Risa Saraswati's Blog, page 2
October 9, 2013
Keluh.Aku sedang ingin mengeluhBelakangan kudengar tembok...
Keluh.
Aku sedang ingin mengeluhBelakangan kudengar tembok kembali berkeluhDia bilang, kenapa dirimu begitu rapuh? Padahal dulu kau tangguh
Aku hanyalah manusia, jawabkuKau bukan manusia seperti ini, jawabnya lagi…
Aku sedang ingin menangisLalu angin perlahan mengikisBerbisik pelan, tak sudi kami melihatmu meringis…
Aku ini hanyalah mahkluk yang lemah, ujarku.Ya, tapi kelemahanmu tidak untuk hal-hal sekecil ini, ujar mereka.
Kalian bermulut besarHanya bisa melihat sisi seseorang secara kasarKenali aku dengan benar!!!
Dan maka aku akan memahami semua kata-kata kalian tanpa berpikir bahwa kalian semua hanyalah tembok dan sekumpulan angin
Published on October 09, 2013 23:27
October 2, 2013
ANANTA PRAHADI PART 10
Dalam kegelapan langit malam ini, mataku terus memicing ke segala arah, mencari setiap rumah sakit yang ada di kota ini. Beratus jalan kulalui, berpuluh lorong Rumah Sakit kutelusuri, sedang perasaan bersalah tak juga menyurut dari dalam diriku. Betapa buruknya diriku ini sebagai sahabat untuk Ananta Prahadi, seharusnya aku tahu apa yang terjadi kepadanya saat ini. “Tuhan… kemana lagi aku harus mencarinya…”, bibirku bergetar, air mata tak juga berhenti mengalir. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, tak ada satupun pertanda keberadaan Anta, Sukma, maupun Tiara. Tak pernah kurasakan rasa putus asa begini besar, seperti keputusasaanku malam ini. Telepon genggamku tak berhenti berdering. Ibu, Ayah, Pierre, terus menerus menghubungiku sejak tadi. Tak satupun kupedulikan, aku sedang tak ingin diganggu… aku hanya ingin menemukan Anta.
Aku terduduk kini, di salah satu sudut lorong Rumah Sakit. Yang aku tahu, di Rumah Sakit inilah adikku Tiara sedang menjalankan Coas untuk menyelesaikan sekolahnya di fakultas kedokteran. Harapanku saat ini adalah melihat sosok Tiara, Sukma, dan Anta disini. Aku yakin mereka pasti ada disini. Rasa lelah tak terelakan, waktu menunjukkan pukul 4 pagi kini. Tanpa terasa, aku tertidur sambil menelungkupkan kepalaku dan menempelkannya rapat pada kedua paha yang sengaja kutekuk untuk menghalau udara dingin. Saat tengah terlelap, tubuhku dikagetkan oleh dekapan hangat tubuh seseorang. “Anta?!”, refleks kubuka kedua mataku sambil merentangkan kedua tanganku. Dekapan itu mengendur, menjauh beberapa sentimeter dari tubuhku, namun kemudian terasa kembali mendekat lantas kembali memeluk tubuh dinginku. “Ayo kita pulang, Tania. Saya tidak mau melihatmu sakit. Anta pasti akan datang, tak usah khawatir. Kamu bisa menunggunya di rumah”, suara hangat Pierre meruntuhkan pertahananku untuk tak lagi menangis saat itu. Air mata lagi-lagi mengalir deras dari kedua pelupuk mataku, “Pierre, I’m tired of crying, but I cannot hold the tears back. I’m too confused, Pierre. I don’t want to be like this, such a horrible person”. Pierre menyunggingkan senyumnya menatapku, sambil perlahan mengusap pelipisku yang mulai membeku, “Go on and cry, Tania. God creates tears to cry. And God created me to see those tears flowing out of your eyes…”.
Bibirku tersenyum menatap wajahnya, dan membiarkan tanganku dibimbingnya untuk berdiri dan meninggalkan lorong Rumah Sakit itu. Entah kenapa, kaki ini terasa begitu kaku saat dipaksakan untuk berdiri. Tanpa sadar, bibir ini mengerang menahan sakit saat rasa ngilu menjalar dari kedua kakiku, mungkin mereka masih kaku karena terlalu lama terdiam dalam posisi duduk. Pierre tampak kaget melihat kondisiku, tanpa bertanya dia mengangkat tubuhku dan menggendongnya dengan cepat. Awalnya aku menolak, namun Pierre tak bergeming pada penolakanku, dia terus menggendong tubuhku dan membawaku pergi meninggalkan lorong itu. Kupeluk tubuhnya erat, beberapa orang menatap kami dengan tatapan aneh dan nyinyir, namun kami tak peduli. Tak ada sepaah kata pun yang terucap dari mulut kami, saat Pierre mulai mengendalikan mobil yang sejak tadi menemaniku menjelajah setiap sudut kota Bandung, untuk pulang. Tangan kirinya tak henti mengelus rambutku yang berantakan, sementara aku hanya terpaku membiarkan mataku kosong menembus pikiran-pikiran tentang Anta yang mungkin saja tak pernah akan kembali lagi.
Ibu dan Ayah tampak lega melihatku akhirnya muncul di ruang tamu rumah, mata Ibu tampak sembab akibat menangis, sementara Ayah tersenyum ramah menatap Pierre, seolah berkata “Terimakasih telah membawa putriku pulang”. Pierre tidak pulang pagi itu, dia memutuskan untuk menemaniku di kamar hingga aku benar-benar bisa tertidur. Tubuhku berbaring lemah di sisi Pierre yang tak henti mendekapku di atas tempat tidur, “Tidurlah Tania, saya yakin sahabatmu itu akan datang lagi… Saya akan menjagamu dari segala mimpi buruk yang sedang menimpa hidupmu”.
…
Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhku siang itu, seperti baru terbangun setelah bertahun-tahun tak sadarkan diri. Sudah tidak ada Pierre disisiku, mungkin dia sudah pulang saat aku tertidur. Sekilas kutatap wajahku saat sedang melewati cermin kamar, astaga… buruk sekali kondisinya, bengkak hingga nyaris tak membentuk wajah seorang perempuan. Aku terlalu banyak menangis malam tadi, hingga rasa-rasanya mataku ini terlalu lelah bahkan untuk dipakai berkedip. Hampir saja kubuka mulut untuk meneriakkan nama Bi Eha, aku hanya butuh segelas air putih untuk menghilangkan dahaga di tenggorokanku yang terasa mulai sakit. Namun kuurungkan, sepertinya lebih baik aku turun saja ke dapur… bertahun-tahun aku menyiksa Bi Eha dengan teriakan-teriakan kasarku, sungguh siang itu aku merasa tidak enak akan sikapku kepadanya selama ini. Meski lunglai, kulangkahkan kakiku menuju dapur yang ada di lantai bawah, berat sekali. Suasana bagian bawah rumah kali itu terasa lain dari biasanya, sepi sekali. Kulongokkan kepalaku mencari seseorang yang mungkin bisa kuajak bicara, namun nihil. Kulanjutkan langkahku, mengambil sebuah gelas lalu mengisinya dengan air putih. Aneh, pikirku. Bahkan Bi Eha yang selalu ada di dapur ini pun siang itu tak terlihat penampakannya. Tanganku masih memegangi gelas, mulutku masih meneguk air putih yang ada didalamnya, saat tiba-tiba suara Bi Eha mengagetkanku dari arah belakang hingga air yang sedang kuminum berhamburan ke segala arah keluar dari mulutku. “Mba Tania!!! Aduh Bi Eha kaget suganteh siapa, kirain Bibi ada maling!!!!”, Bi Eha beteriak dengan suara keras. “Astaga Biii… aduh aduh, tuh kan jadi berantakan air minumnya…”, tanganku sibuk mengambil Tissue untuk mengeringkan bagian depan bajuku yang basah. “Yang lain kemana ya, Bi?”, aku mulai menanyainya. Bi Eha tampak canggung mendengar pertanyaanku, namun dia akhirnya menjawabnya… pelan dan terdengar hati-hati. “Semua ada di kamar kang Anta, Mba…”
Gelas yang sejak tadi kupegangi tiba-tiba saja meluncur cepat dari tanganku, jatuh dan pecah, saat dengan kasar bertubrukan dengan lantai marmer dapur. Tanpa berkata, aku berlari menuju paviliun Anta.
“Antaaaa!!!!!”, bibirku berteriak sambil membuka pintu paviliun kamarnya dengan paksa. Pintu itu terbuka lebar, dan benar saja… seluruh anggota keluargaku tampak berkumpul disana, termasuk Anta, dan Sukma. Mereka tampak mengelilingi tempat tidur Anta, dan mundur saat mulai mendekati tempat tidur itu. Hatiku berdebar kencang, aliran darahku terasa berhenti sesaat saat kulihat tubuh sahabatku tampak terbaring lemah disana, air mata mulai menetes lagi. “Antaaaa!!! Kenapa kamu Anta?!”, bibirku kembali berteriak. Tubuhku bergerak lebih cepat dan memaksakan diri untuk ikut terbaring disisi tubuh lemahnya. Ibu, Ayah, Tiara, Sukma berusaha mencegahku, namun tak kupedulikan. Bibirku terus memanggil namanya, “Anta kenapa sih kamu, Anta?!!? Bangun Anta! Aku rindu sekali Antaku!!!”. Pelan namun tetap kurasakan, tangan Anta perlahan bergerak lalu menyentuh tanganku yang sejak tadi berusaha menggerakkan tubuhnya. Lirih sekali dia berbisik, “Teteh Tatan kesayang Anta, Anta pulang…”. Air mata kini mengalir deras, tak kupedulikan bagaimana nyinyirnya tatapan Sukma melihat kami bersikap seperti seolah tak pernah berjumpa berpuluh tahun. Mungkin anak itu kesal melihat keakraban kami, karena kini tangannya benar-benar menyentuh pundakku sambil berucap, “Sudah teh, jangan mengganggu Anta! Dia butuh istirahat! Bukan drama semacam ini!”. Bisa kulihat bagaimana ekspresi kedua orangtuaku atas ucapan Sukma yang begitu sinis terhadapku, namun kekagetan itu tak terlihat dari wajah Tiara bahkan Anta. “Iya mbak, biarin Anta istirahat dulu”, Tiara membela Sukma. Hampir saja mulutku berteriak meneriaki mereka, namun urung saat melihat Anta tersenyum lemas menatapku sambil menganggukkan kepalanya pelan. Tubuhku mundur beberapa langkah, “Anta, kamu ngga boleh kaya gini lagi ya… aku tak kuat menahan beban sendirian…”, bibirku mengucap kalimat itu.
…
Akhirnya Tiara menceritakan apa yang telah terjadi pada Anta, rupanya gegar otak ringan akibat terjatuh dari tangga tempo hari lah penyebabnya. Rasa sakit kadang menjalar di kepalanya, hanya saja kemarin anak itu tak tahan lagi menahan sakit. Aku baru tahu, ternyata Sukma dan Tiara sudah saling mengenal. Rupanya Sukma adalah seorang calon perawat yang mendapat tugas di Rumah Sakit tempat Tiara Coas, dan memang Sukma lah yang berinisiatif untuk menghubungi Tiara pada waktu itu. Aku paham betul alasan Sukma tak menghubungiku, bisa kulihat dengan jelas di matanya kebencian dia terhadapku. Sikap Sukma begitu baik pada anggota keluargaku yang lain, bahkan pada Bi Eha. Namun kepadaku, seperti biasa, sangat ketus dan galak. Aku tak keluhkan hal itu, yang ku pedulikan kini hanyalah kesehatan Anta. Beruntung kini anak itu mau kembali tinggal di paviliun rumahku, walaupun kini ada Sukma yang tinggal di paviliun lainnya di rumah ini. Ayah dan Ibu memutuskan untuk membiarkan keduanya ada disini, setidaknya sampai kesehatan Anta benar-benar pulih.
Pierre datang siang itu, membawa beberapa bungkus makanan untuk makan siang keluargaku. Wajahnya tampak sumringah saat melihat aku yang siang itu tampak lebih periang dari biasanya. “Pierre!!!”, aku berteriak sambil berjingkrak menuju ke arahnya. Tanpa menunggu kata-kata lain meluncur dari mulutku, dia berbicara, “Ya! I Know Tania, Anta sudah kembali bukan? Benar kataku kan?”, sambil tak henti terkekeh menatapku. “Ya Pierre! Dan aku sangat bahagia!!! Terimakasih telah menjagaku semalaman!!!”, kulingkarkan kedua tanganku di lehernya. Dia kembali terkekeh, “Jangankan malam ini, seumur hidup menjagamu pun aku bersedia, Tania…”. Kami berdua tak tahu ada dua pasang mata memandangi kami siang itu dari arah kamar, pemilik dua pasang mata itu keluar dari kamar dan mulai mengusik kami dengan berbicara, “Ehmm… jadi maksudmu kau akan melamar Tania dan menjadikannya isteri, Pierre?”, Ayah melintas di sekitar kami diikuti Ibu yang kini tersenyum lebar. Wajah Pierre merah padam, sedang mulutku mulai meluncurkan kata-kata tampikkan pada mereka. “Ayah! Ibu! Kalian menguping pembicaraan kami ya? Aku akan menikah dengan nanti kalau Tiara sudah menikah duluan dan punya 4 anak!”, entah apa yang kuucapkan namun kini kulihat semua orang yang ada di sekelilingku tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan, termasuk Pierre. “Enak saja!!! Aku menikah nanti 10 tahun lagi! Kalau menungguku selama itu, mungkin Mbak sudah terlalu tua dan bau tanah!”, Tiara tiba-tiba muncul dan ikut bersuara. Ibu angkat bicara, “Hush! Sembarangan kalian ini!”, namun bentakkan Ibu memecahkan gelak tawa yang cukup lama, mungkin bisa dibilang ini adalah momen langka di keluarga ini. Suasana hari itu lain dari biasanya, aku merasa keluarga ini menjadi lebih hangat dari sebelumnya. Hatiku berbisik kecil, “Tuhan terimakasih telah mengembalikan Anta ke dalam hidup kami… hanya dia yang bisa merubahku menjadi seorang perempuan yang lebih baik”.
…
“Sukma, boleh aku berbicara empat mata saja dengan sahabatku?”, malam itu aku meminta ijin kepada Sukma. Wajah ketus itu kembali muncul, “Ada apa ya, Teh?”. Aku terdiam memikirkan kata-kata sopam untuk menjawabnya, kurasa anak ini berhasil membuatku takut. “Mmmh… aku hanya ingin melepas rindu dengannya”, hati-hati sekali aku berbicara. Sukma terlihat mengernyitkan keningnya, “Bisa besok lagi kan? Kang Anta masih belum bisa banyak bicara, harus bener-bener bedrest!”. Aku mengangguk pelan, kutatap wajah Anta yang masih terbaring lelah sambil memejamkan matanya. “Baiklah, besok aku kesini lagi ya… mmmh, kalau kamu tak keberatan, ijinkan aku menggantikan kamu menungguinya… Boleh?”, kupasang wajah penuh harap. “Teteh ngga mengerti apa-apa soal medis, sudah biar saya saja yang menunggui dia”, Sukma tampak berang mendengar permintaanku barusan. Tanpa kembali bertanya, kubalikkan tubuhku untuk pergi meninggalkan paviliun itu. Namun baru beberapa langkah aku berjalan, tiba-tiba kudengar suara itu.
“Teteh Tatan… Mau kemana? Udah disini aja sama Anta, insyaallah walaupun ngga mandi 2 hari… Anta mah tetep kasep dan wangi…”, pelan sekali, namun suara itu berhasil membalikkan tubuhku kembali, dan menarik banyak air mata haru untuk memenuhi bola mataku. Sukma tampak gusar, namun kulihat Anta meremas tangannya sambil mengedipkan sebelah mata menatapnya, seolah sedang berbicara, “Kau keluar saja, aku baik-baik saja bersama Tania”. Aku begitu bersemangat mendekati tubuh lemah Anta, sementara Sukma tampak kesal meninggalkan kami berduaan disana. Kuremas tangan Anta dengan lembut, lagi-lagi air mata menetes saat kurasakan detak nadinya begitu lemah. “Jangan sakit Anta, aku tak kuat melihatmu seperti ini. Aku ingin melihatmu kembali cerewet dan ceria, aku ingin melihatmu bahagia…”, mulutku terus berbicara. Anta menatapku sambil tersenyum, “Teteh Tatan kesayangan Anta kenapa jadi cengeng begini? Anta bahagia sekali Teh, bisa kembali ketemu Teteh… bisa merasakan udara rumah ini, senang sekali. Kalau masalah cerewet, tenang aja… 2 hari lagi juga teteh Tatan bakal pusing mendengar Anta cerewet”. Aku tertawa kecil mendengarnya berbicara seperti itu, kata-kata yang keluar dari mulutnya belakangan ini sangat kurindukan. Dan bagiku, ini adalah sebuah momen berharga yang sangat mahal. “Anta, bolehkah aku tidur disini, malam ini?”, mataku kembali berkaca-kaca menatapnya. Dia tertawa mendengarnya, “Astagfirullah si Teteh mah sok aneh-aneh wae… Boleh atuh Teteh…”. Aku tersenyum lebar, lalu memeluknya sambil sesekali mengencangkan pelukan itu. “Terimakasih Anta…”. Namun tiba-tiba dia menjerit lemah, “Nyeri teteh!! Jangan keras-keras teuing meluknya!”. Kami tertawa lepas setelahnya, saling berbisik berkata tentang apa saja hingga tertidur sampai keesokan harinya.
…
Pagi ini Bi Eha memasak banyak sekali makanan, bahkan beberapa jajanan pasar tampak berwarna-warni menceriakan suasana meja makan. Anta sudah lebih sehat, dia ikut duduk berkumpul mengelilingi meja makan besar rumah ini. Ada Ayah, Ibu, Tiara, Sukma, Aku, dan sebentar lagi Pierre akan datang untuk ikut sarapan bersama kami semua. Suasana begitu hangat, aku tak henti tertawa berbincang dengan seluruh anggota keluargaku. Sekali-kali Anta berkelakar polos dan lucu dengan khasnya, membuat kami semua tertawa. Sukma masih saja tak ramah terhadapku, namun dia masih bisa bersikap sopan dan ikut tertawa jika Ayah, Ibu, atau Tiara berceloteh. Bahagia ini baru pertama kali ku rasakan, selama ini aku selalu menganggap keluargaku kaku dan dingin. Namun kini aku mengerti, sebenarnya mereka adalah keluarga yang sangat menyenangkan, hanya aku saja yang menutup diriku dari mereka semua. Bisa kulihat mata Ibuku tampak berseri-seri bahagia menatap perubahan diriku yang mungkin baginya cukup signifikan. Sungguh aku menyukai diriku yang sekarang, dan lagi-lagi untuk pertama kalinya aku merasa mencintai hidupku.
“Halo semua, selamat pagi…”, Pierre datang dan langsung menyapa semua orang yang ada di ruang makan. Matanya langsung menatap ke arah Anta, “Bagaimana kesehatanmu sekarang, Anta?”. Anta tersenyum kaku, menatap ke arahku lalu menatap ke arah Pierre. “Baik Pierre, sudah sehat… tapi belum seganteng kamu sih… Kumaha atuh?”. Semua yang ada disana tertawa mendengar komentarnya, tak terkecuali Sukma yang sejak tadi tak banyak bicara. Kupukul manja tangan Anta, “Dasar anak kampung”, ucapku sambil tertawa. Pierre terlihat berbeda pagi itu, entahlah… sepertinya ada yang lain dari penampilannya hari itu. Kupersilahkan dia duduk disampingku. Kebahagiaanku sempurna, disamping kiri ku ada Anta, sementara di sebelah kanan ada Pierre. Mataku menyipit menatap Pierre, “Ada yang beda dari kamu, Pierre. Apa ya?”. Pierre tampak bingung, “Apa ya? Mmmh… kumis? Saya baru cukur tadi pagi”, jawabnya gugup. Kugelengkan kepalaku. Anta ikut berbicara, “Karang nya ilang satu yah?”. “What? Karang? Apa itu?”, Pierre tampak bingung. Kami kembali tertawa. Sekarang semua ikut berbicara, menebak sesuatu yang lain dari penampilan Pierre pagi itu. Gelak tawa kembali terdengar, semua tampak antusias ikut menebaknya. Aku terdiam sejenak saat yang lain masih mencoba menebak, lalu kemudian mataku terbelalak senang. “AKU TAHU AKU TAHU!!!!! Kamu membawa tas!!! Tas kecil itu!!! Kamu tidak pernah bawa tas kan sebelumnya?”, aku tertawa senang. Tiara mencibirkan bibirnya seolah kecewa atas jawaban dari tanda tanya besar yang sejak tadi coba dia tebak. Pierre tertawa keras kali ini, tampak senang melihat reaksi kekecewaan semua orang yang duduk di atas meja makan rumahku. “Ya! Kamu benar Tania, saya senang ternyata kamu tahu apa yang berbeda dari saya. Seumur hidup saya memang jarang sekali membawa tas apalagi tas kecil seperti ini!”, Pierre mengangkat tas kecil itu lalu memperlihatkannya kepada kami semua. Aku ikut tertawa, “Hahaha aku hebat ya! Apa itu isinya Pierre?”.
Tiba-tiba saja Pierre berhenti tertawa, wajahnya menegang bagai ketakutan.
Pierre yang sejak tadi duduk di sampingku tiba-tiba berdiri di sampingku, sementara tangan kanannya meremas bahuku dengan cukup keras. Tangannya membuka tas yang dibawanya, lalu mengeluarkan isi di dalam tas itu. “Mungkin ini terlalu cepat, dan saya tidak punya pengalaman untuk ini. Mama saya bilang, di negara ini, untuk mengungkapkan hal ini harus diketahui oleh seluruh keluarga. Mmmh… saya pikir, mmmmh saya pikir…. Ini momen yang sangat tepat… mmmh…”, Pierre terbata-bata. Aku cukup kesal melihat tingkah anehnya itu, “Ngomong yang bener woy!”. Ibu memelototiku, sementara Anta tampak menahan tawa saat melihat ekspresiku yang tiba-tiba menunduk takut karena tatapan mata Ibuku.
“Tania, maukah kamu menjadi istri saya?”, Pierre mengeluarkan kotak yang sejak tadi dipegangnya, lalu membuka isinya yang ternyata sebuah cincin berwarna hitam.
Aku terpaku… begitu juga semua orang yang ada di ruangan makan pagi itu…
bersambung.
Published on October 02, 2013 23:02
September 19, 2013
ANANTA PRAHADI PART 9
Hari ini terasa begitu kelabu bagiku, entahlah… rasanya suara Anta dini hari tadi masih terus menghantuiku. Ada apa sebenarnya dengan anak itu? Pikiran jahatku mengenai tunangannya yang menyebalkan mulai menguasai. Terakhir kulihat wajahnya, anak itu terlihat sangat lugu dan polos, aku bahkan menganggapnya seperti anak-anak perempuan cengeng yang selalu minta dilindungi oleh kekasihnya. Berani benar dia berbicara setidaksopan itu kepadaku, kepalaku terus menghujatnya. Ah, tapi sudahlah… yang terpenting adalah Anta sudah bersikap normal kepadaku, dan dia tidak marah seperti yang kubayangkan sebelumnya. Mataku menerawang jauh keluar jendela kamar yang pagi itu kubuka lebar-lebar, sambil menghirup udara dingin kota Bandung aku terus melamunkan apa yang sedang terjadi belakangan ini di hidupku. Eh, nanti dulu… Darimana Anta tahu bahwa kini aku dekat dengan Pierre? Bahkan sebelumnya aku tak pernah bercerita kepadanya soal kedekatan kami ini. Aku mulai curiga, jangan-jangan sebenarnya Pierre dan Anta bersekongkol untuk mengelabuiku?! Nafasku tiba-tiba menderu, emosi menyeruak tanpa sebab. Kuambil telepon genggamku, dan menekan nomor Pierre, kecurigaanku ini membutuhkan kepastian.
Aku lupa pada kemanisan Pierre semalam, karena suaraku langsung meninggi saat suaranya terdengar di sambungan telepon sana. “Pierre!! Jelaskan kepadaku, apa kau bersekongkol dengan Anta? Aku tahu, sebenarnya kau dan Anta tengah bekerjasama untuk suatu hal yang tak aku tahu! Iya kan?”, tanpa basa-basi kuberondongi Pierre dengan banyak pertanyaan. “Wait, tunggu Tania. Apa itu ber kongkol? I don’t get it. What’s wrong Tania? Saya baru saja bangun”, Pierre agak kesal padaku, terdengar dari nada bicaranya. “Dengar baik-baik. Apakah kamu bekerjasama dengan Anta? Apakah kamu sebenarnya tahu apa yang terjadi pada hidupku dan Anta belakangan ini?!”, emosiku kian meledak. “Dengar baik-baik Tania, saya tidak pernah merencanakan suatu hal bersama Anta! Saya tidak berbicara dengannya selain saat bersamamu. Dan dengar Tania, kesedihanmu terhadap Anta membuat saya muak! I’m sick and tired of it! Sepertinya kamu jatuh cinta kepadanya? Is it right?”, Pierre menjawab pertanyaanku dengan sangat marah, aku tak pernah mengira jawabannya akan seperti ini.
…
Seumur hidup, baru kali ini aku berusaha merajuk pada seseorang, dan orang itu adalah Pierre. Semenjak kemarahannya tadi pagi di telepon, perasaanku mendadak sedih tak karuan. Perasaan bersalah menyergapku setelahnya, apalagi setelah Pierre menutup sambungan telepon tanpa menungguku menjawab pertanyaan konyolnya. Berulangkali kucoba menghubunginya lagi, namun tak satu kalipun teleponku diangkat olehnya. Aku sudah kehilangan Anta, dan aku tak ingin kehilangan lagi orang yang kali ini telah membuatku benar-benar jatuh cinta.
Kini aku berdiri di depan kamar hotelnya, masih di hotel yang sama seperti waktu itu. Sudah berkali-kali kutekan bel di pintu kamar itu, namun nihil… tak ada jawaban dari dalam sana. Akhirnya kuputuskan untuk menuju resepsionis menanyakan keberadaan penghuni kamar itu. Betapa kesalnya aku saat resepsionis hotel mengatakan kepadaku bahwa sudah satu minggu lamanya tamu hotel bernama Pierre Renard tak lagi menginap di hotel itu. Kemana dia? Dengan kesal aku tak berhenti memikirkannya. Rasanya kebebasanku yang selama ini kujunjung tiba-tiba hancur dirobohkan oleh dua laki-laki brengsek!!! Tapi aku tak bisa berpura-pura tak peduli pada mereka berdua.
Tiba-tiba saja wajah Dania melintas, dan aku ingat, kemarin kami sempat bertukar nomor telepon. Kutelepon Dania, demi mencari keberadaan Pierre, meski sebenarnya hati kecilku merasa malu akan hal ini. Bagiku, ini seperti masalah cengeng yang menjijikkan. Tapi tidak bagi perasaanku, aku ingin Pierre tahu bahwa aku begitu peduli kepadanya… Jauh melebihi peduliku terhadap Anta. Eh, tapi apa benar seperti itu? Hmmm entahlah, setidaknya Pierre masih bisa kugapai, sementara mengenai Anta, aku benar-benar buta. “Halo, Dania?”, dengan ragu kusapa Dania yang terdengar sangat ceria siang itu. “Haiiii Mba Tania!!! ada apa menelponku? Hihi…”, jawab Dania dengan gaya khasnya. “Hmmm… mmmh… kamu tahu dimana Pierre?”, dengan malu akhirnya kuucapkan juga pertanyaan itu. “Kasih tau ngga yaaa? Kasih tau jangan yaaa? Mau tau? Atau mau tau bangetttt?”, Dania terus cekikikan. “Serius!”, jawabku ketus. “Yah… calon kaka ipar galaknya minta ampun nih hihi. Iya deh, kak Pierre lagi bantu Mama masak tuh di dapur…hihi. Sini deh mba!! Kita coba masakannya kak Pierre enak atau ngga hehehe”, dengan cueknya Dania mengundangku datang ke rumahnya. “Oh, jadi dia ada di rumahmu. Tidur disana juga?”, masih dengan ketus kutanyai dia. “Iiiiih masa ngga tau sih? Udah seminggu kali Mba. Rumah kami kan rumahnya Kak Pierre juga. Udah-udah sini deh Mba, daerah jalan Hegarmanah yah… ngga jauh dari supermarket Setiabudi. Nanti aku jemput Mba, oke?”, dengan polosnya Dania terus bercerocos. “Mmmh, aku boleh minta satu hal dari kamu?”, dengan sedikit memohon aku bertanya. “Apa itu?”, Dania mulai terdengar kebingungan. “Tolong, jangan bilang Pierre kalau aku mau datang. Please?”, setengah berbisik aku bertanya. “Yayyyyyy!!!! Aku suka surprise!!! Ya ya ya ya aku ngerti!!! Okeeee Mba Tania cantikku!”, Dania kini berteriak-teriak seperti orang gila. Namun tiba-tiba Dania berhenti tertawa, lalu bertanya serius padaku, “Astaga! Mba! Apa ini hari ulangtahun kak Pierre?”. Tanpa menjawabnya, kuputus sambungan telepon dengan kasar. “Dumb blonde!”, bibirku menggerutu.
…
Cuaca siang ini cukup panas, tapi tidak terasa panas saat kakiku berdiri tepat dibawah pohon beringin yang berdiri tegak dan rimbun di depan halaman rumah Mama Pierre dan Dania. Sejak tadi Dania memaksaku untuk masuk, tapi aku menolaknya, karena aku ingin berbicara 4 mata dengan Pierre terlebih dahulu. Kuminta Pierre menghampiriku disini, namun sudah 10 menit aku berdiri, dia tak kunjung datang. Halaman rumah ini begitu luas, dengan hamparan rumput hijau beratus-ratus meter persegi. Aku yang sejak tadi berdiri akhirnya memutuskan untuk duduk diatas rerumputan ini. Entah kenapa, rasanya seperti pernah mengalami suasana seperti ini… namun entah dimana itu, benar-benar terasa seperti Dejavu.
Sosok yang sejak tadi kutunggu akhirnya muncul dari kejauhan, mengenakan kemeja putih dan celana putih santai, melenggang tanpa alas kaki. Hatiku berdegup kencang, menanti reaksi terburuk dari seorang Pierre yang tadi pagi terdengar cukup marah kepadaku. Lambat laun sosok itu semakin mendekat, dan ekspresi wajahnya kini bisa terlihat lebih jelas. Hatiku meleleh saat wajah itu mengembangkan senyum khasnya menatapku, tak seperti yang kuduga sebelumnya. Tanpa berkata-kata dia terus mendekatiku, tak sedetikpun membiarkanku mengucap sapa. Tangannya terbuka lebar didepanku, lalu mendekap tubuhku dengan sangat erat. Bayangan tentang mimpi waktu itu langsung menyentak, ya… benar! Kejadian ini pernah terjadi dimimpiku! Aku ingat sekarang. Pierre terus menerus memelukku kencang tanpa melepasnya, sesekali tangan kananku mencubit sebelah pipiku memastikan kalau ini bukanlah sebuah mimpi. Tidak, ini bukan mimpi, Tania.
“Thankyou Tania, terimakasih. Saya pikir kamu tidak akan datang, namun ternyata saya salah. Maaf kekasaran saya pagi tadi, saya tidak bersekongkol dengan Anta.. hehe sekarang saya tahu arti kata jelek itu hehe. O iya, saya tak pernah merasa cemburu pada Anta, setiap orang bebas menentukan perasaannya, termasuk kamu, Tania. Dan maaf, saya tidak angkat telepon kamu. Saya hanya ingin tahu, apakah kamu peduli pada saya atau tidak. Saya tahu, kamu tidak pernah tahu dimana saya tinggal, dengan siapa saya tidur, karena kamu tak pernah sekalipun bertanya tentang semua itu kepada saya. Dan kedatanganmu kesini, meyakinkan saya bahwa kamu peduli pada saya…”, Pierre mendekapku lebih keras setelahnya. Dan aku membalas dekapan itu, tanpa sadar bibirku berkata, “Tidak hanya peduli. I’m in love with you Pierre…”. Sepertinya Pierre terkejut pada kata-kata yang baru saja terlontar tanpa sadar dari bibirku. Dekapannya mengendor, dan kini matanya terlihat berbinar tepat didepan wajahku. Mataku terpaku saat matanya terus menelusuk jauh masuk kedalam retinaku, wajahnya terus mendekat sementara wajahku diam mematung. Siang itu, kami berciuman untuk pertama kalinya. Dan ini adalah ciuman pertamaku, aku bahagia… hanya itu yang bisa kuungkapkan. Rasanya seperti melayang, dan aku ingin terus melayang karena tak sedetikpun perasaan ini membiarkan segala masalah masuk kedalamnya.
Hingga malam menjelang, aku masih bertahan di rumah Mama Pierre. Aku, Pierre, Dania, dan Mamanya, memutuskan untuk memasak bersama. Gelak tawa mewarnai sepanjang hari itu, lagi-lagi Pierre membawa banyak tawa ke dalam hidupku. Aku benar-benar menikmati rasanya menjadi seorang manusia, karena selama ini aku terlalu larut menjadi seorang manusia planet. Pierre, dan keluarganya mampu menarikku untuk menginjakkan kaki diatas tanah dan memperkenalkan betapa indahnya memiliki sebuah keluarga. Meski keluarga mereka bercerai berai, tapi hubungan ketiganya begitu hangat dan akrab. Mama Karni, mama Pierre dan Dania, adalah sosok seorang Ibu yang sangat bijaksana dan lembut. Hatiku terus menerus berbisik lirih, seandainya Ibuku seperti dia… seandainya keluargaku seperti keluarga ini…
…
Aku pulang ke rumah dengan wajah ceria, tak seperti biasanya. Entahlah, aku mulai membuka pikiranku tentang kehidupan normal bersama keluargaku di rumah. Ingin rasanya memperbaiki kondisi hubunganku dengan mereka, aku ingin nyaman tinggal di rumah seperti saat berada di rumah Mama Karni. Dengan riang kulangkahkan kakiku menuju rumah, Pierre tak mengantarku pulang karena aku datang ke rumahnya dengan mengendarai mobilku. “Halooo Buu, Tiara? Yahh?”, Aku berteriak-teriak memanggil seluruh anggota keluargaku. Nihil, tak ada jawaban dari setiap sudut rumah. Mataku terus berkeliling mencari keberadaan mereka, namun tak berhasil kutemukan. Akhirnya kuputuskan untuk mencari Bi Eha, satu-satunya penunggu rumah yang biasanya tak pernah susah dicari. “Bi Ehaaaaa, Biiii… Halooooo Bi Eha genduuuutttt, dimana keberadaanmu Bi Ehaaa???”. Dari arah halaman belakang kulihat Bi Eha berlari tergopoh-gopoh menghampiriku. “Waslap non Mba Tania? Aya naooon?”, Bi Eha tampak terengah mengatur nafasnya. “Kemana orang-orang?”, tanyaku. “Ada ko Mba, Ibu sama Bapak ada di dalam kamar, mungkin sedang di balkon Mba… Coba aja cari di dalam kamar…”. Tanpa ba bi bu kutinggalkan Bi Eha yang nampaknya masih berbicara denganku, samar kudengar dia mengumpat. “Uh dasar tuan putriiiii…”
“Bu… Ayah?”, kulongokkan kepalaku ke dalam kamar orang tuaku. “Tania!!!”, Ibu tampak terkejut melihat kemunculanku. Ayah sama terkejutnya seperti Ibu, keduanya tiba-tiba menghampiriku dengan cepat. aku cukup heran dengan sikap mereka, “Loh loh loh loh, ada apa Bu? Yah?”. Ayah tampak serius, sementara Ibu terlihat khawatir menatapku. “Tadi Tiara mendapat telepon, entah siapa itu. Namun sepertinya telepon itu cukup genting Tan, karena Tiara langsung buru-buru pergi meninggalkan rumah ini. Tanpa berganti pakaian, tanpa membawa tasnya…”, Ibu menyerocos cepat. Kupotong kata-katanya, “Oke oke, lalu apa hubungannya denganku? Mungkin saja dia memang mendapat telepon dari rumah sakit tempat dia Coas kan Bu? Kayanya itu hal yang wajar deh!”. Ayah menggeleng-gelengkan kepalanya resah, membuatku mulai merasa khawatir. “Sebelum pergi, kami sempat menanyai Tiara tentang telepon itu. Dia bilang, ini ada hubungannya dengan Anta, Tan”.
Bagai petir disiang hari, aku merasa tersambar hebat mendengarnya. Perasaan bahagiaku mendadak luluh karena hal ini, badanku bergetar, air mata mulai berjatuhan. “Tiara pergi kemana Bu? Yah? Kemana diaaaa?????”, aku berteriak-teriak setelahnya. Perasaan bersalah menggelayut hebat di hatiku, kenapa hari ini aku bisa melupakan Anta? Dan kenapa Anta tak menghubungiku? Kenapa harus Tiara yang dia telepon? Kenapa bukan aku? Lalu apa yang terjadi pada Anta? Kenapa aku tak tahu apa-apa?
Badanku ambruk seketika, Ayah dan Ibu membopongku untuk berdiri sambil tak henti mereka mencoba menghiburku, meski mereka tahu itu percuma. “Yah, kemana Tiara yah? Kemana dia Yah? Aku harus mencarinya!!! Tolong beritahu aku, toloong!!!”, aku menangis sejadinya. Kedua orangtuaku bahkan tak tahu kemana perginya Tiara, mereka bilang mereka sudah mencoba menghubungi tempat anak itu Coas, namun Tiara tak ada disana. Ibu masih mendekap tubuhku, Ayah masih sibuk menghubungi Tiara. Aku yang sejak tadi menangis tiba-tiba berdiri, menghapus air mataku, lalu berlari keluar rumah. Kedua orangtuaku tampak kaget melihatnya, mereka mencoba menahanku… namun tak berhasil, aku mendobrak pertahanan mereka yang coba menghalangiku. “Aku harus mencari mereka! Aku harus tahu apa yang terjadi pada Anta…”, bibirku terus menggumamkan kata-kata itu.
Bersambung.
Published on September 19, 2013 06:07
September 7, 2013
ANANTA PRAHADI PART 8
Sudah satu minggu tak ada kabar yang kuterima dari Anta. Dan kerinduanku akan kehadirannya semakin memuncak, namun aku tak kuasa merendahkan harga diriku untuk sekadar mengiriminya pesan atau telepon bertanya tentang kabar dan keberadaannya. Begitupun sebaliknya, rupanya kini anak itu punya harga diri begitu tinggi terhadapku, dan aku yakin ini semua pasti perbuatan wanita kampungan itu. Namun dibalik kepergiannya, ada sebuah hikmah yang kuambil. Kini hubunganku dengan Pierre cukup membaik, bahkan lebih dari baik. Hampir setiap hari Pierre menggantikan posisi Anta, menemaniku melukis di dalam studio. Tapi tetap saja, aku belum bisa sepenuhnya memperlakukan dia layaknya perlakuanku terhadap Anta. Sedikit demi sedikit Pierre mampu menghapuskan kesedihan yang belakangan ini cukup memusingkanku.
“Mba Tania, mas bule sudah datang tuh mba!”, Bi Eha meneriakiku dari bawah sana. Dengan sigap kuambil tas gendongku dan segera turun untuk menemui Pierre yang hari itu memang berencana menjemputku untuk pergi bertamasya. Ini adalah idenya, menurutnya aku harus pergi menikmati matahari kota ini sebelum kulitku membusuk jika terus menerus mendekam di dalam studio. “Mba, Mba Tania… tapi si Mas Bule dateng sama cewe cantik loh Mba… Mba gak apa-apa?”, dengan setengah berbisik Bi Eha memberitahuku. “Iya, aku tahu. Jangan bergosip lah! Jangan mikir macam-macam!”, kujawab Bi Eha dengan ketus. Bi Eha terlihat kecewa melihat reaksiku, dia percepat langkahnya untuk mendahuluiku dan membukakan pintu bawah untukku. “Silahkan menjemput pangeran bulemu Mba Tania…”, dengan senyum jahil Bi Eha menatapku. “Berisik!!!!”, aku cukup gusar dengan tingkah lakunya yang kini semakin berani terhadapku.
“Selamat pagi Tania…”, dengan senyum khasnya Pierre menatapku penuh sumringah, berlebihan memang. “Pagi…”, jawabku santai. “Dan ini…?”, kutatap dari atas sampai telapak kaki, sosok wanita yang ada di sebelah Pierre. “Nah, ini dia Dania. Dia adik perempuanku”, Pierre memegangi tangan wanita itu seolah memaksanya untuk berjabat tangan denganku. “Tenang kak, aku pasti akan bersalaman dengannya”, sambil tertawa wanita itu melepaskan genggaman tangan Pierre lalu mengarahkan tangannya kepadaku. “Halo Mba Tania yang cantik, kenalkan namaku Dania. 22 Tahun, masih kuliah, sudah punya pacar tapi hampir putus karena ternyata pacarku bau ketiak. Seumur hidup merindukan kakakku ini yang selama ini hanya mengenalinya dari cerita Mama. Dan aku senang sekali hari ini diajaknya datang kemari, katanya mau dikenalkan sama calon pacarnya dan diajak tamasya bersama!”, anak perempuan ini terus berbicara tanpa henti dengan nada bicara riang dan memekakkan telinga. “Kau ini gila yah?”, sambil tersenyum sinis kujabat tangannya dengan kasar. “Sedikit, tapi tak segila kakakku yang sepertinya sedang tergila-gila padamu, Mbak. Hihihihi…”, Dania kini cengengesan tak karuan. “Shut up Dania!!! Kau membuatku malu!!!”, kini Pierre yang tampak gusar akan sikap adiknya. Aku tersenyum geli melihat kakak beradik ini, keduanya terlihat aneh… dan sejujurnya aku selalu menyukai orang-orang tidak konvensional seperti mereka. Kulihat kini keduanya ikut tertawa bersamaku, mungkin mentertawakan diri mereka sendiri, kami seperti sekumpulan manusia-manusia aneh pagi itu.
“Jadi kita mau kemana?”, akhirnya aku angkat bicara. “Ya, kemana kita?”, Pierre bertanya kembali padaku, membuat kedua mataku kini menonjol keluar karena kaget, seharusnya dia tahu akan kemana kami hari ini. “Kemana kita?”, Dania ikut bicara. “Kaliannnnnnnnnn!!!!!”, aku berteriak meneriaki mereka dengan kesal. Mereka berdua kini kembali tertawa, mentertawakanku yang terlihat begitu kesal. “See? That’s my girl, Dania. Seperti Banteng yang selalu siap mengamuk hahaha”, Pierre berbicara satu arah pada adiknya. “Apa? Banteng katamu?”, aku kembali berteriak, kali ini meneriaki Pierre. Dania maju satu langkah dan kini dia berdiri diantara kami, “Hahahaha! Sudah, cukup! Karena aku adalah anak gaul kota ini, biarkan aku membawa kalian berdua ke tempat-tempat seru!!! Ini tamasya kan? Outdoor kan? Serahkan padaku!!!”. Pierre mengedipkan sebelah matanya ke arahku, tanpa kusadari bibirku membalas kerlingannya dengan senyuman. Tak bisa kuabaikan bagaimana pipiku kini terasa memanas, lantas merona… karena kerlingan itu.
Dalam kesedihanku akan kepergian Anta, ada kebahagiaan yang dicipta Pierre untuk hidupku. Hari ini, aku, Pierre, dan adiknya Dania yang sempat kucemburui, telah melewatkan beberapa jam istimewa bersama-sama. Dania mengajak kami melintasi jalanan berbukit di daerah Lembang, lalu mempertontonkan kepiawaiannya berkuda, dan tak lupa mengajak kami untuk ikut berkuda bersamanya. Tanpa kusadari, sepanjang hari ini aku terus tertawa tanpa henti. Sepertinya baru kali ini bisa kunikmati saat-saat menyenangkan, yang rasanya saat bersama Anta pun tak sampai begini senang. Tanpa canggung, Pierre mulai berani menggandeng tanganku, dan tanpa sungkan aku mulai memeluk tubuhnya saat udara dingin Lembang menusuk di kulitku. Pierre memberikan suasana baru dalam hidupku, dan adiknya, Dania, membawakanku sebuah jawaban bahwa tak semua teman perempuan itu menyebalkan. Dalam gelak tawa tadi siang, hatiku bersedih memikirkan seandainya saja hubunganku dengan Tiara bisa seperti mereka, sulit rasanya membangun sebuah jembatan untuk menjembataniku dengan keluargaku.
…
Dania tertidur kelelahan di dalam mobil, sedang Pierre tampak bersedih mengantarku pulang malam ini. Dengan lunglai dia berjalan malas-malasan di halaman rumahku. “Kau kenapa sih?”, aku cukup terganggu melihat sikapnya. “Sedih”, jawabannya tak membuatku puas. “Atas apa?”, seperti biasa… nada bicaraku mulai ketus. “Saya sedih hari ini berakhir. Saya bahagia sekali melihat kamu dan Dania bisa akrab dan tertawa bersama, ingin rasanya mengulang kembali beberapa jam kebelakang”, wajahnya menunduk ke bawah hingga tak bisa kulihat bagaimana matanya berbicara. Sambil tersenyum aku mulai memegangi jemari tangannya, “Kan masih ada besok?”. Pierre mengangguk pelan, “Tapi kamu wanita yang susah ditebak, saya tidak tahu apakah besok kamu akan ceria atau murung seperti biasanya. Dan hari ini kamu terlihat sangat ceria. Bolehkah saya minta agar kamu selalu seperti ini?”, diangkat wajahnya kini menatap lurus ke arah mataku, dengan tatapan memohon dan penuh harap. “Aku tak bisa janji, Pierre. Kita lihat saja nanti… jika aku bisa terus ceria dan bahagia disisimu, berarti kamu berhasil menaklukanku”, aku mulai mengacak-ngacak rambutnya dengan tanganku sambil tak berhenti tersenyum. Bisa kulihat betapa senangnya dia mendengar kata-kata yang baru saja keluar dari bibirku, entah apa yang kupikirkan karena tak biasanya aku berkata demikian manis pada orang lain, bahkan kepada Anta yang bertahun-tahun kukenal. Satu minggu ini terasa bagai 1 tahun bagi perkembangan hubunganku dengan Pierre, dia datang disaat yang sangat tepat… saat aku kehilangan sebuah pegangan yang bisa saja menjerumuskan aku masuk ke dalam lubang kesendirian yang lebih dalam. Dia bukan laki-laki berengsek seperti apa yang selama ini kutujukan kepadanya, sebaliknya… dia begitu sopan memperlakukanku. “Bye Pierre, terimakasih untuk hari ini…”, kubalikkan tubuhku saat akhirnya waktu berpisah dengannya malam ini tiba. Pierre hanya mengangguk pelan sambil tak berhenti tersenyum. Namun tiba-tiba dia memanggil namaku, “Tania…”. Kubalikkan kembali tubuhku menatapnya, “Ya?”.
“Tak perlu menjadi orang lain saat bersama saya, kamu bisa ceritakan apapun pada saya. Bersikap buruk pada saya pun tidak apa-apa jika memang itu dirimu yang sebenarnya, saya akan menerima itu. Kamu harus tahu, saya selalu menyukai kamu… sejak kita belum saling berkenalan. Dan saya mulai menyayangi kamu, sejak kita saling mengenal. Dan kamu harus tahu, happiness is here… only when you’re near. Whatever you are, I just want to be near you…”
Mataku berkaca-kaca mengiringi kepulangannya malam itu, terharu akan kata-kata yang diucapkannya barusan untukku. Seumur hidup, rasanya baru kali ini merasa begitu jatuh cinta pada seorang laki-laki. Dan betapa beruntungnya aku karena dia adalah laki-laki yang baik, dan menanggapi respon cintaku dengan sangat indah. Dalam haru ini aku mulai tersenyum, namun tiba-tiba membayangkan sosok Sukma… tunangan Anta. Kali ini aku tak marah mengingatnya, karena aku berpikir mungkin Sukma juga sama baiknya seperti Pierre. Dan tak menutup kemungkinan bagi Anta merasa bahagia sepertiku karena sikap manis Sukma padanya. Sepertinya aku harus merubah sikapku pada mereka… aku harus berhenti menjadi sesosok monster egois.
…
“Ha… halo… Anta?”, dengan canggung kutelepon Anta malam itu. Bukan suaranya yang kudengar di ujung telepon sana, melainkan suara lembut seorang perempuan. “Siapa ya? Ada perlu apa?”, suara perempuan itu balas bertanya padaku. Ada perasaan kesal dalam benakku, sepertinya tidak mungkin Anta tak menyimpan nomor teleponku di telepon genggam miliknya. Dan dalam hatiku berkata, seharusnya perempuan ini tak perlu lagi berbasa-basi menanyakan siapa yang sedang berbicara dengannya jika namaku tertera di layar teleponnya. “Aku, Tania. ini pasti Sukma kan?”, kucoba tetap sopan pada perempuan ini. “Ya, saya Sukma. Ada perlu apa ya Teh Tania?”, kembali dia mengulang pertanyannya, namun kali ini dengan nada bicara judes. “Aku ingin berbicara dengan Anta, bisakah?”, meski begitu sulit menahan kekesalan ini tapi aku tetap mencoba sopan padanya. “Tidak bisa, dia sedang tidur. Maaf ya teh. Lain kali saja telepon lagi!”, Sukma begitu ketus menjawab permohonanku. Dada ini terasa berdebar hebat, kekesalan mulai memuncak. Namun tiba-tiba saja sekelebat bayangan Pierre dan segala sikap manisnya membayangi kepalaku, menahan segala emosi yang hampir meledak. Bukan amarah yang keluar dari mulutku untuk menjawab keketusan sukma melainkan, “Baiklah, jika dia sudah terbangun… mmmh nanti ataupun besok, tolong bilang padanya aku mencarinya. Aku hanya ingin memohon maaf kepadanya, juga kepadamu, Sukma. Maaf telah bersikap kasar kepada kalian, sungguh aku hanya ingin menjadi seorang sahabat yang baik untuk Anta. Dan semoga kita juga bisa bersahabat ya, sukma…”. Aku menunggu jawaban darinya, berharap Sukma akan memberikan sebuah reward untuk usahaku bersikap sopan kepadanya. Namun jawabannya diluar dugaanku, “Baik, akan saya sampaikan pesan Teteh pada Anta. Tapi untuk bersahabat dengan Teteh, kayanya akan sulit buat saya. Saya hanya perempuan kampungan yang tak pantas berteman dengan seorang tuan putri angkuh seperti Teh Tania. Terimakasih untuk penawarannya, Teh”. Lalu kemudian telepon itu ditutup dengan kasar, tanpa menungguku menjawab perkataannya. Aku terdiam sendirian, mematung bagai tak bernyawa. Seharusnya jika mendapat perlakuan seperti ini, aku akan melemparkan semua barang yang ada disekelilingku dengan sangat brutal. Seharusnya aku berteriak-teriak kalut seperti biasanya. Namun semua itu tak kulakukan. Saat ini aku hanya ingin menangis, dan meyakinkan diriku bahwa dia bersikap seperti itu karena kesalahan dan keegoisanku saat pertamakali mengenalnya. Dan jauh di lubuk hatiku aku berpikir jangan-jangan sikapku selama ini juga seperti itu kepada semua orang, lalu kini aku sedang merasakan bagaimana rasanya menghadapi seseorang yang memiliki sikap buruk sepertiku. Maafkan aku Tuhan, sungguh aku ingin sebuah kesempatan untuk memperbaiki sikapku…
…
Kubenamkan wajahku diatas bantal tempat tidurku, masih tak percaya atas kasarnya sikap Sukma kepadaku. Kepalaku terus menerus bertanya, “Kenapa kau tak mendampratnya, Tania? wanita itu sangat kurang ajar terhadapmu!!!!”. Namun hatiku berkata lain, “Kau harus menerimanya, Tania. Sikap perempuan itu tadi, adalah sebuah cerminan untukmu yang memiliki sikap seperti itu juga. Dan kau tak pernah sadar telah menyakiti banyak perasaan orang lain”. Air mata menetes di pelupuk mataku, lagi-lagi aku bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang aku berubah menjadi wanita dramatis yang cengeng? Tapi malam ini, aku sangat menikmati perasaan ini sambil sesekali memikirkan harus bagaimana kini aku bersikap. Pikiranku melayang kemana saja, terkadang Anta muncul didalamnya, kemudian Pierre, Dania, Tiara, Sukma, Ibu, Ayah… bahkan kadang Bi Eha. Hidupku ini memang begitu sepi ya? Tidak banyak orang yang kukenal selain mereka.
Suara telepon tiba-tiba mengagetkanku, terdengar begitu keras di telinga saat aku mulai hendak tertidur setelah lama melamun. Kulihat layar telepon genggamku cepat-cepat, ada nama Anta disana. Awalnya aku hanya bengong, namun segera tersadar bahwa aku harus segera mengangkat panggilan telepon itu.
“Antaaaa!!!!!!”, suaraku terdengar melengking saat akhirnya telepon itu kuangkat. Diseberang sambungan terdengar suara yang begitu kurindukan, “Teh Tataaaaaaannnnnnnnn!!!! Gusti nu agung sono pisan teteh!!! Anta kangen pisan sama teteh Tania kesayangan Anta!”, suara Anta tak kalah nyaringnya dengan teriakanku. “Terimakasih Alam Semesta untuk kebahagiaan ini! Antaaaaaaaaaa cepat pulaaaaaaaang!!!! Aku rinduuuuuuuuuuuuuuu!!!! Lekas pulang, bawa saja tunanganmu itu untuk tinggal bersama kita!” , air mata benar-benar berurai hebat kini, kebahagiaan ini tak bisa kugambarkan dengan kata-kata apapun.
Tiba-tiba Anta tak lagi berteriak disambungan telepon, hening sekali. “Halo? Halo? Anta? Halo? Anta!”, aku mulai cemas. Kupikir sambungannya memang terputus, namun ternyata tidak, karena kini suara itu muncul lagi namun dengan nada bicara yang lebih pilu daripada sebelumnya.
“Belum bisa sekarang teteh, tapi nanti Anta akan datang… kalau semuanya sudah beres. Teteh sehat ya, jangan lupa untuk terus melukis… Titip salam untuk Pierre, teh…”
tut… tut… tut…
kali ini benar-benar mati, tak ada lagi suaranya.
Bersambung.
Published on September 07, 2013 21:19
September 1, 2013
ANANTA PRAHADI PART 7
Aku masing tercengang mendengar apa yang diucapkan oleh Anta, hatiku berdebar kencang dan kuyakin tak lama lagi emosiku akan kembali meledak… seperti biasanya. Benar saja, hanya membutuhkan 1 menit untuk menunggu ledakkan itu. “Apa kau bilang? Tunangan?! Hal bodoh apalagi ini? drama apa yang sedang kau mainkan Anta?! Dimana kau temukan wanita KAMPUNGAN ini?!”, aku berteriak-teriak kini… sedang kedua tanganku menegang sambil tak henti menunjuki mereka. Tepat setelah kata-kata itu kulontarkan, tiba-tiba saja aku melihat sebuah tatapan yang tak pernah kulihat selama ini darinya. Tatapan itu begitu menusuk jantungku, tatapan seorang laki-laki yang begitu marah dan jijik terhadapku. “JANGAN MENERIAKI DIA! Teteh boleh saja meneriaki saya dengan sesuka hati! Tapi perempuan istimewa ini belum terbiasa mendengar teriakan dan cacian itu! Kalau Teteh menghormati saya, maka hormati juga dia! Dia sudah menjadi bagian hidup saya sekarang! TOLONG HARGAI ITU!”, Anta meneriakiku dengan sangat marah. Aku dibuatnya kembali tercengang, sungguh tak pernah aku menyangka sahabatku Anta mampu meneriakiku seperti itu. Roda dunia sedang berputar, dan aku merasa sedang berada diputaran terbawah, terjepit dan terhimpit. Belum sempat kubalas teriakannya, Anta yang emosi menarik tangan perempuan bernama Sukma itu dan membawanya pergi meninggalkanku yang kini bersimpuh di lantai kamar paviliunnya. Airmataku berjatuhan hebat, tangisku mulai pecah.
Rupanya Ibu dan Tiara mendengar teriakan-teriakan kami, dengan tergopoh-gopoh mereka mendatangiku yang masih belum beranjak dari atas lantai. “Tania apa yang terjadi nak?!”, Ibu coba meraih dan mengangkat tubuhku. Kuhempaskan tangan Ibu, “Tidak! Tidak terjadi apa-apa! Sudah lepaskan aku Bu! Aku bukan anak manja!”. Kini giliran Tiara yang mencoba mengajakku berdiri, “Mbak sudah mbak jangan nangis lagi, ayo bangun Mbak… ga usah cerita apa-apa juga gak apa-apa. Tapi tolong Mbak berhenti menangis dan keluar dari kamar ini, ya Mbak?”, dengan sangat hati-hati Tiara berusaha membujukku. “Diam kamu anak sok tau!!! Pergi kamu dari sini!! Tolong, Ibu juga pergi dari sini! Aku sedang ingin sendiriann!!!!”, tanganku menunjuk ke arah pintu depan paviliun Anta, dan mereka berdua menuruti kata-kataku… pergi meninggalkanku. Aku kembali sendiri, dan masih menangis dan meraung bagai binatang yang sedang melolong karena terluka. Kepalaku dipenuhi berbagaimacam pikiran, kebanyakan berisi kemarahan dan kebencian mendadakku terhadap Anta.
…
“Mbak Tania, Mbak! Bangun Mbak!”, suara Bi Eha yang terdengar cukup panik berhasil membangunkanku dari tidur. Lagi-lagi aku tertidur, namun tak ingat mulai kapan mataku terpejam karena tubuhku masih tertidur diatas lantai kamar Anta, sepertinya tadi aku menangis hingga ketiduran. “Apa sih?! Jangan ganggu aku!”, kujawab Bi Eha dengan sangat ketus. “Mbak, itu Mbak… si Bulepotan dateng mba, di ruang tamu mbak!”, sambil terengah Bi Eha terus berbicara. “Siapasih bulepotan?!?!”, aku membentaknya. Namun tak lama setelah ku bentak Bi Eha tiba-tiba saja mataku melotot, dan bayangan Pierre melintas dengan cepat. “Astaga Bi Eha! Si Pierre yah? Aduh gimana ini aduh...”, dengan panik aku berlari keluar paviliun Anta, dan seketika itu juga aku lupa pada kejadian tadi siang.
Awalnya kaki-kaki ini mengendap kecil menuju ruang tamu, namun saat mendengar suara Pierre sedang bercakap-cakap dengan seseorang, mereka mempercepat langkahku untuk segera melihat sedang bersama siapa dia disana. Dengan kaus hitam dan celana jeans sobek dia sedang duduk di sofa ruang tamu, berbicara serius dengan Ayah. “Hai Pierre”, kucoba untuk berpura-pura santai sambil melemparkan tubuhku ke atas sofa tepat disebelah Ayah. “Tania!”, dengan sedikit berteriak Pierre menyapaku penuh semangat. Ayah tampak kikuk melihatku duduk disampingnya dengan wajah kusut, “Oke Pierre, Tania sudah ada. Nice to meet you Pierre…”, Ayah mengangkat tubuhnya lalu berjalan meninggalkan kami tanpa melihat ke arahku. Untuk beberapa saat tak satupun kata mampu keluar dari mulutku dan Pierre, bahkan mata kami tak berani untuk saling bertemu. Dalam keheningan akhirnya aku angkat bicara, “Ikut aku ke studio”.
…
“Tania, boleh saya bicara maaf padamu?”, Pierre membuka topik pembicaraan saat kami berdua mulai memasuki studio lukisku. “Tunggu, jangan sekarang!”, jawabku ketus sambil terus berjalan ke arah luar studio. Diluar studio aku melihat 2 kursi dengan posisi tak beraturan, bahkan aku masih melihat 2 gelas berisi kopi dingin. Pikiranku kembali teringat pada Anta, kursi itu baru kami duduki kemarin. Disanalah aku memeluk tubuhnya erat sambil terus bercerita dan mendengarkan segala petuah-petuah sok bijaknya. Kopi yang tak sempat kami minum pun posisinya belum berubah, 2 gelas kopi itu menjadi saksi indahnya persahabatanku dengan Anta kemarin malam. “Sudah bisa bicara?”, pertanyaan Pierre membuyarkan lamunanku. “Belum”, kududukkan tubuhku diatas kursi lalu menyelimutkan selimut yang sengaja kubawa keluar dari dalam studio, menutupi tubuhku. “Sekarang sudah?”, lagi-lagi manusia Albino itu menanyaiku. “Penting ya?”, jawabku. “Sangat!”, dia menjawabnya dengan antusias. “Awas kalau tidak penting!”, kupejamkan kedua mataku sambil mendongakkan kepala menatap langit malam ini yang tampak sepi tanpa bintang.
Pierre tampaknya tertarik untuk mengikuti gayaku, karena kini dia duduk disampingku sambil mendongakkan kepala. “I’m sorry…”, ucapnya pelan. “Untuk?”, jawabku tanpa menoleh kepadanya. “Untuk tidak memahami kamu…”, bisa kulihat dari sisi mata kananku dia kini sedang menatap arahku. “Kamu bukan Ibuku, juga bukan Ayahku. Tak perlu memahamiku, susah!”, ucapku sambil mulai memandangi langit dengan mata telanjang. “Tidak susah, karena ternyata saya bisa paham sekarang…”, dia kembali berbicara. “Paham apa?!”, wajahku kini berbalik menatap wajahnya dengan tatapan kesal. “Mmmh jangan cepat marah, nanti cepat tua hehe. Mmmh… saya paham, kalau kamu ternyata cukup memperhatikan saya…”, senyumnya mengembang lebar. Emosiku mulai terkena percikan amarah, “Apa maksudmu?! Bule gila! Enak aja!!! Jangan ngomong macem-macem! Mana mungkin aku perhatiin kamu!”, dadaku terengah naik turun. “Kalau sedang marah kamu lucu sekali, Tania.”, tangan kanannya menyentuh tanganku… dan saat itu juga kuhempaskan dengan sangat kasar. “Berengsek! Dasar laki-laki jahat! Pasti kau nakal dan suka mempermainkan wanita! Aku yakin itu! Kau harus ingat satu hal, aku bukan wanita yang bisa kau permainkan! Ooooh… Jadi, kepentinganmu kesini hanya untuk begini?! Membuatku marah?! Iya?! Pergi!! Aku tak ingin melihatmu lagi!”, entah darimana datangnya amarah ini karena sekarang emosiku begitu meledak seperti banteng mengamuk. Dan entah darimana asalnya air mata ini, karena mereka kini kembali meluncur jatuh membasahi kedua belah pipiku. Bayangan tentang Anta kembali bersliweran, mericuhkan isi kepalaku bahkan ricuhnya lebih besar dari kekecewaanku pada Pierre yang saat itu pernah membuatku begitu kesakitan. Perasaanku benar-benar dipermainkan, dan kali ini sakitnya terasa berlipat-lipat.
“Tania…”, Pierre hanya bisa berbisik pelan. Dia terlihat kebingungan, namun tampak bersedih melihatku marah dan menangis disisinya. Bukannya meninggalkanku, dia malah mendekatkan kursi yang dia duduki agar semakin dekat dengan kursiku. Tanpa ragu dia rapatkan tubuhnya ke tubuhku. Aku tak begitu menyadari saat tiba-tiba tangannya mendekap memeluk tubuhku kencang sementara tangannya sibuk mengelusi rambut dan kepalaku. Pertahananku lumpuh dalam dekapan Pierre, rasa marah dan emosi yang begitu menyiksaku melemah secara perlahan. Tanganku membalas pelukannya, dalam pelukan Pierre aku terus menangis…
“Tania, jangan bersedih… saya tahu kamu sedang memikirkan sebuah hal yang membuatmu begitu marah. Im here for you… Tania, jangan jadikan saya musuh kamu. O iya, salam kenal untukmu dari wanita yang waktu itu kamu lihat di lift. Kami baru saja bertemu setelah 20 tahun terpisah, dia adik perempuan saya. Kamu harus berkenalan dengannya, dia anak perempuan yang sangat menyenangkan”, Pierre berbisik pelan ditelingaku sambil tak henti mengusap rambutku.
Aku tak peduli Pierre, tapi terimakasih telah berusaha menjelaskan semua ini untukku. Yang kubutuhkan adalah sebuah pelukan seperti ini, pelukan yang biasanya kudapat dari Anta.
Bersambung.
Published on September 01, 2013 02:58
August 24, 2013
ANANTA PRAHADI PART 6
Kejadian kemarin sore masih berdengung-dengung di kepalaku. Bayangan tentang kedua orangtuaku, Tiara, dan kata-kata yang keluar dari mulut Ibu seolah sedang menghantuiku pagi ini. Sepertinya semalaman ini aku tidak bisa tertidur dengan nyenyak, karena beberapa kali mataku terbuka lebar untuk memastikan pukul berapakah itu. Sekali-kali kulongokkan kepalaku ke arah paviliun Anta, hanya untuk memastikan apakah dia sudah datang atau belum. Namun lampu depan paviliun itu tetap padam seperti sedang tak berpenghuni. Kemana Anta? Aku terus bertanya-tanya sendiri, sementara nomornya tak bisa kuhubungi sama sekali. Tenggorokanku kering kerontang, kuangkat tubuhku untuk mengambil gelas dan air putih yang selalu tersedia disebelah tempat tidurku. Badanku rasanya sakit sekali, entah karena salah posisi tidur atau karena telalu banyak angin yang masuk ke dalam pori-pori kulitku, aku baru sadar… semalaman jendela kamarku terbuka bebas. Dalam keadaan lemas kuteguk air putih di mug milikku bagai binatang yang sedang kehausan, saat itulah suara bising itu kembali muncul… tepat dibelakang telingaku, disertai sebuah pukulan dipunggungku. “Hayohhh!!!!”, suara itu mengagetkanku, sekaligus membuat semua air yang masuk ke dalam mulutku kembali berhamburan membasahi baju yang kukenakan.
“ANJRIT!!!”, mulutku sontak berteriak kaget. Kulihat Anta sudah berdiri tegap sambil tersenyum-senyum seperti orang gila didepanku. “Teteh Tatan kesayangan Anta selamat pagiiiii!!!!!”, dia kembali berteriak dengan gaya khasnya. Mataku kini mulai memasang ancang-ancang untuk melotot karena kesal, “Heh!!! Lihat nih airnya jadi tumpah semua!! Jangan ngagetin gitu dong!! Ga sopan banget sih! Udah ilang, tiba-tiba dateng ngagetin! Setan!”. Anta tertawa puas, “Ih angger si teteh mah, memang sengaja Anta ngagetin Teteh Tatan biar ngga ngantuk lagi hehehe. Teteh, jangan marah yah kemarin Anta Teh pergi ngga bilang-bilang ke Teteh… ada urusan keluarga mendadak di Subang”, ucapnya sambil menyodorkan saputangan untuk membersihkan sisa-sisa air di bajuku. Kutepis sapu tangan itu, “Halah alesan! Kupikir kau sudah yatim piatu ga punya sanak sodara. Jangan ngarang deh!”. Anta kini berlutut didepanku, kedua tangannya memegangi kakiku dengan erat. “Aih jangan marah atuh Teh, suwer Anta ketemu sama sodara Anta. Ya memang Anta yatim piatu, tapi Anta kan masih punya sodara disana. Maaf ya tetehku yang cantik dan judes… sok atuh Anta harus ngapain biar teteh ngga marah?”, matanya terlihat memohon sedang mulutnya merengek seperti anak kecil. Aku mulai terkekeh melihat tingkahnya, kutarik kedua tangannya sambil memeluknya dengan sangat keras. “Antaaaaaaaaaa!!!!!! Aku rindu sekali padamuuuu!!! Banyak hal yang terjadi kepadaku 2 hari iniiiii!!! Aku kangen sekaliiiii Antakuuuu”, aku berteriak-teriak seperti orang gila sedangkan Anta kini hanya terdiam kebingungan melihat reaksiku yang tak biasa.
Hari itu, aku dan Anta duduk berduaan di atas rooftop kamarku. Kuceritakan segala hal yang sejak kemarin ingin kuceritakan kepadanya. Tak henti tanganku terus memeluk tubuhnya, sementara dia hanya mengangguk-angguk mendengar semua ceritaku. Angin dan cuaca mendung kota Bandung hari ini membuat segalanya tampak dramatis, dua cangkir kopi susu yang 5 menit lalu masih mendidih pun kini terlihat sudah mendingin… dan mereka sama sekali tak kami sentuh. “Teh, kenapa harus pura-pura sih? Anta yakin si Pierre itu pasti punya alasan kenapa dia menghubungi teteh lagi. Ngga tau kenapa ya Teh, tapi perasaan Anta mah bilang kalau dia tuh sebenarnya ga ada apa-apa sama si cewe rambut panjang kaya kunti itu. Makanya waktu itu datang ke sini juga… Nah sekarang teteh pikir yah, kalau dia ga punya perasaan apa-apa ke teteh, ngapain atuh dia harus dateng kesini buat menjelaskan sesuatu ke teteh?”, mata Anta kini menerawang jauh ke perbukitan di depan kami sedangkan aku tertawa kecil mendengarnya menyebut kata kunti. “Dan Teh, untuk masalah Ibu… sebenarnya Anta ngga bisa terlalu masuk, karena ini masalah pribadi keluarga teteh. Tapi Teh, ini mah yah pemikiran dari Anta si anak yatim piatu ya Teh. Coba teteh posisikan diri teteh di Anta, dan rasakan bagaimana kerinduan Anta terhadap orangtua Anta yang udah ga ada. Ingat Teh, suatu saat Ayah dan Ibu teteh juga bakal ngga ada… dan saat itu terjadi, Anta yakin akan ada sebuah penyesalan di hati teteh kenapa dulu ngga begini kenapa dulu ngga begitu. Mumpung sekarang keduanya masih ada dan sehat wal afiat, coba robah keadaan kaku ini Teh… Mereka adalah harta teteh yang paling berharga, termasuk Teh Tiara yah. Dan sebenarnya hanya mereka yang bisa mengerti Teteh, jauh melebihi pengertian Anta ke Teteh. Saran Anta sekarang untuk kedua masalah teteh, coba buka mata, hati dan telinga teteh… jika semuanya terbuka, Anta yakin teteh Tatan akan melihat semua ini adalah sesuatu yang harus dipertahankan…”. Aku hanya terdiam meresapi semua kata-kata Anta yang terdengar begitu dewasa, sedikit perasaan malu terselip didalamnya. Namun kini yang kulakukan untuk menanggapi kata-katanya adalah mengangkat tanganku lalu memukulkannya dengan keras di punggungnya, “Sok Tau kamu!”. Anta menarik tubuhnya dari tubuhku, lalu tangannya menjambak rambutku dengan keras, “Dasar si batu!!!”. Kami berdua kembali berpelukan, tertawa mentertawakan diri kami sendiri. Aku bahagia berada disisi Anta, dan kulihat begitupun sebaliknya.
“Teh, coba pinjem HP teteh!!”, Anta tiba-tiba mendekatiku yang sejak tadi begitu asik membubuhkan warna pada lukisan baruku. Lukisan “Anta” yang sejak kemarin kugarap dengan sengaja kusembunyikan dulu, aku tak ingin Anta tahu bahwa aku melukis sosoknya. “Mau ngapain?!”, kugenggam telepon genggamku kini dengan sangat erat seolah tak ingin direbut olehnya. “Siniin ah! Mau nebeng sms, Anta ga ada pulsa!!”, dengan cekatan dia merebut telepon genggam itu. “Ah dasar orang susah! Pulsa aja ngga punya, huh!”, kupalingkan wajahku kembali berkonsentrasi pada kanvas. “Nih Teh, nuhun”, Anta menaruh telepon genggam itu kembali pada tempatnya sebelum akhirnya dia keluar meninggalkan studioku.
Telepon genggamku tiba-tiba berbunyi, tanda pesan masuk. “Antaaaa!!! Tuh ada balesan woy!”, aku berteriak-teriak memanggil Anta. Dia balas meneriakiku dari luar studio, “Tolong dibales tehhhh!”. Hatiku mulai merasa tak enak, pasti ada sesuatu yang ga beres nih. Dengan cepat kuambil telepon genggamku, lalu mulai membaca pesan itu.
Pesan Baru : Manusia AlbinoI know its you Tania, saya ingin bertemu kamu segera. Bisakah?
Mulutku berteriak kencang, “Antaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!”. Samar kudengar balasan dari teriakanku diluar sana, “Hahahahahahahahahaha sukurinnnnn!!!!”. Tanganku bergetar hebat membaca pesan itu, konsentrasiku pada lukisan pun buyar seketika. Anta sialan itu telah mengirimkan sebuah pesar untuk Pierre, tanganku sibuk membaca pesan apa yang sudah dikirim olehnya.
Pesan terkirim : Manusia AlbinoHai Pierre, maafkan saya… Betul ini nomor saya… Tania.
Tanganku masih bergetar, namun memberanikan diri untuk menekan tombol balas.
Kepada : Manusia AlbinoHalo Pierre, ya ini Tania. Buat apa bertemu saya?
Terkirim.
Pesan baru : Manusia Albinothere’s something to explained.
Balas kepada : Manusia AlbinoSee you at 7 pm, in my studio.
Tanganku kini mulai berkeringat, tak percaya atas apa yang baru saja kulakukan. “Gila gila gila!!!! Ngapainnnnnn coba Taniaaaa?!?!?! Akkkkkks!!!! Harusnya ga usah dibales gituuuuuu aaaaaaaa!!!!!!!! Sialannnn!!!”, aku berteriak-teriak sendirian seperti orang gila. “Antaaaaaaa sini heyyyyy Antaaaaaa Anak Ontaaa!!!”, tiba-tiba aku berlarian sambil terus berteriak-teriak keluar studio lalu menuruni anak tangga dengan begitu cepat. Kulihat ada Tiara dan Ibu disana dibawah sana sedang duduk berdua, mereka tercengang melihatku berteriak-teriak. “Sadar Tania!!!”, Ibu meneriakiku. Tak kugubris teriakannya karena kini aku mulai membelokkan tubuhku ke arah paviliun Anta. “Antaaaaaaaa Antaaaaaaa Antaaaaaaaaaa Antaaaaaaaaaaa”, kugedor-gedor pintu paviliunnya dengan semangat 45. Anak itu membukakan pintu kamarnya dengan wajah penuh senyuman, aku yang sejak tadi tak sabar menemuinya segera berhamburan masuk ke dalam paviliun itu. “Antaaaa kamu gila kamu gilaaaa!!! Tapi aku suka kegilaanmu!”, kupeluk tubuhnya dengan penuh kegembiraan. Anta sedikit mengaduh karenanya. “Aduh Teh ih sakiiit…”, dia mendorong tubuhku pelan. “Terimakasih yah Anta, aku cukup senang… hehehe. Tapi aku harus bagaimana? Aku harus pake apa Anta??? Huhu aku tegang sekali ini!”, kali ini kugoyang-goyangkan bahunya dengan keras. “Teh… Teh… sadar ih jangan kaya nugelo!!!”, Anta menepis tanganku dari bahunya. Aku tertawa-tawa sendirian, sementara Anta tak sedikitpun tertawa.
Entah dari mana datangnya dia, karena kini disebelah Anta tiba-tiba saja berdiri seorang perempuan kecil berkerudung, wajahnya cukup cantik namun terlihat sangat lugu. “Siapa dia?!”, tawaku terhenti karenanya. Wajah Anta tampak pucat pasi melihat reaksiku. “Oh Teh, mmmh kenalin ini Sukma. Mmmh… Teh, dia tunangan Anta…”. Bagai petir disiang bolong, kata-kata dari mulut Anta yang baru saja kudengar berhasil membuatku mematung hingga beberapa detik, mataku kembali melotot, emosiku terbakar cepat…
Segala kegembiraan yang baru saja kurasakan mendadak lenyap. Terimakasih Anta atas kata-kata yang kauucapkan.
Bersambung.
Published on August 24, 2013 22:06
August 18, 2013
ANANTA PRAHADI PART 5
“Bi Eha, Bibi liat Anta?”, waktu menunjukkan pukul 8 pagi dan Bi Eha tampak kaget melihat penampakanku di meja makan pagi itu. “Mmmh, belum lihat mbak… mungkin masih tidur di kamarnya”, Bi Eha tampak canggung. “Anu Mbak Tania, Bi Eha belum sempat bikinin Mbak kerak nasi… kan biasanya Mbak Tania bangun jam 12 siang. Mbak Tania mau nunggu ngga? Biar Bibi bikinin dulu kerak nasinya?”, dengan sedikit gugup Bi Eha menanyaiku. Seperti biasa, mulutku menjawabnya dengan sangat ketus. “Ga usah! Emangnya mukaku ini keliatan kaya orang kelaparan yah?! Kalau biasa ngasih aku makan jam 12 ya udah jam 12 aja nanti, ga usah sok baik deh! Bibi aja sana yang makan!! Lagian, ko kayanya sekarang badan Bibi keliatan kurus?! Gemukin lagi ah Bi! Aku ga suka liatnya!”, sambil berlalu kulihat wajah Bi Eha tampak melongo kaget melihatku berbicara seperti itu. Sejak pertama kali bertemu Bi Eha, mulutku tak pernah berkata manis kepadanya. Bisa jadi, kata-kataku barusan merupakan kalimat termanis yang pernah didengarnya. Entah kenapa pagi ini aku lebih perhatian padanya, mungkin karena sms semalam… entahlah.
Kulangkahkan kakiku menuju paviliun Anta, kepalaku melongok kesana-kemari mencoba menembus isi jendela kamarnya. “Antaaaaa… woyyy bangunnnnn!!!! Antaaa bangunnnnn!!!”, mulutku berteriak-teriak meneriakkan namanya. Tak ada jawaban, hening seperti tak berpenghuni. Sepertinya Anta sudah pergi dan beraktivitas sejak tadi pagi, tumben dia tak mengunjungi kamarku… padahal biasanya dia selalu meminta ijinku jika akan bepergian kemana saja. Meski aku sedang terlelap pulas, biasanya tanpa ragu dia akan membangunkanku demi mendapat ijin bepergian dariku. Kemana dia ya?
Akhirnya kuputuskan untuk kembali menemui Bi Eha yang masih asyik berkutat dengan menu sarapan pagi ini. “Bi!! Anta ngga ada di kamarnya ah! Kemana dia Bi? Masa Bibi ga lihat dia sih tadi pagi?”, dengan kening yang dipenuhi kerutan kutanyai Bi Eha. “Suwer neng, Bi Eha ngga liat Mas Anta sejak tadi pagi… eh malahan sejak subuh neng! Kan tadi Bibi udah beres-beresin rumah sejak jam 5 pagi!”, Bi Eha tampak bersemangat membela dirinya. “Terus Anta kemana dong?!”, sambil berlalu kugumamkan pertanyaan itu. Bi Eha berceletuk pelan, “Ke… rupuk”. Kupalingkan wajahku cepat sambil memelototinya, lalu kuacungkan kepalan tanganku ke arahnya, “HEH!”.
…
Aku tengah berdiri diatas hamparan rumput yang luas, menghirup udara yang begitu dingin menusuk di kulit. Kicauan burung terdengar riang disekelilingku, dimanakah aku ini? Aku begitu merindukan suasana seperti ini. Bandung kota tempatku tinggal tak lagi punya tempat seperti ini, terlalu banyak bangunan yang menyita hamparan rumput hingga tak pernah lagi kurasakan udara sesegar kali ini. Kubiarkan lamunanku menguasai diriku yang sedang begitu bersemangat, menatap kosong kemana saja tanpa menyadari ada sebuah titik berwarna putih jauh diujung sana. Lama kelamaan akhirnya mata ini menangkapnya juga, terus memicing menatap titik itu yang kian lama kian membesar. Titik putih itu mulai membentuk sebuah sosok, mataku terus menerus berusaha menelanjangi sosok itu. Hatiku mulai resah, karena sosok itu semakin dekat, menuju kearahku. Aku tak percaya atas apa yang kini sedang berdiri begitu dekat didepanku, mataku tak henti berkedip mencoba menjawab tanda tanya besar dihatiku. Apakah ini mimpi?
Tak perlu menunggu lama atas jawaban itu, karena tiba-tiba sosok itu menjawabnya. “Bukan Tania, ini bukan mimpi…”. Sosok itu adalah Pierre, laki-laki yang benar-benar mengacaukan hidupku belakangan ini. Laki-laki yang paling kubenci sekaligus kusukai. Wajahku tersipu malu mendengarnya berkata seperti itu, jelas ini tak seperti biasanya. Pelan dan terus tersenyum aku membalas jawabannya, “Ini lebih dari sekadar mimpi”. Pierre tersenyum begitu indah, kulihat sebuah kebahagiaan dimatanya yang semakin berseri. Tanpa berkata apa-apa lagi dia mendekatiku seolah hendak memelukku, tapi bukan itu yang dia lakukan. Tangan kanannya tiba-tiba menarik sebelah tanganku, mengajakku pergi bersamanya. Aku tak kuasa untuk menolaknya, asalkan bersamanya aku rela dibawa kemanapun kakinya melangkah. Aku bermetamorfosa menjadi Tania yang berbeda jika didekatnya, dan aku mensyukuri itu. Pierre telah mengubah segalanya, bahkan aku berhasil melupakan amarah dan kesalku kepadanya… yang kuinginkan sekarang adalah melangkah bersamanya.
Entah kemana dia akan menuju, tangannya masih begiu erat menggenggamku. Tiba-tiba saja sebuah suara terdengar begitu jelas ditelinga, “Mbaaaaak… Mbak Tania… Mbaaaak!!!!”. Kutolehkan kepalaku ke arah suara itu berasal, kuhentikan langkahku karenanya. “Mbak Taniaaaa bangunnnn!!!! Ibu nyariin Mbak tuh!! Mbak Mbak Mbak Mbak bangun bangun bangun bangun!!!!”. Mataku tiba-tiba terbuka lebar, karena suara itu benar-benar pekak ditelingaku. “Setan!! Apa-apaan sih kamu?! Bisa lebih sopan kan kalau bangunin orang?!”, kupelototi adikku Tiara yang kini tengah berjalan-jalan mengelilingi kamarku. “Iya Mbak, maaf. Tapi aku udah bangunin Mbak daritadi loh, susahnya bukan main. Bangun gih Mbak, Ibu nungguin Mbak di kamarnya. Katanya sih penting banget…”, kulihat Tiara tampak sungkan menatap wajahku karena kini dia mencoba mengalihkan pandangannya dengan cara melongok ke arah luar jendela kamarku. “Aku ngga suka cara kamu Tiara!! Kalau kamu berani kaya gini lagi, aku akan sangat marah!! Pergi kamu dari kamar ini!!”, aku berteriak-teriak seperti orang gila kini. Tiara tampak cemberut, mulutnya bersungut-sungut kesal. Sambil meninggalkan kamarku, kudengar dia meracau pelan. “Ya Alloh sembuhkan penyakit Mbakku ini…”
Sambil malas-malasan kuangkat juga tubuhku dari atas tempat tidur. Rupanya aku melanjutkan tidurku tadi pagi, tak terasa kini waktu menunjukkan pukul 5 sore. Perasaanku sore itu begitu campur aduk, disatu sisi aku bahagia bisa bertemu Pierre dan meyakini bahwa itu bukanlah mimpi. Namun disisi lain aku harus menerima kalau ternyata itu hanyalah mimpi. Tanpa mandi, tanpa berganti pakaian, kulangkahkan kakiku menuju kamar Ibu yang katanya ingin bertemu denganku. Selama hidup satu atap dengan keluargaku, harus kuakui aku hampir tak pernah bertatap muka dengan mereka. Hanya Anta dan Bi Eha yang sering berkomunikasi denganku, sementara yang lainnya tidak. Sepertinya mereka memang enggan berbicara denganku meski mereka adalah Ibu, Ayah, dan Adikku sendiri. Tanpa mengetuk pintu aku menerobos masuk ke dalam kamar tidur Ibuku, kulihat dia sedang duduk sendiri di beranda kamarnya. “Halo Bu, ada apa? Lain kali jangan ganggu aku tidur ya. Ayo cepat ada apa Bu?”, kujatuhkan tubuhku diatas tempat tidur. “Kebiasaan, anak perempuan jangan tidur melulu nanti susah dapet rejeki!”, Ibu berdiri meninggalkan kursinya lalu mendekatiku. “Pekerjaanku membutuhkan banyak waktu untuk tidur, dan uangku lebih banyak daripada orang-orang yang waktu tidurnya sedikit karena dipakai untuk banting tulang cari uang”, kini kupejamkan mataku. “Jangan begitu Tan, kalau kamu lebih teratur pasti uang dan rejekimu juga lebih banyak daripada sekarang”, suara Ibu mulai terdengar kesal. “Buat apa banyak uang? Gaya hidupku tak seperti kebanyakan orang. Tanpa uang pun sepertinya aku akan tetap hidup bahagia. Hidup normal dengan caraku”, kubuka kedua mataku dan seharusnya Ibu tahu kalau emosiku sekarang mulai tersulut. “Memang tak ada habisnya berbicara denganmu Tan, kamu orang yang selalu merasa benar dan sangat egois. Masih untung si Anta itu mau bekerjasama denganmu, Ibu ragu apakah ada laki-laki yang mau jadi suamimu! Yang mau jadi suamimu ya paling-paling si Anta itu, yang seumur hidup akan terus kamu injak-injak”, tanpa menatapku mulut Ibu terus bergerak kesana-kemari mengeluarkan bunyi-bunyian yang semakin memancing rasa marahku. “Demi Alam Semesta dan segala isinya maafkan Ibuku yang berkata asal seperti tak pernah belajar! Ibu! Jadi maksud Ibu itu apa? Mau Ibu itu apa?! Ibu berbicara seolah tak pernah mengenalku!!! Aku ini anakmu! Dan kau harusnya jadi orang paling mengerti aku! Ibu mau aku pergi dari rumah ini?! Baik kalau memang itu mau Ibu!!”, emosiku kini memuncak. “Astagfirullah Tania! Jangan berkata seperti itu pada Ibu! Ibu tak pernah bermaksud seperti itu!! Tolong jangan seperti itu Tania…”, Ibu tiba-tiba saja meraung, menangis, dan terjatuh. “IBUUUUUU!!!!!”, aku berteriak kencang. Aku yang begitu marah kini mulai panik, walau dianggap sebagai wanita aneh… namun aku tak pernah kuat melihat orang menangis, terlebih orang itu adalah Ibuku sendiri. Kuangkat tubuhnya, dan kini tangannya merangkul tubuhku begitu erat… memelukku seakan melarangku untuk melakukan hal bodoh. “Tania, maafkan Ibu… Tolong jangan berpikir untuk pergi dari rumah ini. Ibu bersyukur masih tahu keberadaanmu meskipun kita tak pernah saling bicara. Ibu merasa tenang berada satu atap denganumu.”, tanpa berhenti menangis Ibu memelukku semakin erat. “Iya Bu, santai aja”, meski khawatir pada keadaannya aku masih tetap saja ketus.
Ibu kini terbaring diatas tempat tidurnya, disampingnya ada aku dan Tiara yang tadi tiba-tiba menerobos masuk ke dalam kamar Ibu saat mendengar teriakanku. Tanpa ragu aku mulai kembali menanyai Ibu, “Bu, sebenarnya maksud Ibu menemuiku itu untuk apa sih?”. Ibu tersenyum menatapku, “Ibu kangen kamu Tania, rasanya sudah sangat lama tak banyak berbicara denganmu”. Kupalingkan wajahku ke arah beranda, “Oh…”. Tiara tiba-tiba ikut berbicara, “Iya Mbak, kita semua kangen sama Mbak. Ayah juga semalam bilang gitu. Kita jarang berbicara kan Mbak? Dan sedihnya, kami hanya mendengar teriakan-teriakan Mbak saja diatas sana, atau suara pecahan benda-benda yang kami tak pernah tahu apa itu”. Kupalingkan sedikit wajahku pada Tiara, “Sebenarnya kalian tinggal datang dan menanyaiku, jangan terlalu drama lah”. Ibu memegangi tangan Tiara, aku tahu betul maksudnya adalah agar Tiara tak lagi berbicara mendebatku. “Seharusnya Ibu tak seperti ini, maafkan Ibu ya Tan. Karaktermu memang seperti ini sejak dulu, dan Ibu harus menerima itu. Termasuk kamu juga Tiara, Mbakmu ini memang begini”, kepala Ibu mengangguk sambil tak henti menatap Tiara, Tiara membalasnya dengan senyuman. “Bu, memang aku ini kenapa? Apakah aku ini kurang waras dimata kalian?”, kuturunkan nada bicaraku berusaha membuat percakapan Ibu dan anak ini menjadi lebih kondusif. “Kamu sangat waras, bahkan mungkin lebih waras daripada kami. Hanya saja kamu terlalu istimewa, hingga terkadang kami yang biasa saja tak bisa memahami sebenarnya siapa kamu, apa maumu”, Ibu tak henti tersenyum menatapku. “Lalu aku harus bersikap bagaimana agar kalian bisa memahamiku?”, kembali kubertanya. “Mungkin kau harus mencari seseorang yang bisa menyeimbangkan keistimewaanmu, membuatmu lebih dimengerti oleh banyak orang. Menambal kekuranganmu dengan kelebihannya, begitupula sebaliknya…”, wajah Ibu kini tampak lebih serius, diikuti oleh Tiara yang kini mengangguk-angguk seolah paham betul apa yang sedang Ibu bicarakan. Kutatap wajah mereka satu persatu, wajah Ibuku… lalu kemudian wajah adikku, Tiara. “Kalau menurutmu seperti itu Bu, dan kau menganggap ucapan Ibu benar, Tiara. Maka kalian telah membohongiku. Ternyata aku tak seistimewa itu. Jika aku seorang yang istimewa, tentu aku tak punya kekurangan. Dan tentu saja, aku tak perlu penambal yang kubutuhkan untuk menambal segala kekuranganku. Ibu, Tiara, kalian tahu apa yang kubutuhkan? Yang kubutuhkan adalah orang yang sama istimewa sepertiku. Bukan sebagai penambal kekurangan, tapi dia dan aku akan menjadi dua orang istimewa yang membuat sebuah hidup yang jauh lebih istimewa daripada orang-orang pada umumnya. Aku bukan orang setengah, dan aku tak perlu laki-laki setengah yang akan membuat hidup kami menjadi 1 jika bersatu. Aku adalah satu, dan aku akan bersatu dengan orang berangka satu yang akan membuat kami menjadi 2 jika disatukan. There is no Two become One, There’s Two become Two”, aku berdiri santai lalu mulai melangkahkan kakiku keluar dari kamar Ibu. Masih jelas kuingat bagaimana wajah Ibu dan Tiara yang tampak melongo kaget mendengar kata-kata yang baru saja keluar dari mulutku.
“Maafkan aku Bu, aku sebenarnya tidak ingin menyakiti perasaanmu. Tapi beginilah aku, Ibu tahu aku memang seperti ini sejak dulu… dan hati kecilku selalu berharap seandainya Ibuku bisa memahamiku lebih dari siapapun.”
Bersambung.
Published on August 18, 2013 07:34
August 12, 2013
ANANTA PRAHADI PART 4
“Anta, hatiku sakit sekali… sakitttt sekali sampai-sampai rasanya nafasku ini sesak. Kenapa bisa kayak gini? Kamu pernah begini?”, sambil terus mencucurkan airmata kupandangi Anta yang tengah sibuk membereskan beberapa benda di lantai. Benda-benda itu beterbangan kesegala arah saat aku sedang mengamuk hebat tadi. “Teh, yang seperti itu tuh namanya patah hati. Saya pernah mengalami perasaan seperti itu, yang pertama ketika Ambu meninggal. Lalu mengalaminya lagi ketika Abah meninggal menyusul Ambu. Rasanya merasa sendirian, tak punya siapa-siapa lagi. Sakitnya bukan main…”, sekilas raut wajah Anta terlihat sangat sedih namun dia menepis kesedihannya dengan berkata, “Tapi sesakit-sakitnya saya ya Teh, belum pernah da ngelempar-lempar barang kaya gini! Untung aja tadi gelasnya kena ke perut Anta, coba kalau kena tipi… aduhhh berabe, harga tipi 90 inch kaya gini kan mahal pisan tetehh!!! Hehehe…”, dia terlihat memaksakan untuk tertawa. Aku lantas merasa tak enak akan sikapku tadi yang sepertinya berlebihan, lagipula rasanya kesedihanku ini tak serumet kesedihan Anta. “Maaf Anta, aku ngga tahu kalau masalahmu ternyata lebih ribet daripada masalahku”, kutundukkan kepalaku. Tiba-tiba saja Anta datang menghampiriku, diraihnya kepalaku agar terangkat menatap ke arah wajahnya, “Teh, tidak ada hal yang ribet didunia ini. Yang membuatnya ribet adalah cara kita menyikapinya. Patah hati, sakit hati, kehilangan seseorang, itu hanya sebagian kecil proses yang harus kita jalani dalam kehidupan singkat seorang manusia. Nikmati saja Teh, kadang kesakitan adalah jembatan yang baik untuk kita menyebrangi tingkat kedewasaan…”, matanya terlihat sangat hangat… senyumnya terlihat sangat tulus menatapku. Air mataku kembali berjatuhan, “Astaga Anta, seumur hidupku baru kali ini kudengar kata-kata begitu indah seperti barusan. Aku ngga pernah nyangka kamu bakal ngomong kaya gitu, belajar dari mana sih?”. Anta tertawa ringan, “Itu omongan nini saya yang ditranslate ke bahasa indonesia Teh. Yang pinter tuh ya nini saya, saya mah gini aja lah… karung goni… hahahaha”. Kami tertawa lepas setelahnya, karenanya kini aku bisa sedikit lupa pada kejadian pagi tadi. Bayangan tentang Pierre sedikit terhapus dalam ingatanku, aku bahagia memiliki seorang sahabat yang selalu bisa mengerti bagaimana cara berbicara denganku, bahkan dia mengerti bagaimana membuatku tenang.
“Teh!! Teh Tatan!!! Bangunn!! Cepet bangun!!”, suara Anta terdengar nyaring ditelingaku. “Duhh, jam berapa sih ini? Ngantuk tauu…”, sambil ogah-ogahan kugerakkan tubuhku sedikit, lalu kembali memejamkan mataku. “Teteh!! Bangun!!! Ini serius!! Teteh harus lihat, si Pierre ada di halaman rumah teteh nih!!”, Anta kembali menggerak-gerakkan tubuhku kasar. Mataku tiba-tiba saja terbuka lebar setelah mendengarnya menyebut nama itu mataku menatap jam dinding yang saat itu menunjukkan pukul 11 malam, “Apa?! Si Albino itu datang?! Mau ngapain?! Ngga sudi aku ketemu dia! NGGA SUDI!!!”. Anta terlihat resah, “tapi teteh katanya ini sangat penting, dia bilang mau menjelaskan sesuatu… mmmh bahkan dia bawa si… mmmh… si cewe itu Teh… cewe yang di lift tadi”. Entah kenapa emosiku kembali tersulut, dan bahkan membara lebih agresif daripada sebelumnya. “USIR DIA DARI RUMAH INI!!! AKU TAK MAU LAGI MELIHAT LAKI-LAKI ITU!!! BATALKAN SEMUA PERJANJIAN DENGANNYA!!!! AKU BENCI DIA!!!”, suaraku menggelegar berteriak-teriak pada Anta, sementara anak itu hanya terlihat kebingungan dan takut melihat reaksi marahku. Dia hanya menganggukkan kepalanya, lalu dengan cepat meninggalkan kamarku dengan tergopoh-gopoh. Aku terdiam sendiri dalam kamarku setelahnya, tak lagi bisa melanjutkan tidurku. Dalam kepalaku terus berputar bayangan tentang kebencianku pada Pierre, hati kecilku berkata… “Kau menjijikkan Tania! Dia bahkan belum tentu menyukaimu, lalu kenapa kau harus marah kepadanya? Hanya kau yang jatuh cinta kepadanya, kau harus ingat itu! Kau hanya mempermalukan dirimu sendiri Tania”.
Hingga menjelang pagi mataku tak juga bisa tertutup, hatiku was-was memikirkan apa yang sebenarnya akan dibicarakan oleh Pierre padaku tadi malam. Pukul setegah lima subuh kuturuni tangga menuju paviliun Anta, “Ta… Anta, kamu udah bangun?”, sambil tak henti tanganku mengetuk pintunya. Tanpa menunggu lama Anta muncul dibalik pintu, mengenakan sarung berwarna hitam. “Teh, ada apa subuh-subuh begini? Sini masuk!”, Anta mempersilahkanku masuk. Kulangkahkan kakiku menuju tempat tidurnya, “Aku ngga bisa tidur, mau numpang tidur disini ya?”. Anta menggelengkan kepalanya, “Bukan muhrim, ngga boleh tidur bersebelahan”. Emosiku mulai tersulut, “Halahh!! Kamu sebulan lebih di rumah sakit aku tungguin juga aku ngga keberatan ko! Rese banget sih!”. Tiba-tiba Anta tertawa keras, “Hahahaha nah kan nah kan tuan puteri Tania banget nih, pancing aja sedikit langsung ngaburudul ambek-ambekan. Ya boleh atuh teteh cantik, sok mangga kalau mau tidur tiap malem disini juga silahkan saja… ini kan rumah teteh juga bukan rumah Anta. Hahaha maaf saya cuman bercanda! hahaha”. Aku yang tadi marah mulai tersenyum kesal menatapnya, tanganku terangkat tinggi hendak memukul tangannya. Anta mengelak dariku dengan lincah, “Eits, udah wudlu… ga boleh kena eits eits… bukan muhrim!!”. Kukejar dirinya sambil terus mengarahkan tanganku padanya, lalu memeluki tubuhnya dengan kencang tanpa dia bisa mengelak lagi. “Syukurinnnnn!!! Hayo sana wudlu lagiiii!!! Hahaha makan tuh muhrimmm!!!”, lagi-lagi kami tertawa lepas pagi itu, dan tawa itu berhasil membuatku tertidur pulas di tempat tidurnya hingga berjam-jam.
Aku terbangun saat waktu menunjukkan pukul 2 siang, kulihat sekelilingku sudah tak ada tanda-tanda kehidupan. Paviliun Anta terlihat sangat rapih dan bersih, wangi bunga sedap malam tercium dari segala penjuru ruangan. Anak ini memang sangat klasik dan antik, sejak dulu kebiasaannya memang menata bunga sedap malam yang hampir 2 hari sekali dibelinya di pasar kembang, untung saja dia hanya menyimpan bunga-bunga itu… bukan memakannya. Ada aroma lain dari ruangan ini, mataku tertuju pada sebuah nampan berisi Lontong Kari Ayam dan segelas air teh yang tersusun rapih diatas meja belajar milik Anta. Kudekati meja itu seiring dengan bergejolaknya cacing-cacing di perutku. Diatas nampan itu tertulis, “Kepada teteh Tatan si tuan putri pemarah, ini Lontong Kari favorit Anta loh… belinya jauh, di kebon kawung. Habiskan yah! Anta pergi dulu, ada urusan… kayaknya baru pulang malam. Nanti malam kalau teteh mau tidur di kamar Anta lagi silahkan, tapi itu artinya teteh Teh tega sama Anta… sekarang ajah badan Anta pegel-pegel karena tadi subuh tidur diatas ubin! Hahah becanda ketang Teh. Selamat melukis ya! Semoga mood nya bagus!”. Sambil memakan Lontong Kari mulutku terus menerus tersenyum membaca tulisan pesan Anta berulang-ulang, anak ini begitu polos dan menyebalkan.
Waktu menunjukkan pukul 4 sore, dan aku kini sedang melamun memikirkan apa yang akan kutuangkan keatas kanvas putih yang sejak tadi tak sedikitpun kusentuh, padahal dia sudah berdiri tegap dan siap tepat didepanku. Tiba-tiba saja ideku muncul, rasa-rasanya aku perlu melukis sosok Anta. Selama ini aku selalu melukis apapun yang ada di dalam kepalaku, saat ini kepalaku tengah dipenuhi sosok Anta sahabatku yang sangat konyol. Aku mulai teringat coretan di kanvas kecil saat tak sengaja melukis Anta yang tengah melamun tempo hari, kuambil kanvas kecil itu lalu kemudian memindahkan apa yang kugambar diatasnya keatas kanvas yang lebih besar. Saat tengah asyik melukis, tiba-tiba telepon genggamku berbunyi menandakan sebuah pesan masuk. Tak kuhiraukan pesan itu. 15 menit kemudian berbunyi lagi, menandakan pesan kedua masuk namun tetap tak kuhiraukan karena aku terus menerus berkonsentrasi pada kanvasku. 15 menit selanjutnya bunyi itu kudengar lagi, kali ini menggangguku karena sepertinya ada 2 pesan baru yang masuk. Itu artinya, ada 4 pesan yang telah kuabaikan saat itu. Kulemparkan kuas dengan sedikit kesal, lalu mengambil telepon genggamku dan mulai membaca pesan demi pesan.
Pesan 1 : +62813247776“Hi Tania, are you okay? Realy want to meet you up. A.S.A.P” –Pierre-
Entah kenapa saat membaca pesan ini, hatiku terasa berdebar sangat kencang. Aku yakin, pasti Anta yang memberikan nomorku ini kepadanya, sebelumnya aku tak pernah memberikan nomor telepon genggamku secara sembarangan kepada orang lain apalagi kepada klien. Kubuka pesan selanjutnya…
Pesan 2 : +62813247776“Semalam saya ke rumah kamu, Anta bilang kamu sakit. Are you okay?” -Pierre
Pesan 3 : +62813247776“Just reply this msg ‘YES or No’ to answer my question. Is it Tania’s number?” -Pierre
Pesan 4 : +62813247776“Jawab tolong ‘YA or TIDAK’ apakah benar ini number Tania handphone?” –Pierre
Untuk sesaat aku terdiam memikirkan apa yang barusan kubaca, kupikir manusia Albino ini tak akan lagi muncul dalam hidupku. Dalam kemarahan hatiku, aku masih merasa kebingungan harus menjawab apa, tak ada Anta disini yang bisa kumintai pendapat. Lalu memori tentang peristiwa kemarin pagi kembali berkelibat dalam kepalaku, bayangan tentang manusia Albino itu yang sedang memelukki seorang wanita berambut panjang. Kuangkat telepon genggamku dan mulai membalas pesannya dengan menjawab, “TIDAK”. Sebelum menutupnya, dengan otomatis tanganku memilih tombol ‘simpan’, tak hanya nomor teleponnya yang kusimpan... tapi pesan-pesan itupun tak luput kumasukkan ke dalam memori telepon genggamku. Mataku terpejam, meragukan diriku sendiri yang ternyata masih tak bisa melupakan wajah indah seorang Pierre. Tak perlu menunggu lama, lagi-lagi dia membalas pesanku.
Pesan baru : Manusia Albino“Ok, maaf mengganggu… terimakasih” :)
Kurentangkan tubuhku diatas tempat tidur sambil tak lupa menghela nafas begitu panjang, seolah habis melakukan sebuah hal yang sangat berat. Kepalaku kini memikirkan pesan-pesan itu, ada banyak pertanyaan-pertanyaan tidak penting didalamnya. “kenapa dia mencariku?”, “jangan-jangan sebenarnya dia suka aku?”, “Bisa jadi wanita itu hanya cewe yang ngefans padanya! Ya tidak?! ”, arrrrggggh Anta!!! Harusnya dia ada disini saat ini membantuku menjawab pertanyaan-pertanyaan bodoh itu!
bersambung.
Published on August 12, 2013 01:45
Risa Saraswati's Blog
- Risa Saraswati's profile
- 1858 followers
Risa Saraswati isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.
