, sejak ia diampuni sang padri yang ia curi perabot peraknya dan ia pukul kepalanya. Ia jadi seorang penolong yang tanpa pamrih, tanpa ingin diakui.


Bagaimana itu mungkin? Mungkin hati nurani.. Tapi dalam kata yang ringkas itu terkandung cerita kemanusiaan yang seluruhnya terjelaskan. “Untuk menulis tentang hati nurani”, kata Hugo, “andaikatapun tentang seorang manusia semata-mata, andaikatapun tentang orang yang paling dihujat, harus kita cernakan semua kisah epik yang definitif dan bernilai”.


Kisah epik itu agaknya yang mengingatkan kita tentang tuntutan ethis yang dalam yang membuat Jean Valjen jadi orang baik, Revolusi 1830 tak hanya huruhara dan dan politik tergerak menjangkau nilai yang universal. Saya kira Critchley benar: ethik tanpa politik itu kosong, politik tanpa ethik itu buta.


Goenawan Mohamad


11 Agustus 2014

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 10, 2014 21:39

August 8, 2014

Al-Ludd, 1948-2014-….

Sejarah yang brutal, sengsara, dan tak berujung itu mungkin dimulai di sebuah kota kecil Palestina, 15 kikometer di tenggara Tel Aviv. Orang Arab menyebutnya al-Ludd (الْلُدّ), orang Yahudi menyebutnya Lod.


Sebelum zaman diguncang Perang Dunia II, di kota itu penduduk Arab hidup tenang berdampingan dengan para pemukim Yahudi yang datang sejak 1903. Di lembah al-Ludd, seorang Yahudi pendatang mendirikan sebuah pabrik sabun dari minyak zaitun; yang lain sebuah rumah yatim piatu korban pengusiran paksa di Eropa Timur.


Tak ada yang benar-benar berhasil. Tapi kemudian, pada 1927, datang Siegfried Lehman.


Mantan dokter tentara Jerman itu lahir di Berlin pada 1892 dari keluarga Yahudi yang kaya dan dermawan. Pada 1917 ia mendirikan rumah penampungan bagi yatim-piatu Yahudi di kota Kovnia, Lithuania. Tapi keadaan memburuk; di sini pun orang Yahudi dimusuhi. Ia memutuskan pindah ke Palestina.


Seperti para pendahulunya, ia memilih lembah di atas al-Ludd. Di sana ia dirikan sebuah “desa-pemuda”, dengan nama Ben Shemen. Di situ para anak asuh dilatih beternak, berkebun, berladang anggur, sambil bersekolah. Menjelang 1946, ada 500 murid dari umur 12 sampai dengan 18 yang tercatat di Ben Shemen: sebuah zona kecil Zionis yang damai — yang tak disangka kelak akan bertaut dengan perang, pembantaian, dan pembuangan.


Pada mulanya, hubungan Lehmann dengan penduduk Arab di al-Ludd akrab. Ketika gempa bumi menghancurkan sebagian kota dan menewaskan sejumlah penduduk, dokter Yahudi-Jerman itu datang merawat korban yang luka-luka. Kliniknya terbuka bagi orang-orang Palestina. Para pemuda Zionis membangun sebuah air mancur tempat penduduk kota bisa minum ketika hari terik. Tiap akhir pekan, murid-murid Ben Shehmen berkunjung ke dusun-dusun Arab di sekitar itu. Di tiap festival desa-pemuda, pemain musik dan penari masyarakat Arab diundang serta.


Tapi suasana seperti gambar di kartupos yang cantik itu tak bertahan. Di tahun-tahun itu dunia digedor pelbagai hal. Timur Tengah berubah jadi sebuah tragedi dengan peta baru. Sehabis Perang Dunia II negara-negara pemenang mengesahkan sebuah tempat bagi sisa-sisa orang Yahudi yang hendak dihabisi Hitler. Inggris melepaskan posisinya sebagai pengampu wilayah Palestina, dan bagi kaum Zionis yang berjuang buat kemerdekaan bangsa Yahudi, itulah negeri yang dijanjikan Tuhan dan sejarah. Pada 14 Mei 1948, David Ben-Gurion memaklumkan berdirinya Negara Israel di wilayah itu — wilayah yang mereka anggap diwariskan buat mereka tapi yang berabad-abad lamanya dihuni orang Arab. Tak ayal, tentara Arab dari sekitar pun menyerbu.


Mereka gagal. Bahkan sebaliknya yang terjadi: Israel memperluas kekuasannya. Di awal Juli, Operasi Larlar diluncurkan untuk merebut beberapa wilayah di Palestina, termasuk al-Ludd.



Ari Shavit, yang baru-baru ini menerbitkan bukunya, My Promised Land: The Triumph and Tragedy of Israel, pernah mengisahkan apa yang terjadi di al-Ludd dalam majalah The New Yorker, 21 Oktober 2013. Ia menulis sebuah catatan sejarah, tapi juga perenungan kembali dengan beberapa pertanyaan besar yang tak terjawab.


11 Juli 1948, tentara Israel, dengan dibantu batalion yang dipimpin Moshe Dayan — lengkap dengan sebuah kendaraan berlapis baja yang dipasangi kanon — menyerbu al-Ludd, disertai para pemuda yang telah dilatih perang dari Ben Sheman. Kota itu dicoba pertahankan para milisia Arab. Tapi dalam 47 menit, belasan orang Arab tewas, termasuk perempuan, orang tua, dan anak-anak. Di pihak Israel, sembilan orang mati.


Malam itu juga posisi-posisi kunci di pusat kota direbut. Penduduk Palestina, dalam jumlah ribuan, dipaksa masuk ke dalam masjid utama. Ketika beberapa orang Arab mencoba melawan dengan menembaki tentara Israel dari dekat sebuah masjid kecil, balasan datang tak tanggung-tanggung.


Granat dilontarkan ke rumah-rumah. Masjid kecil itu ditembak dengan peluru anti-tank. “Dalam 3o menit, dua ratus lima puluh orang Palestina tewas”, tulis Shavit. “Zionisme telah melakukan pembantaian di al-Ludd”.


Dan itu bukan akhir cerita. Setelah kota diduduki, Yitzhak Rabin, perwira operasi, meneruskan keputusan Ben-Gurion dalam sebuah instrukti tertulis: “Penduduk al-Ludd harus diusir secepatnya, tanpa memandang umur.”


Menjelang malam, sekitar 35 ribu orang Arab Palestina berduyun-duyun meninggalkan kota kelahiran mereka — dalam barisan yang amat panjang menuju Timur. Tak pernah bisa kembali.


Avi Shavit menuliskan adegan itu dengan nada sedih. Ia tahu kekejaman telah terjadi terhadap orang Palestina yang tak berdosa dan tak berdaya itu — orang-orang usiran abad ke-20, seperti bangsa Yahudi, orang-orang usiran abad ke-6 Sebelum Masehi. Tapi ia tak mengutuk. Wartawan Harian Ha’aretz itu tak sanggup mengutuk para pemimpin Israel yang memerintahkan kesewenang-wenangan di al-Ludd. “Tanpa mereka,” tulisnya,”aku tak akan pernah dilahirkan. Mereka melakukan kerja yang keji itu yang memungkinkan bangsaku, rakyatku, anak-anakku, dan diriku, hidup”.


Shavit lahir di Rehovot, 20 kilometer dari Tel Aviv, sembilan tahun setelah Negara Israel berdiri. Ada yang jujur dalam pernyataannya: ia mengaku tak berdaya di tengah pilihan-pilihan moral yang sulit.


Ia ingat Mula Cohen, komandan tentara yang mengawasi pengusiran orang-orang Palestina di senja itu. Shavit mewawancarai orang ini seperempat abad setelah kejadian di al-Ludd. Cohen bercerita, bagaimana ia menyaksikan orang-orang Palestina yang diusir itu, tua muda, berjalan makin lama makin jauh, memanggul barang, sampai tak tahan lagi dan membuang apa yang ingin mereka simpan dalam pengasingan.


Cohen seorang prajurit yang berasal dari Ben Shemen; ia telah memperoleh didikan dokter Lehmann yang mengenal baik orang-orang Palestina itu. Meskipun ia tak merasa bersalah, ia merasa ada yang menekan di hatinya. Ia saksikan pembunuhan, penjarahan, rasa marah, dendam. Ia saksikan rombongan orang-orang Arab yang dihalau. Di hadapan semua itu ia merasa “pendidikan humanis” yang didapatkannya di Ben Shemen runtuh. Ia merasa ada sesuatu yang luar biasa besar yang tak dapat dihadapinya, sesuatu yang bahkan tak dapat dimengerti.


Pada akhirnya, orang memang bisa bertopang pada sejenis pragmatisme: apa saja yang bisa menghasilkan yang baik, itulah yang harus dinilai. “Perang memang tak manusiawi”, kata Shmarya Gutman, dulu perwira yang ditugasi jadi gubernur militer Israel setelah al-Ludd diduduki. “Tapi perang…bisa memecahkan soal-soal yang tak terpecahkan di masa damai.”


Shavit tak mengatakan demikian — dan mungkin sebab itu ia tak bisa lepas dari dilema yang berkecamuk dalam dirinya. Ia tak bisa “mencuci tangan”-nya dari Zionisme. Ia tak bisa mengingkari kebutuhan orang Yahudi untuk memiliki tanah air mereka sendiri. Akhirnya seperti Cohen, ia merasa berbenturan dengan sesuatu yang demikian besar yang tak dapat ia hadapi.


Tapi dengan demikian ia mengelakkan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia memang berbeda dari banyak orang Israel yang selamanya menyangkal bahwa riwayat Israel bukan cuma cerita peradaban, tapi juga barbarisme. Bagaimanapun juga, ada yang masih kurang. Shavit tak bertanya lebih jauh: haruskah al-Ludd bernasib demikian? Tak adakah jalan lain?


Ia menyimpulkan penaklukan al-Ludd dan pengusiran penduduk kota itu “bukan sebuah kebetulan”.”Kejadian-kejadian itu merupakan satu fase yang menentukan dalam revolusi Zionis”, tulisnya. Di al-Ludd pasukan Yahudi praktis meletakkan batu awal negara Israel — sebab kota itu strategis, sebab dari sana bandara internasional yang menghubungkan republik baru itu dengan bantuan dari dunia luar bisa diganggu.


Tapi haruskah sebuah negara berdiri dengan menghalau 35 ribu orang yang tak dikehendaki — dan mereka tak dikehendaki karena mereka dianggap ancaman, dan mereka dianggap ancaman hanya karena mereka bukan sekaum, berbeda label dan identifikasi?


Perang memecahkan soal-soal yang tak terpecahkan dalam masa damai, kata Gutman. Dan kekejaman di al-Ludd itu, kata Shavit, memungkinkan sebuah bangsa memperoleh tempat berlindung di mana generasi-generasi tumbuh, juga anak-anak muda yang menampik melanjutkan kekejaman.


Tapi pragmatisme demi-sebuah-masyarakat-baru seperti ini bisa jadi dalih siapa saja — dari Polpot sampai dengan para jenderal yang menghabisi ratusan nyawa di Bosnia. Siapkah Israel, dan Amerika Serikat, melihat yang terjadi di Palestina dengan ukuran yang sama?


Sampai hari ini, Israel dengan susah payah mencoba menjawab, atau menampik, pertanyaan seperti itu. Sampai hari ini, sejarah yang brutal itu seperti tak berujung.


Mungkin itu sebabnya Shavit menutup tulisannya dengan satu paragraf panjang yang muram:


“Dari titik tertinggi desa-pemuda Ben Shemen, aku memandang ke Lembah al-Ludd.Kulihat kota dan menara tinggi masjid besar. Kulihat rerimbun pohon-pohon zaitun yang punah, dusun Lehmann yang hilang. Dan aku renungkan tragedi yang dulu terjadi di sini. Empatpuluh-lima tahun setelah orang-orang Yahudi diusir paksa di Eropa, Zionisme tiba di Lembah al-Ludd dan memulai malapetaka manusia. Empatpuluh-lima tahun setelah masuk ke Lembah al-Ludd atas nama mereka yang kehilangan rumah, Zionisme mengusir barisan orang-orang yang kehilangan rumah. Di bawah panas yang berat, menembus kabut debu, melintasi padang-padang kering yang kecoklatan, kulihat mereka bergerak ke timur. Begitu banyak tahun telah berlalu, tapi barisan itu tetap bergerak ke timur…”


Gerak itu tak juga berhenti, mungkin tak akan berhenti. Sampai hari ini, seperti yang bisa disaksikan di Gaza, orang Palestina terus menerus dibantai, terus menerus melawan, terus menerus diabaikan dunia.


Sejarah memang tak pernah menjanjikan penutup yang bahagia bagi semua orang; juga tak ada happy ending yang jadi akhir selama-lamanya. Tapi sejarah juga terdiri dari tindakan yang tak henti-hentinya membangkang, menuntut: al-Ludd, kata lain dari kesewenang-wenangan, tak boleh terjadi lagi.


Goenawan Mohamad


4 Agustus 2014

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 08, 2014 00:09

Memihak

Kau tak memihak. Kau tak ingin pandanganmu tersekat barikade. Kau ingin tunjukkan, di balik tiap barikade, baik di kubu yang di sana maupun yang di sini, bertengger yang kotor dan keji. Ada siasat dan alat penghancuran yang disiapkan. Kau ingin tegaskan bahwa peranmu (“Aku cendekiawan”, katamu) adalah melawan itu. Ingin kau garis-bawahi kembali nalar yang jernih, standar kebaikan yang tak berat sebelah, dan hatinurani yang didengar.


Sebab itu kau tak ingin memihak.


Tapi aku memihak.


Baiklah aku jelaskan kenapa. Di hari-hari pemilihan Presiden 2014 ini, justru dengan memihak — tapi tak asal memihak — aku memutuskan ikut dalam ikhtiar menemukan tujuan yang kau ingin capai, tujuan yang aku ingin capai.


Bedanya: aku tak berdiri di menara pengawas. Bagiku menara pengawas itu hadir di jarak yang semu. Ia tampak jauh, atau menganggap diri jauh, menjulang ke dekat langit. Tapi fondasinya terletak di sepetak tanah. Lokasinya bukan cuma akrab dengan pucuk pohon yang hijau, tapi juga air payau dan pelbagai tahi. Aku tak ingin berada di menara itu bukan karena tak nyaman dengan najis. Aku tak ingin di sana karena merasa tak bisa pura-pura menatap bumi dari luar sejarah yang bergolak.


Pandanganku mungkin terbatas. Mungkin aku kehilangan perspektif yang mencakup semua. Tapi aku tak pernah yakin bahwa “melihat” selalu sama dengan “mengetahui”, dan “mengetahui” sama dengan “mengalami”. Ketika aku memihak, ada yang hilang dari penglihatanku, tapi aku mengalami sesuatu


Yang sangat menonjol dalam pemilihan presiden 2014 adalah peredaran fitnah yang deras, dalam derajat yang tak pernah dialami sejarah politik Indonesia. Mungkin ini bisa terjadi karena perpindahan fokus dari ideologi ke tokoh — sebuah trend yang menegas karena kekuasaan televisi. Di layar yang gemilang itu, wajah dan citra lebih penting ketimbang program dan pikiran. Dan wajah dan citra itulah yang oleh fitnah hendak dirusak.


Tapi fitnah yang menderas itu juga karena persaingan politik telah diperlakukan sebagai permusuhan absolut. Kau tentu ingat, “perang” telah dipakai untuk menggambarkannya. Lebih tajam lagi: perang antara “kafir” dan “Islam”. Dalam permusuhan yang mutlak itu, tak ada lagi nilai-nilai yang dianggap berlaku bersama. Fitnah dan dusta dihalalkan, karena pertarungan macam itu adalah pertarungan tanpa kemungkinan rekonsiliasi. Pihak yang memfitnah merasa pantas mengecualikan diri dari nilai-nilai bersama tentang yang jujur dan yang tidak.



Persaingan politik 2014 dengan segera berubah jadi perjuangan moral — satu hal yang membuatnya sengit, berkibar-kibar, tapi juga tragis.


Ketika politik bertaut dengan tuntutan moral, orang ramai memang merasa menemukan sebuah arah — sebuah arah yang bernilai dan sebab itu menggerakkan hati. Dari sinilah lahir partisan yang intens. Tak ada lagi sikap acuh tak acuh, yang umum berkembang ketika demokrasi jadi sekedar prosedur, ketika demokrasi tak banyak mengubah keadaan. Yang timbul adalah rasa cemas dan amarah, menyaksikan kebohongan dan usaha penipuan beranak-pinak — dan bisa menang.


Reaksi terhadap itu adalah militansi yang tanpa diperintah. Ada akal sehat bersama yang dihina. Kau, yang mengambil jarak dari gelora dan keramaian itu, tetap tak memihak. Kau malah mencemooh, “Betapa naifnya orang ramai itu!”. Tapi aku tak yakin lagi yang kau usahakan adalah kembalinya nalar, standar nilai yang adil dan hatinurani yang peka


Tapi harus aku akui, ada benarnya yang kau lihat.


Sebab ketika perjuangan politik berkembang jadi pertarungan moral, orang sering lupa: dalam sejarah, tak ada pertarungan antara kebaikan dan keburukan yang selesai. Tuntutan agar kebaikan terlaksana di sebuah negeri tak pernah terpenuhi. Ketak-sabaran akan menyusul, terkadang melahirkan teror dan penindasan, Atau kekecewaan.


Politik adalah jalan yang efektif buat mengubah dunia dan kekecewaan, tapi politik sesungguhnya bukan jalan yang baik. Raymond Aron pernah menulis, politik mengandung “pakta dengan kekuatan-kekuatan neraka”. Politik, sebagai perjuangan ke arah kekuasaan, selamanya menjurus ke kekerasan: ke arah negara di mana kekerasan jadi hak eksklusif.


Tapi justru dari situlah aku mendapatkan sesuatu.Tiap saat aku dipaksa berharap dan cemas. Tiap kali aku belajar kembali meniti buih antara “kekuatan neraka” dan tuntutan moral yang menggerakkan hati jutaan orang tempat aku terpaut. Tiap saat kutemukan kemungkinan dan keterbatasan manusia, kebusukan dan kemuliaannya, egoisme dan kemauannya berkorban. Tiap kali aku merasa perlu mengakui: manusia itu mungkin ada dalam diriku.


Tentu kau tak mengalami itu. Kau berdiri aman jauh dari barikade, berkomentar sesekali dengan pintar. Aku tak tahu adakah yang mendengar.


Goenawan Mohamad


28 Juli 2014

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 08, 2014 00:07

July 25, 2014

Kecapekan

Kita mungkin akan hidup sebagai sebuah masyarakat yang kecapekan oleh dusta. Tahun 2014 adalah tahun pemilihan yang paling brutal — brutal dalam wujud kata-kata — sepanjang sejarah kita sejak 1945. Dalam proses yang sengit ini, hampir tiap saat kita mendengarkan “fakta” yang dikatakan untuk diputar-balikkan, bantahan-bantahan yang tak berniat mencari apa yang benar, dan cepat atau lambat, meruyaknya saling tidak percaya — bahkan kebencian. Bersama itu: hilangnya percakapan yang serius.


Percakapan yang serius mengandung keinginan untuk saling mendengarkan, meskipun tak harus untuk saling setuju. Percakapan yang serius tak berarti percakapan tanpa humor; bahkan humor bisa penting di situ. Dalam percakapan yang serius ada asumsi bahwa kata-kata punya sebuah kekuatan, dalam bunyi dan makna, dalam pikiran dan perasaan — kekuatan yang kadang-kadang disebut disebut “maksud”. “Maksud” dalam bahasa Indonesia bisa berarti “makna”, bisa juga berarti “intensi”. Tapi ketika dusta begitu sering diucapkan, maksud pun hanyut — dan kadang-kadang tenggelam — dalam arus bunyi yang desak-mendesak yang dalam gramatika disebut (untuk memakai ucapan Hamlet yang kesal), “kata, kata, kata…”


Mark Twain pernah mengatakan, perbedaan antara dusta dan kucing ialah bahwa kucing hanya punya sembilan nyawa. Dusta, dengan kata lain, jauh lebih sulit mati. Ia hanya bisa dihentikan oleh lawannya yang sering disebut sebagai “kebenaran”. Tapi kebenaran, apapun definisinya, tampaknya kini sudah kecapekan sebelum berhasil mengejar dan menghajar kebohongan.


Pelan-pelan, sebuah masyarakat yang kecapekan oleh dusta, sebuah masyarakat yang tak bisa lagi bercakap-cakap secara serius, akhirnya mirip sebuah koleksi suara berisik yang sebenarnya tak berkata apa-apa. Kita seakan-akan bagian lakon televisi yang disajikan Samuel Beckett: tidak ada lagi dialog. Bahasa sudah habis. Dalam Quad, kita akan melihat para aktor bergerak di pentas dan tak mengucapkan sepatah kata pun. Kata-kata hanya ditulis Beckett sebagai arahan pementasan. Deleuze membahas lakon tanpa-kata itu dengan judul l’Épuisé, “yang kehabisan tenaga”. Tak ada lagi tenaga untuk saling menyapa. Setidaknya oleh Beckett bahasa ditunjukkan sebagai bagian dari keadaan yang lebih runyam ketimbang sekedar lelah.



Tapi kita tahu, kita tak mungkin hidup tanpa bahasa. Kita mustahil kembali ke sebuah masa pra-linguistik, sebelum bahasa dipergunakan, sebab masa itu tak pernah ada. Realitas yang kita kenal bukan saja disebut dengan bahasa, tapi bahkan dikonstruksikan bahasa — apapun bentuknya. Dalam keadaan “kehabisan tenaga” verbal, kita tahu ada bahasa bunyi, ada bahasa imaji, ada bahasa isyarat. Seorang “bisu” yang dibuang ke sebuah pulau hukuman selama bertahun-tahun, seperti ditunjukkan catatan-catatan Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, justru seorang yang mengutarakan banyak hal.


“Bisu” di situ berarti penampikan: menampik bahasa kekuasaan yang membekukan pikiran dan tafsir, menolak bahasa yang memenjarakan hidup dan percakapan ke dalam label dan identifikasi, (“Gestapu”, “Golongan A”) atau melawan bahasa yang memutar-balikkan pengalaman (“Tefaat”, akronim dari “tempat pemanfaatan”, sesungguhnya adalah tempat penyekapan). “Bisu” dalam hal ini mirip dengan yang disebut Deleuze sebagai “gagap”, bégaiement, satu ekspresi yang menyanggah “imperialisme” bahasa yang membekukan gerak dan arus makna.


Dengan kata lain, ada sebuah alternatif ketika percakapan kehabisan tenaga verbal. Tapi saya tak tahu apa jadinya jika masyarakat yang kecapekan oleh dusta kemudian kehabisan asumsi bahwa saling percaya adalah satu hal yang mungkin. Ketika fitnah diproduksi dan disebarkan bertubi-tubi — tak jarang oleh mereka seharusnya dipercaya, yakni tokoh agama — ketika orang saling menyidik apakah tetangganya “kristen”, “zionis”, “teroris”, “Islam fundamentalis”, “neo-lib” atau “komunis”, ketika itulah dunia kehidupan lumpuh. Polisi menggantikan Politik: pengawasan menggantikan ikhtiar bersama.


Dalam keadaan itu, yang tersirat dari Quad — apapun maksud Beckett dengan lakon yang ditulisnya — mengingatkan situasi itu: di atas pentas, empat sosok berkerudung bergerak di bidang bersegi empat, tak punya nama, asal-usul, dan percakapan. Masing-masing hanya tampak beda dari warna jalabiahnya dan bunyi perkusi yang mengantarnya masuk. Mereka semua menyembunyikan identitas, karena mereka tak mau diawasi dan diberi label. Atau sebaliknya, mereka semua telah jadi serupa: penghuni-penghuni yang dicurigai, penghuni-penghuni yang saling mencurigai.


Kita mungkin akan hidup sebagai sebuah masyarakat yang macam itu: kecapekan fitnah dan dusta.


Goenawan Mohamad


7 Juli 2014

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 25, 2014 09:21

Kejadian

Do I contradict myself? Very well, then I contradict myself. I am large. I contain multitudes — Walt Whitman


kejadian caping


Puluhan ribu orang berhimpun di sebuah sore yang tak terduga-duga: berlapis-lapis antusiasme, bertimbun-timbun harapan, juga cemas, berbaris-baris wajah yang tak cuma menatap kaku dan pasif.


Saat itu, dalam ruang itu berlangsung sebuah transformasi: kemeriahan itu seketika jadi sebuah “kami” .Sebuah Kami yang siap. Sebuah Aku yang yakin. Sebuah subyek yang, dari saat ke saat, mengutuhkan dirinya.


Di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, 5 Juli 2014, konser dua jam untuk Jokowi itu sudah tentu bukan cuma sebuah perhelatan musik; tapi juga bukan hanya satu elemen kampanye politik. Saya kira saya menyaksikan sebuah “kejadian.”


Dalam hal ini kata “kejadian” (dengan akar kata “jadi”) lebih pas ketimbang, (jika kita ikut-ikut membaca Badiou), “l’événement”, Sebab yang semula tak berbentuk seketika hadir — tanpa digerakkan sebuah sistem, tanpa bisa dirumuskan dan dinamai.



Di sini saya tak berbicara tentang sebuah keajaiban. Yang ter-”jadi” adalah semata-mata sesuatu yang sangat langka, sesuatu yang tak bisa diuraikan dengan satu sebab dan satu akibat. Itu barangkali cirinya: tiap kejadian adalah terobosan dari tatanan sebab akibat dan kelaziman yang biasanya berlaku. Ketika dalam politik hari ini pelbagai hal — dukungan di parlemen, demonstrasi di jalanan, pendapat di meadia massa — biasa diperdagangkan, di Gelora Bung Karno sebaliknya: puluhan ribu orang, ratusan musisi dan penyanyi, datang ke sana dan aktif di sana tanpa mendapatkan bayaran atau janji apapun. Ketika lazimnya ribuan orang berhimpun dengan tujuan memprotes sesuatu, sore itu, dari tribun dan lapangan rumput stadion di Senayan itu, tak ada suara marah.


Fenomen penting dalam pemilihan presiden 2014 adalah berduyun-duyunnya ribuan relawan. Dengan segera “relawan” (dengan tekanan kembali kata “rela”) jadi bagian kosa kata politik Indonesia, — sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sejarah, dan mungkin sesuatu yang kelak akan mengubah hubungan-hubungan kekuasaan.


Tapi tak hanya itu. Fenomen lain yang penting: kreatifitas dan humor, yang muncul dengan cepat dan tangkas, dari pelbagai sudut. Nanyian “Salam Dua Jari” yang sederhana dan pas diciptakan Slang dan menyebar dari sudut ke sudut.. Para perupa menghasilkan kartun (yang terkenal, Jokowi ditampilkan sebagai Tintin), stiker, poster, desain untuk kaus, dalam variasi yang hampir tak habis-habis. Para sineas dan pembuat karya audio-visual memproduksi film pendek dalam YouTube yang cerdas dan kocak.


Semacam anarki yang memikat berkecamuk. Tak ada pusat. Tak ada komando. Tapi ada sesuatu yang terasa hadir di mana-mana: harapan.


Sampai sekarang saya belum bisa sepenuhnya mengerti benar, mengapa Joko Widodo, tokoh kurus yang tak pandai berpidato itu — ia bukan Ali Sadikin yang karismatis atau Suharto yang serius dan angker — bisa jadi fokus harapan orang banyak. Mungkin karena ia tampil sebagai seorang pemimpin yang bekerja, tanpa banyak lagak, bersahaja, bersih. Ia wajah baru ketika politik Indonesia mengecewakan. Tapi mungkin juga ia, sikapnya, kerjanya, telah mengisi sebuah lambang yang selama ini kosong: tanpa menjadi seorang suci, ia jadi lambang pemimpin yang “baik”, yang justru tampak sebagai manusia yang tak istimewa.


Apa itu “baik”? Tak bisa dirumuskan. Tapi “yang-baik” itu sebenarnya hadir tiap hari dalam pergaulan manusia — kita mengenalnya dalam pertolongan dan pemberian yang iklhas — dan sebab itu bukan keajaiban. Hanya saja, ketika pada suatu masa “yang-baik” itu terasa hilang, ia berubah jadi harapan yang intens. Juga sesuatu yang universal.


Sore itu, di Gelora Bung Karno, dalam gairah ribuan orang itu, yang universal sejenak singgah. Bukan dari langit, tapi dari debu jalanan yang melekat di keringat orang yang berharap. Sebuah “Kami” pun lahir. Tapi pada saat itu, sebenarnya bukan hanya “Kami”, melainkan juga “Kita.”


Saya menyaksikan kejadian itu. Saya tak bisa merumuskannya dan saya kira ia bukan sesuatu yang bisa dirumuskan secara tetap. Tapi bagaimana pun juga, sore itu saya melihat bahwa politik, dengan akar kata polis (“kota” atau “negeri”) tak hanya satu wajah. Politik bukan hanya sebuah ketegangan dengan “Mereka”. Ia juga sebuah proyek “Kami-Kita”.


Goenawan Mohamad


21 Juli 2014

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 25, 2014 09:18

The Tank Man

Ia disebut “The Tank Man”: seorang berbaju putih yang berdiri sendirian di tengah jalan, menghadang empat tank yang bergerak ke Tiananmen, Beijing.


Hari itu 5 Juni 1989.


Siapa dia? Tak ada yang tahu. Bisa jadi ia warga biasa yang tiba-tiba tak bisa menahan marah melihat tentara datang lagi setelah membunuh puluhan demonstran di Lapangan Tiananmen 40 jam sebelumnya. Mungkin ia hendak berseru: “Kembalilah kalian! Korban sudah cukup!”.


Kita tak tahu itukah yang dikatakannya. Tapi sejak itu, dunia mengenangnya: sosok pemberani yang diabadikan kamera dari jauh, tubuh yang bagaikan sebatang tiang yang tegak — tiang putih yang menyangga hal-hal yang tak kasat mata: keinginan bebas dari takut dan kekerasan, keberanian bersikap, dan tekad yang mempercayai dialog, bahkan dialog dengan pasukan infrantri yang siap tempur.


Orang bisa mengatakan, “The Tank Man” menghendaki apa yang mustahil. Sebab Pemerintah begitu kuat. Penguasa di Beijing itu bisa dengan mudah mematikan suara yang menuntut kemerdekaan bersuara dan mematikan mereka yang tak disukai bersuara.


Juga: mematikan ingatan tentang semua kematian itu.



Ada seorang ibu bernama Xu Jue. Dalam sebuah tulisan di The New York Review of Books, 5 Juni yang lalu, Ian Johnson menulis tentang wanita ini, yang anaknya mati ditembak tentara dan suaminya meninggal dirundung sedih. Tiap musim semi, di hari raya Qingming, Xu Jue bermaksud mengunjungi makam anak dan suaminya. Tapi polisi mencegahnya datang tepat 5 April, ketika festival menghormati para mendiang itu dirayakan. Ibu itu boleh datang ke makam anaknya, tapi beberapa hari sebelum itu. Dan polisi akan menyertainya — meskipun harus membaca tulisan di nisan itu: “4 Juni, 1989″.


Seorang ibu lain, Ding Zilin, ingat tanggal yang agak berbeda: 3 Juni, 1989. Hari itu anaknya juga ditembak tentara yang memadamkan demontsrasi di Tiananmen. Dalam perkabungannya, ibu ini menghubungi keluarga yang juga kehilangan anak mereka di Juni yang berdarah itu. Ding Zilin membentuk satu jaringan (“Para Ibu Tiananmen”) yang mencoba menemukan informasi tentang mereka yang tak pulang. Ia beberapa kali jadi tahanan rumah, tapi ia tak menyerah. Sampai Agustus 2011, jaringan ini mencatat 202 korban.


Tangan yang berdarah (dan berkuasa) harus mematikan ingatan seperti itu. Yang dihadapi bukan sekedar catatan tentang masa lalu. Ingatan itu juga sebuah tuntutan keras ke masa depan. Membungkam kenangan tentang kekejaman penting, sebab berkuasa harus siap dengan alasan bagi kekejaman baru.


Sejarah politik Tiongkok penuh dengan kekejaman itu. Juga ingatan dan represi atas ingatan. Penyair dan penulis prosa dokumenter, LiaoYiwu, punya masa lalu yang terapung-apung antara hidup dan mati. Di pertengahan 1960-an, ayahnya, seorang guru, dituduh “kontrarevolusioner” oleh Pengawal Merah selama Revolusi Kebudayaan yang digerakkan Mao Zhedong. Si ayah dipecat dan dikucilkan masyarakat. Si ibu terpaksa menceraikannya agar bisa hidup dengan anaknya. Tapi, pada suatu hari, untuk dapat membeli makanan, perempuan itu menjual kupon jatah pakaian yang dibagikan Negara. Si ibu ditangkap dan diarak bersama sejumlah penjahat di panggung Gedung Opera kota Sichuan, kota kelahirannya.


Liao Yiwu, yang beberapa kali disekap dan sajaknya diharamkan, memandang dengan pahit masa lalu yang dibangun dan dihancurkan Mao. Seperti ditulisnya dalam The New York Review of Books, Mao tak pernah minta maaf.


Mao tak minta maaf dan kekerasan dilakukan kembali. “Revolusi bukan jamuan makan malam”, itu ucapannya yang termashur. Harus ada pengorbanan untuk kemenangan Revolusi buruh dan tani, harus dibenarkan tindakan yang brutal jika hanya itu yang mungkin.


Tiap laku politik, juga yang revolusioner, tampaknya mengamini dalil Bismarck di Jerman di abad ke-19, yang mengembangkan kekuasaan dengan “darah dan besi”: Die Politik ist die Lehre vom Möglichen. Politik hanya bisa bertolak dari apa yang mungkin, dan sebab itu ia kiat memainkan apa yang mungkin.


Berdiri di tengah Avenue Chang’an, “The Tank Man” tak mengikuti dalil itu. Hari itu ia contoh aksi politik yang digerakkan apa yang tak mungkin. Ia tak mengatakan, “karena aku mustahil menang, aku lebih baik diam; kalaupun keadaan tak bisa hapuskan kekejaman, biarlah, tak ada rotan akarpun jadi.”


“The Tank Man” adalah isyarat: mereka yang mengatakan “tak ada rotan, akar pun jadi” lama kelamaan bisa lupa bahwa rotan ada, tak mustahil, meskipun bukan di hari ini.


Goenawan Mohamad


16 Juni 2014

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 25, 2014 09:15

Air Kelapa

Ada sesuatu yang menarik bila kekuasaan bermula dari cerita tentang kata dan air kelapa.


Kita menemukannya dalam dongeng Jawa tentang pendiri kerajaan Mataram.


Tersebutlah pada suatu pagi Ki Ageng Giring, seorang peladang, memanjat pohon nyiur di halamannya untuk memetik sebutir kelapa. Ia ingin membuat santan. Tapi di pucuk pohon itu tiba-tiba terdengar suara: “Barang siapa yang meminum air kepala yang kau pegang itu, akan ia turunkan anak cucu yang berkuasa di kerajaan masa depan.”


Dengan gemetar Ki Ageng Giring memetik nyiur itu, meluncur turun dan pulang. Tapi hari masih pagi; ia belum haus. Buah kelapa itu hanya ia lobangi untuk bisa direguk airnya nanti lalu ia letakkan di para-para dapur. Ia pun kembali ke kebun untuk mencangkul.


Tak disangka-sangka, tetangga dan sahabat karibnya, Ki Ageng Pemanahan, yang baru saja sibuk membersihkan semak-semak, mampir. Karena haus tak tertahan, melihat nyiur yang sudah disiapkan di dapur itu, ia mengambilnya dan mereguk airnya.


Dan demikianlah jadinya: Ki Ageng Pemanahan adalah progenitor pendiri kerajaan Mataram. Anaknya, seorang pemuda cerdik dan pemberani, Sutawijaya, menjadi seorang prajurit yang makin lama makin dipercaya di kerajaan Pajang. Ia berhasil menewaskan Arya Penangsang, seorang bangsawan yang tak mau takluk. Atas jasanya, Sutawijaya diberi gelar Panembahan Senapati dan sebentang wilayah. Berangsur-angsur, daerah itu ia kembangkan jadi kerajaan yang disebutnya dengan nama “Mataram”, seperti kerajaan Jawa dari zaman keemasan sebelum Islam. Ia memerintah dari 1584 sampai meninggal pada 1601.



Bagi saya, yang penting dalam cerita itu adalah sepatah kata dalam kalimat yang didengar Ki Ageng Giring: “Barangsiapa…”. Tak ada nama tertentu yang disebut. Kekuasaan pada hakikatnya sebuah peruntungan yang terbuka. Tak ada pintu tertutup bagi orang atau kaum tertentu. Jika Ki Ageng Pemanahan yang mendapatkan karunia itu, itu berarti asal-usul kekuasaan bermula pada nasib yang tak eksplisit dan sebuah kebetulan. Kata-kata gaib dan air kelapa — sebagai bagian awal cerita tentang kejayaan dan kejatuhan raja-raja Jawa — agaknya untuk pengingat bahwa kekuasaan sekaligus mengandung misteri dan hal sehari-hari.


Dengan kata lain, tak ada fondasi yang kukuh kekal yang menentukan seseorang untuk berada di atas tahta atau di bawahnya. Sumber legitimasi kekuasaan ibarat datang dari sebuah liang tambang tua yang kosong tapi penuh kabut. Sejarah kekuasaan adalah sejarah kecemasan.


Itu sebabnya kekuasaan perlu punya aura, dan aura perlu mithos. Harus ada sesuatu yang akan memberi alasan bahwa ia sah, bahwa ia patut diterima siapa saja kapan saja. Itu berarti, dalam kecemasannya, kekuasaan tak bisa cuma sebuah monolog. Ia butuh Liyan yang mengakuinya. Dengan demikian sebenarnya ia mengakui bahwa ada pihak lain yang dianggap setara, atau lebih luhur, yang punya daya untuk memberi pengakuan atau menolaknya.


Di zaman demokrasi, Liyan itu “rakyat”: himpunan yang tak sepenuhnya dapat dihadirkan selain secara simbolik. Di abad ke-16 itu, Liyan itu dilambangkan secara lain: seorang ratu gaib dari laut selatan. Salah satu dongeng terkenal tentang Panembahan Senapati adalah hubungannya dengan Nyai Roro Kidul. Dikisahkan, pada suatu saat putri alam gaib itu mendatangi baginda. Mereka bercintaan. Tapi pada saat yang sama dikatakan juga bahwa Nyai Roro Kidul menyerah ke dalam wibawa sang penguasa Mataram: sor prabawa lan wong agung ngeksiganda.


Kekuasaan Senapati dan auranya, tahta dan legitimasinya menjadi menguat dengan dongeng itu. Tapi tampak: seorang penguasa harus berjuang secara rumit dan subtil buat memperoleh hegemoni.


Dongeng di atas bisa ditafsirkan untuk menggugat thesis bahwa perjuangan hegemoni sepenuhnya ditandai antagonisme. Sebab yang terjadi adalah jalin menjalin yang tegang antara persaingan dan pertalian. Memang ada konflik yang tersamar, tapi hegemoni tak mungkin hanya dicapai dengan keris yang berdarah.


Kita tahu apa yang terjadi. Kekuasaan penerus dinasti Mataram, Amangkurat I (1646-1677), praktis adalah titah yang berdarah. Babad Tanah Jawi mengisahkan suasana kerajaan yang muram dan menakutkan — yang segera disusul sebuah akhir yang dramatis. Riwayat kerajaan Mataram tamat ditutup pemberontakan Trunajaya. Legitimasi hilang, hegemoni runtuh.


Para pendongeng kemudian berkisah, dalam perjalanan melarikan diri dari istananya, Amangkurat I mati karena meminum air kelapa yang beracun. Mungkin ini juga sebuah tamsil: rasa haus akan kekuasaan di saat yang tepat akan berhasil; rasa haus kekuasaan di saat yang salah akan membuat binasa — dan orang tak selalu tahu kapan saat yang salah itu.


Goenawan Mohamad


9 Juni 2014

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 25, 2014 09:14

Babi Yar

Pada 1961, Yevgeny Yevtushenko menulis sajak tentang orang-orang yang terbunuh di jurang panjang yang suram di timur laut Sungai Dnieper:


Akulah tiap orang tua

yang di sini

ditembak mati.

Akulah tiap anak

yang di sini

ditembak mati


Duapuluh tahun sebelumnya, di jurang di Ukraina itu, di Babi Yar, hampir 34 ribu orang Yahudi — termasuk anak-anak, orang tua, perempuan — dibunuh pasukan Jerman hanya dalam waktu dua hari, 29-30 September 1941.


Yevtushenko bukan Yahudi; sajak itu, “Babi Yar,” menyatakan, “dalam diriku tak ada darah Yahudi”. Tapi ia menggugat apa yang terjadi di tempat itu sebagai kebuasan yang sedang dilupakan — dan dengan demikian juga kebuasan lain di masa lalu yang tak diakui. Penyair Rusia ini menuliskan sajaknya setelah Stalin mangkat dan orang bisa membacanya sebagai pengingat kekejaman yang pernah terjadi di masa lalunya sendiri — sebagaimana kita di Indonesia akan bisa membacanya dengan ingatan yang mirip.


Tentu, pembantaian Jerman terhadap orang Yahudi tak terbandingkan — karena tiap kekejaman sebenarnya tak bisa dibandingkan. Seperti yang di Babi Yar itu. Seorang sopir truk pasukan Jerman yang berada di tempat itu menceritakan kesaksiannya:



Setelah ditelanjangi, orang-orang Yahudi itu digiring ke dalam jurang, melalui dua atau tiga celah masuk. Ketika mereka sampai di dasar, para petugas Schutzpolizei mendorong mereka agar berbaring di atas mayat orang-orang yang baru saja ditembak. Semua terjadi dengan cepat. Mayat itu berlapis-lapis. Seorang polisi datang dan menembak leher tiap orang Yahudi di tempat ia terbaring dengan senapan semi otomatis…..Begitu satu orang Yahudi tewas, si penembak akan berjalan melintasi tubuh orang mati itu untuk menembak korban yang lain. Ini berlangsung tanpa henti, dan semua — laki-laki, perempuan, anak-anak — dihabisi. Anak-anak dibaringkan dekat ibu mereka dan ditembak bersama-sama.”


Tapi, dengan kekejaman yang hampir 34 ribu dibunuh dalam dua hari, yang tak terbandingkan itu tetap memergoki kita dengan pertanyaan tentang manusia pada umumnya: sebuas itukah makhluk ini ?


Dari sejarah Jerman, jawabnya bisa bermacam-macam. Ada kebencian rasial kepada mereka yang berbeda, dan sejak sekian abad yang lalu yang berbeda itu berarti Yahudi. Ada perasaan bangsa yang terhina dan rakyat yang menderita setelah kekalahan dalam Perang Dunia I, disertai kerinduan akan negara kuat, pemimpin yang kuat dengan dendam yang berkobar.


Tapi, dengan sebab musabab yang khas Jerman seperti itu, Hitker dan rezimnya tetap ingin diakui sebagai bagian dari sesuatu yany universal. Sang Führer percaya bahwa kehidupan pada dasarnya bengis: “Hukum kehidupan di dunia”, kata Hitler dalam sebuah jamuan siang 10 Oktober 1941, “mengharuskan pembunuhan yang terus menerus, agar mereka yang mutunya lebih baik bisa hidup”.


Yang merisaukan adalah bahwa pembunuhan memang terjadi di tempat lain, dilakukan bangsa lain — seakan-akan sejarah tak bisa berubah, manusia pada dasarnya bengis dan Hitler membawakan tata normatif yang benar: “hukum”-nya layak sebagai hukum, bersifat kekal dan berlaku di mana saja.


Tapi kita ingat: ia menyebut “kehidupan”. Kehidupan berubah. Beberapa kekejaman yang terjadi bukanlah sekedar versi baru dari thema yang itu-itu juga. Hitler sendiri berada dalam zaman yang lain dari zaman Jengis Khan, misalnya, dengan ambisi dan hasrat yang lain dan cara-cara melaksanakan hasrat yang lain pula.


Maka ketika ia mengemukakan bahwa pembunuhan adalah “hukum kehidupan” ia sesungguhnya mencoba menghalalkan kekejaman dan pembinasaan yang dirancang dan dilaksanakannya. Ia seperti hendak mengatakan, “Aku tak bersalah, aku hanya menjalankan apa yang sudah ada dan akan ada terus dalam sejarah manusia.”


Yang tak diakuinya ialah bahwa ia perlu mengajukan apologi itu (atas nama “hukum kehidupan” ) karena ada sesuatu yang lain, yang berada di luar “kehidupan” yang dilihatnya: ada suatu tata normatif yang berbeda, sesuatu yang belum ditaklukkannya.


Dan itulah yang kemudian terbukti. Tata normatif Hitler tak bisa bertahan, bukan hanya karena ia kalah perang. Sajak Yevtushenko menuturkan: bila kekejaman menemukan sekutunya di masa lain, di tempat lain, demikian juga sang korban. Sang “aku” yang merasa senasib dengan mereka yang dibantai di jurang Babi Yar juga melihat dirinya di tempat pembunuhan yang jauh, di sebuah hari yang jauh:


Dan di sini, pada salib, aku mereka musnahkan dalam siksa,

Dan sisa paku itu di tubuhku masih ada


Dengan kata lain, kepada kekejaman baru akan selalu ada gugatan baru. Juga orang-orang yang berkata “tidak” secara baru.


Goenawan Mohamad


2 Juni 2014

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 25, 2014 09:12

Politik

“Seperti kandil padam,” kata suster yang menyaksikan kematian Václav Havel pada pukul 9:50 pagi. “Begitu diam.”


Di ranjang itu tak ada suara, memang. Tapi kita tahu: orang tak akan diam, juga setelah kematian.


Ketika berita wafat bekas presiden itu menyebar dari Hrádeček, desa kecil di timur laut Praha itu, ke seluruh Republik Cek, orang pun berhimpun. Mereka mengenangnya: sastrawan pembangkang yang memimpin gerakan menentang kediktatoran Partai Komunis. Presiden pertama yang mereka pilih. Kepala negara yang kemudian turun dari jabatannya dan menyisih ke Hrádeček. Seorang tua yang menanggung sakit sampai di pagi 18 Desember 2011 itu: wafat.


Tak jelas adakah orang yang menangis. Tapi Havel kembali didengar.


Ia hampir dilupakan. Duapuluh dua tahun jarak waktu antara hari kematian itu dan 17 November 1989, hari meletusnya demonstrasi pertama anti-pemerintah di Národní Třída. Dalam periode itu banyak hal terjadi: revolusi berhasil menumbangkan rezim dan ideologinya, tanpa jalan kekerasan: “Revolusi Beludru”, 1989; Havel dipilih jadi presiden, pertama kali, 1990, dan demokrasi datang ke Cekoslowakia.


Tapi kegembiraan dengan segera disisipi kekecewaan — terutama ketika Cekoslowakia pecah menjadi Republik Cek dan Slovakia.


Selama itu, Havel, bekas pejuang kemerdekaan yang jadi kepala negara itu dielu-elukan di seluruh dunia. Tapi pelan-pelan tampak, ia tak selamanya seorang pemimpin yang berhasil. Akhirnya ia meninggalkan kursinya — dengan nada muram ketika berbicara.


Bukan karena ia kehilangan kekuasaan; kekuasaan selalu di panggulnya dengan enggan dan kikuk. Suaranya tak cerah karena ia merasa ada yang hilang.



Dulu, di tengah pergerakan pembebasan yang bergelora, Havel mengalami politik yang lain — politik yang berarti laku “melayani mereka yang ada di sekitar kita” dan “generasi yang akan datang”. Tapi ketika pembebasan berhasil dan sistem demokrasi ditegakkan, ia justru menyaksikan tamasya yang mencemaskan. Masyarakat telah membebaskan diri, katanya, tapi dalam beberapa hal “berperilaku lebih buruk ketimbang ketika di dalam pasungan”.


Kriminalitas meningkat, media yang tak disensor lagi jadi penyalur syahwat dan kedunguan, dan yang lebih berbahaya: kebencian menyebar antara kaum, juga rasa curiga, rasialisme, bahkan gejala Fascisme.


Di ulang tahun ke-15 “Revolusi Beludru” Havel menulis. Ia menyebut demokrasi yang akhirnya hanya jadi permainan para konsumen, dan politik yang seperti “sebuah medan perang para lobbyist” untuk kepentingan spesifik yang terpisah-pisah.


Mirip yang terjadi di Indonesia: sejak kediktaturan jatuh, demokrasi berbaur dengan kekecewaan dan politik kehilangan apa yang disebut Havel “sebuah tanggungjawab yang lebih tinggi.”


Tiap kali saya menyaksikan itu, terngiang kembali kata-kata Reinhold Niehbur itu: “Tugas sedih politik adalah menegakkan keadilan di dunia yang berdosa”. The sad duty of politics is to establih justice in a sinful world.


Saya bukan seorang Protestan sebagaimana Niehbur, theolog itu. Dunia bagi saya tak berdosa sejak diciptakan Tuhan; dunia adalah sejarah. Manusia-lah yang membuat sejarah bergerak antara harapan-harapan minimalis dan kekecewaan yang datang dan pergi.


Di situlah politik, seperti kata Niehbur, sebuah “tugas.” Politik bukan cuma usaha menghimpun dan menggunakan kekuasaan. Politik adalah pergulatan untuk keadilan, atau kesetaraan, yang berlangsung tertus menerus. Rancière menyebutnya la politique. Havel menyebutnya sebuah “tanggungjawab” (atau, seperti yang dikutip di atas: “tanggungjawab yang lebih tinggi”) yang dinyatakan dengan tindakan. Tindakan itu ditujukan kepada “keseluruhan” dan bagi “keseluruhan”. Dengan kata lain, politik adalah pergulatan bukan untuk diri sendiri.


Itu sebabnya Havel mempertautkannya dengan sesuatu yang lebih dalam: panggilan moral. Ada “landasan metafisik”, katanya, yang dimulai dengan kesadaran atau kesetengah-sadaran bahwa kematian bukanlah akhir. Akan ada catatan entah di mana, ada penilaian entah di mana, mungkin di “atas kita”. Ada ingatan tentang Hidup, dari Hidup, “the memory of Being.” Dan kita pun merasakan “tata rahasia kosmos, alam, dari kehidupan.” Ada Tuhan yang menilai.


Tapi sebenarnya tak pasti adakah “tata rahasia” itu cocok buat negeri-negeri di atas bumi. Tiap kali pergulatan berlangsung demi “tanggungjawab yang lebih tinggi” ia akan terlontar kembali ke kancah “dosa” dunia. Salah satu “dosa” itu adalah kekuasaan: sesuatu yang perlu tapi menjerat dan membusukkan manusia.


Agaknya itulah yang membuat Havel murung. Kemurungannya menjangkau kita — dan kita pun tahu apa yang salah, apa yang hilang dalam politik hari ini. Kandil itu tak sepenuhnya diam ketika padam.


Goenawan Mohamad


26 Mei 2014

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 25, 2014 09:11

Goenawan Mohamad's Blog

Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Goenawan Mohamad's blog with rss.