Goenawan Mohamad's Blog, page 2
July 3, 2015
Sedikit tentang Frankfurt Book Fair
Di tahun 2015 ini, Indonesia jadi Ehrengast, atau The Guest of Honour, atau Tamu Kehormatan, dalam Frankfurt Book Fair (FBF) 2015. Sejak awal tahun ini pula, saya ditunjuk Menteri Pendidikan & Kebudayaan Anies Baswedan sebagai Ketua Komite Nasional Pelaksana perhelatan itu.
Saya ingin menggunakan ruangan ini untuk menjelaskan beberapa hal yang dibicarakan dengan ramai, kadang sengit, dalam Face Book, tentang beberapa hal yang menyangkut hal ini.
Ada teman yang mengesankan ke publik, malah cenderung menuduh, bahwa Komite Nasional telah menjadikan Perisiwa 1965 itu thema pokok kehadiran sastra Indonesia di Frankfurt nanti. Dengan itu, dua sastrawan, Laksmi Pamuntjak (penulis novel “Amba”) dan Leila S. Chudori (“Pulang”) akan ditampilkan sebagai “pelopor” mengungkap 1965.
Dugaan itu jauh panggang dari api.
Ketika dalam konferensi pers dengan media Jerman di Frankfurt 23 Juni yang lalu ada wartawan Jerman yang bertanya, apa kiranya thema utama sastra Indonesia sekarang — apakah itu menengok kembali sejarah yang dibungkam — saya menjawab: ada 40 ribu buku terbit tahun lalu di Indonesia, rasanya tak bisa dikatakan ada satu thema pokok.
Bahwa “Amba” dan “Pulang” menonjol, itu karena dua hal.
Pertama, buku Indonesia memang tidak banyak, dan Indonesia mungkin “Guest of Honour” yang paling kurus; kita tak punya novel sebanyak India, Brazil, atau RRT. Apalagi Jepang… Persiapan Indonesia juga sangat mepet waktunya, hingga makin terbatas kemungkinan memperluas kerja penerjemahan. Kesepakatan resmi Pemerintah Indonesia untuk jadi Tamu Kehormatan baru dinyatakan di tahun 2013. Kita cuma punya waktu sekitar dua tahun. Sebagai perbandingan, Tamu Kehormatan di FBF tahun lalu, Finlandia, menyiapkan diri selama enam tahun.
Tentu kami bersyukur, kerja siang malam, persiapan sejauh ini sudah mencapai 85%. Ada lebih 200 jilid buku yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jerman dan bahasa lain yang akan dipajang di FBF 2015. “Pulang” dan “Amba” hanya dua di antaranya. Ada karya Eka Kurniawan, Andrea Hirata, Dee, Ahmad Tohari, Ahmad Fuadi, Oky Madasari, Ayu Utami, dan juga buku anak-anak, buku kuliner, buku perjalanan, dan lain-lain.
Mengapa Laksmi lebih tampak menonjol kali ini — setelah Oktober tahun 2014, yang menonjol adalah Dee (Dewi Lestari) dan Januari 2015 Ayu Utami dan Afrizal Malna?
“Amba” (versi Jermannya “Alle Farben Rot”) ditemukan dan dibeli hak ciptanya oleh Penerbit Ulstein Verlag melalui Borobudur Literary Agency di tahun 2013, dua tahun sebelum Komite Nasional yang sekarang dibentuk. Ancang-ancangnya sudah lebih lama.
Di saming itu, Ulstein Verlag penerbit yang punya dana promosi yang besar. Usaha publisitasnya gencar. Waktu Indonesia hadir dalam Leipzig Book Fair, Mei yang lalu, Laksmi lebih sering muncul karena acara yang diselenggarakan Penerbit Ulstein ketimbang dalam acara di stand Indonesia.
Kedua, soal 1965 sedang menarik perhatian di Frankfurt. Film Joshua Oppenheimer diputar di dalam Museum Fillm Jerman, dan Joshua Oppenheimer hadir, dan ia tak sendiri. Tokoh utama film dokumenter itu, Adi, juga muncul. Sebuah diskusi yang hangat dilaksanakan di museum itu. Di kota Koln, sementara itu, diluncurkan buku yang disusun Annet Keller dari karya orang Indonesia, tentang kekejaman terhadap pendukung PKI.
Memang 2015 adalah “ulangtahun” ke-50 “G-30-S”. Dan orang Jerman — dengan masa lalu mereka, terutama di bawah Nazi — suka mengungkit tentang “masa lalu” yang dihapuskan. Di sana buku-buku sastra, menurut seorang wartawan Jerman kepada seorang teman Indonesia, sedang ramai mengungkapkan kembali sejarah ketika “Holocaust” terjadi.
Maka mereka tertarik kepada buku seperti “Pulang” dan “Amba”.
Buku, bukan pengarangnya.
Yang tampaknya dilupakan : Frankfurt Book Fair ini bukan festival sastrawan seperti Ubud atau Winternachten. Dalam FBF, yang jadi tamu utama adalah buku. “Fair”: tempat jual beli, dalam hal ini jual beli hak cipta. Yang datang kebanyakan penerbit, pedagang buku, produser film, dsb. Maka selama bertahun-tahun Indonesia hadir di sana (bukan sebagai tamu kehormatan, melainkan sebagai peserta biasa), yang menggerakkan adalah IKAPI, ikatan penerbit.
Untuk itu, Komite Nasional pun menyeleksi “karya”, atau “buku”, bukan “pengarang”, dengan pilihan dilakukan para kurator dari luar Komite, pakar dari universitas-universitas. Bila pengarang hadir, ia mengikuti buku yang dipilih.
Tak mengherankan bila pengarang yang diundang terutama adalah pengarang yang sudah punya buku — dan buku itu harus yang sudah diterjemahkan hingga bisa dibaca dan dipilih.
Dalam “fair”, atau “pekan raya”, pertimbangan komersial penting. Buku puisi, esei dan lakon tidak laku untuk dibeli hak ciptanya. Novel biasanya yang dicari. Lakon saya, misalnnya, sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan Jerman; tak ada penerbit yang mau memungutnya. . Buku puisi saya, “Don Quixote” yang sudah diterjemahkan atas inisiatif penerjemahnya sendiri, baru bulan lalu dapat penerbit — sebuah penerbit kecil, milik orang keturunan Iran. “Tuhan dan Hal-Hal yang Selesai” juga hampir tak punya penerbit, sampai datang RegioSpectra, yang didirikan seorang perempuan lulusan studi Indonesia di Pasau. Kedua penerbit itu tak akan mampu membuat promosi segencar Ulstein Verlag, penerbit novel “Alles Farben Rot”.
Untuk mengatasi kekurangan yang terjadi Komite menampung inisiatif John MacGlynn, dari Yayasan Lontar, Sejak 2013 John MacGlynn mengantisipasi problem itu dengan menerjemahkan dan menerbitkan dalam bentuk buku-buku kecil karya sastrawan Indonesia yang belum punya novel, sekitar 24 buah, dalam terjemahan Inggris. Termasuk karya A.S. Laksana.
Buku-buku Ini yang ditawarkan ke penerbit Jerman. Sekarang baru satu yang dibeli: buku Linda Christanty, “Jangan Panggil Kami Teroris”. Maka Linda diwawancara sejumlah wartawan Jerman yang baru-baru ini berkunjung ke Indonesia. Dalam salah satu kegiatan FBF 2015 pula, Linda juga akan hadir dalam satu diskusi panel bersama seorang sarjana Jerman, Gunnar Stange, di Frankfurt Book Fair 13-18 Oktober nanti.
Tapi tak hanya Linda. Komite sedang menyiapkan diri untuk mengundang sekitar 65 pengarang dan aktivis perbukuan ke Frankfurt. Atas beaya Negara. Mudah-mudahan anggarannya aman. Tidak dipotong, lancar…
Ya, hambatan besar dalam mengerjakan proyek nasional ini ialah aturan birokratis dalam mencairkan anggaran. Terutama di bagian penerjemahan. Para pejabat mengatakan hendak sangat berhati-hati, tak mau melanggaran prosedur. Mereka tak mau dikriminalkan.
Komite Nasional maklum — meskipun senantiasa waswas, bila kerja yang kompleks ini terjepit waktu yang tak mengenal ampun.
Goenawan Mohamad.
Sastrawan
Sastrawan, terutama di Indonesia, sering yakin mereka warga masyarakat yang penting — lebih penting ketimbang karya mereka. Ada “sindrom pujangga” yang sering berjangkit.
Di masa lalu, “pujangga” disebut sebagai pemberi fatwa, petunjuk ke pintu kebenaran. Ia diletakkan, atau meletakkan diri, di tataran yang lebih suci dan mulia dalam fi’il dan pengetahuan.
Di abad ke-19, Ronggowarsito menamakan salah satu karyanya Serat Wirid Hidayat Jati. Dalam buku kecil itu ia tampak siap memberikan “hidayah” yang “benar” kepada pembacanya. Di abad ke-20, di tahun 1930-an, ketika sejumlah sastrawan memaklumkan pembaharuan, “sindrom pujangga” tak berubah. Mereka namakan majalah mereka PoedjanggaBaroe. Mereka, terutama Takdir, memandang sastrawan sebagai pelopor dalam kerja membangun kembali masyarakat, dalam “reconstructie arbeid“.
Tapi kemudian datang Revolusi 1945. Yang dijebol bukan hanya wibawa pemerintah kolonial. Pembrontakan sosial, kehendak menghabisi aristokrasi atau pangreh praja, yang disebut “feodal”, meledak di Sumatra Timur dan di pantai utara Jawa Tengah. Tahun 1945: sebuah ledakan anti-hierarki.
Sejak masa itulah, sejak generasi sastrawan di sekitar Chairil Anwar, sastrawan menyebut diri “penulis”. Kata “pujangga” jadi olok-olok. Para sastrawan meletakkan diri setara dengan pembaca mereka. Bersama Chairil, Asrul Sani, dan Rivai Apin menerbitkan sebuah buku puisi berjudul Tiga Menguak Takdir: sebuah statemen tersirat yang menunjukkan tak ada yang selamanya berada dalam posisi yang menentukan.
Sikap itu tampaknya datang bersama apa yang mereka baca sebagai kesusastraan: karya para penulis dunia yang — setelah konflik-konflik besar di Eropa dan Asia menebarkan korban — melihat kesusastraan gagal menyelamatkan manusia dengan petuah dan pesan. Para penulis mulai memandang diri sendiri dengan ironis. Seseorang pernah bertanya apa pesan yang hendak diungkapkan Hemingway dalam bukunya. “Tak ada pesan dalam novel-novel saya”, jawab penulis Farewell to Arms itu. “Kalau saya mau sampaikan pesan, saya kirimkan lewat pos”.
Jawaban itu bukan gurau, bukan pula kerendah-hatian yang pura-pura. Para penulis kian sadar, mereka hidup bersama kebisuan yang tak bisa diungkai sepenuhnya dalam hal-ihwal dunia. Hutan yang majemuk, dusun yang berubah, lampu-lampu kota yang bertebaran, percakapan yang tak selesai, kebencian yang terpendam….
Tapi seperti ditunjukkan Rancière, semua itu tak membuat mandul. Buku adalah “anak keheningan”, tulisnya dalam La parole muette,“yang tak punya alam semesta lain kecuali ocehan yang tak henti-hentinya dari tulisan yang membisu”. Karya baru akan ditulis. Dikelilingi hal-hal yang tak mengungkapkan diri secara penuh, tiap pengarang, sendiri atau dengan berdialog, selalu akan membuka jalan lain penafsiran. Tak lagi ada yang dengan meyakinkan mengatakan, aku-sang-pemberi-hidayah.
Juga kata-kata makin jelas “membisu”: tak dapat mengungkapkan makna yang seutuhnya transparan kepada sang penulis dan pembaca. Kata “akanan” dalam sajak Chairil Anwar “Senja di Pelabuhan Kecil” kadang muncul dalam arti “kaki langit”, kadang dalam arti “apa-yang-akan-datang”.
Makna sepatah kata tak bisa dibuat tunggal oleh konsensus — sebab makin tampak konsensus sebenarnya menyembunyikan kekuasaan yang mendesakkan dan membentuknya. Di zaman ketika sastrawan dan pembaca (termasuk kritikus) duduk sama rendah, “sindrom pujangga” mirip adegan lakon zaman Dardanella: melambung-lambung.
Tapi sindrom itu tak mudah hilang, rupanya. Ia muncul dalam wujud yang lain: sastrawan sebagai pesohor.
Pada mulanya media massa. Koran, majalah, radio, TV, bisa membuat kesusastraan diketahui publik luas, tapi juga membuatnya menyilaukan. Orang menatap, terpesona, tapi juga tak melihat dengan jelas. Media massa cenderung tergesa-gesa dan bicara kepada orang ramai yang hanya bisa dipertemukan dengan mempercakapkan sesuatu yang bersahaja. Maka, dari arus kesusastraan yang muncul adalah sesuatu yang gampang diingat: tokoh.
Di tahun 1950-an tulisan A. Teeuw tentang kesusastraan Indonesia modern diterjemahkan dengan judul Pokok dan Tokoh, Penelaah itu ingin menampilkan “tokoh” pengarang sebagai bagian dari “pokok” yang diekspresikan sebuah karya sastra. Tapi akhirnya “tokoh” lebih mencuat, “pokok” menciut. Terutama sejak pelajaran kesusastraan di sekolah tak dibawa untuk menikmati karya dan menelaahnya. Memilih jalan yang gampang, para guru hanya membawa murid mengetahui nama, judul karya, mungkin sinposis.
Maka sastrawan tak mati, kesusastraan yang mati. Telaah sastra yang serius kian jarang ditulis. Hampir tak ada lagi media yang bersedia memuat kritik sastra berhalaman-halaman, seperti dalam majalah Budaya Jaya yang terbit antara 1968-1979; kini hanya berkala Kalam yang meneruskan tradisi itu, dalam bentuk majalah on-line. Meskipun tak mudah mendapatkan tulisan yang layak, media seperti itu menyimpan harapan akan bisa memelihara percakapan kesusastraan yang bersungguh-sungguh tentang “pokok,” seperti di masa 1930-an sampai dengan 1970-an, ketika gagasan dan bentuk ekspresi adalah topik yang dibahas — bukan sastrawan dan kehidupan pribadinya, bukan anekdotnya atau pertengakarannya (lewat media sosial) dengan sastrawan lain.
Ada kelanjutan antara “sindrom pujangga” dengan “sindrom pesohor”. Keduanya meletakkan sastrawan sebagai pusat. Keduanya tak melihat ada pusat lain: dalam karya. Sastrawan jadi ego yang melambung.
Tapi bila para pujangga diharapkan berfatwa, para pesohor diharapkan heboh. Dan kritik sastra pun jadi gosip.
Goenawan Mohamad
June 27, 2015
Gembrot
Bukan kematian yang membuat seorang penakluk runtuh, melainkan kegemukan. Itulah yang terjadi pada Raja William ketika ia berusia 59.
Pada pagi di awal September 1087 itu, di sebuah pertempuran untuk menaklukkan sebuah kota Prancis, baginda terlontar dari atas kudanya. Perutnya yang membuncit menabrak bagian depan pelana dan ia tak bisa dengan tangkas menjaga keseimbangan. Ia terjungkel dan tewas.
Masalah yang timbul tak berhenti di situ. Ketika pemakaman dimulai, ternyata sarcophagus batu yang disiapkan untuknya terlalu sempit. Ketika para padri dan petugas mencoba menjejalkan tubuh gembrot itu agar bisa masuk peti mati itu, perut jenazah meletup. Bau busuk menebar. Para pelayat dengan cepat-cepat menyelesaikan upacara sambil menahan muntah.
Mungkin sejak itu orang berhenti menghubungkan tubuh besar dengan kewibawaan seseorang — setidaknya dalam kasus William Sang Penakluk.
Berkuasa di Inggris dan Normandia selama bertahun-tahun, mula-mula ia mungkin merasa bahwa tubuhnya yang makin memuai punya aura tersendiri. Tapi akhirnya ia juga sadar: ada yang salah dengan kegemrbotan itu. Raja Philip dari Prancis menyamakan perut raja Inggris itu dengan perut perempuan hamil tua. Dan ia tahu itu bukan sebuah pujian. Ia, seorang raja yang buta huruf, mencoba diet dengan ngawur: ia menggantikan makanan dengan minuman keras.
Tapi ia memang hidup di sebuah zaman dan sebuah kebudayaan yang memandang gemuk, bahkan gembrot, secara tak konsisten. Ketika bencana kelaparan masih sering terjadi, orang Eropa menafsirkan kegemukan dan pinggang tebal sebagai indikator ketahanan dan akhirnya jadi sebuah prestise. Maka ada masanya ketika beruang yang tambun jadi lambang kekuatan, meskipun kemiudian, pada periode lain lambang keunggulan yang tepat adalah singa: ramping di pinggang, perkasa di dada.
Tapi juga bisa dikatakan, sebelum abad ke-15 Eropa, ukuran tubuh tak relevan untuk ditampilkan dalam narasi bersama. Seperti ditunjukkan Georges Vigarello dalam (versi Inggris) The Metamorphosis of Fat: a History of Obesity, dalam gambar-gambar yang dibuat di atas permadani di abad ke-11 tentang para pendekar perang yang menaklukkan Inggris semua tokoh kelihatan seragam dalam ukuran dada dan pinggang — termasuk William.
Tentu saja itu berubah ketika teknik menggambar berubah dan pengertian perspektif ruang diperkenalkan dan “realisme” jadi acuan utama. Sampai abad ke-13, penampilan manusia dalam seni rupa Eropa tampaknya tak mempersoalkan perkara gemuk-kurus.
Sangat berbeda dengan citra yang tampak dalam wayang kulit di Jawa selama berabad-abad. Bentuk dan ukuran badan punya sugesti yang lebih jauh ketimbang perkara jasmani. Para ksatria, dengan Arjuna sebagai tauladan, umumnya ramping — bahkan kerempeng. Yang gembrot adalah pihak “lain”: para gergasi, buto, atau orang sabrangan. Dalam alam piktorial Jawa, kurus itu bagus; di dalamnya berlaku bukan semata-mata penilaian estetis, tapi juga moral.
Sebenarnya dalam sejarah Eropa — dan sejarah manusia umumnya — kecenderungan seperti itu juga selalu hadir. Terutama di dunia di mana rohaniawan berpengaruh. Gemuk menandai sifat tamak dan doyan. Kita dengan mudah bisa tahu bahwa menahan hasrat dan nafsu adalah tuntutan moral yang ada di mana saja. “Berhentilah makan sebelum kenyang”, petuah Rasulullah yang terkenal (meskipun sering diabaikan) tak hanya berlaku buat orang Islam.
Pada dasarnya agama-agama selalu menyiratkan sikap risau kepada tubuh. Tubuh adalah sesuatu yang harus dicurigai. Memang dengan demikian diakui yang jasmani punya peran yang besar dalam hidup, namun ada keyakinan dengan mengendalikannya manusia akan jadi makhluk yang selamat.
Dari sinilah kita bertemu dengan pertapaan. Bertapa menunjukkan sikap waswas kepada tubuh dan pada saat yang sama menyiratkan tuntutan moral untuk mengendalikannya. Seperti halnya puasa. Dalam arti ini, puasa adalah bertapa dengan cara yang bersahaja.
Upanishad, yang ditulis 800 tahun lebih sebelum agama Kristen dan Islam, menyatakan bahwa memang ada yang menyatukan puasa dan bertapa: laku menahan diri. Apa yang dikenal sebagai “puasa”, anâksayâna, (demikian ditulis dalam khanda ke-5) adalah brahmakarya, menahan nafsu dan hasrat. Begitu pula dengan apa yang dikenal sebagai kehidupan pertapa aranyâna.
Jika ada berbeda yang besar antara bertapa dan berpuasa , maka itu adalah dampaknya bagi kehidupan seseorang. Pada umumnya, bertapa adalah sebuah transformasi kehiduan. Sementara itu berpuasa selama sebulan umumnya tak mengubah life style.
Apalagi di abad ke-21. Kini orang menahan hasrat makan dan minum — seperti halnya diet — untuk kepentingan yang tak jauh jaraknya dari cermin dan timbangan di kamar: untuk kesehatan, kecantikan atau kegantengan diri.
Tapi agaknya pintu perlu dibuka.
Di Amerika Serikat, di mana takaran makan dan minum — dari popcorn di bioskop dan McDonald di sudut jalan — makin membesar dan makin menyebarkan wabah kegembrotan, puasa, dalam pelbagai variannya, bisa punya pengaruh bagi perubahan sosial. Obesitas telah terbukti membebani masyarakat dengan penyakit gula dan jantung yang merenggutkan tenaga-tenaga yang produktif dari sekitar kita. Kegagalan menahan hasrat telah terbukti ikut menyebabkan lingkungan hancur, bumi dikuras dan laut dikalahkan untuk melayani konsumsi yang tak habis-habisnya meningkat.
Lebih seribu tahun yang lalu William Sang Penakluk mangkat; ia dikenang bersama perut gendutnya yang pecah di peti mati. Gembrot, di zaman itu, adalah keberlebih-lebihan yang berakhir di kubur masing-masing. Gembrot, di zaman kita, tak seperti itu lagi: ia tanda sebuah kekalahan sosial.
Goenawan Mohamad
June 15, 2015
Bocah
Seorang bocah menggambar. Ia bayangkan seekor ular sanca menelan utuh seekor gajah. Dalam gambarnya, sosok gajah itu sudah tak tampak lagi. Yang kelihatan: perut si ular yang menggelembung.
Si bocah pun menunjukkan gambar itu kepada orang dewasa.
“Kau tak takut melihat ini?” tanyanya. “Kenapa harus takut melihat gambar sebuah topi?” jawab si orang dewasa.
Di situlah, sebagaimana diutarakan dalam Pangeran Kecil Antoine de Saint Exupéry, orang dewasa gagal. Mereka tak gentar, tapi itu karena mereka tak bisa membayangkan sesuatu yang lain dari apa yang kasat mata, yang praktis dan lazim. Mereka tak betah berbincang tentang ular yang menelan gajah di rimba yang aneh. Mereka lebih tertarik membicarakan “jembatan, dan golf, dan politik, dan dasi”.
Imajinasi telah mengering di dunia mereka — sebuah dunia yang terpisah dari kehidupan anak-anak yang berkhayal dan bermain.
Pangeran Kecil dengan lembut mengukuhkan keterpisahan itu: di satu pihak wilayah anak dengan keasyikan dan keindahan yang tersendiri; di lain pihak dunia orang dewasa yang dibentuk teknologi, uang, dan pertarungan. Buku kecil ini sebuah kritik. Ia menjauhi kehidupan yang dikuasai rasionalitas untuk meraih hasil. Saint Exupéry mengajak kita menyaksikan sebuah kehilangan yang bernama dunia modern. Kita tak bisa lagi mengatakan hahwa manusia tinggal di dunia secara puitis, “dichterisch wohnet der Mensch“, untuk memakai ungkapan Heidegger. Tak ada lagi padang pasir tempat kita berjumpa si pangeran kecil. Kini manusia menghuni dunia dan ia menghitung.
Beda yang tajam itu pernah dilukiskan Tagore dalam sajak terkenal ini: “Nelayan menyelam mencari mutiara, saudagar berlayar mengarungkan perahu, sementara anak-anak menghimpun batu dan menebarkannya kembali…”
“Menghimpun batu dan menebarkannya kembali” adalah kegiatan yang dicerca di dunia orang dewasa, dunia modern, karena tak produktif.
Tentu saja Tagore, sebagaimana Saint Exupéry, tak hendak menyebut bahwa sebenarnya tak ada batas yang kedap antara dunia yang “mencari mutiara” dan dunia anak yang hanya bermain dengan batu dan ombak.
Terutama ketika pengertian “anak-anak” belum tergaris tegas.
Ada masa dan tempat di mana akte kelahiran tak dikenal dan orang tak menandai persis tanggal dan tahun dalam hidupnya. Belum ada sekolah yang menentukan batas umur murid. Belum ada administrasi kota yang meminta kita mengisi formulir untuk KTP. Di dalam lingkungan itu, perjalanan hidup manusia dari bayi hingga mati ditandai dengan ritus: sunat, potong gigi, pingitan, membunuh hewan buruan. Jarak antara “masa kanak” dan “akil balig”” praktis pendek atau berbatas kabur Apa yang kini dilihat sebagai “buruh anak-anak” jangan-jangan bukan kejahatan, hanya karena tenaga kerja tak dibedakan umurnya dan semua anggota keluarga harus cari nafkah. Di daerah pertanian yang melarat, anak adalah bagian alat produksi.
Dengan kata lain, konsep “bocah” tak datang sejak awal kehidupan sosial. Ia sebuah konstruksi masyarakat, sebuah sebutan yang ditemukan sesuai dengan perkembangan sejarah.
Mungkin sebab itu kita tak pernah melihat tokoh anak dalam wayang kulit atau golek, bahkan ketika dalang mengisahkan lahirnya Gatotkaca. Phillipe Ariés, yang menelaah sejarah anak-anak di Eropa, menunjukkan bahwa di sana pun sampai sekitar abad ke-12 seni rupa “tak kenal masa anak-anak dan tak mencoba menggambarkannya.” Bayi Ismail dari Perjanjian Lama dilukiskan dengan otot perut lelaki dewasa. Bayi Yesus baru tampak sebagai bayi di abad ke-14 seni rupa Italia.
Dalam kehidupan sehari-hari, di masa itu, anak memang bukan kehadiran istimewa yang terpaut di hati. Kematian lumrah. Bocah gampang datang dan pergi. Ariés mengutip Montaigne, penulis esei termashur itu: “Aku telah kehilangan dua atau tiga anak di masa kecil mereka, bukannya tanpa sesal, tapi tanpa duka cita yang dalam.”
Baru kemudian, anak-anak mengambil posisi sentral. Di masa lalu yang lebih miskin, ketika lampu belum ditemukan dan malam adalah jam panjang yang gelap, anak-anak tidur bersama sekamar dengan orang dewasa. Ketika kehidupan makin baik, dan kebutuhan makin beragam, mereka mendapatkan kamar sendiri. Pakaian mereka tak lagi hanya miniatur pakaian orang tua. Model baju mereka lain, seperti tampak pada potret si kecil yang dipasang di mana-mana.
Sejak itu, masa depan tergaris bersama anak-anak. Kindergarten muncul di tiap sudut: persiapan ke tahap pendidikan sesudahnya. Di Indonesia, sejak kelas menengah tumbuh, majalah seperti Ayah Bunda jadi penting: yang baru jadi orang tua butuh bimbingan untuk mengantar buah hati mereka dari sejak awal. Di Jepang, orang tua mendera anak-anak mereka sejak usia dini agar jadi murid yang 12 tahun kemudian bisa masuk ke universitas terkemuka. Harapan dibangun dengan rasa cemas.
Maka sebuah paradoks baru muncul: ketika anak jadi makhluk spesial, mereka juga jadi proyek. Mereka disiapkan jadi penerus orang tua, baik dalam iman maupun harta. Mereka tak dibayangkan mandiri, sebagai pembaharu apalagi pembangkang. Masa kecil yang spontan pun hilang: si bocah tak lagi “menghimpun batu dan menebarkannya”, melainkan sejak dini berangkat “mencari mutiara”. Kontrol diberlakukan, dan kadang-kadang tak jelas mana bimbingan dan mana penganiayaan.
“Semua orang dewasa dulu juga anak-anak….tapi hanya sedikit yang ingat itu” — Antoine de Saint-Exupéry, Pangeran Kecil.
Goenawan Mohamad
June 10, 2015
Pyadasi
Di pilar batu karang setinggi 15 meter itu terpahat 14 titah yang tak mati-mati. Diukir pada abad ke-2 Sebelum Masehi, sabda itu datang dari Pyadasi, atau Devanampiyadasi, raja yang membawahkan wilayah yang kini jadi bagian utama India.
Hampir semua barisnya mempesona, tapi yang terasa menggugah adalah titah yang ke-7:
“Baginda Devanampiyadasiberkehendak semua agama ada di mana saja, sebab semua menghendaki pengendalian diri dan kemurnian hati…”
Kemudian diketahui sebutan lain Devanampiyadasi adalah Asoka — nama yang kini praktis terkait dengan “perdamaian”, penanda yang mengacu kepada tauladan Budhisme. Kita kagum, karena titah itu dari seorang raja yang justru meyakini agamanya sendiri.
“Baginda Devanampiyadasi menghormati para pertapa dan pemangku rumah tangga dari semua agama, dan ia menghormati mereka dengan berbagai anugerah dan kehormatan. Tapi Baginda tak menghargai anugerah dan kehormatan sebagaimana ia menghargai ini: ketika orang menumbuhkan apa yang hakiki dalam agama. Orang menumbuhkannya dengan cara yang berbeda-beda, namun semuanya berakar pada pengendalian diri dalam bicara, baik ketika memuji-muji agama sendiri, atau pun ketika mengecam agama orang lain….Siapa pun yang memuji agamanya sendiri, karena kebaktiannya yang sungguh-sungguh, dan mengecam agama lain dengan niat “Biar kuagungkan agamaku sendiri”, hanya akan melukai agama sendiri… Orang harus mendengarkan dan menghargai keyakinan yang dipeluk orang lain. Baginda Piyadasi ingin agar semua orang belajar bersungguh-sungguh ajaran yang baik dalam agama lain.”
Dibaca di hari-hari ini, ketika kecurigaan antar agama jadi kebencian, saya tak tahu bisakah keinginan raja yang baik hati itu bertahan.
Titah Asoka pernah tenggelam selama 700 tahun, sampai pada 1915, setelah para arkeolog menemukan sebuah pilar yang tersisa yang menyebut namanya. Kemudian Republik India mengadopsi lambang perdamaian Asoka yang Budhis itu ke desain bendera nasional, meskipun mayoritas penduduk beragama Hindu. Tentu karena maknanya melintasi batas apapun. Dari Tibet, dan di pengasingannya, Dalai Lama mengutarakan pesan yang sejajar dengan titah perdamaian di pilar karang itu.
Tapi jangan-jangan tak ada efek besar yang terjadi. Jangan-jangan pesan Pyadasi sederet klise yang mudah disingkirkan. Di awal ke-21, persisnya 30 Mei yang lalu, BBC menyiarkan sebuah reportase tentang Budhisme yang berbeda — yang keras dan kelam.
Di sebuah kuil kecil di bagian pinggir kota Kolombo, Sri Lanka, kita dipertemukan dengan Galagoda Aththe Gnanasara Thero. Di atas jubah warna merah menyala itukita bertatapan dengan wajah yang angker. Kita segera tahu rahib ini bukan titisan Asoka.
Asoka mengirim pesannya ke seluruh penjuru, dengan bahasa Brahmi maupun Yunani dan Aramaik, dengan kepercayaan bahwa ada yang akan mempersatukan manusia dalam perbedaan yang besar. Sebaliknya Gnanasara Thero. Ia bersiteguh: Budhisme-nya adalah nasionalisme dengan dasar ethnis.
Ia orang Sinhala yang merasa jadi “pribumi” Sri Lanka. Baginya, negerinya sedang dihancurkan “orang luar” — artinya orang Tamil dan orang Muslim.
“Kami mencoba…kembali ke negeri bangsa Sinhala,” kata Gnanasara Thero. “Kita akan siap berkelahi, sampai itu tercapai”.
Ia pun membentuk BBS, Bodu Bala Sena, organisasi yang sejak 2012 aktif ke jalan-jalan. BBS menyerbu tempat orang Muslim menyembelih hewan, atau bahkan mendemo sebuah fakultas hukum karena dianggap hasil ujian telah dipelintir untuk mengutamakan mahasiswa Muslim.
Tak hanya itu. Wartawan BBC, Charles Haviland, berkunjung ke kota kecil Aluthgama. Juni 2014, tiga orang tewas setelah Bodu Bala Sena menyelenggarakan rapat anti-Muslim di kota itu. Haviland bertemu dengan keluarga Muslim yang rumahnya habis dibakar dan tinggal di gedung sekolah sebagai pengungsi.
Muslim adalah asing, kata Gnanasara, sambil melupakan bahwa orang Muslim telah berabad-abad berakar di negeri itu.
Tapi BBS juga melakukan kekerasan terhadap orang seagama yang tak sependapat. Vijitha Thero, seorang pendeta Budha diculik karena ia menentang aksi-aksi anti-minoritas. Ia dibikin tak sadar dan disunat secara paksa. Ketika pendeta itu mengungkapkan keluhan masyarakat Muslim dalam sebuah konferensi pers, para anggota BBS menyerbu. Gnanasara mengancamnya: “Jika kau terlibat lagi dengan perbuatan khianat yang bodoh, kau akan diambil dan dibuang ke Sungai Mahaweli”.
Dan orang pun bergidik: di sungai itu, pada 1989, puluhan mayat terapung-apung setelah 60 ribu oposan pemerintah musnah.
Tampaknya di tiap agama kita ketemu Gnanasara, tokoh yang beriman — dengan iman sebagai dasar pembersihan dan penaklukan.
Asoka sendiri bermula sebagai penguasa yang bengis. Seorang pengelana dari Tiongkok, Yuan Chwang, mencatat di kerajaan India itu ada sebuah penjara yang disebut “Neraka Asoka”. Tapi raja ini punya nasib dan pekerti yang lain. Suatu hari ia menyaksikan seorang suci yang dihukum di dalam air mendidih dan menerima nasibnya dengan tenang. Pada waktu itu pula pasukan kerajaan membantai suku Kalinga habis-habisan. Kekejaman itu akhirnya kesia-siaan dan penaklukan itu kekosongan — dan sejak itu Asoka berubah.
Ia menemukan apa yang tenggelam di bawah tahta dan nafsu berkuasa: sifat sakral dunia sehari-hari. Yang sakral hadir ketika kita merenung, peka dan bertanya, “berpikir bukan dalam arti menghitung-hitung”, kata Julia Kristeva, bukan dalam niat menguasai makhluk yang lain. Dan ketika yang sakral kembali, hidup pun dengan bersahaja disyukuri.
Goenawan Mohamad
June 5, 2015
Tempo, A Lingual Story
In 1971, with a small group of writers and journalists I founded Tempo, the first magazine in Indonesia modeled after weeklies like Time, l’Express, and Der Spiegel. There were many reasons why we did it, but one of them had something to do with language.
The Indonesian language, of which the base is Malay, is unique in its political history. Since previous centuries, it has been adopted, albeit inconsistently, as a lingua franca by the Patanis in South Thailand, people of Malaysia, Singapore, Indonesia, Southern part of the Philippines and Timor Leste.
In other words, Indonesians’ national language is not an infixed legacy of colonialism — Dutch colonialism that is. Neither it is an expanded medium of communication generated by a majority culture. In fact, the beginning of Indonesian print-capitalism that spread the use of the language was led among others by the so-called “non-indigenous” minorities, the ethnic Chinese. In addition to that, Indonesian has never had an established centre of excellence preserved by a ruling class. The attempt to create a hierarchical standardization has never been a success.
In short, it is a democratic language par excellence, created by different paroles. It is no surprise that it becomes a natural part of the political. Hence, as early as 1920s, the language was not merely a medium of nationalist, or anti-colonialist, ideas; it was, in itself, a nationalist expression. It was chosen as an act against the residue of the colonial language policy and simultaneously a break-away from local forms of orality and literacy nurtured by provincial (“feudal”) aristocracies. In other words, it is part of the process of internalizing the idea of “Indonesia” which, as Benedict Anderson famously puts, is an “imagined community”.
The link between the Indonesian language and the political is, however, not always in a placid state. Especially when the political — or la politique, in Ranciere’s use of the word — is submerged by the need to stabilize political groupings and identities. This leads to the production of a reiterative (and persistent) lexicon, articulated in slogans, catchphrases, and empathic acronyms.
The decade between the 1950s and the 1960s saw such a trend in the Indonesian language — especially during the period of the “Guided Democracy” with its “Third-World” revolutionary fervor.
Sukarno, a charismatic orator addressed as “the Great Leader of the Revolution”, charged the language with words like “Manipol” (Manifesto Politik or “Political Manifesto”, the name of one of Sukarno’s doctrines), “Resopim” (Revolusi-Sosialisme-Pimpinan or “Revolution-Socialism-Leadership”), “kontrev” (kontra-revolusi or “counterrevolutionary’), “nekolim” (neocolonialism), “plintat-plintut“, a Javanese mocking phrase for an ambivalent political position — later to be abbreviated into a popular acronym, plin-plan..
The spread of such a wordlist, rather belligerent and Orwellian in its temper, was wall-to-wall. Sukarno’s “Guided Democracy” organized days of “indoctrination” for all levels of the society. State-controlled radio and television were used for a state-controlled mass-communication. The printed media were required to publish, on a regular basis, Sukarno’s “teachings”.
In 1966, Sukarno was dethroned. The “New Order”, under the leadership of Suharto, a former Army general, began. This regime that replaced the “Guided Democracy” was basically a bureaucratic-authoritarian administration, forged by the military and propelled by the idea of “development” (pembangunan). The social engineering was less to create a sense of solidarity among citizens than to control life. The political format was shaped not as a rostrum of communication but a schema of manageability. Hence the predominant use of the language was not to spark political passion like it was during Sukarno’s rule, but to put people and ideas in line. It was the language of the Police.
Of course, there were carry-overs from the repressive system of the “Guided Democracy” — the mass-media, for one, remained under the scrutiny of the government. But a crucial difference marked the role of language: the New Order’s official speeches and statements were largely an extension of bureaucratese. Even the Presidential address on the National Day, true to Suharto’s reserved and taciturn bearing, was not meant to inspire; it was prosaic and toneless, like an annual CEO’s report in a public company meeting.
In day to day communication, new acronyms were introduced. Unabashedly they were shadows of words picked from coded military glossary — inflexible in their constructs and largely unpronounceable. The Minister of Culture and Education, or Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, for example, was acronymed “Mendikbud“; The Commander of the Security and Order Branch, or Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban, became “Pangkopkamtib“; cases of thefts of motor-bikes, in the police parlance became “curanmor“, a cut-out of pencurian sepeda motor:
Having a language with thousands of polysyllabic words, Indonesians are prone to truncate utterance. The hidden power of acronyms is, however, not always recognized. During the revolutionary, semi-totalitarian, atmosphere of the “Guided Democracy”, acronyms were created in aggressive and emotive modes, as language was the regime’s primary political weapons. Accordingly, they often had a stupefying, and sometimes intimidating, impact. When words like “nekolim” or “kontrev” were pronounced, a sense of danger and hostility loomed in the verbal sphere. Phrases could come and go unquestioned. Lucidity was not the drift of the day.
In contrast, the “New Order” body of acronyms had less aggressive or emotive intent, except for a few when the regime adopted the polemical style of the previous era. Suharto’s rule denied the political as dissensus or antagonism; meanwhile, being persuasive — or having an emotional appeal — was not his forte. Despite its monotony, the New Order’s language was no less corrosive in its impact. Words like “Repelita” (Rencana Pembangunan Lima Tahun, or Five Years Development Plan), “litbang” (penelitian dan pengembangan, or research and development), “poleksos” (politik, sosial, ekonomi or political, social, economic affairs), and “koramil” (komando rayon militer, or “sub-district military command) were all over the place. Their real meaning disappeared. As their connotative contents changed, in their place emerged a blurred concept of power. The inquiring mind of the interlocutors stayed timid, or even stifled, in the margin.
In the 1960s and the 1970s, the story of the Bahasa Indonesia was not exactly a case of a “lost language” like the German in the wake of Hitler’s fall as described by Hans Magnus Enzensberger — when words like Raum and Blut were so corrupted that they were no longer usable for poetry. Still, there is a parallel: the trend to promote abstract nouns in daily discourse. In Hitler’s lexicon, Raum and Blut were no longer sensuous, particular, “things”; they became concepts on par with Plicht and Zucht. In the Indonesian case, perjuangan and pembangunan (abstract nouns derived from verbs berjuang dan membangun) became regular substantives even in the colloquial speech. Over time, Indonesian media tend to use phrases like “mengalami kenaikan ” (literally “experiencing a rise”) instead of “naik” (as a verb, “to rise”). The trend remains visible even today: the depreciation of verbs. Action and performance are becoming unrecognized phenomena.
Such was the linguistic context when we published Tempo. We chose it to be a news magazine, implying our preference for events, happenings, action, and movements in concreto. Like other magazines of this kind, Tempo produces reports of events in a narrative form or as a “news story”. The “who”, the “what”, the “where”, and the “how”, are to be described in details. The “when” is to be recounted as processes, with their implicit suspense- in-time.
It was no coincidence that the first batch of Tempo’s editorial team was a group of writers, including three novelists and one playwright. I started a “language policy” by banning official acronyms from the magazine’s pages. When necessary, we created our own abbreviations, less militaristic in their tone and their form. What is important is to make the word more pronounceable and open for analysis.
Hence spelling is treated with care, not only to follow the correct linguistic rule but also to induce what may be called “lexical alertness.” In Tempo, no writers writes “dirubah” but “diubah” since she or he, trained to analyze morphological construction, will notice that the base of the word is “ubah” (meaning transform) and not “rubah” (meaning “fox”). In the same vein, a writer is expected to avoid common mistakes; she or he shall not write “di langgar” (to be in a rural prayer house) when what she or he means is “dilanggar” (to be trespassed); she or he should be aware that the signan can be similar but the signatum has two entirely different meanings.
Clichés, which gave the regime the power of repetition, are our main anathema. Therefore verbal innovativeness to expand the list of synonyms is an important part of Tempo’s policy. A good thesaurus is a bulwark against the onslaught of the language of the Police — the language of inflexible phraseology. We also believe that journalistic writing is a way to produce novelty.
The word “santai“, for instance, is Tempo’s successful neologism of the late 1970s. Its history is typical. We wanted to have an Indonesian equivalent of “relax“, a word borrowed from the English vocabulary; we wanted the synonym to be more phonetically at home with the world of Indonesian orality. During an editorial meeting we happily learned that there was such a word in the Komering tongue, a South Sumatranese dialect: “santai“. We put it in our writings. In no time, it has been part of everybody’s vernacular.
Next to maintain its link with the vernaculars, Tempo’s language made a deliberate attempt to revitalize old, forgotten phrases and proverbs. “Konon“, used in the old Malay story telling, was transformed into a succinct translation of a journalistic lingo “it is reported that…”. When a reportage is treated like a story, konon goes well with the flow.
Tempo hit the market for the first time when the state-run television began to dominate Indonesian source of information. As follows, it was imperative to create an alternative medium; Tempo’s style of news story was geared to meet the purpose. Basically our lingual strategy was (and still is) to present interesting, concise and informative pieces of writing, imbued with a bit of humor and playfulness, with the aid of attractive visual packaging.
It is commonly recognized that the key to Tempo’s survival under the repressive watchfulness of the New Order was its skill in saying things “between-the-lines”. Sometimes I joke that between the lines there is an empty space. But I think there is a bit of truth in the description: censors are fundamentally dour people with one-track mind who are prone to miss the play of variance in a good prose.
Of course, at the end of the day, a good prose is never a safe place to deal with the brutal machine of power. In 1994, the magazine was banned for the second time by Suharto. The dictator wanted us to write servilely constructed stories. We refused.
Goenawan Mohamad
June 2, 2015
Lain Ladang
Bumi terbentang dengan sejarah tanda yang berlain-lainan. Huruf, cara bicara, cara mengucapkan, bermula pada kelaziman ribuan tahun, yang berkait dengan kebiasaan lidah, bibir, tenggorokan, dan anggota tubuh lainnya. Tempat dan waktu berperan di dalamnya. Makna dibentuk dalam proses itu.
Itu sebabnya orang Jawa punya huruf dan cara mengucapkan kata yang berbeda dari orang Slowakia atau Arab. Dalam deretan “hana-caraka”, kita tak akan menemukan huruf yang merekam bunyi “x” atau “z”. Sebaliknya dalam alfabet Latin yang merekam bunyi bahasa Prancis, tak ada huruf yang sepadan dengan “dh” Jawa, yang membedakan “wedi” dengan “wedhi”.
Maka orang Jawa, setidaknya di masa sebelum mengenal huruf lain, melafalkan “Abdul” dengan “Ngabdul”, “Ali” dengan “Ngali”, “fikir” dengan “pikir”, dan umumnya bingung bagaimana harus melafalkan “kalifatullah”. Atau bahkan “Allah”. Ketika ibu saya menyebut “ndilalah kersaning alah” ia, seperti jutaan orang Jawa lain selama berabad-abad, bermaksud menyebut nama Tuhan, yakni “Allah” dalam bahasa Arab, dengan “alah”. Kini saya bisa mengerti kenapa ada yang mengeja “Allah” dengan “owoh” dan merasa itu bukan salah-tulis.
Dewasa ini, dengan semangat “pemurnian” agama. ada yang menganggap bahwa ada satu cara mengeja yang murni dan sebab itu benar dan satu lafal yang sahih. Mereka mengabaikan sejarah, lokalitas dan adat tubuh yang berlain-lainan — yang semuanya bukan dosa. Kecuali jika kita menganggap Sunan Kalijaga di abad ke-15 berdosa.
Saya tak berbahasa Cina. Tapi saya tahu bahwa bahasa ini mempunyai sistem huruf yang “ideogramatis”: makna dituliskan dari gambar, seperti dalam hieroglip Mesir. Sebab itu bahasa ini memakai prosedur yang cukup rumit untuk mengasimilasikan kata asing, ketika dunia luar makin deras masuk ke Tiongkok: makna kata asing itu harus dituliskan dengan satu bentuk mirip gambar, tapi sedemikian rupa hingga bisa dibunyikan mirip dengan aslinya.
Saya sering bertanya, dan belum dapat jawab, bagaimana orang Muslim Tiongkok menuliskan kata “Allah”?
Jika saya lihat potret perayaan Ramadhan di negeri itu, saya menduga makna “Allah” dituliskan sama dengan penulisan konsep “Tuhan” umumnya dihurufkan dalam bahasa Cina — yang kalau tak salah berarti “Maharaja Langit”. Musrik? Menyimpang?
Pertanyaan ini bisa juga dikemukakan jika kita ikut shalat Idul Fitri di Beijing: di sudut-sudut mesjid dipasang “hiu” untuk mewangikan ruang — sedikit seperti di kelenteng di Singkawang. Beberapa tahun yang lalu, ketika saya mengajar sebentar di di Royal Melbourne Institute of Technology, ada seorang mahasiwa Muslim dari Tiongkok. Saya pernah dengar bagaimana ia membaca surah, meskipun lirih, waktu shalat. Dari mulutnya ada sesuatu yang mengingatkan saya akan kemerduan Opera Peking.
25 Mei 2015.
Perihal Surat Lia Eden
Pemimpin sekte Kerajaan Tuhan Edan, Lia Aminuddin atau Lia Eden, mengirim sepucuk surat kepada Presiden. Ia meminta izin Kepala Negara untuk mendaratkan UFO di Monumen Nasional (Monas) Jakarta.
UFO yang akan datang itu, menurut Lia Eden, akan mengangkut Malaikat Jibril.
Saya pikir permintaan Lia Eden layak didukung. Kedatangan satu pesawat UFO di Jakarta akan menjadi atraksi turis dalam negeri dan luar negeri — dan membantu program Dinas Pariwisata DKI. Hadirnya Malaikat Jibril di Indonesia juga bermanfaat. Ia diharapkan dapat mendesak Kabareskrim Budi Wasesa agar mau melaporkan jumlah hartanya kepada KPK. Sementara itu, awak UFO yang dibawa ke Jakarta bisa diminta membantu persiapan teknis pembuatan film jenis Star Trek oleh Garin Nugroho (“Star Trek van Java”).
Yang perlu dijelaskan Lia Eden, terutama kepada pengelola Monas, berapa ukuran UFO yang akan datang. Kalau terlalu besar, pendaratan mungkin harus dipindah ke Sentul. Kalau ukurannya kecil, saya persilakan UFO itu mendarat di Teater Atap Salihara, Pejaten, Jakarta Selatan. Peta bisa dilihat lewat salihara.org. Kami menyediakan “welcome drink”, berupa wedang uwuh.
30 Mei 2015
Cinta
— untuk Haidar Bagir.
Cinta: sebuah pengertian yang menggetarkan hati dan membingungkan selama berabad-abad, sepatah kata yang dengan mudah jadi banal tapi juga bisa membuat orang merelakan dirinya sendiri. Kita tak bisa merumuskannya. Ia bukan bagian dari yang secara konseptual kita ketahui.
“Cinta tak punya definisi,” konon demikianlah kata Ibnu Arabi, sufi dan pemikir kelahiran Spanyol dari abad ke-12 itu dalam risalahnya, Futuhat. “Ia yang mendefinisikan cinta berarti tak mengenalnya…sebab cinta adalah minum tanpa hilang haus.”
Cinta: kita hanya menangkapnya sebagai proses. Ia tak pernah bisa dipotret utuh. Seabad kemudian, Jalaluddin Rumi, sufi yang paling masyhur mengungkapkan pengertian itu, menyebutnya Ishq, Cinta adalah “laut ke-Tak-Ada-an,” kata Rumi. Tabir kerahasiaan selalu mengerudunginya. “Apapun yang kau katakan atau lakukan untuk menanggalkan tabir itu, kau akan menambahkan selapis tabir lagi di atasnya”. Menemui Cinta, “intelek lumpuh kakinya”.
Agaknya karena itu, dalam ribuan baris Masnawi dan diwannya, Rumi hanya mengemukakannya dalam kiasan, dalam alegori dan dalam bentuk negasi — dengan sederet kata bukan: Cinta adalah “sebuah pohon yang tegak bukan di atas tanah bukan di atas pokok, bahkan bukan di mahkota Surga.”
Mungkin Cinta hanya jelas sebagai antitesis. Dalam renungan Rumi, Cinta sering nampak sebagai kekuatan di kubu yang berlawanan dengan nalar. Sementara intelek atau nalar sibuk menerangi ruang dan meraih dunia, Cinta punya hidup dan aktivitasnya sendiri:
Nalar menegakkan pasar
dan mulai berdagang
Cinta menyimpan kerja
dalam persembunyian
Orang yang mencintai, kata Rumi pula, “menemukan tempat-tempat rahasia di dunia yang penuh kekerasan ini.” Di sanalah mereka “melakukan transaksi dengan keindahan”.
Tapi tempat seperti itulah yang tak diakui “Nalar”.
Omong kosong, ujar Nalar.
Aku telah berkeliling dan mengukur dinding
dan tak kujumpai tempat seperti itu.
Kontradiksi antara Cinta dan Nalar — atau semacam sikap anti-nalar — bukan cuma disuarakan para Sufi Islam di zaman Ibnu Arabi dan Rumi. Di abad ke-20, terutama di Eropa, sejak berkecamuk krisis kepercayaan kepada rasionalisme, beberapa pemikir juga menegaskan pertentangan atau ketidak-cocokan itu.
Di tahun 1930-an di Prancis, Bergson mengumandangkan pengertian élan vital, dorongan hidup yang terus menerus mengalir dan tumbuh, bukan kehadiran yang statis. Ilmu, yang disusun intelek/nalar, tak akan mampu menerjemahkannya. Nalar mampu menganalisa, menganalisa berarti mengurai, tapi untuk itu kita harus memandang sebuah proses yang bergerak terus seakan-akan mandeg. Sebuah lagu menghanyutkan atau menggugah perasaan kita: intelek bisa mengurai lagu itu jadi deretan not, dan dengan cara itu kita menghitung tinggi-rendahnya nada. Tapi dengan demikian lagu itu seakan-akan benda yang “berhenti”; kita tak mendengarkan lagi merdunya.
Baru lagu itu bisa hadir sebagai alun yang bergerak, menggetarkan, jika kita berangkat dengan intuisi. Hanya dengan intuisi, kata Bergson, kita bersua dan menangkap élan vital yang menggerakkan kehidupan.
Saya pikir élan vital itulah yang dalam peristilahan Rumi disebut Ishq dan dalam istilah yang lebih lazim disebut Cinta.
Ishq anti-mandeg. Ia lawan kebekuan. Ia menampik ide yang jadi dogma dan hidup yang diterjemahkan dalam bilangan hari. Ia menolak akal yang membuat kalkulasi untuk mencapai satu tujuan. Ia tak patuh kepada “akal instrumental” yang efektif buat menaklukkan alam, menjadikan dunia sebagai obyek, menghimpun modal (“menegakkan pasar”, dalam kata-kata Rumi di atas), dan menguasai sesama.
Maka Cinta tak akan bisa hidup bersama perhitungan untung rugi, tak bisa dipakai dalam siasat politik. Juga tak bisa menerima doktrin yang membekukan pikiran dan perasaan — doktrin yang ampuh untuk mengukuhkan kekuasaan. Cinta berani lepas dari itu semua. Ia mengembara, mencari terus menerus, mencoba memasuki misteri yang dihadirkan Tuhan.
Agaknya bukan kebetulan jika Cinta — yang bergetar di dasar hidup para sufi — terasa intens sebagai perlawanan ketika kekuasaan jadi tujuan hidup orang-orang yang seharusnya dekat dengan Tuhan.
Di abad ke 11 dan 12, dari Baghdad sampai dengan Kairo, para qadi yang jadi hakim agung agama tak jarang menggunakan kekuasaan mereka untuk hidup nyaman. Di masa itulah, Sanai, penyair sufi kelahiran Afghanistan, menulis Hadiqat al-haqiqat (Kebun Kebenaran) dan mencerca hakim agama yang “menuliskan fatwa menyerukan pertumpahan darah, digerakkan niat keji, kebodohan dan sifat tamak”. Ia caci mereka sebagai para ulama yang seraya “menerima suap, menggariskan aturan”.
Perlawanan terhadap kebusukan itu juga yang mendorong Sanai menjauh dari godaan kekuasan. Ia bertemu dengan seorang sufi, dan sejak itu ia melepaskan jabatannya di Istana Ghaznavid Bahram-shah.
Kisah yang lebih terkenal adalah bagian dari otobiografi Al Ghazzali, al-Munqidh min al-Dalal (“Selamat dari Sesat”). Dalam Rumi: Past and Present, East and West, Franklin D. Lewis menguraikan dilema yang dialami ulama besar pada abad ke-12 itu: Al Ghazzali menikmati posisi yang makmur sebagai tokoh agama yang jadi pengajar utama Perguruan Nazimiyah di Baghdad, tapi ia juga tahu integritas dirinya pelan-pelan rusak. Selama hampir enam bulan ia terombang-ambing “antara daya tarik duniawai dan dorongan ke kehidupan yang kekal”. Akhirnya ia meninggalkan kota besar yang gemerlap itu, Baghdad; ia pergi mengembara.
Ia mungkin bukan digerakkan Cinta seperti Rumi. Tapi ia tahu Tuhan tak ada di dekat kursi tempat orang pamer kepandaian dan memajang kealiman. Ia tahu Tuhan tak dapat dijangkau dengan nalar laba-rugi; sang sufi memilih Cinta dan sunyi.
Goenawan Mohamad.
May 25, 2015
Li Changgeng, Marx dan Uang
Teks kuliah untuk Universitas Parahiyangan, Jurusan Filsafat.
[1]
Uang dan tangisan: di wilayah Jiangyou, Propinsi Sichuan, Tiongkok, seorang-tua yang hampir berumur 70 bercerita tentang masa lalunya sebagai juru tangis. Ia pemain oboe Cina, suona, tapi di masa lampau ia juga mendapatkan nafkah dengan menyewakan tenaganya untuk menangis di saat perkabungan ketika seseorang meninggal.
Liao Yiwu, sastrawan Tiongkok yang mendokumentasikan wawancaranya dengan orang-orang yang hidup di jenjang terendah masyarakat, meletakkan orang tua itu di awal buku The Corpse Walker yang berisi terjemahan dari sebagian karyanya, Wawancara dengan Orang-orang di Anak Tangga Terbawah.
Nama juru tangis itu Li Changgeng. Sejak umur 12, ia bekerja dengan keahlian ini bersama grupnya.
“Kebanyakan orang yang kehilangan anggota keluarganya meledak tangisnya dan mulai meraung-raung ketika memelihat tubuh si mendiang,” cerita orang tua itu. “Tapi raungan mereka tak bertahan lama. Rasa sedih segera akan merasuk ke jantung, mereka terguncang atau pingsan. Tapi bagi kami, begitu kami bisa dapat suasana hati yang pas, kami kendalikan emosi dan dengan mudah kami membuat improvisasi. Kami bisa meraung lama, selama yang dipesan”.
Lalu tambahnya: “Dalam upacara pemakaman besar, jika bayarannya bagus, kami bikin banyak improvisasi untuk menyenangkan hati tuan rumah”.
[2]
Cerita Li Changgeng adalah cerita tentang duka cita yang bisa dipertukarkan. Dalam hal ini, dipetukarkan dengan upah — umumnya berarti uang. Raungan dengan nada sedih itu berujung menjadi komoditas: sesuatu yang punya “nilai tukar” dan ditawarkan di pasar, artinya kepada khalayak ramai.
Li melarat, tapi jika kita ikuti hasil wawancaranya, tak bisa dikatakan ia hidup sengsara bertahun-tahun. Permintaan untuk jasa yang ditawarkannya tak pernah berhenti; penghasilannya justru bertambah di masa Tiongkok terkena kelaparan, ketika tak ada hari tanpa orang mati. Tapi apakah yang juga terjadi?
Ia bekerja memproduksi dan menjual suara raungan berkabung. Ekspresi-duka-citanya adalah “emosi” yang sudah di-obyek-kan — “perasaan” yang menjadi obyek — yang, karena punya “nilai-tukar”, bisa (dan selalu) ia transfer ke dalam bagian kehidupan orang lain. Dengan kata lain, “dukacita” itu sebenarnya telah berpisah, ke luar, dari dirinya. Tangis itu bukan datang dari perasaannya. Bertahun-tahun menjalankan pekerjaannya, Li mengakui: “Lama kelamaan, kami tak punya perasaan lagi.”
Proses atau peristiwa alienasi terjadi di sini. Die Veräusserung ist die Praxis der Entäusserung, kata Marx menguraikan fenomena itu. “Menjual adalah praktik alienasi”.
Kata “alienasi” sebagai terjemahan Entäusserung bermula dari penggunannya dalam risalah-risalah bahasa Inggris yang terkadang mencampur-adukkannya dengan Entfremdung, “keterasingan”. Dalam konteks pemikiran Marx, Entäusserung lebih dekat ke pengertian “eksternalisasi”. Akar katanya, äusser, berarti “(di) luar”; awalan Ent menunjukkan langkah masuk ke dalam sebuah situasi baru, (atau langkah melepaskan sebuah keadaan lama). Dalam bahasa Indonesia kita tak dapat menerjemahkannya dengan “pengeluaran”, sebab akan menyesatkan; kata “pengeluaran” sering berarti “jumlah uang yang ke luar”. Seperti Veräusserung, dalam arti “tindak menjual sesuatu”, kata “pengeluaran” berkonotasi netral. Sebaliknya Marx memberi warna negatif kepada kata Entäusserungyang kita terjemahkan menjadi “alienasi” itu.
Saya tak tahu persis kapan Marx menyebut persoalan alienasi pertama kali. Namun paling jelas ia menguraikannya dalam polemiknya dengan Bruno Bauer, sebuah risalah yang dikenal berjudul Zur Judenfrage (versi Inggris, On the Jewsih Question). Di sini kita baca kritiknya yang berapi-api kepada agama.
Kita tahu, bagi Marx agama sebuah ilusi yang represif. Manusia, katanya, berada dalam “cengkeraman agama”, ketika ia hanya sanggup memberi arti bagi kodrat dirinya dengan mendirikan sesuatu “yang asing, yang fantastis” — Tuhan.
Demikianlah manusia meraut arca, sebagai ekspresi kerinduan atau ketakjubannya kepada sesuatu yang agung dan gaib, tapi begitu jadi patung, ekspresi itu pun seakan-akan terlepas dari dirinya dan tumbuh mandiri — dan manusia menyembahnya. Ia makin lama melihat berhala ciptaannya itu sesuatu yang lebih perkasa ketimbang dirinya. Sama halnya ketika manusia membayangkan satu Pencipta Yang Mahaagung, atau merumuskan ide tentang sang Pencipta itu, dan pada perkembangan kemudian ide dan imajinasi itu bersikukuh, dan proses pem-benda-an (Verdinglichung) pun terjadi. Di saat itu pula manusia mulai tunduk dan ketakutan kepada “benda” hasil imajinasi dan idenya sendiri. Ia membentuk, kemudian ia takluk. “Agama adalah Matahari khayalan yang bergerak mengitari manusia”, kata Marx, “selama manusia tak bergerak mengitari dirinya sendiri”.
Itu juga yang terjadi dengan uang. Ketika uang — beberapa gobang emas, beberapa lembar kertas — diberi nilai, ia memperoleh “daya yang ajaib”. Ia mampu menambahkan nilai ke dalam dirinya sendiri, mampu beranak-pinak, dan kemudian jadi demikian penting hingga menentukan kehidupan manusia. Marx mengutip beberapa baris dari lakon Timon of Athens karya Shakespeare. Dalam tragedi tentang seorang aristokrat Athena yang membebaskan dirinya dari uang dan menjadi orang baik yang celaka, ada sebuah kiasan tentang gobang mas sebagai “budak kuning” (“This yellow slave”) yang berkekuatan dahsyat: mampu mengubah hitam jadi putih, benar jadi salah, mempersatukan dan memecah belah agama, menempatkan maling dalam kedudukan setara dengan senator. Uang adalah “Tuhan yang kasat mata”.
Uang adalah biang alienasi.
[3]
Li Changgeng berlatih menjadi juru tangis dari gurunya. Kepandaian berpura-pura sedih itu merupakan bidang tersendiri di masyarakat. Tiongkok di zamannya belum sebuah masyarakat kapitalis, melainkan semi-feodal. Tapi tampak bahwa pembagian kerja di masyarakat telah memungkinkan ketrampilan itu diperjual-belikan. Ada orang-orang yang membajak, ada yang membangun rumah, ada yang berdoa, ada yang menangis — dan masing-masing bisa menukarkan “keahlian” itu dengan “keahlian” yang ada pada orang lain. Kerja pun punya “nilai tukar.”
Salah satu kelebihan Marx dari banyak pemikir ekonomi sezamannya adalah analisanya tentang “kerja abstrak” dan “kerja kongkrit”, analisa yang pertama kali mulai tampak dalam manuskrip Grundrisse tahun 1857.
Pembedaan ini bukan pemisahan. Ketika Li Changgeng meraung, kita tak akan melihatnya sebagai “kerja abstrak”, tetapi akan tampak demikian ketika kerja itu diukur, misalnya dalam durasinya. Mengisahkan pengalamannya, Li mengatakan, “Kami bisa meraung lama, selama yang dipesan”: bila keluarga yang berkabung meminta rombongan juru tangis itu meraung selama sehari semalam, pesanan itu akan dipenuhi, dengan tarif yang akan lebih tinggi ketimbang bila mereka hanya dipesan untuk meraung dua jam.
Dalam zaman industri, seperti kita lihat parodinya dalam film Charlie Chaplin berjudul Modern Times, kerja sepenuhnya jadi proses yang dikwantifikasikan — dengan ukuran yang akurat, dengan menit dan detik. Film kocak tapi sedih ini muncul di layar dengan awal yang mencolok: sebuah jam besar. Setelah itu, kita akan melihat para buruh, termasuk Charlie Chaplin, bergerak seragam, identik, itu-itu saja, mengikuti ban-berjalan, seperti satuan-satuan yang terkendali dan pasti. Kerja menjadi, dalam kata-kata Marx, “kerja rata-rata yang sederhana.”
Tergambar betapa kerja (terjemahan dari kata labour atau Arbeit) bukan lagi dipaparkan sebagai jerih payah, melainkan sebagai kekuatan produktif yang terukur, bukan lagi keringat tubuh, melainkan angka-angka. Kerja menjadi abstrak: ia sudah diubah menjadi waktu dan punya nilai ekonomis atau “nilai tukar”. Ia, kerja (waktu-kerja ), pun bisa dipertukarkan dengan sesuatu yang lain, misalnya upah.
Berbeda dengan kerja yang kongkrit: aktivitas manusia yang punya “nilai guna” tanpa dilihat kemungkinan bahwa ia juga bisa punya “nilai tukar” — baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Aktivitas manusia yang tiap kali unik, tak bisa dibandingkan dengan aktivitas serupa (juga oeh seseorang yan sama) di saat lain, di tempat lain. Kita berkebun, menanam kembang. Kita menyanyi di karaoke. Kita membuat gitar dari bambu, sebagai hobi atau kesukaan, yang bisa dikerjakan dengan sabar berhari-hari –meskipun bisa juga dilihat bahwa gitar bambu itu bisa, atau akan, dijual kepada orang lain.
“Mula-mula,” kata Marx, “kelihatannya komoditas yang merupakan sebuah jalinan antara dua hal — nilai guna dan nilai tukar. Kemudian, kita juga melihat bahwa kerja pun punya sifat ganda itu”.
Ini tentu terkait dengan sejarah, ketika “kerja kongkrit” bertemu dengan antithesisnya, “kerja abstrak”, dengan ukuran yang semakin mendapatkan standarisasi — apalagi ketika manusia menemukan peran jam.
Ketika kerja dapat dikwantifikasikan, terutama dengan satuan waktu, ia bisa dihemat. Dalam penghematan itu mesin ditemukan. Pada gilirannya kerja manusia berubah: seperti ditunjukkan dengan tajam dalam Modern Times, manusia praktis bukan pencipta, bukan pengambil prakarsa, melainkan bagian dari mesin. Ia bahkan bisa ditiadakan dan substitusi datang.
Dalam kisah juru tangis Li diceritakan bagaimana akhir yang melankolis berlangsung. Jenis pekerjaan ini makin lama makin hilang. Yang akan mengerjakan upacara perkabungan adalah sebuah perusahaan yang bisa dipesan lewat telepon — perusahaan yang akan mengurus karangan bunga, peti mati, baju jenazah, makam, juga prosesi penguburan. “Dengan pengeras suara”, tutur Li tentang perkabungan di RRT setelah ekonomi pasar merasuk, “musik pemakaman akan terdengar bermil-mil jauhnya, dan orang akan tahu bahwa ada seseorang yang meninggal.”
Tentu, dalam kehidupan nyata jaman ini, jenis-jenis kerja dan jasa semakin beraneka-ragam. Nilai-tukar kerja dan jasa semakin memerlukan pembakuan. Maka uang menjadi lambang bersama bagi nilai kerja, jasa, atau benda, dan dengan itu merukunkan pelbagai hal yang kadang-kadang bertentangan dan tak mungkin dipertemukan.
Uang, tulis Marx dalam salah satu naskah filsafatnya di tahun 1844, “membuat kontradiksi-kontradiksi saling merangkul”. Uang membuat “persaudaraan” di antara hal-hal yang pada dasarnya mustahil dipertemukan, die Verbrüderung der Unmöglichkeiten“.
[4]
Para juru tangis, tutur Li, “akan senang jika …diberi makan tiga kali sehari dan tempat tidur yang nyaman di malam hari”.
Di masa itu, raungan bisa langsung dibarter dengan nasi dan balai-balai. Dengan kata lain: tanpa uang. Bagi Marx, hal itu terjadi karena komoditas-komoditas itu pada dasarnya punya dasar ukuran yang sama, yakni “kerja-waktu”. Nasi dan lauk-pauk itu, ranjang dan kamar itu, mengandung sejarah: mereka bernilai karena mereka hasil kerja manusia yang mendapatkan nilainya dalam masyarakat. Kerja, itulah yang membentuk kekayaan sebuah masyarakat. “Alam tak membangun mesin, lokomotif, jalan kereta api, telegram,..dst. Semua itu hasil dari kerja keras manusia”, kata Marx. Alam adalah ibu kekayaan, kerja ayahnya.
Salah satu teori Marx yang sering diperbantahkan, dan dikritik, adalah “teori nilai kerja”, yang dalam bahasa Inggris sering disingkat jadi LTV, (Labour Theory of Value), atau Arbeitwerttheori.
Sebenarnya bukan Marx yang memulai teori ini. Ia sendiri mengakui sumbangan Benjamin Franklin, salah satu pendiri Amerika Serikat, terhadap idenya: “Nilai semua hal diukur secara adil oleh kerja”, kata Franklin.
Nilai adalah sesuatu yang ganjil. Kita tak bisa melihatnya sebagai kualitas fisik sebuah komoditas. “Sejauh ini,” tulis Marx sembari sedikit melucu, “belum ada ahli kimia yang menemukan nilai-tukar dalam sejerat mutiara atau intan.”
Nilai berbeda dari harga: harga adalah angka yang ingin menerjemahkan nilai, tapi sebenarnya hanya berputar-putar di sekielilingnya. Sesuatu bisa diberi harga dan ditawar, tapi sebenarnya tak ternilai — misalnya nama baik. Nilai, menurut Marx, adalah kualitas tertentu yang ditentukan secara sosial dan hanya muncul bila pertukaran komoditas terjadi.
Dalam Kapital Marx menulis: “Nilai (yakni nilai-tukar) ada pada benda-benda, sementara kekayaan (yakni nilai-guna) ada pada manusia. Nilai, dalam hal ini, niscaya mengandung proses tukar-menukar, sedangkan kekayaan tidak…..Manusia kaya, sedang sebutir intan atau mutiara bernilai…”
Intan dan mutiara bernilai, karena kerja manusia yang membentuknya — artinya kerja bukan sembarang kerja, melainkan “kerja yang secara sosial perlu” yang demikian.
“Intan itu sesuatu yang sangat jarang di permukaan bumi, maka rata-rata penemuannya menghabiskan waktu-kerja. Sebagai konsekuensinya, banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan di situ diwakili oleh satu volume yang kecil…Di tambang-tambang yang kaya akan intan, kuantitas tenaga kerja yang sama akan tertanam dalam intan yang lebih banyak, dan nilainya akan berkurang. Andaikata manusia berhasil, tanpa banyak menggunakan tenaga kerja, mengubah karbon jadi intan, nilai intan mungkin akan jatuh lebih rendah ketimbang nilai batu bata!”.
Kritik terhadap Arbeitwerttheori yang sering dikemukakan bertolak dari pengamatan terhadap nilai benda-benda yang oleh Fred Hirsch disebut sebagai “harta oligarkis”: karya Leonardo da Vinci atau Van Gogh, topi yang pernah dipakai John Lennon, guntingan rambut Elvis Presley. Nilai benda-benda itu — apalagi harganya — sudah jelas tidak dibentuk oleh jumlah jam kerja, oleh banyaknya keringat yang tumpah. Nilai mereka begitu dijunjung karena mereka masing-masing unik, tak bisa diulangi, dan langka.
Para pendukung Marx akan menjawab bahwa jika kita bicara tentang nilai, dan juga harga, maka nilai dan harga benda-benda lambang “kekayaan oligarkik” yang langka itu memang ditentukan oleh kelangkaannya — harga monopoli, sebenarnya. Teori Marx tentang nilai yang berkait dengan tenaga kerja hanya dimaksudkan untuk menjelaskan komoditas yang bisa direproduksi tanpa batas.
Mungkin itu kekurangan Marx. Yang saya kira tak diperhatikan, baik oleh para pendukung maupun pengritik, ialah bahwa ketika Marx berbicara tentang kerja, ia tak menyentuh sama sekali kerja kreatif yang tak mungkin jadi abstrak, bahkan ketika kapitalisme berkuasa. Seperti dalam seni dan sastra mutakhir.
Marx berasumsi bahwa semua kerja dilaksanakan “nalar instrumental” yang berencana, bertujuan, dan mengarah kepada hasil yang definitif. Seraya membandingkan seorang arsitek dengan lebah, Marx menunjukkan bahwa manusia “bukan hanya mempengaruhi perubahan bentuk dalam bahan dengan apa ia bekerja, tapi juga melaksanakan sebuah tujuan yang dimilikinya, yang membuat cara dia bekerja, modus operandi-nya, punya aturan, tempat ia memasrahkan kehendaknya.”
Seorang perupa, katakanlah Affandi, Jackson Pollok, Kandinsky, atau seorang pemain jazz, katakanlah Miles Davis, atau seorang penyair seperti Mallarmé (yang menyerahkan inisiatif puisi kepada kata), tak akan mematuhi, malah tak akan memiliki, satu modus operandi yang digariskan lebih dulu. Dengan kata lain, makna “kerja” lebih kaya, lebih beragam, ketimbang yang pernah diamati Marx di masanya, dalam kancah rasionalisme Pencerahan dari mana ia tumbuh.
Kerja yang tak bisa diabstrakkan ini mengandung kemerdekaan tersendiri yang tak kunjung ditaklukkan oleh hitungan waktu dan uang dan modal — setidaknya sampai sekarang. Jangan-jangan kapitalisme tak runtuh-runtuh bukan karena kemaha-kuasaannya, melainkan justru karena ia tak kunjung berkuasa mutlak. Kapitalisme mencapai titik jenuhnya, ketika ia — setidaknya dalam ramalan Marx — menjadi “akumulasi kesengsaraan” yang akan mengubah masyarakat menjadi sepenuhnya bangunan perbudakan yang tak berjiwa. Dalam keadaan macam itu, tak ada manusia merdeka, juga para kapitalis sendiri.
Tapi kita tahu, sejauh ini, ada celah-celah di mana manusia tetap mengembangkan kemerdekaan — biarpun sejengkal demi sejengkal. Ada hal-hal yang tak terduga dalam sejarah yang tak selamanya tertangkap teori yang paling ulung sekalipun.
Goenawan Mohamad
Bandung, 10 April 2015
Goenawan Mohamad's Blog
- Goenawan Mohamad's profile
- 506 followers
